Minggu, 07 Desember 2014

Sudahkah Anda Menulis Diary?

Oleh: Andri E. Tarigan 
 
Siapa yang tak kenal Soe Hok Gie. Aktivis mahasiswa tahun 1960-an yang terkenal vokal dan teguh menjunjung idealismenya. Pemikiran-pemikirannya tertampung ringkas dalam sebuah buku berjudul Catatan Seorang Demonstran. Sebuah buku yang sebenarnya merupa­kan diary milik Gie. Diary membantu Gie mengabadikan dirinya.

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari hal tersebut adalah penting­nya sebuah diary. Seandainya Gie tidak menulis diary, bisa-bisa, namanya tak harum dalam sejarah. Kebesarannya bisa ter­bungkam, dan ketokohannya bisa sengaja dihilangkan dari catatan sejarah mengingat banyak pihak yang kontra terha­dapnya. Diary atau catatan harian, tempat dia mengabadikan kisah sehari-harinya, menjadi hal penting yang di kemudian hari menjadi alat pengingat bagi segenap penduduk negeri bahwa Indonesia pernah memiliki seorang intelektual yang begitu jujur dalam berpikir dan bertindak, Gie.

Mengutip Manfaat

Belajar dari Gie, maka menulis diary bisa kita kategorikan sebagai hal yang bijak. Bijak karena memang banyak manfaat positif yang bisa kita ambil dari penulisan diary. Menuliskan apa yang sambil lalu kita pikirkan, menuliskan kisah perih mau­pun indah, menuliskan sejauh apa perjalanan hidup kita, dan penulisan itu tentu bernilai positif.

Pertama, dengan menulis diary, kita sudah mulai belajar menuliskan apa yang kita pikirkan. Walaupun hanya pemikiran sambil lalu, atau pemikiran-pemikiran yang hanya bernilai humor, kita telah menuliskannya. Semakin sering kita menulis­kannya, kita semakin terbiasa, dan kekakuan kita dalam menuangkan pikiran ke dalam bentuk tulisan akan semakin sirna. Disini, kemampuan menulis dilatih secara perlahan. Seorang intelektual membutuhkan ini. Lihat betapa banyak intelektual yang punya banyak pemikiran namun akhirnya disepelekan karena hanya bisa menjadi singa debat, tak bisa menulis.

Kedua, kita mengabadikan diri. Kese­ha­rian kita yang bisa terlupa kapan saja, menjadi sesuatu yang penting dan terekam dalam diary. Nilai-nilai yang sesungguhnya telah kita ciptakan di masa lalu namun telah terlupakan, bisa kita adopsi kembali, karena ada rekam jejaknya. Diary menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya. Penting agar kita tak lupa diri. Penting agar kita mengeta­hui seberapa banyak hal yang telah kita perbuat, seberapa banyak hal baik yang seharusnya tetap kita pertahan­kan. Dengan mengetahui siapa diri kita di hari-hari yang lalu (sangat efektif kalau dalam bentuk tulisan), kita akan semakin mudah membangun karakter diri kita.

Ketiga, romantisme. Dalam diary kisah-kisah terekam. Hal-hal yang mungkin hanya dimengerti oleh kita sendiri, tertuang didalamnya. Sensasi-sensasi yang dulu mencuat, dinamika perasaan, bisa kita rasakan kembali kelak, saat kita membaca ulang diary. Diary menjadi media penya­daran bagi kita bahwa hidup kita itu sebe­narnya menyi­rat­kan banyak makna, ba­nyak romantika, sesepele apapun tam­paknya. Kita jadi belajar menghargai hidup.

Serangan Modernisasi

Pentingnya menulis diary sudah disadari oleh orang-orang sejak beratus-ratus tahun yang lalu, sudah diprak­tekkan, sudah banyak yang mengutip manfaatnya. Akan tetapi, zaman tetap bergerak sehingga yang baru selalu muncul dan yang lama tergerus. Kebia­saan menulis diary termasuk hal yang kini mulai tergerus.

Hadirnya jejaring sosial internet men­jadi salah satu faktor utama yang mengi­kis ke­biasaan menulis diary. Jejaring sosial memandulkan kemam­puan untuk menulis­kan siapa sebenarnya diri kita secara eksis­tensial (seperti yang berlang­sung saat menu­lis diary), dan kita dibawa untuk masuk ke dunia yang lebih praktis. Jejaring sosial mena­warkan sejuta harapan. Seakan-akan, derajat diri kita naik, karena kita sudah berin­teraksi dalam skala global. Padahal, kita hanya bersolek di dunia maya, hanya ilusi.

Aktualisasi diri tepat apabila yang kita coba aktualkan adalah karakter diri kita yang sebenarnya. Dan itu hanya bisa di dapat jika kita mempelajari jejak empiris kita, pengalaman-pengalaman kita. Diary menjadi jawaban atas hal tersebut. Sebuah kemalangan sebenarnya, disaat kebanyakan kaum muda (terutama pelajar) yang memilih jejaring sosial sebagai sarana utama aktualisasi diri.

Saya pernah menonton sebuah film yang pada salah satu adegannya memba­has hal ini secara ringkas. Kira-kira bunyinya seperti ini, "Untuk apalagi menulis diary? Itukan kerjaan orang yang tidak bisa bersosial, sekarang sudah ada twitter, disana pemi­kiran kita bisa di-share kapan saja." Pernyataan tersebut lebih saya terima sebagai sebuah kritik. Karena, banyak hal yang sesung­guhnya tak bisa tergantikan dari kebiasaan menulis diary, tapi mengapa kita lebih memilih twitter? Mampukah twitter menga­badikan kisah kita untuk kita kulik lagi di hari tua nanti? Twitter perlu, tapi fungsinya jauh beda dengan diary. Twitter bukan pengganti diary.

Sudahkah anda menulis diary? Jika belum, tulislah. Tidak ada kata terlambat untuk ini. Diary adalah media reflektif yang efektif untuk kita memaknai diri, mema­hami eksistensi. Ka­laupun kini dunia maya dengan jejaring sosialnya gencar me­narik kita dengan sejumlah fitur-fitur terbarunya, jadikan itu sebagai media pembantu, yakni sebagai sarana komunikasi (sebagaimana fungsi awalnya).

Menulis diary merupakan salah satu bentuk kesadaran sejarah, pelajaran-pelajaran yang tersirat hari ini dituliskan agar dapat menjadi referensi pertimba­ngan empiris yang logis bagi pembangu­nan diri di hari esok. Karena, sejarahlah yang membentuk karakter. ***
*Penulis aktif di KDAS.
Dimuat pada harian Analisa pada hari Sabtu, 29 November 2014

Ironi tentang Hutan Kita

Oleh: Erwin Sipahutar

Hutan kita yang begitu luas (dulu) lama menjadi kawasan primadona diantara hutan di dunia (Amerika, Brazil, Kuba, dan lain-lain). Permasalahannya, deforestasi dan pembakaran hutan yang begitu masif kian hari kian menggila. Berbagai catatan-catatan tragis tentang (di)gundulnya hutan, entah itu dibabat atau dibakar semakin mengenaskan. Status sebagai paru-paru dunia yang kita genggam, sudah menjadi pertanyaan.

Dalam kurun satu dekade terakhir, jutaan hektar hutan musnah. Apa penyebabnya? Beberapa tahun terakhir, pembakaran hutan  terutama di Sumatra dan Kalimantan menimbulkan jutaan ton asap yang menyelimuti Asia Tenggara, utamanya Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand. Belum lagi pembalakan liar dan pengalihfungsian ribuan bahkan jutaan hektar lahan menjadi tanaman komoditi ekspansi seperti kelapa sawit (palm oil). Bisa dibayangkan betapa luasnya hutan kita yang rusak. Rentet realitas penghancuran terhadap hutan ini ibarat borok lama yang  tak kunjung sembuh dari tubuh bangsa ini.

Vandalisme dan Kerakusan

Perusakan hutan merupakan vandalisme besar. Vandalisme sederhananya berarti pengerusakan yang dilakukan secara sengaja, baik pengerusakan yang dilakukan tanpa motif tertentu (keisengan) maupun tindakan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri seperti halnya pengerusakan terhadap hutan. Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia tidak terjadi secara alamiah, ada tangan-tangan manusia yang menjadi pelaku dibalik semua ini.

Dalam penentuan siapa pelakunya, seringkali yang dikambinghitamkan adalah masyarakat kecil. Dalam perbincangan sehari-hari, masyarakat perkotaan seringkali merujuk pada  keberadaan masyarakat kecil yang berdiam di sekitar hutan tersebut sebagai biang keladi. Hal ini wajar. Mengingat, mereka berada di kota, fakta di lapangan berada jauh dari pengamatan langsung mereka.
Memang ada kemungkinan bahwa masyarakat kecil merupakan salah satu pelaku. Misalnya, pengerusakan dilakukan demi orientasi pembukaan lahan pertanian baru, pengambilan kayu bakar atau pembuatan tiang-tiang rumah. Tetapi perlu kita pahami masyarakat sekitar hutan selama ini juga berperan dalam menjaga dan melestarikan eksistensi hutan.




Sebagai contoh, kita bisa melihat masyarakat yang ada di Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir. Masyarakat disana menolak keras terhadap pembabatan hutan yang ada di sekitar Tele. Dengan alasan bahwa hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat desa. Seperti sumber air untuk diminum, mengairi lahan persawahan, juga sebagai tempat pengambilan ramuan-ramuan tradisional yang digunakan sebagai obat alami.


Ada sebuah budaya unik yang diturunkan para orang tua kepada anak-anak mereka disana. Apabila seorang anak kedapatan melakukan tindakan yang merusak hutan atau sumber air, maka para orang tua akan menakut-nakuti anak tersebut dengan mengatakan bahwa disana adalah tempat Oppung Penjaga Hutan (leluhur) yang akan marah apabila hutan dirusak. Penulis mengetahui hal ini sebab penulis pernah tinggal disana selama 2 tahun.

Berbicara kemungkinan, justru perusahaan besar yang lebih layak dituduh sebagai dalang kerusakan hutan daripada msyarakat kecil, mengingat kerusakan hutan di Indonesia tidak lagi dalam skala minor. Tujuannya apalagi kalau bukan dimaksudkan sebagai mesin penghasil miliaran bahkan triliunan rupiah yang dikeruk selama bertahun-tahun.

Berbagai motif pengerusakan tersebut misalnya konversi hutan menjadi lahan ekspansi sawit, pengerukan bahan tambang, pengolahan bubur kertas (pulp) dan sebagainya. Dengan peralatan canggih seperti alat berat tentunya dengan modal raksasa hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Celakanya proyek raksasa ini juga sering berjalan tanpa memperhatikan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Posisi masyarakat sekitar hutan justru menjadi korban.
 Kondisi paling menyita akhir-akhir ini adalah masalah kebakaran hutan di Riau. Fenomena kabut asap yang begitu tebal menjadikan Riau sebagai daerah yang udaranya masuk pada tingkat dengan udara yang berbahaya. Sumatra Utara, utamanya Medan juga menerima dampak walau belum sampai dalam tingkatan berbahaya. Tak pelak ini menjadi masalah cukup serius bagi masyarakat kita dewasa ini. Selain ancaman bagi kesehatan, produktifitas kerja di berbagai sektor juga pasti akan berimbas
Inilah realita ketamakan yang luar biasa besar. Sifat rakus yang menyedihkan mengalamatkan kita menjadi mahkluk termiskin yang hanya memandang kucuran-kucuran dolar sebagai sebuah kekayaan utama diatas segalanya. Tidak memandang hutan, pohon dan berbagai hal lain didalamnya sebagai sebuah kekayaan besar yang perlu dirawat. Menafikan fakta bahwa sebatang pohon mampu memberikan oksigen untuk hidup dua orang manusia dewasa.

Perubahan iklim, polusi udara dan berbagai efek lainnya menjadi ganjarannya. Bisa kita rasakan pemanasan global yang semakin meningkat, cuaca yang tak menentu, polusi udara atau bencana alam dan sebagainya menjadi akibat yang sudah,  sedang dan akan kita tanggung.

Kontribusi Holistik
Tindakan dari pemerintah sangat penting dalam menghempang maraknya pengerusakan hutan dan berbagai akibatnya ini. Bukan hanya mengeluarkan kebijakan namun harus juga diikuti dengan pelaksaanaan kontrol di lapangan. Dalam berbagai kasus, kebijakan yang dikeluarkan lalu dibiarkan begitu saja umumnya hanya berbuah mandul. Tinggallah kebijakan sebatas kebijakan diatas kertas tanpa berbuah sesuatu yang berarti.

Jika ditelisik, sepanjang satu dekade terakhir rezim Presiden SBY (2004-2014) telah dua kali menetapkan moratorium pemberian ijin baru yakni, Inpres no 10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru Pengelolaan Hutan hingga 2013, dan Inpres no 6 Tahun 2013 tentang Perpanjangan Penundaan Izin Baru Pengelolaan Hutan hingga 2015. Namun faktanya berbagai ‘perselingkuhan-perselingkuhan’ pengerusakan hutan masih tetap terjadi

Di satu sisi, ketegasan pemerintah dalam mengeksekusi perusahaan-perusahaan yang tetap membandel masih sangat lemah dan terkesan dibiarkan. Sementara disisi lain, masyarakat sekitar (sipil) yang ketahuan menebang atau membuka lahan pertanian sekalipun dalam skala kecil justru dihantam dengan hukuman yang cukup berat lantas dijadikan sebagai biang utama. Fakta belum adanya satu perusahaan raksasa pun yang ditetapkan sebagai tersangka, menimbulkan berbagai spekulasi negatif. Seakan ada tindakan pembiaran. Tak ayal kesan  ini membuat pengrusakan hutan secara masif semakin menjadi-jadi.

Era baru pemerintahan Jokowi-JK pada 2014-2019 mendatang diharapkan menjadi era baru untuk  pemeliharaan dan pemanfaatan hutan yang lebih waras. Moratorium kedua yang berlaku hingga 2015, yang dikeluarkan oleh rezim SBY, patut diawasi pelaksanaannya secara efektif di era yang lebih segar ini.

Persoalan hutan adalah tanggungjawab bersama. Partisipasi menyeluruh dari berbagai elemen lain seperti NGO, pemerhati lingkungan dan masyarakat juga akan sangat berarti kontribusinya dalam membantu pemerintah memerangi ‘hantu-hantu’ perusak ini. Untuk pemanfaatan hutan yang lebih sehat, demi terciptanya keadilan iklim, lingkungan, serta rakyat makmur dan sejahtera. Sebab amanah undang-undang sejatinya adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat banyak. ***  
*Penulis aktif di KDAS Medan
Dimuat pada harian Analisa pada hari Senin, 6 Oktober 2014.

Yogyakarta Kota Berbudaya



Oleh : Jhon Rivel Purba

Dari beberapa daerah/kota yang pernah saya kunjungi di Indonesia, belum ada seindah Yogyakarta. Yogyakarta memang begitu istimewa. Masyarakatnya ramah, menghargai perbedaan, nyaman dan cukup aman, biaya hidup murah, banyak terdapat obyek wisata, iklim pendidikannya segar, tersedianya buku-buku berkualitas, kesadaran berlalu lintas baik, dan sebagainya. Karenanya, tidak salah ketika Yogyakarta dijuluki sebagai kota budaya, pelajar, kota wisata, kota buku, dan berhati nyaman. 

Penulis sendiri menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta pada pertengahan Mei 2011. Pagi itu saya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, kemudian menaiki taksi menuju Jalan Kaliurang Km. 5. Sopir taksinya ramah. Sepanjang perjalanan kami bercerita. Ketika tiba di alamat yang saya tuju, saya menanyakan biayanya. Alangkah terkejutnya saya ketika biayanya hanya Rp. 15.000. Sangat murah. Hal yang bisa saya tangkap di hari pertama tersebut adalah bahwa si sopir taksi (mewakili orang Yogyakarta) suka menolong, ramah dan menghargai pendatang. 

Pengalaman lainnya, ketika beberapa kali handphone saya ketinggalan di warung makan, handphone tersebut diamankan oleh pihak warung sebelum dikembalikan pada saya. Begitu juga dengan flashdisk, ketika beberapa kali ketinggalan di warung internet (warnet) maupun tempat foto copy, selalu diamankan dan dikembalikan oleh pihak warnet atau karyawan foto copy. 

Dalam berkomunikasi, seringkali penduduk Yogyakarta menyebutkan kata "maaf", "terima kasih", dan menanyakan "apa yang bisa saya bantu?". Ucapan yang disampaikan dengan lembut tersebut benar-benar membuat hati terasa nyaman. Sungguh nyaman. Julukan Yogyakarta berhati nyaman benar-benar terasa. 

Maka tidak mengherankan, ketika saya berada di Jakarta atau Manado atau daerah lain, kota yang paling saya rindukan bukanlah kota kelahiran saya (Medan), melainkan Kota Yogyakarta. Bagi saya (setidaknya hingga saat ini) Kota Yogyakarta adalah kota surga. Surga dalam pendidikan, surga ketenangan batin, surga wisata, surga budaya, surga kesederhanaan, dan surga keberagaman. Masih banyak lagi yang bisa saya ceritakan untuk menggambarkan Yogyakarta sebagai kota surga.

Yogyakarta adalah wujud Indonesia mini. Sebagai kota pelajar, Kota Yogyakarta didatangi oleh pelajar/mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang dengan membawa budaya masing-masing. Hal ini membuat Yogyakarta menjadi indah berwarna-warni. Demikian juga sebagai kota wisata, Yogyakarta didatangi oleh turis dari berbagai daerah maupun negara luar.

Di satu sisi, realitas seperti ini membuat Yogyakarta semakin indah dan dinamis. Tetapi di sisi lain, hal ini menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik. Kedatangan orang luar di Yogyakarta, bagaikan membawa daging dan juga duri. Dikatakan daging karena bisa menambah pendapatan daerah, memperluas lapangan kerja/usaha, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta. Dikatakan duri karena dapat menciptakan masalah baru, seperti kemacetan lalu lintas, mengganggu kenyamanan, dan menciderai toleransi yang selama ini terbangun baik. 

Kicauan Florence
Adapun Florence Sihombing, mahasiswa S-2 FH UGM, yang beberapa hari lalu membuat kicauan kontroversial di pathnya menjadi topik pembicaraan hangat. Media cetak dan elektronik memberitakannya. Bagaimana tidak, dia dinilai menghina masyarakat Yogyakarta atas kicauannya berisi "Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja". Kicauannya itu akhirnya bagaikan mematuk dirinya sendiri. Beberapa elemen masyarakat memprotes dan mengutuk Florence atas pernyataannya di media sosial tersebut. Protes tidak hanya lewat media sosial, tetapi juga di jalanan dan proses hukum. 

Terlepas dari kekesalan yang dialami Florence sebelumnya sehingga dia membuat kicauan provokatif, bagaimanapun juga tidak bisa diterima. Kicauannya itu terkesan arrogan, tidak etis, dan tidak punya landasan yang jelas. Sangat disayangkan seorang yang berstatus mahasiswa pascasarjana di universitas ternama menebarkan sentimen. Padahal sebagai kaum intelektual seharusnya sudah di tataran penyebaran ide/argumen, bukan sentimen. Saya sebagai mahasiswa pascasarjana UGM sangat merasa malu. Pernyataan Florence tersebut lebih cocok sebenarnya ditujukan pada dirinya. 

Kemudian, protes yang dilakukan warga terhadap Florence bisa dipahami sebagai bentuk rasa cinta pada Yogyakarta dan juga keberagaman yang ada di dalamnya. Mereka tidak mau Yogyakarta yang dikenal selama ini sebagai kota budaya, pelajar, dan keberagaman, dinodai oleh siapapun khususnya para pendatang yang menebar kebencian. Protes warga dan juga mereka yang mencintai Yogyakarta, tentu menjadi pelajaran berharga terutama dalam menjaga keharmonisan di Yogyakarta khususnya dan di Indonesia umumnya. 

Selain itu, kasus Florence juga menjadi pembelajaran bagi siapapun yang menggunakan media sosial. Masalah-masalah pribadi apalagi yang menebar kebencian, tak patut diposting di media sosial. Setiap postingan dan komentar yang dibuat seseorang, bisa menggambarkan kepribadian si penulisnya. Media sosial sebaiknya digunakan sebagai alat untuk mencerahkan, mencerdaskan, dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi sesama pengguna media sosial. 

Kembali ke Yogyakarta, kita ingin kota ini tetap sebagai kota berbudaya yang tumbuh berkembang dengan keberagamannya. Oleh karena itu, maka semua pihak (khususnya pendatang) hendaknya menjaga keharmonisan dan nilai-nilai budaya yang ada di Yogyakarta.***

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana FIB UGM Yogyakarta
 Dimuat pada Harian Analisa, Kamis 4 September 2014.