Oleh : Putera Arif Panjaitan
Wajah semakin muram, hati semakin
perih seakan tertusuk, menghayati problematika hidup bangsa membuat penggalan
nafas kita pun semakin sesak. Benarlah kita harus rela menderita demi memperjuangkan
kebenaran bukan justru menyerah menahan perih.
Pepatah anekdot berkata:
“berbahagialah orang yang tidak membaca buku, berbahagialah orang yang tidak
membaca berita pada surat kabar dan berbahagialah orang yang tidak menonton
berita di televisi, sebab mereka tidak akan menyadari dan memikirkan kemelut
yang lebih pahit dari hidupnya”.
Sebagai bagian minoritas dari kemajemukan
bangsa ini, penganut Kristen lebih banyak disibukkan dengan persoalan ancaman
eksistensi yang dihadapi dari tekanan mayoritas. Kejadiannya masih berlangsung
hingga dewasa ini, seperti pelarangan mendirikan rumah ibadah, gangguan
melaksanakan ibadah, perlakuan pincang dalam aspek pembangunan, hingga teror dan
berbagai perlakuan diskriminatif lainnya. Mengapa demikian? Kontribusi apa sebenarnya
yang sudah dilakukan oleh umat Kristen sendiri?
Memahami persoalan bangsa yang telah
akut dewasa ini kita harus mengulas lebih luas ke belakang. Dimulai dari sejarah
kemerdekaan bangsa ini. Apa yang harus kita maknai dari kemerdekaan? Siapakah
yang merdeka? Sejak kapan kemerdekaan itu? Bagaimana pelaksanaan kemerdekaan di
negara dan bangsa kita? Setelah kita renungkan, mengapa kita sungguh-sungguh masih
belum merdeka?
Jawaban terletak pada sistematika
dan mekanisme berdirinya negara hingga kini, berada dalam intervensi asing dan
kepentingan elit politik bangsa kita. Bukanlah suratan takdir yang menjadi
nasib naas yang sumbernya dari mitos belaka. Untuk ini, setiap pemuda harus
semakin banyak membaca realita kehidupan. Maka kita akan memahami, ke manakah
arahnya perjalanan negara ini? Tentu lari menjauhi cita-cita kelahirannya dalam
konstitusi. Artinya apa? Seharusnya kemerdekaan sejati tentulah berbuahkan
kebebasan, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan akan tetapi hal itu semakin
jauh dari manusia-manusia penghuni Indonesia.
Pasalnya mekanisme pemerintahan
sudah melakukan pengabdian yang melenceng yaitu kepada kaum pemilik modal
terutama pihak asing yang skala modalnya sangat besar, bukan lagi kepada rakyat
yang adalah katanya pemilik kedaulatan. Keadaan ini sesungguhnya merupakan
jebakan maut yang akan menjerumuskan bangsa kita pada penjajahan tiada henti sampai
kesudahannya. Bagaimana tidak, begitulah dimulai sejak Orde Baru yang mana kebijakan
perekonomian katanya berusaha untuk memakmurkan negara. Kenyataan bahwa
pembangunan jaman Orde Baru itu adalah bersumber dari utang luar negeri yaitu terhadap
bank dunia, IMF, dll. Kebijakan system ekonomi liberal itu diteruskan sampai
sekarang. Jadi tidak heran kalau akutnya persoalan menjerat setiap sendi
kehidupan rakyat, khususnya rakyat jelata yang merupakan penduduk Indonesia kebanyakan.
Tentu jelas bahwa kebijakan kapitalisme sangat
merusak bangsa kita. Sebab bukanlah bangsa kita yang menjadi sumber modal
melainkan tempat menanam modal. Penanaman modal ditujukan untuk meraup
keuntungan. Dari mana? Sumber daya alam Indonesia yang melimpah di perut bumi,
tumbuhan di atasnya, kekayaan dalam genangan perairan laut, serta sumber daya
manusianya sangat cocok untuk dijadikan pekerja alias budak. Budak ditujukan
untuk mengerjakan eksploitasi kekayaan itu. Lantas hasilnya ke mana? Sebagian
besarnya hasil produksi diangkut ke luar negeri, keuntungan produksi (deviden) kembali ke
pengusaha/penanam modal, pajak operasi usahanya masuk ke pemerintah. Sesuai
undang-undang seharusnya masuk ke kas negara tetapi kenyataan, inilah yang
diincar-incar oleh penyelenggara pemerintahan kita sehingga begitu semangatnya
mereka mengundang investasi masuk ke dalam negeri, dengan dalih membuka
lowongan pekerjaan. Memang ada sesuainya, sebab manusia-manusia Indonesia
bekerja membudak dalam perusahaan modal asing demi mencari makan.
Bagaimana dengan penyadaran mental manusia Indonesia?
Kita pernah berharap akan pendidikan yang mencerdaskan, sesuai amanat UUD 45. Lagi-lagi
kita mengaku justru menyesalinya dengan kekecewaan yang mendalam. Harus kita membongkar
bagaimana pendidikan hadir di Indonesia serta ditujukan untuk apa dan siapa
pendidikan itu. Secerdas-cerdasnya bangsa dibuat sampai berpendidikan tinggi
ternyata kebanyakan ditujukan memenuhi stakeholder yang alamatnya adalah di
perusahaan modal asing. Kalau pun ada ke pemerintahan maupun lembaga-lembaga
lainnya, amati saja dewasa ini mekanismenya berorientasi pada komersial maupun
pasar, dalam hal ini menuju kapital tadi. Perhatikanlah, siapa sebenarnya yang
diuntungkan dari mekanisme pemerintahan negara Indonesia ini? Padahal sejak
awal negara Indonesia mengakui dirinya demokrasi.
Perlahan sejak reformasi, muncullah
kesadaran-kesadaran di tengah generasi sekarang. Meski sedikit tetapi sudah
berdampak untuk mengembalikan hakikat kemanusiaan bangsa Indonesia yang telah
dikungkung oleh pembodohan turun-temurun. Perlawanan demi mewujudkan kemerdekaan
yang sejati dari penjajahan bangsa asing dan bangsa sendiri banyak dilakukan
oleh pemuda, yaitu gerakan-gerakan mahasiwa. Kita dapat menilai bagaimana
pergerakan itu berlangsung dan apa hasilnya. Menurut hemat penulis, sebaiknya
generasi sekarang belajar dari gerakan mereka, apa keunggulan dan rintangan
mereka, strategi apa yang penting dikembangkan ke depannya memenuhi kebutuhan
transformasi bangsa, yang sejatinya tiada henti. Malah penulis sangat prihatin
dengan sikap apatisnya generasi sekarang, mengisyarakakan tertidurnya kembali
kesadaran pemikiran. Harus diakui ada banyak penyebabnya, antara lain warisan
laten NKK/BKK, strategi akademis kampus yang semakin sibuk, daya tarik gaya
hidup hedonis dan banyak hal lainnya yang saat ini malah menjadi bagian dari
trend dan minat bakat pemuda. Alhasil, setan kapitalis begitu terbahak-bahak
dalam kebahagiaanya menyaksikan pemerkosaan bangsa Indonesia berlangsung tanpa ada
usaha perlawanan, langgeng.
Spirit Pembebasan
Kita dapat menilai kontribusi pergerakan yang
berlebelkan “Anak Tuhan” – Kristen – sangat minim dalam perjuangan bangsa ini. Analisis
sementara penulis menilai hal ini akibat bentuk dan pola distribusi pengajaran
yang kurang kontekstual. Konteks keimanan tidak sesuai dengan situasi zamannya
padahal Injil Kristus kita yakini menembus batas zaman, yaitu kekal sampai
selama-lamanya. Akan tetapi kekuatan ini seakan dibatasi sehingga terkesan
tidak punya daya, misi orang percaya lebih diarahkan pada mandat surgawi.
Mandat ini diberi ketegasan pemisahan dengan mandat duniawi. Jadi semakin
jelaslah apa yang dikerjakan justru jauh dari realita kehidupan. Keadaan inilah
yang dikritisi oleh Marx yang tidak percaya Tuhan itu, menyebut agama sebagai
candu. Harus menjadi dasar kritik bagi kita untuk memberi kesaksian bahwa kuasa
Tuhan adalah di atas segalanya.
Mari berpikir
jernih ke depan. Saya memandang Injil Kristus sangatlah relevan untuk menjawab persoalan bangsa kita saat
ini. Masalahnya, sangat minim pembebasan yang dilakukan oleh gereja di tengah
penindasan yang sistemik. Saya berpendapat karena orang-orangnya tidak
dilandasi oleh spirit pembebasan. Barangkali kita terjebak dengan pola beragama
ekstrinsik (memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukannya
untuk kehidupan) ditandai dengan kesibukan tradisi-tradisi ibadah/ritual belaka
tanpa praktek konkrit sebagai komitment dari imannya. Kalaupun ternyata sebagian
kita mengikuti pola beragama intrinsik (lebih substansial, lebih ke dalam,
menjadi faktor pemadu & menghujam dalam arah kehidupan yang manusiawi), tetapi
tidak punya penglihatan yang kritis terhadap situasi zaman, maka minimlah
kontribusi untuk transformasi bangsa dan negara Indonesia ini. Untuk itu
penting setiap orang percaya mengaktualisasi serta membototi diri dengan
pemikiran dan kesadaran yang kritis. Kini sudah saatnya kita mengarahkan pola
pemikiran terhadap persoalan hidup yang sistemik dan struktural.
Mengimani akan besarnya kuasa Tuhan, maka kita
haruslah berprinsip pada misi yang holistik. Tuhan berkuasa atas surga dan
dunia, di surga adalah tahta-Nya dengan segala kesempurnaan dan di bumi adalah
proses bagi setiap orang supaya kelak menuju kerajaan tersebut. Kitalah yang
menjadi saksi membumikan kerajaan surga itu, sehingga banyak orang menjadi
percaya, diberkati dan diselamatkan. Sembari melakukan tugas penginjilan,
setiap orang percaya harus mengikuti teladan yang dikerjakan Tuhan Yesus ketika
di dunia. Maka tidak mengabaikan tugas-tugas menolong sesama dari penindasan
sistemik, turut dalam membangun kehidupan yang lebih baik serta menjaga
keutuhan ciptaan Tuhan yang lainnya seperti flora, fauna dan lingkungan
ekosistem. Yang intinya adalah menjadi bagian dari pencegah pembusukan dunia
ini.
Panggilan generasi Kristen saat ini adalah sebagai
“anak zaman”, memenuhi tuntutan penyelesaian persoalan zaman dengan menjadi
garam dan terang dunia. Itulah kontekstualisasi dari tindakan iman percaya. Patut belajar dari belahan dunia lain yang
juga adalah orang-orang Kristen, yang mengalami gejolak heroik tantangan
keimanan dalam hidup. Misalnya belahan benua Amerika Latin, khususnya negara
Brazil, lahirlah sebuah gagasan Teologi Pembebasan oleh Gustavo Guitterez. Intinya
orang Kristen harus melakukan praksis dalam iman, yaitu Kontemplasi (beribadah
dan berdoa) dalam rangka mengenal menyelami lebih dalam tentang Tuhan dan aksi
sebagai komitmen tindakan konkrit dari iman. Perspektif Kristen yang mendasari
semangat transformasi bangsa secara Alkitabiah dapat dilakukan dengan membangun
kesejahteraan kota/negara (Yeremia 29:7).
Kata kesejahteraan erat kaitannya dengan kata
Shalom. Sementara Shalom dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu pertama individual fisik yang sehat (Mazmur 38),
terbebas dari kejahatan, selamat, aman (Yosua 10:21), menang dari peperangan
(Hakim-Hakim 8:9), ekonomi atau pendapatan yang baik (Mazmur 37:11), keluarga
yang baik (Mazmur 128:1-6), moral yang terjaga (Mazmur 34:14) dan tidak
melanggar Titah Tuhan (Bilangan 24:12-14). Kedua komunitas dan negara, tidak ada perang (Hakim-Hakim 11:13, Keluaran
3:8), kesejahteraan ekonomi (Mazmur 147:14; 128:5-6), keamanan politik (Mazmur 122:6-7;
II Raja-Raja 20:19), negara yang damai (Imamat 26:1-6). Ketiga relasi yang baik kepada Tuhan dan sesama,
kebenaran akan memancarkan kedamaian (Mazmur 85:10), tidak ada damai tanpa
keadilan (Yeremia 6:13-14), dampak dari keadilan, kebenaran dan kebajikan akan
semakin terasa di seluruh bangsa (Yesaya 32:16-18), menjalankan hukum yang
terutama dan yang pertama (Matius 22:35-40; Lukas 10:25-37) serta menjadi saksi
(Kisah Para Rasul 1:8).
Hal-hal itulah yang harus dipenuhi dalam
kehidupan manusia di bumi. Jika kita memikirkan untuk mewujudkannya pada masa
kini, maka sungguh harus dilakukan lewat perjuangan yang cukup keras. Melihat
tantangan zaman sekarang ini, apakah kita masih akan memakai metode lama dalam
mewujudkannya? Sungguh, sikap fanatisme yang berlebihan hanya mencerminkan
sempitnya wawasan berpikir yang justru menjebak kita dalam penolakan dan
menyebabkan timbulnya perpecahan kerukunan. Untuk itu penting bagi kita
melakukan segala hal dalam hikmat yang bijaksana, dengan mengefektifkan rasionalitas
berpikir, sebagai perwujudan mengasihi Tuhan dengan akal budi.
Nah, generasi sekarang harus mulai menyadari,
untuk melakukan transformasi bangsa ini bukanlah pekerjaan biasa yang akan
mengalir sendirinya seiring bergulirnya waktu. Harus kita akui, proses penindasan dan pembusukan dunia saat ini
merupakan program pemerkosaan yang terencana dan terorkestrasi oleh pihak-pihak
serakah. Tingkat belajar mereka untuk mencapai sukses programnya lebih tinggi
daripada usaha kita untuk bebas dari lingkaran setan penindasan. Keadaan ini
nyata, konkrit dan bukanlah mimpi. Kalau masih bermimpi bahwa semuanya akan
baik-baik saja tanpa ada tindakan perbaikan, bangunlah segera!
Sebagai generasi muda kita punya banyak pilihan dalam menentukan
strategi. Namun bentuk strategi masa kini harus jauh lebih canggih daripada
strategi-strategi yang pernah ada. Oleh karenanya generasi sekarang wajib
merumuskan terlebih dahulu bentuk penindasan yang berlangsung sehingga dapat kelihatan
dan dapat pula ditentukan metode untuk memperjuangkan kebenaran dalam solusi
perbaikan. Ada yang berjuang dengan berproses secara pribadi, ada yang
bergabung dengan kelompok atau komunitas dan ada yang membangun jaringan serta
aliansi. Semua upaya itu ditandai dengan proses belajar guna pembobotan dan
aktualisasi diri. Lewat cara ini proses penyadaran ditransfer satu dengan yang
lainnya. Masing-masing individu mengenali diri sindiri (berkenaan dengan siapa
diri sesungguhnya serta tingkat potensi dan kelemahan pribadi), memahami
situasi kehidupan sosial di lingkup daerah – nasional – global serta memiliki
solusi perbaikan atas persoalan dan kemelut yang menimpa bangsa. Tujuannya
untuk mencapai mimpi bersama, mewujudkan perbaikan bangsa ke arah perkembangan yang
lebih baik sesuai dengan visi masing-masing (tansformasi).
Oleh karena itu, sungguh berdosanya apabila kita
masih menyia-nyiakan waktu yang Tuhan beri karena tidak diisi seoptimal mungkin
menjadi rekan sekerja Tuhan di tengah dunia yang dikasihi-Nya ini. Sebab kita
harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi. Semoga peran
pemuda Kristen dalam transformasi bangsa semakin progresif dan menjadi diperhitungkan
ke depannya. Setidaknya orang percaya merupakan elemen yang diakui keberadaanya
dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi bangsa Indonesia. Belum
terlambat… Kejar terus..!!!
***
Ditulis
pada suasana pagi yg gelap akibat PLN memadamkan penerangan listrik di Jl.
Perjuangan No. 155 Medan, 22 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar