Minggu, 07 Desember 2014

Sudahkah Anda Menulis Diary?

Oleh: Andri E. Tarigan 
 
Siapa yang tak kenal Soe Hok Gie. Aktivis mahasiswa tahun 1960-an yang terkenal vokal dan teguh menjunjung idealismenya. Pemikiran-pemikirannya tertampung ringkas dalam sebuah buku berjudul Catatan Seorang Demonstran. Sebuah buku yang sebenarnya merupa­kan diary milik Gie. Diary membantu Gie mengabadikan dirinya.

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari hal tersebut adalah penting­nya sebuah diary. Seandainya Gie tidak menulis diary, bisa-bisa, namanya tak harum dalam sejarah. Kebesarannya bisa ter­bungkam, dan ketokohannya bisa sengaja dihilangkan dari catatan sejarah mengingat banyak pihak yang kontra terha­dapnya. Diary atau catatan harian, tempat dia mengabadikan kisah sehari-harinya, menjadi hal penting yang di kemudian hari menjadi alat pengingat bagi segenap penduduk negeri bahwa Indonesia pernah memiliki seorang intelektual yang begitu jujur dalam berpikir dan bertindak, Gie.

Mengutip Manfaat

Belajar dari Gie, maka menulis diary bisa kita kategorikan sebagai hal yang bijak. Bijak karena memang banyak manfaat positif yang bisa kita ambil dari penulisan diary. Menuliskan apa yang sambil lalu kita pikirkan, menuliskan kisah perih mau­pun indah, menuliskan sejauh apa perjalanan hidup kita, dan penulisan itu tentu bernilai positif.

Pertama, dengan menulis diary, kita sudah mulai belajar menuliskan apa yang kita pikirkan. Walaupun hanya pemikiran sambil lalu, atau pemikiran-pemikiran yang hanya bernilai humor, kita telah menuliskannya. Semakin sering kita menulis­kannya, kita semakin terbiasa, dan kekakuan kita dalam menuangkan pikiran ke dalam bentuk tulisan akan semakin sirna. Disini, kemampuan menulis dilatih secara perlahan. Seorang intelektual membutuhkan ini. Lihat betapa banyak intelektual yang punya banyak pemikiran namun akhirnya disepelekan karena hanya bisa menjadi singa debat, tak bisa menulis.

Kedua, kita mengabadikan diri. Kese­ha­rian kita yang bisa terlupa kapan saja, menjadi sesuatu yang penting dan terekam dalam diary. Nilai-nilai yang sesungguhnya telah kita ciptakan di masa lalu namun telah terlupakan, bisa kita adopsi kembali, karena ada rekam jejaknya. Diary menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya. Penting agar kita tak lupa diri. Penting agar kita mengeta­hui seberapa banyak hal yang telah kita perbuat, seberapa banyak hal baik yang seharusnya tetap kita pertahan­kan. Dengan mengetahui siapa diri kita di hari-hari yang lalu (sangat efektif kalau dalam bentuk tulisan), kita akan semakin mudah membangun karakter diri kita.

Ketiga, romantisme. Dalam diary kisah-kisah terekam. Hal-hal yang mungkin hanya dimengerti oleh kita sendiri, tertuang didalamnya. Sensasi-sensasi yang dulu mencuat, dinamika perasaan, bisa kita rasakan kembali kelak, saat kita membaca ulang diary. Diary menjadi media penya­daran bagi kita bahwa hidup kita itu sebe­narnya menyi­rat­kan banyak makna, ba­nyak romantika, sesepele apapun tam­paknya. Kita jadi belajar menghargai hidup.

Serangan Modernisasi

Pentingnya menulis diary sudah disadari oleh orang-orang sejak beratus-ratus tahun yang lalu, sudah diprak­tekkan, sudah banyak yang mengutip manfaatnya. Akan tetapi, zaman tetap bergerak sehingga yang baru selalu muncul dan yang lama tergerus. Kebia­saan menulis diary termasuk hal yang kini mulai tergerus.

Hadirnya jejaring sosial internet men­jadi salah satu faktor utama yang mengi­kis ke­biasaan menulis diary. Jejaring sosial memandulkan kemam­puan untuk menulis­kan siapa sebenarnya diri kita secara eksis­tensial (seperti yang berlang­sung saat menu­lis diary), dan kita dibawa untuk masuk ke dunia yang lebih praktis. Jejaring sosial mena­warkan sejuta harapan. Seakan-akan, derajat diri kita naik, karena kita sudah berin­teraksi dalam skala global. Padahal, kita hanya bersolek di dunia maya, hanya ilusi.

Aktualisasi diri tepat apabila yang kita coba aktualkan adalah karakter diri kita yang sebenarnya. Dan itu hanya bisa di dapat jika kita mempelajari jejak empiris kita, pengalaman-pengalaman kita. Diary menjadi jawaban atas hal tersebut. Sebuah kemalangan sebenarnya, disaat kebanyakan kaum muda (terutama pelajar) yang memilih jejaring sosial sebagai sarana utama aktualisasi diri.

Saya pernah menonton sebuah film yang pada salah satu adegannya memba­has hal ini secara ringkas. Kira-kira bunyinya seperti ini, "Untuk apalagi menulis diary? Itukan kerjaan orang yang tidak bisa bersosial, sekarang sudah ada twitter, disana pemi­kiran kita bisa di-share kapan saja." Pernyataan tersebut lebih saya terima sebagai sebuah kritik. Karena, banyak hal yang sesung­guhnya tak bisa tergantikan dari kebiasaan menulis diary, tapi mengapa kita lebih memilih twitter? Mampukah twitter menga­badikan kisah kita untuk kita kulik lagi di hari tua nanti? Twitter perlu, tapi fungsinya jauh beda dengan diary. Twitter bukan pengganti diary.

Sudahkah anda menulis diary? Jika belum, tulislah. Tidak ada kata terlambat untuk ini. Diary adalah media reflektif yang efektif untuk kita memaknai diri, mema­hami eksistensi. Ka­laupun kini dunia maya dengan jejaring sosialnya gencar me­narik kita dengan sejumlah fitur-fitur terbarunya, jadikan itu sebagai media pembantu, yakni sebagai sarana komunikasi (sebagaimana fungsi awalnya).

Menulis diary merupakan salah satu bentuk kesadaran sejarah, pelajaran-pelajaran yang tersirat hari ini dituliskan agar dapat menjadi referensi pertimba­ngan empiris yang logis bagi pembangu­nan diri di hari esok. Karena, sejarahlah yang membentuk karakter. ***
*Penulis aktif di KDAS.
Dimuat pada harian Analisa pada hari Sabtu, 29 November 2014

Ironi tentang Hutan Kita

Oleh: Erwin Sipahutar

Hutan kita yang begitu luas (dulu) lama menjadi kawasan primadona diantara hutan di dunia (Amerika, Brazil, Kuba, dan lain-lain). Permasalahannya, deforestasi dan pembakaran hutan yang begitu masif kian hari kian menggila. Berbagai catatan-catatan tragis tentang (di)gundulnya hutan, entah itu dibabat atau dibakar semakin mengenaskan. Status sebagai paru-paru dunia yang kita genggam, sudah menjadi pertanyaan.

Dalam kurun satu dekade terakhir, jutaan hektar hutan musnah. Apa penyebabnya? Beberapa tahun terakhir, pembakaran hutan  terutama di Sumatra dan Kalimantan menimbulkan jutaan ton asap yang menyelimuti Asia Tenggara, utamanya Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand. Belum lagi pembalakan liar dan pengalihfungsian ribuan bahkan jutaan hektar lahan menjadi tanaman komoditi ekspansi seperti kelapa sawit (palm oil). Bisa dibayangkan betapa luasnya hutan kita yang rusak. Rentet realitas penghancuran terhadap hutan ini ibarat borok lama yang  tak kunjung sembuh dari tubuh bangsa ini.

Vandalisme dan Kerakusan

Perusakan hutan merupakan vandalisme besar. Vandalisme sederhananya berarti pengerusakan yang dilakukan secara sengaja, baik pengerusakan yang dilakukan tanpa motif tertentu (keisengan) maupun tindakan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri seperti halnya pengerusakan terhadap hutan. Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia tidak terjadi secara alamiah, ada tangan-tangan manusia yang menjadi pelaku dibalik semua ini.

Dalam penentuan siapa pelakunya, seringkali yang dikambinghitamkan adalah masyarakat kecil. Dalam perbincangan sehari-hari, masyarakat perkotaan seringkali merujuk pada  keberadaan masyarakat kecil yang berdiam di sekitar hutan tersebut sebagai biang keladi. Hal ini wajar. Mengingat, mereka berada di kota, fakta di lapangan berada jauh dari pengamatan langsung mereka.
Memang ada kemungkinan bahwa masyarakat kecil merupakan salah satu pelaku. Misalnya, pengerusakan dilakukan demi orientasi pembukaan lahan pertanian baru, pengambilan kayu bakar atau pembuatan tiang-tiang rumah. Tetapi perlu kita pahami masyarakat sekitar hutan selama ini juga berperan dalam menjaga dan melestarikan eksistensi hutan.




Sebagai contoh, kita bisa melihat masyarakat yang ada di Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir. Masyarakat disana menolak keras terhadap pembabatan hutan yang ada di sekitar Tele. Dengan alasan bahwa hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat desa. Seperti sumber air untuk diminum, mengairi lahan persawahan, juga sebagai tempat pengambilan ramuan-ramuan tradisional yang digunakan sebagai obat alami.


Ada sebuah budaya unik yang diturunkan para orang tua kepada anak-anak mereka disana. Apabila seorang anak kedapatan melakukan tindakan yang merusak hutan atau sumber air, maka para orang tua akan menakut-nakuti anak tersebut dengan mengatakan bahwa disana adalah tempat Oppung Penjaga Hutan (leluhur) yang akan marah apabila hutan dirusak. Penulis mengetahui hal ini sebab penulis pernah tinggal disana selama 2 tahun.

Berbicara kemungkinan, justru perusahaan besar yang lebih layak dituduh sebagai dalang kerusakan hutan daripada msyarakat kecil, mengingat kerusakan hutan di Indonesia tidak lagi dalam skala minor. Tujuannya apalagi kalau bukan dimaksudkan sebagai mesin penghasil miliaran bahkan triliunan rupiah yang dikeruk selama bertahun-tahun.

Berbagai motif pengerusakan tersebut misalnya konversi hutan menjadi lahan ekspansi sawit, pengerukan bahan tambang, pengolahan bubur kertas (pulp) dan sebagainya. Dengan peralatan canggih seperti alat berat tentunya dengan modal raksasa hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Celakanya proyek raksasa ini juga sering berjalan tanpa memperhatikan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Posisi masyarakat sekitar hutan justru menjadi korban.
 Kondisi paling menyita akhir-akhir ini adalah masalah kebakaran hutan di Riau. Fenomena kabut asap yang begitu tebal menjadikan Riau sebagai daerah yang udaranya masuk pada tingkat dengan udara yang berbahaya. Sumatra Utara, utamanya Medan juga menerima dampak walau belum sampai dalam tingkatan berbahaya. Tak pelak ini menjadi masalah cukup serius bagi masyarakat kita dewasa ini. Selain ancaman bagi kesehatan, produktifitas kerja di berbagai sektor juga pasti akan berimbas
Inilah realita ketamakan yang luar biasa besar. Sifat rakus yang menyedihkan mengalamatkan kita menjadi mahkluk termiskin yang hanya memandang kucuran-kucuran dolar sebagai sebuah kekayaan utama diatas segalanya. Tidak memandang hutan, pohon dan berbagai hal lain didalamnya sebagai sebuah kekayaan besar yang perlu dirawat. Menafikan fakta bahwa sebatang pohon mampu memberikan oksigen untuk hidup dua orang manusia dewasa.

Perubahan iklim, polusi udara dan berbagai efek lainnya menjadi ganjarannya. Bisa kita rasakan pemanasan global yang semakin meningkat, cuaca yang tak menentu, polusi udara atau bencana alam dan sebagainya menjadi akibat yang sudah,  sedang dan akan kita tanggung.

Kontribusi Holistik
Tindakan dari pemerintah sangat penting dalam menghempang maraknya pengerusakan hutan dan berbagai akibatnya ini. Bukan hanya mengeluarkan kebijakan namun harus juga diikuti dengan pelaksaanaan kontrol di lapangan. Dalam berbagai kasus, kebijakan yang dikeluarkan lalu dibiarkan begitu saja umumnya hanya berbuah mandul. Tinggallah kebijakan sebatas kebijakan diatas kertas tanpa berbuah sesuatu yang berarti.

Jika ditelisik, sepanjang satu dekade terakhir rezim Presiden SBY (2004-2014) telah dua kali menetapkan moratorium pemberian ijin baru yakni, Inpres no 10 tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru Pengelolaan Hutan hingga 2013, dan Inpres no 6 Tahun 2013 tentang Perpanjangan Penundaan Izin Baru Pengelolaan Hutan hingga 2015. Namun faktanya berbagai ‘perselingkuhan-perselingkuhan’ pengerusakan hutan masih tetap terjadi

Di satu sisi, ketegasan pemerintah dalam mengeksekusi perusahaan-perusahaan yang tetap membandel masih sangat lemah dan terkesan dibiarkan. Sementara disisi lain, masyarakat sekitar (sipil) yang ketahuan menebang atau membuka lahan pertanian sekalipun dalam skala kecil justru dihantam dengan hukuman yang cukup berat lantas dijadikan sebagai biang utama. Fakta belum adanya satu perusahaan raksasa pun yang ditetapkan sebagai tersangka, menimbulkan berbagai spekulasi negatif. Seakan ada tindakan pembiaran. Tak ayal kesan  ini membuat pengrusakan hutan secara masif semakin menjadi-jadi.

Era baru pemerintahan Jokowi-JK pada 2014-2019 mendatang diharapkan menjadi era baru untuk  pemeliharaan dan pemanfaatan hutan yang lebih waras. Moratorium kedua yang berlaku hingga 2015, yang dikeluarkan oleh rezim SBY, patut diawasi pelaksanaannya secara efektif di era yang lebih segar ini.

Persoalan hutan adalah tanggungjawab bersama. Partisipasi menyeluruh dari berbagai elemen lain seperti NGO, pemerhati lingkungan dan masyarakat juga akan sangat berarti kontribusinya dalam membantu pemerintah memerangi ‘hantu-hantu’ perusak ini. Untuk pemanfaatan hutan yang lebih sehat, demi terciptanya keadilan iklim, lingkungan, serta rakyat makmur dan sejahtera. Sebab amanah undang-undang sejatinya adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat banyak. ***  
*Penulis aktif di KDAS Medan
Dimuat pada harian Analisa pada hari Senin, 6 Oktober 2014.

Yogyakarta Kota Berbudaya



Oleh : Jhon Rivel Purba

Dari beberapa daerah/kota yang pernah saya kunjungi di Indonesia, belum ada seindah Yogyakarta. Yogyakarta memang begitu istimewa. Masyarakatnya ramah, menghargai perbedaan, nyaman dan cukup aman, biaya hidup murah, banyak terdapat obyek wisata, iklim pendidikannya segar, tersedianya buku-buku berkualitas, kesadaran berlalu lintas baik, dan sebagainya. Karenanya, tidak salah ketika Yogyakarta dijuluki sebagai kota budaya, pelajar, kota wisata, kota buku, dan berhati nyaman. 

Penulis sendiri menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta pada pertengahan Mei 2011. Pagi itu saya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, kemudian menaiki taksi menuju Jalan Kaliurang Km. 5. Sopir taksinya ramah. Sepanjang perjalanan kami bercerita. Ketika tiba di alamat yang saya tuju, saya menanyakan biayanya. Alangkah terkejutnya saya ketika biayanya hanya Rp. 15.000. Sangat murah. Hal yang bisa saya tangkap di hari pertama tersebut adalah bahwa si sopir taksi (mewakili orang Yogyakarta) suka menolong, ramah dan menghargai pendatang. 

Pengalaman lainnya, ketika beberapa kali handphone saya ketinggalan di warung makan, handphone tersebut diamankan oleh pihak warung sebelum dikembalikan pada saya. Begitu juga dengan flashdisk, ketika beberapa kali ketinggalan di warung internet (warnet) maupun tempat foto copy, selalu diamankan dan dikembalikan oleh pihak warnet atau karyawan foto copy. 

Dalam berkomunikasi, seringkali penduduk Yogyakarta menyebutkan kata "maaf", "terima kasih", dan menanyakan "apa yang bisa saya bantu?". Ucapan yang disampaikan dengan lembut tersebut benar-benar membuat hati terasa nyaman. Sungguh nyaman. Julukan Yogyakarta berhati nyaman benar-benar terasa. 

Maka tidak mengherankan, ketika saya berada di Jakarta atau Manado atau daerah lain, kota yang paling saya rindukan bukanlah kota kelahiran saya (Medan), melainkan Kota Yogyakarta. Bagi saya (setidaknya hingga saat ini) Kota Yogyakarta adalah kota surga. Surga dalam pendidikan, surga ketenangan batin, surga wisata, surga budaya, surga kesederhanaan, dan surga keberagaman. Masih banyak lagi yang bisa saya ceritakan untuk menggambarkan Yogyakarta sebagai kota surga.

Yogyakarta adalah wujud Indonesia mini. Sebagai kota pelajar, Kota Yogyakarta didatangi oleh pelajar/mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang dengan membawa budaya masing-masing. Hal ini membuat Yogyakarta menjadi indah berwarna-warni. Demikian juga sebagai kota wisata, Yogyakarta didatangi oleh turis dari berbagai daerah maupun negara luar.

Di satu sisi, realitas seperti ini membuat Yogyakarta semakin indah dan dinamis. Tetapi di sisi lain, hal ini menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik. Kedatangan orang luar di Yogyakarta, bagaikan membawa daging dan juga duri. Dikatakan daging karena bisa menambah pendapatan daerah, memperluas lapangan kerja/usaha, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta. Dikatakan duri karena dapat menciptakan masalah baru, seperti kemacetan lalu lintas, mengganggu kenyamanan, dan menciderai toleransi yang selama ini terbangun baik. 

Kicauan Florence
Adapun Florence Sihombing, mahasiswa S-2 FH UGM, yang beberapa hari lalu membuat kicauan kontroversial di pathnya menjadi topik pembicaraan hangat. Media cetak dan elektronik memberitakannya. Bagaimana tidak, dia dinilai menghina masyarakat Yogyakarta atas kicauannya berisi "Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja". Kicauannya itu akhirnya bagaikan mematuk dirinya sendiri. Beberapa elemen masyarakat memprotes dan mengutuk Florence atas pernyataannya di media sosial tersebut. Protes tidak hanya lewat media sosial, tetapi juga di jalanan dan proses hukum. 

Terlepas dari kekesalan yang dialami Florence sebelumnya sehingga dia membuat kicauan provokatif, bagaimanapun juga tidak bisa diterima. Kicauannya itu terkesan arrogan, tidak etis, dan tidak punya landasan yang jelas. Sangat disayangkan seorang yang berstatus mahasiswa pascasarjana di universitas ternama menebarkan sentimen. Padahal sebagai kaum intelektual seharusnya sudah di tataran penyebaran ide/argumen, bukan sentimen. Saya sebagai mahasiswa pascasarjana UGM sangat merasa malu. Pernyataan Florence tersebut lebih cocok sebenarnya ditujukan pada dirinya. 

Kemudian, protes yang dilakukan warga terhadap Florence bisa dipahami sebagai bentuk rasa cinta pada Yogyakarta dan juga keberagaman yang ada di dalamnya. Mereka tidak mau Yogyakarta yang dikenal selama ini sebagai kota budaya, pelajar, dan keberagaman, dinodai oleh siapapun khususnya para pendatang yang menebar kebencian. Protes warga dan juga mereka yang mencintai Yogyakarta, tentu menjadi pelajaran berharga terutama dalam menjaga keharmonisan di Yogyakarta khususnya dan di Indonesia umumnya. 

Selain itu, kasus Florence juga menjadi pembelajaran bagi siapapun yang menggunakan media sosial. Masalah-masalah pribadi apalagi yang menebar kebencian, tak patut diposting di media sosial. Setiap postingan dan komentar yang dibuat seseorang, bisa menggambarkan kepribadian si penulisnya. Media sosial sebaiknya digunakan sebagai alat untuk mencerahkan, mencerdaskan, dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi sesama pengguna media sosial. 

Kembali ke Yogyakarta, kita ingin kota ini tetap sebagai kota berbudaya yang tumbuh berkembang dengan keberagamannya. Oleh karena itu, maka semua pihak (khususnya pendatang) hendaknya menjaga keharmonisan dan nilai-nilai budaya yang ada di Yogyakarta.***

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana FIB UGM Yogyakarta
 Dimuat pada Harian Analisa, Kamis 4 September 2014.

Rabu, 16 Oktober 2013

Review Buku “Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam” oleh Rafael Edy Bosko



Bagaimana sebenarnya keberadaan masyarakat adat di muka bumi ini? Jika secara ontologis mereka diakui sebagai manusia yang sama dengan masyarakat manusia lainnya, bukankah berarti mereka memiliki hak yang sama? Atau secara fundamentalis, pertanyaannya adalah, apakah mereka memiliki hak asasi sebagai manusia? Tulisan ini ingin mengetengahkan problem masyarakat adat dalam diskursus hak asasi manusia atau hak mereka sebagai masyarakat adat. Apalagi saat ini yang sangat menonjol adalah perampasan hak generasi ketiga, yakni pembangunan dan lingkungan oleh penguasa dan pengusaha terhadap mereka.
            Tanah dan sumber daya alam sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat adat untuk mempertahankan eksistensinya. Sejarah telah menjadi saksi “takdir buruk” berkenaan dengan hak mereka terhadap tanah, sumber daya alam, dan perjuangan mereka untuk tetap  bertahan hidup. Namun dalam masa penjajahan, tanah dan wilayah mereka dirampas oleh para kolonial. Tidak hanya itu, mereka juga disingkirkan ke wilayah “tapal batas”, yaitu tanah yang pada waktu itu dianggap sebagai tanah terlantar dengan nilai ekonomi yang sangat kecil. Perampasan dan marginalisasi masyarakat adat pun terjadi bersama dengan hilangnya pertahanan atau eksistensi mereka.
            Proses perampasan dan marginalisasi tersebut berlangsung hingga pada abad ini dengan kondisi yang semakin parah, yakni tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum.[1] Dalam banyak kasus, hal ini disebabkan oleh upaya mengejar pembangunan eknomi bersama dengan kebutuhan ekonomi global. Pembangunan ekonomi nasional dan tuntutan ekonomi global telah memacu meningkatnya kebutuhan sumber daya alam yang sangat tinggi. Hal ini berujung pada “pencarian global” terhadap sumber daya alam bahkan sampai ke daerah perawan di seluruh dunia, termasuk ke wilayah-wilayah di mana masyarakat adat hidup.
Kalau dahulu dianggap sebagai daerah tanpa nilai karena terpencil dan tidak menguntungkan, maka dewasa ini tanah perawan milik masyarakat adat ini akhirnya diidentifikasi sebagai wilayah yang kaya sumber daya hutan, bahan-bahan mineral, dan sumber daya air. Proses perampasan, penindasan, dan pengabaian yang berkelanjutan telah membawa masyarakat adat di seluruh dunia kepada perjuangan yang sama untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka, temasuk hak atas tanah  dan sumber daya alamnya.

Hak-hak Masyarakat Adat dalam Hukum Internasional: Sebuah Tinjauan Sejarah
            Gagasan tentang hak-hak masyarakat adat dapat dilacak dari awal masa periode kolonial, ketika para misionaris dan cendekiawan yang menaruh perhatian terhadap nasib masyarakat adat mencoba untuk memastikan bahwa masyarakat adat di daerah kolonial terlindungi dari tindakan-tindakan dari para pendatang dan orang-orang yang ingin memperoleh akses  ke tanah dan sumber daya alam mereka dan menjadikan mereka tenaga kerja. Fransisco de Vitoria merupakan pioner aliran ini yang disebut Aliran Hukum Internasional Spanyol (Spanish School of International Law) pada abad XV mengkritik cara kolonial merebut tanah dan hak-hak orang Indian yang dijadikan tenaga kerja. Aliran ini menegaskan bahwa Indian memiliki kewenangan dan hak-hak asli yang otonom atas tanah, dimana orang Eropa harus menghormatinya.[2]
            Tidak hanya sampai di situ saja,  kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat pun sudah tercantum dan masuk dalam pembahasan hukum internasional pada akhir Perang Dunia I. Hal ini tampak dari konvenan Liga Bangsa-Bangsa pasal 22 tentang “bangsa yang belum mampu untuk berdiri sendiri di tengah kondisi dunia modern yang berat” dan melihat dalam “ketentraman dan perkembangan” mereka sebuah “peradaban luhur”. Demikian juga dengan pasal 23 yang mengharuskan para anggota dari Liga Bangsa-Bangsa untuk melakukan tugas positif untuk berusaha memastikan perlakuan yang adil terhadap masyarakat adat dari wilayah yang berada di bawah kontrol mereka.
            Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wujud baru dari Liga Bangsa-Bangsa tidak memberikan perhatian pada permasalahan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini bisa terlihat pada pasal 73 Piagam PBB yang hanya merujuk pada “wilayah dimana penduduknya belum memperoleh secara penuh sistem pemerintahan sendiri. Tentu saja ini merupakan suatu konsep yang tidak ada relevansinya dengan isu masyarakat adat. Ada pun demikian halnya, PBB sejak awal pembentukan telah menempuh beberapa kebijakan yang berhubungan dengan nasib dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat tersebut dengan membentuk lembaga-lembaga penelitian.
            Selain lembaga penelitian, ILO dan badan khusus PBB lainnya juga memberi perhatian terkait permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat sejak 1920-an. Hingga pada saat ini juga hukum internasional mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat termuat dalam Konvensi 169 ILO yang mulai berlaku pada 5 September 1991 dan pada bulan Mei 1998 telah diratifikasi oleh 13 negara. Konvensi ini menyediakan rezim hukum pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat secara cukup memadai. Meskipun demikian, mekanisme penerapannya lemah karena tidak ada prosedur pengaduan khusus yang tersedia bagi masyarakat adat untuk membawa kasus mereka ke depan ILO.

Masalah-Masalah Berkenaan dengan Hak-Hak Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Alamnya
1.      Kegagalan atau Keengganan Negara-Negara untuk Mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat terhadap Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam
Dalam banyak praktik, negara menyatakan bahwa tanah dan sumber daya alam milik masyarakat adat adalah tanah publik atau milik raja. Seperti didirikannya cagar alam atau taman nasional di Nikaragua tanpa mempertimbangka populasi adat di kawasan itu. Di Indonesia sendiri, terdapat ambivalensi atau dualism hukum yang mempengaruhi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah mereka.

Di Indonesia sendiri, UUPA tahun 1960 mengakui eksistensi masyarakat hukum adat yang terlihat jelas dalam Pasal 3 - dengan berbagai batasan seperti kepentingan publik atau nasional – hak-hak dari masyarakat hukum adat atas tanah mereka yang disebut hak ulayar (hak menguasai atas tanah dan wilayah mereka). Namun demikian pada saat yang sama, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang kemudian disusul dengan peraturan pelaksanaan, yaitu PP No. 21 Tahun1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Peraturan ini antara lain menentukan bahwa “hak-hak masyarakat hukum adat dan anggotanya untuk mengambil hasil hutan, pelaksanaannya perlu  ditertibkan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan” (pasal 6 ayat 1) dan bahwa “di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka  pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan” (pasal 6 ayat 3).

2.      Hukum dan Kebijakan Diskriminatif yang Berdampak Pada Masyarakat Adat dalam Hubungan dengan Tanah dan Sumber Daya Alam Mereka
Di masa modern, praktik penghapusan kepemilikan tanah secara sewenang-wenang ini hanya diterapkan pada masyarakat adat. Misalnya kasus Tee-Hit-Ton Indian versus Amerika Serikat. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menegaskan bahwa pengambilalihan tanah oleh pemerintah federal terhadap tanah yang dikuasai dengan hak Indian asli (atau hak pribumi) tidak menimbulkan hak atas kompensasi apa pun. Hal ini berlaku meskipun Konstitusi Amerika Serikat dalam Amandemen Kelimanya dengan jelas mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil hak milik tanpa melalui proses hukum yang adil dan fair (due process) dan kompensasi yang adil.

3.      Kegagalan atau Keengganan untuk Memberi Batas
Demarkasi tanah, diikuti oleh proses administratif seperti registrasi dan sertifikasi, adalah proses formal untuk mengidentifikasi lokasi actual dan batas-batas tanah dan wilayah masyarakat adat dan secara fisik member tanda pada batas-batas tersebut di lapangan. Di Indonesia hak ulayat bukan merupakan hak yang harus diberi batas, didaftar, dan diberi sertifikat. Keengganan pemerintah Indonesia untuk melakukan demarkasi mungkin sebagian diakibatkan oleh kenyataan bahwa sangat banyak kelompok masyarakat adat yang mengklaim hak kepemilikan atas tanah atau wilayah yang sama. Sehingga hal ini menyebabkan seringnya muncul konflik antara masyarakat adat dan non masyarakat adat, atau antar masyarakat adat sendiri.

4.      Kegagalan atau Keengganan Negara-Negara untuk Melaksanakan atau Menerapkan Hukum yang Melindungi Tanah Masyarakat Adat
Perundang-undangan yang dinilai protektif tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan implementasi yang benar, misalkan saja seperti di Brazil. Meskipun wilayah Yanomami telah didemarkasi, pemerintah Brazil tidak menyediakan sumber daya yang memadai untuk mencegah invasi ribuan penambang emas. Dan di satu sisi, masyarakat adat tidak mampu untuk melindungi dirinya dan wilayahnya karena tidak tersedia bantuan hukum yang efektif yang dapat ditempuh. Seperti kasus lain di Indonesia, bahkan ketika masyarakat adat telah berhasil mengambil upaya hukum melalui pengadilan dan memenangkan kasus mereka, keputusan pengadilan menjadi tidak berarti karena munculnya surat ketua Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi.

Pembangunan Sumber Daya Alam di Tanah Masyarakat Adat: Kasus-Kasus Penting
Wilayah masyarakat adat telah menjadi sasaran utama proyek pembangunan yang dibuat pemerintah dan pengusaha, seperti proyek pengembangan listrik tenaga air (bendungan) dan pemukiman kembali, pertambangan, serta industri bioteknologi dan farmasi. Di Amerika Serikat, daerah reservasi (bagi orang Indian) terbukti menyimpan sejumlah besar cadangan mineral, kayu, margasatwa, dan sumber air[3]. Di perkirakan 65% cadangan uranium Amerika Utara terdapat di dalam daerah reservasi Indian Amerika. Wilayah reservasi ini merupakan tempat bagi 80% penambangan uranium yang dilakukan di Amerika Serikat dan pemrosesan uranium seluruhnya  dilakukan di daerah reservasi ini.[4]
Hal ini secara sengaja dan terpaksa mendepak masyarakat adat dari sumber daya alamnya. Sehingga mereka dapat juga disebut sebagai “korban pembangunan”, karena sebagian besar hasil dari proyek pembangunan tersebut ditujukan kepada pemerintah dan pengusaha. Selain itu, kerugian yang ditanggung oleh masyarakat adat yang berada di areal pertambangan dan pemrosesan uranium yaitu mereka mengalami gangguan kesehatan disebabkan radiasi. Tidak heran jika hal ini terjadi karena memang mereka, terlebih sebagai pekerjanya tidak diberi pakaian pelindung atau bahkan informasi penting mengenai resiko terkapar uranium.
            Di Ekuador, aktivitas perusahaan-perusahaan minyak, seperti Petroecuador-anak perusahaan Texaco, sebuah perusahaan transnasional Amerika telah membawa dampak yang parah terhadap kehidupan dan lingkungan masyarakat adat yang tinggal di sana. Kurangnya kepercayaan terhadap hukum domestic mendorong masyarakat adat setempat melakukan class action melawan Texaco di Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk menuntut ganti rugi atas rusaknya wilayah mereka. Akan tetapi, tuntutan mereka ditolak dengan alasan forum non-conveniens dan rasa hormat internasional (international comity). Alih-alih pun menempuh upaya damai.
            Sedangkan masyarakat adat di Papua Nugini melalukan aksi yang cukup frontal dengan mengangkat senjata dalam melawan perusahaan pertambangan batubara dan pemerintah. Tindakan perlawanan mereka menyebabkan ditutupnya pertambangan dan adanya gerakan separatis sampai saat ini. Serupa dengan hal itu, masyarakat adat di Nigeria melakukan protes  serta melakukan perlawanan terhadap Shell dan pemerintah pusat akibat kerusakan lingkungan dan bagi hasil yang tidak adil dari industri minyak yang beroperasi di tanah  mereka. Perlawanan mereka dibalas dengan penindasan yang brutal oleh rezim militer tahun1995.
            Di Indonesia sendiri, akibat adanya ambivalensi dan dualisme seperti yang dijelaskan di atas telah menyebabkan berpindah dan terpinggirkannya masyarakat adat yang tinggal di hutan tropis Kalimantan, karena tanah mereka telah diambil untuk industri kayu. Padahal banyak masyarakat adat yang tinggal atau menggantungkan hidupnya di areal tersebut mengalami nasib yang sama seperti di Guyana, Suriname, dan Malaysia.
            Proyek pembangkit listrik tenaga air (bendungan)  juga mengakibatkan gangguan paling parah yang harus dialami oleh masyarakat adat. Kebutaan mereka akan politik, mengakibatkan pengambilalihan tanah dengan mudahnya oleh pemerintah melalui proses hukum yang tidak adil. Di banyak negara, terutama negara berkembang, dukungan finansial terbesar untuk  pembangunan bendungan diperoleh dari Bank Dunia. Bank Dunia telah mengadopsi Operational Directive 4.20, yaitu suatu panduan kebijakan yang khusus dibuat dalam rangka melindungi masyarakat adat, hanya mengalokasikan sebagian kecil dari anggaran proyek (yang dibiayai oleh bank) untuk biaya rehabilitasi.[5] Penggenangan tanah mereka dapat menghancurkan sejarah dan budaya mereka. Proyek-proyek tersebut tidak  hanya mengancam kehidupan mereka, tetapi juga identitas mereka sebagai masyarakat adat. Tidak heran jika protes dan perlawanan terhadap pembangunan bendungan selalu menjadi bagian dari perjuangan masyarakat adat.
            Misalkan saja Bendungan Sardar Sarovar di  sepanjang lembah sungai Narmada di India. Masyarakat khususnya masyarakat adat yang dipaksa atau diancam untuk ikut dalam program pemukiman kembali yang kepemilikannya secara adat tidak terdokumentasi sehingga tidak memenuhi persyaratan pembuktian dalam sistem hukum negara, dan oleh karenanya dianggap tidak berhak atas ganti kerugian tanah ganti tanah terlibat atau bergabung dalam aksi protes damai dan mogok makan.
            Pemindahan secara paksa tersebut ditambah dengan dampak negative terhadap lingkungan proyek menuai kritikan dari dalam maupun luar negeri. Kritikan tersebut membuat Bank Dunia yang menyediakan sejumlah dana yang besar untuk proyek tersebut membentuk sebuah badan peninjau yang independen dengan nama Inspection Panel untuk mengkaji aspek sosial dan lingkungan tersebut.  Namun demikian,w walau bukti dari membangun bendungan selama 50 tahun telah menunjukkan bahwa bendungan mega-hidroelektrik tersebut sangat tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, karena pinjaman dan dana masih dialirkan dari Bank Dunia.



[1] H. Reynolds, dikutip dari John Connel dan Richard Howitt, “Mining, Dispossesion and Development”, 1991, hal. 5.
[2] S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, 1996, hlm. 10.
[3] Coggins, George Cameron dan James Donley, “Natural Resources Development on Native American Indian Reservation in the US”, dalam Gary D, Meyers, The Way Forward: Collaboration and Cooperation ‘In Country’, National  Native Title Tribunal, hlm. 92-93.
[4] Sachs, Aaron, Eco-Justice: Linking Human Rights and The Environment, worldwatch Institute, 1995, hlm. 28.
[5] Independent Commission on International Humanitarian Issues (ICIHI). Indigenous Peoples: A Global Quest, 1987, Zed Book, London, hlm. 55.