Rabu, 27 Agustus 2008

Pendidikan Adalah Penyadaran

Oleh: Amin Siahaan

Prolog

Peradaban manusia adalah sebuah keniscayaan. Ia tumbuh, berkembang, dan berubah seiring usia zaman. Di sisi lain, setiap peradaban mempunyai kondisi zaman (zeitgeist) yang berbeda. Terutama pada pola kehidupan masyarakat. Paling tidak ada lima tahapan evolusi manusia. Di awali dari masyarakat berburu, berternak, bertani, beralih kepada industri kecil (home industry) sampai kepada industri besar (kapitalisme, dan kini berkembang lagi menjadi neo-liberalisme).

Bahkan, evolusi manusia ini juga merambah ke domain kepercayaan atau religi. Di mana perwujudan “Tuhan” selalu mengalami perubahan. Dimulai dari yang bersembunyi di balik fenomena alam (petir, guntur); berwujud binatang (sapi, gajah); menjelma menjadi manusia (antropomorf); dan berubah menjadi Tuhan yang gaib: tidak bisa dilihat, diraba, atau pun dicium; dan, kemudian, Tuhan yang meniada (atheis).

Peradaban umat manusia juga menghasilkan perkembangan teknologi mutakhir. Dulu, alat untuk berperang cukup menggunakan tombak dan kapak. Kini, sudah menggunakan bom atom (nuklir). Dari gambaran sederhana di atas, jelaslah bahwa setiap fase perubahan melahirkan tata pergaulan hidup yang berbeda. Lalu pertanyaannya, apa yang menyebabkan perubahan itu?

Evolusi Berpikir Awal Dari Pendidikan

Evolusi berpikir manusia setidaknya dipengaruhi dua faktor. Pertama, pertumbuhan umat manusia. Jumlah populasi manusia yang terus bertambah, mau tidak mau meningkatkan interaksi sesama manusia. Persentuhan ini melahirkan dinamika kehidupan yang bermotifkan ekonomi, politik, dan juga budaya. Ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, politik menyangkut kekuasaan (power), dan budaya melahirkan kepercayaan (religi) dan norma (etika).

Maka, persaingan hidup pun muncul. Yaitu, berusaha menguasai penuh akses terhadap ketiga pilar tersebut. Kedua, alam. Terutama berkaitan dengan faktor produksi seperti tanah dan nilai (value) yang terkandung di dalamnya. Minyak, dalam konteks kekinian, misalnya. Atau, gejala alam yang di luar kekuatan manusia untuk mengatasinya, seperti banjir, badai, gempa, juga turut memberikan andil.

Dalam prosesnya, pergumulan manusia dengan kedua faktor ini menghasilkan banyak prestasi (inovasi). Yang dikemudian hari kita sebut sebagai ilmu pengetahuan. Sedangkan media yang dipakai pada awalnya adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut kegelisahan manusia terhadap manusia dan alam itu sendiri. Yaitu pertanyaannya berupa apa, kenapa, mengapa, dan bagaimana. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan diawali dari ber-filsafat (mother of science).

Demikianlah proses ini terus berlangsung secara ajeg. Sampai pada akhirnya kita mengenal institusi pendidikan, sebagai bentuk terkini (modern) dalam menciptakan penemuan-penemuan baru (inovasi). Di sisi lain, memperbincangkan dunia pendidikan adalah sangat menarik. Apalagi, jika hal ini dihubungkan dengan keyakinan bahwa hanya dengan pendidikan, maka peradaban umat manusia akan lebih baik dan bermartabat.

Dan untuk menuju ke sana, ada dua elemen penting yang harus dipahami dan dimengerti. Yakni, soal sistem dan kultur (budaya). Pertama, sistem pendidikan (baca: pengajaran) yang elegan adalah dengan metode dialog. Yaitu, dialog antara si guru dengan si murid. Namun, sebelum dialog berjalan, perlu ditekankan bahwa posisi antara guru dan murid adalah sama, sejajar. Dengan kata lain, guru dan murid adalah subyek.

Sangat diharamkan, jika guru memposisikan sebagai subyek (yang maha tahu) dan murid diposisikan sebagai obyek (yang maha tidak tahu). Jika ini yang terjadi-meminjam istilah Paolo Freire-pendidikan tidak ubahnya seperti investasi bank (banking concept of education). Dimana, murid tidak lebih sebagai obyek investasi dan sumber deposito. Murid hanya dijejali “deposito” (ilmu pengetahuan) yang kelak hasilnya dipetik dikemudian hari. Dan di sini, murid tidak diberikan kesempatan untuk mengkritisi “deposito” itu.

Kemudian, ketika kedudukan guru dan murid telah sejajar, maka keberlangsungan dialog harus dibenturkan kepada realita di masyarakat. Ini agar muatan dialog tidak mengambang, namun mempunyai orientasi yang jelas. Yaitu, dialog menghasilkan jalan keluar (pemikiran) atas gejala sosial yang terjadi. Misalnya, guru dan murid mendiskusikan masalah kemiskinan dan dari dialog itu mereka mengetahui akar masalah kemiskinan. Dan akhirnya mengambil langkah kongkret untuk mengatasinya. Adanya obyek yang secara khusus dibahas antara murid dan guru ini, dikenal dengan istilah pendidikan hadap masalah (problem posing education).

Sebelumnya, model pendidikan ini akan mendekatkan murid dengan kenyataan dan menjadikan dirinya apa adanya. Proses dialog, akan memetakan sampai sejauh mana pola pikir serta emosioanal (empati) guru dan murid atas permasalahan-permasalahan yang ada. Dan, harapannya, berujung kepada komitmen mereka. Lebih jauh, pendidikan hadap masalah akan membuat guru dan murid saling belajar dan mengisi. Proses memanusiakan manusia (humanisasi) pun berlangsung.

Masih soal sistem, yaitu kriteria kandungan kurikulum sebagai panduan dalam proses pembelajaran. Untuk mendukung adanya dialog, maka kurikulum juga harus merepresentasikan kepentingan rakyat kebanyakan. Artinya, kurikulum adalah pengejewantahan dari kebutuhan dan permasalahan di masyarakat. Bahkan lebih jauh, kurikulum disusun seirama dengan keadaan geopolitik, ekonomi dan budaya negara yang bersangkutan. Bukan malah sebaliknya, yaitu menampung segala agenda kaum penguasa (kapital). Dimana isinya kebanyakan sangat jauh dari kebutuhan rill masyarakat.

Kedua, budaya atau kultur yang menihilkan peranan murid (dehumanisasi). Seperti budaya patriakhi dan feodalisme. Harus diakui, kedua hal ini masih sangat kentara dalam dunia pendidikan. Karena sudah berlangsung lama dan mapan, maka membutuhkan tenaga ekstra keras untuk mengikisnya. Apalagi kemapanan kultur ini ditopang kuat oleh fondasi agama, adat, dan bahkan politik. Jadi, untuk membongkar kultur ini harus direncanakan secara menyeluruh (holisitik).

Mengapa kedua hal ini-sistem dan kultur-perlu mendapatkan perhatian mendalam? Karena penyelesaian terhadap dua masalah ini, akan berujung kepada esensi institusi pendidikan sebagai fungsi penyadar. Yaitu penyadaran dari manusia (guru dan murid) yang tidak mengerti alam (lingkungan) dan dirinya menjadi subyek yang memahami esensi siapa dirinya dan apa yang terjadi di sekitarnya.

Menguatkan Pendidikan Sebagai Media Penyadaran

Sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah, ketika kita mendapatkan asumsi umum bahwa institusi pendidikan hanya sebagai modal awal untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak lebih dari itu. Sejenak, hal ini wajar saja. Toh, manusia juga harus bekerja agar dapat bertahan hidup. Apalagi tantangan dunia semakin menjadi-jadi sejalan derasnya arus globalisasi (neo-liberalisme).

Kondisi massif ini sesungguhnya sangat memprihatinkan. Karena ia telah menegasikan fungsi pendidikan yang sesungguhnya: memanusiakan manusia (humnanisasi). Gejala yang dapat kita lihat yaitu, semakin teralienasinya pikiran (akal) dan kepedulian (empati) dari komponen pendidikan (guru, murid dan pemerintah) terhadap kondisi kekinian. Dan mengenai hal ini, sepertinya kita sepakat bahwa dunia sedang mengarah kepada kehancuran (destruction).

Nah, di sinilah sebenarnya lembaga pendidikan dapat memberikan sumbangsihnya dalam mewujudkan peradaban manusia yang lebih baik. Pranata pendidikan dapat mengambil alih peranan negara dan agama, yang sejatinya juga harus menciptakan peradaban yang luhur. Namun, seperti yang kita ketahui, kedua institusi itu pun malah sibuk dengan kepentingannya masing-masing.

Negara (pemerintah), di kebanyakan tempat, tak lebih merupakan panggung opera yang pemainnya (elite politik) sedang memainkan sandiwara belaka (pro status quo). Seperti halnya di Indonesia, elite hanya sibuk mencari, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Soal kesejahteraan rakyat, hanya terjadi menjelang pemilu. Itu pun didasari jika mereka (rakyat) dapat memberikan suara potensial kepada mereka (elite).

Kondisi lembaga keumatan pun tak jauh berbeda. Mereka terjebak pada permasalahan dangkal. Seperti persaingan dalam proses pemuridan (baca: penyebaran ajaran agama). Fungsi sosial yang ada pun terbatas di permukaan saja. Belum berani menyentuh pada akar permasalahan. Atau dengan kata lain, masih jauh dari gerakan politik. Dan parahnya, institusi keagamaan justru berhubungan mesra dengan penguasa. Peran oposisi yang seharusnya dijaga, malah terabaikan.

Di satu sisi, usaha untuk mengembalikan pendidikan ke fungsinya semula menemui hambatan. Apalagi, jika mengharapkan adanya perubahan dari internal. Maksudnya, penyelenggara pendidikan adalah pemerintah (negara), karenanya terlihat mustahil jika negara mau benar-benar menjadikan institusi pendidikan sebagai media penyadaran dalam arti yang sesungguhnya. Ini karena, negara termasuk salah satu kelompok status quo. Kalau toh mau dipaksakan adanya perubahan dari dalam, maka harus ada perubahan konstelasi elite (politik).

Dan ini, salah satunya, harus melalui mekanisme pemilu. Jika menggunakan cara-cara di luar mekanisme kontitusional, revolusi, misalnya, akan mengakibatkan cost yang sangat besar. Di samping, harus tersedianya syarat-syarat terjadinya revolusi, seperti adanya pemimpin revolusi yang diakui bersama, dan tingkat kesadaran massa revolusi yang tinggi. Oleh karenanya, setidaknya sampai detik ini, gerakan revitalisasi dunia pendidikan harus mengkombinasikan gerakan dari dalam dan luar sistem.

Dari dalam, yaitu dengan terus menerus mengkampanyekan pendidikan yang humanis. Bisa dengan penerbitan (kampanye) tulisan berupa buletin, selebaran, spanduk, dan lainnya. Atau, dengan mendirikan sekolah-sekolah alternatif. Sedangkan gerakan dari luar, lebih kepada gerakan politik praktis. Yaitu menggandeng kekuatan politik (elite) yang dipandang dapat memperjuangkan lembaga pendidikan ke arah yang lebih baik. Untuk mengikatnya, bisa saja dilakukan dengan metode kontrak politik.


Alumni Ilmu Sejarah USU 2002, Anggota KDAS


Tidak ada komentar: