Rabu, 10 April 2013

Pemuda Kristen Harus Berperan Aktif dalam Transformasi Bangsa


Oleh : Putera Arif Panjaitan


Wajah semakin muram, hati semakin perih seakan tertusuk, menghayati problematika hidup bangsa membuat penggalan nafas kita pun semakin sesak. Benarlah kita harus rela menderita demi memperjuangkan kebenaran bukan justru menyerah menahan perih.
Pepatah anekdot berkata: “berbahagialah orang yang tidak membaca buku, berbahagialah orang yang tidak membaca berita pada surat kabar dan berbahagialah orang yang tidak menonton berita di televisi, sebab mereka tidak akan menyadari dan memikirkan kemelut yang lebih pahit dari hidupnya”.
Sebagai bagian minoritas dari kemajemukan bangsa ini, penganut Kristen lebih banyak disibukkan dengan persoalan ancaman eksistensi yang dihadapi dari tekanan mayoritas. Kejadiannya masih berlangsung hingga dewasa ini, seperti pelarangan mendirikan rumah ibadah, gangguan melaksanakan ibadah, perlakuan pincang dalam aspek pembangunan, hingga teror dan berbagai perlakuan diskriminatif lainnya. Mengapa demikian? Kontribusi apa sebenarnya yang sudah dilakukan oleh umat Kristen sendiri?
            Memahami persoalan bangsa yang telah akut dewasa ini kita harus mengulas lebih luas ke belakang. Dimulai dari sejarah kemerdekaan bangsa ini. Apa yang harus kita maknai dari kemerdekaan? Siapakah yang merdeka? Sejak kapan kemerdekaan itu? Bagaimana pelaksanaan kemerdekaan di negara dan bangsa kita? Setelah kita renungkan, mengapa kita sungguh-sungguh masih belum merdeka?
            Jawaban terletak pada sistematika dan mekanisme berdirinya negara hingga kini, berada dalam intervensi asing dan kepentingan elit politik bangsa kita. Bukanlah suratan takdir yang menjadi nasib naas yang sumbernya dari mitos belaka. Untuk ini, setiap pemuda harus semakin banyak membaca realita kehidupan. Maka kita akan memahami, ke manakah arahnya perjalanan negara ini? Tentu lari menjauhi cita-cita kelahirannya dalam konstitusi. Artinya apa? Seharusnya kemerdekaan sejati tentulah berbuahkan kebebasan, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan akan tetapi hal itu semakin jauh dari manusia-manusia penghuni Indonesia.
            Pasalnya mekanisme pemerintahan sudah melakukan pengabdian yang melenceng yaitu kepada kaum pemilik modal terutama pihak asing yang skala modalnya sangat besar, bukan lagi kepada rakyat yang adalah katanya pemilik kedaulatan. Keadaan ini sesungguhnya merupakan jebakan maut yang akan menjerumuskan bangsa kita pada penjajahan tiada henti sampai kesudahannya. Bagaimana tidak, begitulah dimulai sejak Orde Baru yang mana kebijakan perekonomian katanya berusaha untuk memakmurkan negara. Kenyataan bahwa pembangunan jaman Orde Baru itu adalah bersumber dari utang luar negeri yaitu terhadap bank dunia, IMF, dll. Kebijakan system ekonomi liberal itu diteruskan sampai sekarang. Jadi tidak heran kalau akutnya persoalan menjerat setiap sendi kehidupan rakyat, khususnya rakyat jelata yang merupakan penduduk Indonesia kebanyakan.
Tentu jelas bahwa kebijakan kapitalisme sangat merusak bangsa kita. Sebab bukanlah bangsa kita yang menjadi sumber modal melainkan tempat menanam modal. Penanaman modal ditujukan untuk meraup keuntungan. Dari mana? Sumber daya alam Indonesia yang melimpah di perut bumi, tumbuhan di atasnya, kekayaan dalam genangan perairan laut, serta sumber daya manusianya sangat cocok untuk dijadikan pekerja alias budak. Budak ditujukan untuk mengerjakan eksploitasi kekayaan itu. Lantas hasilnya ke mana? Sebagian besarnya hasil produksi diangkut ke luar negeri,  keuntungan produksi (deviden) kembali ke pengusaha/penanam modal, pajak operasi usahanya masuk ke pemerintah. Sesuai undang-undang seharusnya masuk ke kas negara tetapi kenyataan, inilah yang diincar-incar oleh penyelenggara pemerintahan kita sehingga begitu semangatnya mereka mengundang investasi masuk ke dalam negeri, dengan dalih membuka lowongan pekerjaan. Memang ada sesuainya, sebab manusia-manusia Indonesia bekerja membudak dalam perusahaan modal asing demi mencari makan.  
Bagaimana dengan penyadaran mental manusia Indonesia? Kita pernah berharap akan pendidikan yang mencerdaskan, sesuai amanat UUD 45. Lagi-lagi kita mengaku justru menyesalinya dengan kekecewaan yang mendalam. Harus kita membongkar bagaimana pendidikan hadir di Indonesia serta ditujukan untuk apa dan siapa pendidikan itu. Secerdas-cerdasnya bangsa dibuat sampai berpendidikan tinggi ternyata kebanyakan ditujukan memenuhi stakeholder yang alamatnya adalah di perusahaan modal asing. Kalau pun ada ke pemerintahan maupun lembaga-lembaga lainnya, amati saja dewasa ini mekanismenya berorientasi pada komersial maupun pasar, dalam hal ini menuju kapital tadi. Perhatikanlah, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari mekanisme pemerintahan negara Indonesia ini? Padahal sejak awal negara Indonesia mengakui dirinya demokrasi.
Perlahan sejak reformasi, muncullah kesadaran-kesadaran di tengah generasi sekarang. Meski sedikit tetapi sudah berdampak untuk mengembalikan hakikat kemanusiaan bangsa Indonesia yang telah dikungkung oleh pembodohan turun-temurun. Perlawanan demi mewujudkan kemerdekaan yang sejati dari penjajahan bangsa asing dan bangsa sendiri banyak dilakukan oleh pemuda, yaitu gerakan-gerakan mahasiwa. Kita dapat menilai bagaimana pergerakan itu berlangsung dan apa hasilnya. Menurut hemat penulis, sebaiknya generasi sekarang belajar dari gerakan mereka, apa keunggulan dan rintangan mereka, strategi apa yang penting dikembangkan ke depannya memenuhi kebutuhan transformasi bangsa, yang sejatinya tiada henti. Malah penulis sangat prihatin dengan sikap apatisnya generasi sekarang, mengisyarakakan tertidurnya kembali kesadaran pemikiran. Harus diakui ada banyak penyebabnya, antara lain warisan laten NKK/BKK, strategi akademis kampus yang semakin sibuk, daya tarik gaya hidup hedonis dan banyak hal lainnya yang saat ini malah menjadi bagian dari trend dan minat bakat pemuda. Alhasil, setan kapitalis begitu terbahak-bahak dalam kebahagiaanya menyaksikan pemerkosaan bangsa Indonesia berlangsung tanpa ada usaha perlawanan, langgeng.
Spirit Pembebasan
Kita dapat menilai kontribusi pergerakan yang berlebelkan “Anak Tuhan” – Kristen – sangat minim dalam perjuangan bangsa ini. Analisis sementara penulis menilai hal ini akibat bentuk dan pola distribusi pengajaran yang kurang kontekstual. Konteks keimanan tidak sesuai dengan situasi zamannya padahal Injil Kristus kita yakini menembus batas zaman, yaitu kekal sampai selama-lamanya. Akan tetapi kekuatan ini seakan dibatasi sehingga terkesan tidak punya daya, misi orang percaya lebih diarahkan pada mandat surgawi. Mandat ini diberi ketegasan pemisahan dengan mandat duniawi. Jadi semakin jelaslah apa yang dikerjakan justru jauh dari realita kehidupan. Keadaan inilah yang dikritisi oleh Marx yang tidak percaya Tuhan itu, menyebut agama sebagai candu. Harus menjadi dasar kritik bagi kita untuk memberi kesaksian bahwa kuasa Tuhan adalah di atas segalanya.
Mari berpikir jernih ke depan. Saya memandang Injil Kristus sangatlah relevan untuk menjawab persoalan bangsa kita saat ini. Masalahnya, sangat minim pembebasan yang dilakukan oleh gereja di tengah penindasan yang sistemik. Saya berpendapat karena orang-orangnya tidak dilandasi oleh spirit pembebasan. Barangkali kita terjebak dengan pola beragama ekstrinsik (memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukannya untuk kehidupan) ditandai dengan kesibukan tradisi-tradisi ibadah/ritual belaka tanpa praktek konkrit sebagai komitment dari imannya. Kalaupun ternyata sebagian kita mengikuti pola beragama intrinsik (lebih substansial, lebih ke dalam, menjadi faktor pemadu & menghujam dalam arah kehidupan yang manusiawi), tetapi tidak punya penglihatan yang kritis terhadap situasi zaman, maka minimlah kontribusi untuk transformasi bangsa dan negara Indonesia ini. Untuk itu penting setiap orang percaya mengaktualisasi serta membototi diri dengan pemikiran dan kesadaran yang kritis. Kini sudah saatnya kita mengarahkan pola pemikiran terhadap persoalan hidup yang sistemik dan struktural.
Mengimani akan besarnya kuasa Tuhan, maka kita haruslah berprinsip pada misi yang holistik. Tuhan berkuasa atas surga dan dunia, di surga adalah tahta-Nya dengan segala kesempurnaan dan di bumi adalah proses bagi setiap orang supaya kelak menuju kerajaan tersebut. Kitalah yang menjadi saksi membumikan kerajaan surga itu, sehingga banyak orang menjadi percaya, diberkati dan diselamatkan. Sembari melakukan tugas penginjilan, setiap orang percaya harus mengikuti teladan yang dikerjakan Tuhan Yesus ketika di dunia. Maka tidak mengabaikan tugas-tugas menolong sesama dari penindasan sistemik, turut dalam membangun kehidupan yang lebih baik serta menjaga keutuhan ciptaan Tuhan yang lainnya seperti flora, fauna dan lingkungan ekosistem. Yang intinya adalah menjadi bagian dari pencegah pembusukan dunia ini.
Panggilan generasi Kristen saat ini adalah sebagai “anak zaman”, memenuhi tuntutan penyelesaian persoalan zaman dengan menjadi garam dan terang dunia. Itulah kontekstualisasi dari tindakan iman percaya.  Patut belajar dari belahan dunia lain yang juga adalah orang-orang Kristen, yang mengalami gejolak heroik tantangan keimanan dalam hidup. Misalnya belahan benua Amerika Latin, khususnya negara Brazil, lahirlah sebuah gagasan Teologi Pembebasan oleh Gustavo Guitterez. Intinya orang Kristen harus melakukan praksis dalam iman, yaitu Kontemplasi (beribadah dan berdoa) dalam rangka mengenal menyelami lebih dalam tentang Tuhan dan aksi sebagai komitmen tindakan konkrit dari iman. Perspektif Kristen yang mendasari semangat transformasi bangsa secara Alkitabiah dapat dilakukan dengan membangun kesejahteraan kota/negara (Yeremia 29:7).
Kata kesejahteraan erat kaitannya dengan kata Shalom. Sementara Shalom dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu pertama individual fisik yang sehat (Mazmur 38), terbebas dari kejahatan, selamat, aman (Yosua 10:21), menang dari peperangan (Hakim-Hakim 8:9), ekonomi atau pendapatan yang baik (Mazmur 37:11), keluarga yang baik (Mazmur 128:1-6), moral yang terjaga (Mazmur 34:14) dan tidak melanggar Titah Tuhan (Bilangan 24:12-14). Kedua komunitas dan negara, tidak ada perang (Hakim-Hakim 11:13, Keluaran 3:8), kesejahteraan ekonomi (Mazmur 147:14; 128:5-6), keamanan politik (Mazmur 122:6-7; II Raja-Raja 20:19), negara yang damai (Imamat 26:1-6). Ketiga relasi yang baik kepada Tuhan dan sesama, kebenaran akan memancarkan kedamaian (Mazmur 85:10), tidak ada damai tanpa keadilan (Yeremia 6:13-14), dampak dari keadilan, kebenaran dan kebajikan akan semakin terasa di seluruh bangsa (Yesaya 32:16-18), menjalankan hukum yang terutama dan yang pertama (Matius 22:35-40; Lukas 10:25-37) serta menjadi saksi (Kisah Para Rasul 1:8).
Hal-hal itulah yang harus dipenuhi dalam kehidupan manusia di bumi. Jika kita memikirkan untuk mewujudkannya pada masa kini, maka sungguh harus dilakukan lewat perjuangan yang cukup keras. Melihat tantangan zaman sekarang ini, apakah kita masih akan memakai metode lama dalam mewujudkannya? Sungguh, sikap fanatisme yang berlebihan hanya mencerminkan sempitnya wawasan berpikir yang justru menjebak kita dalam penolakan dan menyebabkan timbulnya perpecahan kerukunan. Untuk itu penting bagi kita melakukan segala hal dalam hikmat yang bijaksana, dengan mengefektifkan rasionalitas berpikir, sebagai perwujudan mengasihi Tuhan dengan akal budi.
Nah, generasi sekarang harus mulai menyadari, untuk melakukan transformasi bangsa ini bukanlah pekerjaan biasa yang akan mengalir sendirinya seiring bergulirnya waktu. Harus kita akui, proses  penindasan dan pembusukan dunia saat ini merupakan program pemerkosaan yang terencana dan terorkestrasi oleh pihak-pihak serakah. Tingkat belajar mereka untuk mencapai sukses programnya lebih tinggi daripada usaha kita untuk bebas dari lingkaran setan penindasan. Keadaan ini nyata, konkrit dan bukanlah mimpi. Kalau masih bermimpi bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa ada tindakan perbaikan, bangunlah segera!
Sebagai generasi muda kita  punya banyak pilihan dalam menentukan strategi. Namun bentuk strategi masa kini harus jauh lebih canggih daripada strategi-strategi yang pernah ada. Oleh karenanya generasi sekarang wajib merumuskan terlebih dahulu bentuk penindasan yang berlangsung sehingga dapat kelihatan dan dapat pula ditentukan metode untuk memperjuangkan kebenaran dalam solusi perbaikan. Ada yang berjuang dengan berproses secara pribadi, ada yang bergabung dengan kelompok atau komunitas dan ada yang membangun jaringan serta aliansi. Semua upaya itu ditandai dengan proses belajar guna pembobotan dan aktualisasi diri. Lewat cara ini proses penyadaran ditransfer satu dengan yang lainnya. Masing-masing individu mengenali diri sindiri (berkenaan dengan siapa diri sesungguhnya serta tingkat potensi dan kelemahan pribadi), memahami situasi kehidupan sosial di lingkup daerah – nasional – global serta memiliki solusi perbaikan atas persoalan dan kemelut yang menimpa bangsa. Tujuannya untuk mencapai mimpi bersama, mewujudkan perbaikan bangsa ke arah perkembangan yang lebih baik sesuai dengan visi masing-masing (tansformasi).
Oleh karena itu, sungguh berdosanya apabila kita masih menyia-nyiakan waktu yang Tuhan beri karena tidak diisi seoptimal mungkin menjadi rekan sekerja Tuhan di tengah dunia yang dikasihi-Nya ini. Sebab kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi. Semoga peran pemuda Kristen dalam transformasi bangsa semakin progresif dan menjadi diperhitungkan ke depannya. Setidaknya orang percaya merupakan elemen yang diakui keberadaanya dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi bangsa Indonesia. Belum terlambat… Kejar terus..!!!
***



Ditulis pada suasana pagi yg gelap akibat PLN memadamkan penerangan listrik di Jl. Perjuangan No. 155 Medan, 22 Maret 2013

Tidak ada komentar: