Rabu, 27 Agustus 2008

Tangisan Kaum Tertindas

Oleh: Cahriady Purba

Dimana matamu
Ketika ku sekarat
Aku pucat otot gemetar menahan lapar
Rintihan hati begitu menusuk iris jiwaku
Asaku hilang di telan gelap pekat
Kucoba bertahan tubuh terkulai
Mengapa semua mata buta
Sesungguhnya aku pantas untuk di lihat

Dimana telingamu
Ketika ku berteriak
Teriakkan suara kebenaran
Suarakan duka penindasan
Semua bisanya didengar
Bukan mendengar
Mengapa semua telinga tuli
Sesungguhnya aku pantas tuk didengar

Dimana tanganmu
Ketika ku jatuh
Bangkit berdiri kucoba
Bukannya ditolong aku
Aku dicampakkan lagi
Ke kubangan lumpur kesengsaraan
Hartaku dirampas usahaku digusur
Mengapa semua tangan keji
Sesungguhnya aku pantas untuk ditopang

Dimana hatimu
Ketika ku tersakiti
Ketika kawan sebangsaku busung lapar
Giji buruk, bayi penerus bangsa mati
Dulu semua itu dibuat janji-janji
Tuk hisap semua simpati
Mengapa semua hati buta lalu mati
Sesungguhnya aku pantas tuk perhatian hati
Tak perlu lagi dibayar dengan mati

Semangat Rakyat Merdeka

Oleh: Edward Silaban

Kemerdekaan ini merupakan hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Perjuangan dengan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan dalam diri rakyat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka menjadi modal utama untuk mengisi kemerdekaan ini. Dengan spirit yang berkobar-kobar rakyat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dari Sabang sampai Merauke. Ini membuktikan semangat juang yang tinggi telah hidup dalam hati sanubari rakyat. Oleh karena itu, begitu pentingnya arti kemerdekaan ini bagi rakyat Indonesia yang belum merasakan kebebasan.
Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penjajahan dan berdiri di atas kaki sendiri lepas dari penjajahan luar. Kemerdekaan yang dimaksud jangan hanya sebatas lepas dari penjajahan tetapi lebih daripada itu. Perayaan HUT kemerdekaan Indonesia ke-63 ini hendaklah menjadi sebuah refleksi terhadap segala permasalahan yang ada. Kemerdekaan itu harus dimiliki oleh semua rakyat, bukan hanya satu lapisan tetapi semua lapisan merasakan makna kemerdekaan itu. Patut kita sadari kemerdekaan ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pertama, kemiskinan semakin tidak terbendung lagi. Dimana banyak rakyat yang menderita kelaparan dan belum mendapat akses kesehatan sehingga keberadaanya terabaikan. Kemerdekaan yang mereka rasakan masih sebatas kemerderkaan dalam angan-angan belum menyentuh hidup mereka.

Kedua, pendidikan yang tidak merata. Di beberapa daerah masih terdapat penduduk yang buta huruf. Angka buta huruf semakin bertambah karena mereka belum menikmati pendidikan. Hal ini terjadi karena kurangnya peranan pemrintah sebagai pengambil kebijakan dalam mewujudakan masyarakat adil dan makmur.

Ketiga, secara tidak langsung negara ini masih dijajah oleh bangsa asing. Terbukti adanya ketergantungan terhadap negara lain yang mengakibatkan rakyat semakin menderita. Apakah ini namanya bangsa yang merdeka (freedom)? Kemerdekaan itu adalah milik kita bersama rakyat Indonesia. Bukankah semasa penjajahan kita mengatakan “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas dijajah oleh bangsa lain”.

Masalah bangsa adalah masalah kita bersama yang harus dimerdekakan. Mari kita isi kemerdekaan ini dengan spirit dan kekuatan rakyat. Apabila rakyat sejahtera maka negara akan kuat. Sudah saatnya untuk memahami persoalan bangsa, termasuk penderitaan yang dialami rakyat. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kemerdekaan ini bukan sebatas konteks tetapi kemerdekaan yang membebaskan. Jangan pernah menghilangkan kemerdekaan dari ingatan rakyat. Mari wujudkan mimpi bahwa kemerdekaan ini adalah kemerdekaaan rakyat yang bebas dari segala bentuk penderitaan. Dengan semangat rakyat yang berkobar-kobar teriakkan kata merdeka!merdeka!merdeka!***


Penulis adalah mantan ketua KDAS

Pesan Merdeka

Oleh: Randy V. Persie

Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Dan sang saka merah putih
Masih setia berkibar
Di atas bumi manusia Indonesia
Merah berarti berani Bung
Berani pertahankan kebenaran
Berani menentang ketidakadilan
Berani hidup biasa demi kaum papa
Putih berarti suci Bung
Suci dalam berjuang
Suci sejak dalam pikiran
Suci dalam perbuatan

Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Ia bukan sekedar simbol
Sebab butuh perjuangan sungguh para pendahulu
Tapi mengapa kita tidak benar-benar merdeka
Sebab kita tidak memiliki keberanian
Sebab kita belum hidup dalam kesucian

Wahai bangsaku
Tiadakah kegelisahan mengusik
Tiadakah terbersit tanya dihati
Sampai kapan negeri ini benar-benar merdeka
Merdeka berfikir
Merdeka berpendapat
Merdeka berkaryaMerdeka dari kemiskinanIa bukan milik segelintir orang
Karena merdeka adalah hak kita semua

Wahai bangsaku
Kita semua hanya orang biasa
Dijadikan Tuhan luar biasa
Untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa
Bersama kita isi kemerdekaan
Dengan berani
Dengan suci
Persembahan agung bagi ibu pertiwi
Yang telah lama menanti

Kelak
Di bawah tiang bendera
Bersama kibaran merah putih
Kita teriakkan
Merdeka, merdeka, merdeka
Merdekalah Indonesiaku
BANGKIT INDONESIA
Oleh: Cahriady Purba*


Enam puluh tiga tahun sudah
Indonesia merdeka bebas siksa
Semua bangsa bersorak ria
Dengan jerih payah asa bergelora
Ribuan nyawa telah bersimpah darah
Bukanlah hal yang mudah
Bukan dibayar murah
Tuk gapai Indonesia merdeka


Tapi entah mengapa
Jiwa ini masih dihantui gelisah aku gundah
Aku bersuka tapi hatiku terbalut duka
Kucoba telusuri masa
Aku mencari makna
Aku gelisah kemerdekaan itu dimana
Kita merdeka tapi bangsa terbungkus, takut belum sirna
Kita memang penuh fenomena

Kucoba renungkan nasib bangsa
Kuambil cermin untuk berkaca
Tapi aku malu melihat wajah bangsa
Bangsaku penuh parasit
Benalu KKN bertebaran dimana mana
Bangsaku masih penuh ruang kebodohan
Bangsaku penuh luka berbalut perban kemiskinan

Aku menangis melihat mereka yang tak kunjung luput tangisnya
Lambungku perih melihat bangsa rawan giji buruk kelaparan
Ulu hatiku sakit melihat mereka yang masih terbungkam tertindas
Aku gelisah melihat mereka yang serakah tak bersedekah
Yang hidupnya serba warna warni pernak-pernik mewah

Bangkitlah Indoneisa
Kinilah saatnya menghias harumkan wajah bangsa
Kita bangkitkan jiwa kita bangun bangsa
Kita gali habis bukit kebodohan kita tutup lubang kemiskinan
Bebaskan yang tertindas hentikan penggusuran
Tebas koruptor kikis nafsu korupsi bangsa
Jauhlah egoisme apatismemu generasi muda
Dengan nasionalisme patriotisme, bangkitlah Indonesia

Mahasiswa Departemen Akuntansi USU
Anggota KDAS

Bukan lembu, Bukan Banteng, Tapi Singa

Oleh: Cahriady Puarba

Bukan, bukan lembu
Bukan tuk ciptakan lembu-lembu
Yang setia jadi babu
Pendidikan bukan bentuk lahirkan itu
Sebab lembu hanya lembu
Susu diperah tenaga diperas tarikkan pedati
Sebab lembu adalah buruh-buruh
Tak terbiasa berpikir olah sawah
Hanya bisa ratapi alam kaya yang berlimpah ruah
Jadi tunggangan kapitalis untuk merambah
Kapitalis yang jadikan gunung jadi kawah
Tuk korek keruk habis tembaga timah

Bukan, bukan pula ciptakan banteng-banteng
Pendidikan bukan lahirkan banteng
Sebab banteng hanya terbiasa beradu
Provokasi massa keruhkan suasana
Banteng nasionalismenya hampa
Banteng kerap kali penghianat bangsa
Jadi perpanjangan tangan asing yang penuh tega
Yang penuh hasrat kacaukan kuasai negara tercinta
Banteng berkubang di kas negara
Kacaulah suasana bangsa

Bukan, bukan lembu
Bukan banteng
Tapi untuk ciptakan singa
Pendidikan adalah untuk bentuk lahirkan singa-singa muda
Tuk jadi pemimpin-pemimpin kuat tuk bangsa dan dunia
Ditakuti semua bangsa di seluruh penjuru dunia
Tangguh juga bijaksana
Mencari solusi dalam setiap suasana
Sungguhlah singa tak kan kelaparan
Karena mereka setia berbagi dalam kesatuan persatuan

Pendidikan
Bukan lembu bukan banteng
Bukan ciptakan itu
Tapi lahirkan singa
Gemakan raungan di seluruh penjuru dunia
Kan takut gentar semua bangsa

Mewariskan Semangat Juang 45

Oleh: Cahriady Purba

Kunci perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita merupakan warisan yang harus tetap kita pertahankan. Kunci itu hanya berbentuk suatu wadah yang bersatu padu antara kegigihan, keberanian, semangat rela berkorban, dan perasaan senasib sepenanggungan yang disulut dengan api nasionalisme yang membara.
Tanpa ada nasionalsime pejuang ’45 kita, tidak ada yang namanya bangsa (bangsa Indonesia). Yang ada hanyalah perjuangan yang terpecah belah oleh ego-ego lokal regional yang sangat rapuh untuk dipecah belah kaum penjajah. Apalagi pejuang dulu rawan politik “devide et impera” Belanda.

Mustahil kita dapat memasuki babak baru (babak menikmati dan mengisi kemerdekaan) ini tanpa adanya roh semangat juang dalam raga mereka. Kita patut mensyukuri semangat juang mereka. Tapi yang menjadi pemasalahan sekarang adalah : sudahkah kita mewarisi kunci kemerdekaan (semangat juang) itu ?
Faktanya kita hanya sebatas menceritakan (layaknya dongeng sebelum tidur), bukan menularkanya. Ini terlihat jelas dari menjamurnya aliran egoisme dan apatisme berkebangsaan generasi sekarang. Dalam seluruh sistem kita telah ternoda oleh aliran apatisme dan egoisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme. Boleh dikatakan ini adalah aliran sesat yang kedua. Dalam sistem kehidupan sosial aliran ini teleh menyebar seperi virus yang membuat kita tidak mau tahu dengan permasalahan yang ada. Pudarnya sistem gotong royong, rasa kekeluargaan, dan hilangnya keramahtamahan bangsa merupakan contohnya. Orang lain tidak bisa makan atau tertindas ,sementara kita berlimpah kita tidak perduli. Yang sangat kontras dalam sistem sosial sekarang adalah keinginan untuk berkuasa, lalu memeras dan menguras.

Demikian juga pendidikan kita telah larut dalam godaan dan rayuan kapitalisme. Pendidikan sebagai media yang diharapkan menularkan semangat juang ’45 hanya sekedar menceritakan, bukan mewariskan. Banyak lembaga pendidikan mulai tingkat SD, SLTP, SMU, apalagi Perguruan Tinggi tidak pernah lagi melakukan upacara bendera demikian juga instansi pemerintahan. Padahal, paling tidak melalui upacara bendera kita selalu diingatkan oleh semangat juang pahlawan kita agar semakin termotivasi berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan tetap menjunjung nasionalisme.

Ini adalah fenomena yang menyesatkan, memudarkan , bukan memajukan bangsa. Apakah kita mau bangsa kita ini kehilangan identitasnya ? Perlu kita ingat bahwa Sang Merah Putih adalah lambang keberanian, kegigihan semangat, serta kesucian perjuangan pahlawan kita. Harus kita hargai. Peringatan HUT ke-63 RI ini bukanlah kebetulan atau tradisi tahunan, melainkan kesempatan untuk mengingatkan serta menumbuhkan kembali semangat juang ’45. HUT RI ini juga adalah roh yang menegor para koruptor bangsa, penghianat bangsa, provokator, serta seluruh genaerasi yang hilang roh nasionalismenya. Mari kita mewarisi bersama kunci kemerdekaan (semangat juang ’45) ini, bukan dengan sebatas merayakan, merenungkan atau mendokumentasikan, melainkan harus menularkan. Kita satukan perjuangan kita. Kita tuntun roh nasionalisme masuk dalam diri bangsa. Sekali merdeka selamanya merdeka.***

Mempertanyakan Kesejahteraan Umum

Oleh: Jhon Rivel Purba

Tujuan utama penjajahan di muka bumi ini adalah untuk kepentingan ekonomi (gold). Itulah yang melatarbelakangi masuknya pihak asing ke Nusantara (Indonesia sekatang) . Penjajah melakukan segala cara untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, seperti melalui monopoli perdagangan, sistem tanam paksa, kerja paksa, sewa tanah, dan menggunakan kekuatan militer. Namun rakyat pribumi tidak tinggal diam tetapi melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga pada 17 Agustus 1945, Indonesia mencapai kemerdekaannya. Artinya, negeri ini bebas menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Sudah 63 tahun Indonesia sebagai negara yang berdaulat, namun kesejahteraan umum yang dicita-citakan tampaknya hanya mimpi. Kesenjangan sosial ekonomi semakin tinggi, puluhan juta rakyat berada di bawah garis kemiskinan, pengangguran, anak telantar, gelandangan, pengemis, dan permasalahan sosial lainnya merupakan tanda tanya besar sebagai negara merdeka. Padahal, negara kita kaya akan sumber kekayaan alam tetapi yang menikmatinya hanya sebagian kecil orang.

Sistem ekonomi Demokrasi Pancasila yang kita harapkan mewujudkan rakyat sejahtera ternyata lemah di lapangan, melainkan sistem ekonomi kapitalislah yang berkuasa menancapkan kukunya di negeri ini. Lemahnya sistem ekonomi kita tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan rakyat, politisi koruptor, mafia peradilan, dan pengaruh kapitalisme global.

Di negara ini begitu banyak kekayaan alam yang dikuasai oleh pihak asing seperti pertambangan, perkebunan, kelautan, pertanian dan dikhwatirkan akan lebih banyak lagi sumber-sumber ekonomi yang terkuras jika pemerintah lemah. Rakyat dijadikan kuli di negeri sendiri dengan upah yang murah. Padahal jika beranjak pada konstitusi, seharusnya sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat. Di sisi lain, pangsa pasar kita dibanjiri oleh produk-produk asing seperti elektronik, tekstil, dan bahan pangan. Sedangakan industri rakyat banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dan kurangnya perhatian pemerintah. Pertanyaan sederhana sebagai negara agraris, mengapa kita mengimpor beras? Kondisi ini jika dibiarkan, menyebabkan kita terjangkit penyakit “ketergantungan” sehingga Indonesia sulit bangkit.

Mungkinkah terwujud kesejahteraan umum?
Hal inilah yang menjadi refleksi kita bersama dalam memperingati momen HUT kemerdekaan RI yang ke-63. Sebab mewujudkan kesejahteraa umum adalah cita-cita dan tanggung jawab kita bersama. Kita pasti bisa bangkit dari keterpurukan. Merdeka. ***

Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Terlupakan

Oleh: Roganda Simanjuntak

Itulah memang kenyataannya bila kita menanyakan siapakah Tan Malaka kepada masyarakat kebanyakan. Nama Tan Malaka sangat jarang disebutkan dalam kurikulum pelajaran sejarah mulai dari dulu sampai sekarang, kalaupun disebut itupun hanya sekilas. Berbeda dengan tokoh-tokoh pelaku sejarah seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan yang lainnya. Sehingga nama Tan Malaka kurang populer ditengah masyarakat.

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat 2 Juni 1897 dan dibunuh secara tragis oleh TNI pada 19 Februari 1948 yang jenazahnya dibuang ke Sungai Brantas di Kediri Jawa Timur. Namanya lebih dikenal sebagai tokoh gerakan kiri Indonesia (meski tenggelam oleh nama DN Aidit) ketimbang tokoh pergerakan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan perannya dalam mendirikan Partai Komunis Indonesia, yang di masa kepemimpinan Soeharto menjadi "barang haram". Suasana politik termasuk penguasa yang berkuasa dan perilaku yang diperlihatkannya dalam memegang kekuasaan, seringkali memberikan kesulitan yang luar biasa dalam menempatkan seorang tokoh secara wajar, proporsional, jujur dan objektif. Ini dapat dilihat dari logika kekuasaan yang dalam sejarahnya seringkali ditampakkan dengan jalan pengaburan sejarah, pemutarbalikkan fakta atau melebih-lebihkan fakta yang ada.

Meski gelar pahlawan kemerdekaan nasional yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 tidak pernah dihapus oleh pemerintah Orde Baru, namanya dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Perlakuan tidak adil pada Tan Malaka oleh pemerintah Orde Baru tidak berhenti begitu saja. Rupanya mereka berusaha menghapus nama Tan Malaka dalam sejarah Indonesia.

Perjuangan Yang Dilakukan

Berbicara tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaries. Pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan. Yang oleh the founding fathers menyebut Tan Malaka sebagai bapak republik Indonesia. Selama hidupnya ia hanya beberapa tahun saja merasakan kebebasan dan berjuang di tengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada di pengasingan atau dalam penjara. Tidak hanya berperan di dalam negeri untuk melawan segala bentuk penjajahan melainkan melanglang buana di beberapa negara dimana kekuatan penjajah bercokol. Dengan taktik metode penyamaran berhasil masuk ke berbagai negara karena beliau adalah incaran dari agen-agen intelijen negara imperialis. Terhitung sejak pertama kali ia terjun dalam aktifitas politik yang sebenarnya, yaitu sejak kepindahannya dari Sumatera ke Jawa pada Juni 1921 dan setelah itu ia bergabung dengan PKI serta jabatan ketua PKI sempat ditangannya. Kemudian pembuangannya yang begitu lama, menimpanya ketika tuduhan mengganggu keseimbangan yang berusaha dijaga oleh pemerintah Hindia-Belanda jatuh padanya itu terjadi pada Maret 1922. Karena itu praktis Tan Malaka hanya mempunyai waktu satu tahun lamanya untuk berjuang. Kalau dihitung-hitung selama hidupnya praktis hanya mempunyai waktu dua tahun lamanya untuk berjuang secara terbuka. Aktivitasnya selama di dalam maupun di dalam negeri, sebagai pejuang yang menebarkan benih-benih anti kolonialisme dan anti kapitalisme hanya diketahui secara samara-samar dan tak jarang yang tersebar adalah cerita fiktif, baik yang memujanya ataupun yang mencemooh.

Dengan berawal dari pembentukan kursus-kursus Tan Malaka mendirikan sekolah sekolah bagi anak-anak anggota Sarekat Islam untuk penciptaan kader-kader baru. Hingga nantinya sekolah-sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintah Hindia Belanda lewat aksi-aksi pemogokan , disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Dalam sistem berpikirnya, Tan Malaka banyak menempatkan nasionalisme sebagai hal yang terpenting, baginya nasionalisme adalah perwujudan dari merdekanya Indonesia yang didasarkan atas sosialisme dan bersatunya kekuatan-kekuatan revolusioner, terutama kekuatan Islam dan nasionalis serta komunis. Pada mulanya ia berharap banyak dari PKI sebagai partai pelopor, namun bukan sama sekali untuk memonopoli dunia pergerakan. Tan Malaka yakin bahwa PKI tidak akan mampu memonopoli dan berjuang sendiri melawan Belanda yang kuat dan otoriter, apalagi ia mengetahui bahwa PKI sebagai organisasi politik belum berakar di dalam masyarakat ketika itu. Ia menambahkan dalam negara yang berpenduduk mayoritas Islam, maka Sarekat Islam adalah satu kekuatan revolusioner dan keliru apabila PKI memusuhinya.

Walaupun ia menjadi ketua PKI dan wakil Comintern untuk Asia Tenggara pernah dijabatnya, bukanlah dia berarti komunis dalam pengertian umum yang biasa, setidaknya ia bukanlah orang yang dogmatis dan doktriner dalam menerjemahkan ajaran-ajaran Marxis. Sikap bebas yang dikembangkannya di Comintern dan pertikaiannya dengan PKI, menempatkannya bahwa sebenarnya dia juga seorang nasionalis.

Tan Malaka dalam melihat revolusi Indonesia tidak berhenti pada revolusi politik semata namun melihatnya sebagai revolusi yang global sifatnya, mulai dari revolusi menghapuskan feodalisme, revolusi kemerdekaan dan revolusi sosial. Revolusi sosial yang isinya harapan terhadap hadirnya masyarakat yang adil dan makmur.

Karya-karya Tan Malaka

Tan Malaka dikenal juga sebagai intelektual, disamping sebagai pejuang yang cerdik. Dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu mentalitas dan sistem pemikiran yang mistis-pasif menuju kepribadian nasional yang rasional-aktif, ia berjuang dengan pena, dengan menulis banyak artikel dan buku. Ia banyak menghasilkan berbagai tulisan yang lahir dari kondisi objektif yang terjadi pada saat itu dengan analisa yang sangat tajam. Beliau yang hidup dan berkarya pada zaman Hindia Belanda, zaman Jepang atau zaman sesudah Indonesia merdeka mengalami perkembangan dan perubahan di dalam menganalisa setiap zamannya.

Diantara sejumlah tulisannya merupakan hasil perenungan dari ideologi, analisa masyarakat, program, strategi dan taktik serta organisasi. Sejumlah tulisan tersebut adalah: Sovyet atau Parlemen, SI Semarang dan Ondewijs, Toendoek Kepada Kekoesaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran, Goetji Wasiat Kaoem Militer, Naar de Republiek Indonesia.(Menuju Republik Indonesia), Semangat Moeda, Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia, Massa Actie, Manifesto PARI, Materialisme-Dialektika-Logika, Asia Bergabung, Politik, Rentjana Ekonomi, Moeslihat, Thesis, Dari Penjara Ke Pendjara, Koehandel di Kaliurang, Surat Kepada Partai Rakyat, Proklamasi 17-81945, Isi dan Pelaksanaannya, Uraian Mendadak, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).

Salah satu bukunya yang sangat terkenal berjudul Madilog. Ditulis di Jakarta, selama 8 bulan mulai dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. karya terbesar dari Tan Malaka ini diniatkannya sebagai upaya untuk merombak sistem berpikir bangsa Indonesia, dari pola berpikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional. Tanpa perombakan cara berpikir, sulit rasanya bangsa Indonesia untuk maju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialistik. MADILOG sebagai konsep berpikir yang memadukan tiga unsurnya yaitu MAterialisme, DIalektika dan LOGika, merupakan kesatuan dan tidak boleh dipisah-pisah.

Madilog inilah konsep revolusi pemikiran yang ditawarkan Tan Malaka kepada bangsanya agar sejarah perbudakan tidak terulang kembali. Madilog adalah sebuah konsep pemikiran dari Barat dimana Tan Malaka mengakui kontribbusi Marx dan Engels dalam perumusan metode berpikirnya yang dinilai rasional, untuk melawan apa apa yang di dalam MADILOG disebutnya sebagai cara berpiir ke-Timuran yang kuno, idealistik dan penuh dengan mistik, yang menyebabkan bangsa Indonesia terjajah dengan demikian lamanya serta membuat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan. Di dalam MADILOG akan ditemukan karya yang disajikan dengan menggunakan banyak terminologi Marxis, namun perjuangan kelas atau antagonisme kelas tidaklah mendapat tekanan berulang-ulang dari Tan Malaka ketimbang kekuatan gagasan sebagai penggerak perubahan sosial.

MADILOG dinyatakan oleh Tan Malaka bukan sebagai pandangan dunia atau filsafat, namun cara berpikir. Meskipun demikian diakui olehnya bahwa hubungan keduanya rapat sekali. Dari cara orang berpikir didapatkan filsafat dan dari filsafatnya dapat diketahui dengan metode apa sampai ke filsafat itu. Dicontohkan olehnya apabila seorang murid yang cerdas bila ia mengetahui satu kunci atau satu undang-undang untuk menyelesaikan satu golongan persoalan, maka dia tidak harus menghapalkan berpuluh-puluh atau beratus-ratus jawaban.

Perjuangan Tan Malaka untuk menuju kemerdekaan 100% ternyata tidak dilajutkan oleh generasi berikutnya mulai dari awal proklamasi hingga saat sekarang. Kekuatan modal asing yang kembali berkuasa yang terus mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam negeri ini ibarat benalu yang terus menghisap pohon yang disinggapinya yang perlahan-lahan mulai layu. Republik Indonesia yang adil dan makmur serta kemerdekaan 100% sesuai dengan cita-cita Tan Malaka harus terus digemakan kepada generasi sekarang. Pastinya kekuatan dan penguasaan negara imperialis di Indonesia harus segera disingkarkan menuju cita-cita tersebut. Kekuatan politik rezim yang berkuasa saat ini harus juga menegaskan kembali perjuangan dari Tan Malaka, walaupun rezim yang berkuasa hari ini adalah antek-antek dari negara imperialis. Tetapi sejarah harus tetap terbuka dan setidaknya nama Tan Malaka harus diakui dan dipahamani oleh bangsa ini, memperkenalkan Tan Malaka kepada generasi sekarang sebagai sosok pejuang revolusioner yang menggelorakan kemerdekaan menuju Indonesia adil dan makmur.***

Pendidikan dan Kemerdekaan

Oleh: Jhon Rivel

Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, merupakan hasil perjuangan selama ratusan tahun menghadapi penjajah asing (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang). Perjuangan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi dikuatkan oleh semangat nasionalisme. Kesadaran nasionalisme ini muncul dari kalangan pelajar/pemuda terdidik yang melihat kesengsaraan rakyatnya akibat eksploitasi penjajah. Sehingga perasaan senasib dan sepenanggungan mengakar di dalam tubuh pemuda yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 1928. Artinya, pendidikanlah yang menjadi ujung tombak menyadarkan rakyat untuk membebaskan negerinya dari segala bentuk penindasan sehingga tercapailah Indonesia Merdeka.

Sudah 63 tahun negeri ini mengarungi samudera kemerdekaan, dan selama itu juga telah banyak perubahan yang terjadi baik dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, di negara yang berdaulat ini. Namun banyak perubahan yang justru bertolak belakang dari cita-cita para pendiri bangsa. Patut dipertanyakan, mengapa di negeri yang sudah merdeka ini masih banyak rakyat miskin, pengangguran, anak yang tidak sekolah? Sementara kekayaan alam kita dikuasai oleh pihak asing, korupsi merajalela, hukum diputarbalikkan, pertarungan politik yang tidak sehat, dan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Apakah ini yang dinamakan merdeka? Tentu tidak, karena ini merupakan gambaran penjajahan sebelumnya. Tidak jauh berbeda kondisi sekarang dibandingkan dengan masa penjajahan Kolonial Belanda. Justru kondisi sekarang lebih buruk dari pada sebelumnya.

Dalam memaknai kemerdekaan ini, tidak cukup dengan perayaan upacara bendera, perlombaan-perlombaan, hiburan, dan kegiatan lain yang hanya menghamburkan uang dan waktu. Tetapi harus melihat kembali kondisi pendidikan kita sebagai ujung tombak perubahan. Karena inilah salah satu cita-cita kemerdekaan yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, permasalahan yang terjadi di Indonesia merupakan buah dari sistem pendidikan kita.

Permasalahan pendidikan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM kita dan semakain mahalnya biaya pendidikan. Hal ini juga disebabkan oleh anggaran pendidikan yang minim (tidak terealisasinya sebesar 20% dari APBN), ketidakadilan/kesenjangan pendidikan, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Bagaimana mungkin orang miskin bisa mengecap pendidikan yang mahal, sementara dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari sudah kewalahan. Artinya, generasi orang miskin sulit untuk bangkit dari kubang kemiskinan karena keterbatasan akses dan pada akhirnya mengikuti jejak orangtuanya yang miskin. Terkadang, mereka terpaksa mengakui bahwa Indonesia telah merdeka, padahal di dalam hatinya berkata lain.

Jika kita bercermin pada negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia ke-2, mereka terlebih dahulu membenahi sistem pendidikannya sebagai fondasi membangun bangsanya. Hasilnya tidak diragukan lagi, Jepang merupakan salah satu negara yang maju yang cukup diperhitungkan dunia internasional. Jadi, dalam merefleksikan hari kemerdekaan, sudah seharusnya melihat kembali pendidikan kita. Karena pendidikanlah yang menjadi ujung tombak mencapi Indonesia merdeka dan dalam mengisi kemerdekaan.***

Menyegarkan Kembali Makna Nasionalisme Kita

Oleh: Oscar Siagian

Membicarakan nasionalisme dalam konteks Indonesia kekinian, mengandung sarat makna. Nasionalisme tidak saja dipandang sebagi perakat, namun juga sudah mulai digugat. Tak heran, perguncingan mengenai pemaknaan ulang akan nasionalisme itu sendiri, semakin menggejala seiring dengan munculnya beragam fenomena yang mengisyaratkan bahwa nasionalisme kita mengalami reduksi. Bangsa kita tertawan beragam ulah yang tak produktif berbarengan dengan ketidakharmonisan dalam menggapai cita-cita sebagaimana diimpikan oleh para pendiri bangsa ini.

Nasionalisme

Menguarai makna nasionalisme akan lebih afdol manakala diawali dengan pengertian yang jelas terhadap Bangsa dan Negara. Sebab, nasionalisme berintikan pada kesetiaan kepada bangsa. Dalam pemahaman lebih jauh, bangsa dimaknai sebagai kesepahaman sejarah, rasa dan masa lalu, namun lebih jauh semangat itu diejawantahkan dalam ikatan sosio-politik dan teritorial bernama negara.

Menurut Dr Johannes Leimena, negara itu adalah persekutuan (gemeenschap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium). Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen).

Kita melihat bahwa negara dan bangsa adalah terjalin satu dengan yang lain. Sebenarnya negara sebagai “realitet” yang berdiri sendiri tidak ada, yang ada adalah bangsa. Negara adalah suatu organisasi dan suatu fungsi dari bangsa. Bangsa ada mengawali terbentuknya negara.

Bangsa adalah suatu persekutuan orang-orang yang memiliki satu daerah, satu bahasa, satu hasrat hidup bersama, satu sejarah, satu nasib dan satu tujuan. Pada tiap bangsa terdapat juga kesamaan cara berpikir atas dasar atau kesatuan, suatu cara beraksi atas dasar satu tujuan, suatu persamaan dalam perasaan hidup.

Ketika negara ini berdiri, sudah ada fondasi dari sebuah bangsa yang tumbuh dan berkembang. Beragam peristiwa sejarah dan titik kulminasi menjadi perekat dan keseriusan dalam membangun suatu negara baru, bernama Indonesia. Bangunan negara yang bernama Indonesia itu, didasarkan pada persamaan senasib sepenanggungan, satu rasa dan satu cita-cita sebagaimana terkandung dalam aliena IV Pembukaan UUD 1945.

UUD 1945, menjadi kontrak politik antara warga negara dengan negara. Turunan konstitusi (hukum dasar) itulah kemudian menghasilkan beragam aturan main dalam penataan ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Simbol-simbol negara, seperti lagu kebangsaan, bendera, dll, semakin menegaskan akan persamaan dan persatuan.

Indonesia yang sejahtera, berkehidupan yang cerdas, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia, adalah cita-cita kita. Itu adalah visi kebangsaan. Kita membangun, kita berjuang, mengabdi dan berproses adalah untuk mencapai tujuan yang sedemikian mulia itu.

Sejahtera berarti bahwa bangsa ini tidak memelihara kemiskinan. Sejahtera berarti, rakyat semakin dihormati. Sejahtera berarti, uang rakyat benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada korupsi. Sejahtera juga bermakna semua tatanan sosial, politik dan pemerintah bekerja dalam sistem kenegaraan.

Cerdas berarti bahwa warga negara tidak bodoh, tidak tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak buta huruf. Mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Cerdas berarti warga masyarakat tahu mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban. Cerdas berarti, tidak mau dijajah dalam bentuk apapun.

Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berarti bangsa ini hidup dalam tatanan dunia yang damai, dimana bangsa ini turut memberi kontribusi di dalamnya. Keterlibatan itu juga bisa dimaknai dalam kesigapan kita dalam mengawal keutuhan teritorial bangsa tercinta ini.

Nasionalisme Kekinian

Namun, kini, sudah 63 tahun negara ini berdiri dengan memproklamirkan tekad tersebut. Satu pertanyaan reflektif bagi kita dalam memandang bangsa ini, sudahkah negara kita bergerak maju seiring dengan pencapaian cita-cita tersebut ?

Harus kita akui, sebagai sebuah kekuatan politik, ekonomi, dan teritorial, perlahan namun bangsa ini mengalami pergulatan jati diri. Tentu banyak kegembiraan yang kita dapatkan. Pengakuan terbuka bangsa-bangsa lain atas prestasi anak bangsa, tidak boleh dipandang sebelah mata. Demikian juga prestasi olah raga yang sudah banyak kita capai di level dunia.

Namun, ada banyak perintang-perintang yang menghalangi perwujudan visi kebangsaan tersebut. Dari luar, kita merasakan hempasan arus globalisasi. Globalisasi dengan beragam turunannya, utamanya neolibralisme, dengan cepat menjarah potensi-potensi dan ciri-ciri kebangsaan kita.

Kemudian, badai perebutan batas-batas negara yang berujung pada lepasnya sebahagian pulau kita. Belum lagi kearifan lokal, seperti lagu-lagu dan tarian daerah, disambar bangsa lain.

Dari dalam negari kita menyaksikan betapa maraknya parodi pengkhianatan atas cita-cita kebangsaan kita. Dari Sabang sampai Merauke terbentang aliran korupsi. Hampir setiap instansi, juga menggambarkan hal serupa. Pejabat publik korupsi. Uang rakyat dijarah.

Belum lagi kenyataan empirik yang kita alami saat ini, dimana ratusan bahkan ribuan warga harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Di beberapa daerah, petani kesulitan mendapatkan pupuk. Aliran air untuk kepentingan lahan pertanian tak berjalan dengan lancar. Listrik padam secara teratur.

Sudahkah nasionalisme membumi diranah republik ?


Anggota KDAS, Alumni FKM USU

Korupsi Adalah Musuh Nasionalisme

Oleh: Maruli Tua

Sekali lagi saya tegaskan: bahwa musuh nomor wahid nasionalisme saat ini adalah korupsi! Mengapa? Karena korupsi telah membunuh bangsa. Bangsa sebagai elemen dasar nasionalisme telah dihabisi secara mengenaskan dan hampir tanpa perlawanan.

Nasionalisme
Ya, baiklah, sebagian besar dari kita pasti sudah tahu bahwa nasionalisme adalah suatu paham tentang kebangsaan. Bahwa nasionalisme berasal dari kata “nation” dan “ism”. Nation adalah bangsa dan ism adalah paham atau pandangan. Bahwa nasionalisme adalah pandangan atau sikap yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Bersikap nasionalis adalah berarti tidak membedakan orang atau suatu kelompok berdasarkan suku, agama, ras, ataupun golongannya. Ya, anak sekolah dasar pun sudah paham itu.

Tapi baiklah kita sekali lagi merenungkan dengan sedalam-dalamnya dan mempertanyakan kembali dengan lebih kritis: bagaimana kondisi nasionalisme saat ini? Masih relevankan itu? Bagaimana masa depannya?

Di permukaan, kita setiap hari melihat dan merasakan banyak persoalan dan konflik datang silih berganti. Sengketa pemilihan kepala daerah di Maluku Utara sampai masalah kebebasan berkeyakinan kelompok minoritas atau di luar mainstream, mahalnya uang masuk pendaftaran sekolah dan biaya buku sampai semakin kuatnya laskar atau milisi sipil berkedok agama ketimbang aparat kepolisian, penggundulan hutan secara massif sampai semakin mahalnya biaya perobatan masyarakat di rumah sakit, dan bahkan isu perekrutan sejumlah warga negara Indonesia oleh pihak Malaysia sebagai milisi sipil di perbatasan. Atau pertikaian berdarah di Poso yang ternyata lebih kuat dugaan motif korupsinya yang akhirnya mengorbankan masyarakat yang berbeda agama untuk saling membunuh. Itu semua hanyalah puncak gunung es yang nampak di permukaan.

Rakyat sebagai inti utama dari negara (baca: pemerintah) merasakan bahwa ada atau tidak ada negara seperti tidak berarti. Bahkan dirasakan bahwa negara adalah bagian dari masalah itu sendiri. Ingat dengan kasus sengketa lahan pasir antara petani di Kulonprogo, Yogyakarta, dengan Pemerintah plus pengusaha? Negara yang seharusnya mengusahakan kesejahteraan rakyat petani yang sudah puluhan tahun mengubah lahan tandus menjadi daerah pertanian subur malah memerangi petani untuk kenyamanan pengusaha berinvestasi di sana. Atau coba tanyakan kepada para pedagang pasar tradisional eks pasar Melawai, Jakarta, yang pasarnya diduga dibakar, yang sejak Agustus 2005 melawan kesewenang-wenangan aparat Pemda Jakarta plus konglomerat Agung Podomoro Group: bagaimana negara memperlakukan mereka? Bahkan kepada sejumlah guru di Lubuk Pakam, Sumatera Utara, yang digerebek oleh tim Densus-88 Anti Teror: bukankan karena tekanan negara secara tidak langsung yang menyebabkan mereka berusaha ”menyelamatkan” murid dan stakeholder sekolah dengan melakukan kecurangan?

Salah satu akar permasalahan dari hal-hal tercontohkan di atas adalah korupnya sistem dan mental birokrat dan aparatus negara. Lupakan dulu tentang moralitas atau seberapa rajinnya para penyelenggara negara tersebut beribadah atau memberikan sumbangan sosial dan keagamaan. Abaikanlah seberapa manisnya wajah dan janji-janjinya di media massa ataupun di poster-poster dan umbul-umbul sepanjang jalan yang merusak pemandangan.

Korupsi

Bahwa Indonesia (baca: penyelenggara negara) adalah paling korup, saya yakin sebagian terbesar kita pasti mengangguk setuju. Kompas edisi 21 Juli 2008 mengungkapkan sebagian fakta bahwa Pemerintah dari Aceh sampai Papua terjerat korupsi. Sepanjang tahun 2008 dilaporkan adanya 23 kasus korupsi oleh sejumlah pejabat negara. Bayangkan, baru sampai pertengahan 2008! Lagi, dalam berita utama Kompas edisi 22 Juli 2008 diungkapkan fakta sebagian kasus korupsi yang muncul atau di proses selama tahun 2008, mulai dari BUMN, departemen, sampai komisi negara. Eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR/DPRD), dan yudikatif (peradilan/hakim) kolaps!

Memahami akar permasalahan korupsi di Indonesia masih relevan dengan memakai pisau analisis Syed Hussein Alatas, pendekatan William J. Chamblis dan teori Milovan Djilas. Ketiganya menganalisis korupsi melalui dasar-dasar sosiologis (George Junus Aditjondro, 2001).

Syed Hussein Alatas (SHA) cenderung melihat peranan segelintir tokoh yang berintegritas tinggi. Inti analisis SHA adalah: pertama, unsur-unsur pokok korupsi: subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan dan keuntungan pribadi, unsur kerahasiaan, dan pelanggaraan terhadap norma-norma umum; kedua, tipologi korupsi: suap (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme; ketiga, korupsi dalam suatu masyarakat/bangsa/negara bisa berkembang dari stadium pertama sampai ketiga. Pada fase stadium ketiga, kondisi ini masih dapat diselamatkan apabila masih ada segelintir orang yang punya integritas tinggi yang memimpin kampanye dan pemberantasan korupsi di masyarakat/bangsa/negara itu. Hal ini mirip seperti ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap KPK untuk memenjarakan sebanyak-banyaknya pejabat negara yang tidak tersentuh hukum dalam kasus-kasus korupsi.

William J. Chamblis melihat korupsi sebagai bagian integral dari setiap birokrasi, akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi, yang merupakan satu cabal yang tertutup, sulit dibongkar dari dalam dan juga tidak mudah diubah dari luar (pendekatan struktural). Cabal adalah kolaborasi sistemik antara pengusaha dengan birokrat & politisi dan aparat penegak hukum untuk mengamankan kepentingan bersama. Sulitnya menerobos cabal dari dalam karena solidnya kolusi antar aktor tersebut dan dari luar karena melimpahnya "ikan teri" yang siap dikorbankan untuk diadili dan melindungi "ikan kakap atau paus". Contoh paling aktual adalah kasus suap pengusaha Arthalyta Suryani kepada jaksa Urip Tri Gunawan atau kasus korupsi dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR dan menteri.

Milovan Djilas dengan teori munculnya "kelas baru" di negara-negara sosialis, studi kasus Uni Soviet dan Yugoslavia, dimana kelas baru itu timbul akibat konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi di tangan satu elite nasional (nomenklatura) yang dipilih oleh Komite Sentral Partai Komunis untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Mirip dengan struktur kelas di masa Orde Soeharto (1967-1998) yang saat ini strukturnya menjadi lebih kecil per daerah seiring dengan penerapan otonomi daerah ataupun di pusat dengan struktur dimana penguasa menjadi pusat dengan pembagian "kue ekonomi" yang bertingkat dan fakultatif.

Selain itu, bahaya laten korupsi massif dengan daya rusak luar biasa adalah korupsi politik yang di Indonesia dikenal dengan istilah money politics. Political corruption menurut Paul Heywood (1997), mencakup: corrupt activities which take place either wholly within the public sphere or at the interface between the public and private spheres-such as when politicians or functionaries use their privileged access to resources (in whatever form) illegitimately to benefit themselves or others. Contoh paling sederhana adalah kebiasaan sebagian pejabat yang menggunakan mobil negara untuk belanja ke mall atau rekreasi dengan keluarganya. Apalagi level korupsi politik pada saat ini sudah mencapai fase banalitas atau tingkatan dimana aksi korupsi oleh para penyelenggara negara sudah dianggap wajar dan disesali sebagai kesialan kalau terungkap secara hukum serta sikap masyarakat yang cenderung permisif terhadap korupsi dan koruptor.

Nasionalisme vis a vis Korupsi

63 tahun bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat berperang terhadap korupsi sebagai musuh nasionalisme yang riil dan paling mematikan. Dalam perayaan hari kemerdekaan tahun ini, setiap anak bangsa terutama kaum muda menemukan momentum paling tepat untuk merefleksikan secara jujur dan mendalam berbagai persoalan bangsa dan dinamikanya. Kaum muda juga harus bersatu untuk mengidentifikasi musuh sejati nasionalisme yang selama ini telah melemahkan dan menghancurkan setiap fondasi persatuan dan kesatuan rakyat dan bangsa Indonesia. Iblis itu salah satunya adalah korupsi!

Melihat sejarah dan memandang masa depan akan menjumpai hal yang sama karena dan kalau masalah korupsi tidak serius dituntaskan. Menghancurkan korupsi sampai ke akar-akarnya seperti yang dilakukan Soeharto dan mesin politik-militernya terhadap PKI-Komunisme bisa dijadikan pelajaran. Dan kaum muda (baca: kritis-progresif) lah yang paling bisa diharapkan karena tidak memiliki beban sejarah dan intelektualitas-idealisme yang kuat. Pangkal persoalannya adalah ketidakadilan sosial dan ekonomi. Alat ketidakadilan itu adalah korupsi yang telah bermeta-morfosis menjadi tujuan. Saat ini, kaum muda kembali dipanggil untuk tampil merebut “kemerdekaan” yang sejati. 63 tahun yang lampau Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Leimena, Tan Malaka, dan sederet kaum muda lainnya merebutnya dari Belanda dan kaum kolonialis lainnya. Nasionalisme terbukti mampu memberikan energi luar biasa bagi lahirnya kemerdekaan. Rakyat sebagai pendukung utamanya adalah nasionalis sejati. Sejarah akan kembali mencatat: korupsi atau nasionalisme yang akan keluar sebagai pemenang perang besar ini. Dan kita adalah penentunya!***


Anggota KDAS, Alumni FE-USU

Nasionalisme: Masih Adakah?

Oleh: Samuel Purba

Apa yang dimaksud dengan nasionalisme Indonesia adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Indonesia dari eksplorasi kaum kaya-kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oleh oknum/ lapisan bangsa Indonesia sendiri. Wataknya adalah watak pemerdekaan, pembebasan, pertolongan, dan pengangkatan kaum miskin dan kecil (Y.B. Mangunwijaya, 1997).

Noe, vokalis grup musik Letto, pernah menggugat makna kata Indonesia - khususnya bagi generasi muda saat ini - dalam sebuah tulisannya di harian Kompas. Kata Indonesia sudah sangat sering diasumsikan sebagai perwakilan dari hal-hal yang sifatnya negatif. Kalau ada berita tentang korupsi mereka akan katakan “ Indonesia banget !!!”. Kalau menjumpai pelayanan yang lambat dan birokratits mereka juga akan mengatakan “ Indonesia banget !!!”.

Ketika mereka harus ikut upacara yang bertele-tele, ketika mereka membaca kasus tawuran antar kampung yang memakan korban jiwa, mereka akan berujar, “ Indonesia banget !!!” Ketika bertemu dengan kampanye pilkada besar-besaran yang menghabiskan uang sedemikian banyak, ketika membaca kasus busung lapar, ketika mendengar kebiasaan para wakil rakyat meminta uang pelicin atau pergi pelesir ke luar negeri dengan alasan studi banding, dan berbagai hal-hal negatif lainnya, maka yang terucap tak lain “ Indonesia banget !!!”.

Paparan Noe barangkali mewakili jiwa anak muda zaman sekarang yang diliputi kegelisahan pudarnya semangat nasionalisme. Kegelisahan yang sesungguhnya bukan hanya pudarnya nasionalisme, namun rasa malu sebagai rakyat Indonesia yang diliputi sikap menyalahkan diri sendiri tanpa berbuat apa-apa untuk kemajuan negeri.

Sedemikian parahkah citra Indonesia di mata anak negeri sendiri? Bagaimana lagi bentuk citra kita di antara bangsa lain? Tidakkah semangat kaum muda dalam membangun Budi Utomo tahun 1908 sanggup menginspirasi kita? Apakah bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya tidak mampu lagi menyadarkan kita betapa pentingnya menjadi sebuah bangsa setelah penderitaan 350 tahun dijajah?

Nasionalisme Elit Kita

Berbagai persoalan nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari peran elit kita. Seandainya para elit mampu menghidupi nasionalisme maka nasionalisme itu juga akan hidup di tengah-tengah rakyatnya. Namun kenyataannya sering sekali jauh dari harapan. Para elit terlampau sering menggunakan simbol nasionalisme untuk kepentingan sesaat lalu melecehkannya di saat lain.

Kita melihat kenyataan yang memprihatinkan pada bangsa ini. Jumlah penduduk miskin mencapai 36 juta jiwa menurut versi BPS. Kalau mengikuti standar Bank Dunia, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 110 juta jiwa. Jumlah penganggur lebih dari 11 juta jiwa. Indeks pembangunan manusia (Human Development Index) berada di posisi 111 dari 175 negara. Belum lagi kalaumelihat data angka buta huruf, angka harapan hidup, angka putus sekolah, angka import berbanding eksport, angka tingkat korupsi, maka kenyataannya kondisi bangsa ini semakin terasa sangat memprihatinkan.

Sementara semakin sering saja kita mendengar para elit mengatakan untuk mencintai produk buatan negeri sendiri, padahal di saat yang sama mereka bergonta-ganti mobil terbaru buatan Eropa dan Amerika. Kita sering mendengar ajakan untuk menghargai dokter dan sarana kesehatan dalam negeri, pada saat yang sama istri para pejabat dengan bangga mengatakan baru pulang berobat dari luar negeri dengan gangguan kesehatan yang sepele. Bukankah sebuah kenyataan yang memuakkan?

Lebih membuat kita tidak habis pikir pada saat kegiatan nasional dilaksanakan dengan sangat seremonial, penuh dengan simbol-simbol nasionalisme dan retorika elit. Menyanyikan lagu-lagu kebangsaan berkali-kali. Apakah para elit tidak terpikir bahwa kegiatan-kegiatan tersebut hampir tidak mungkin membangkitkan semangat nasionalisme?

Pada saat Aceh dan Papua bergolak, pada saat Malaysia dan Australia menyinggung simbol-simbol negara, maka para elit reaktif. Pura-pura kebakaran jenggot dan meyerukan semangat nasionalisme. Pemberontak harus ditumpas demi nasionalisme, negara-negara tersebut harus dilawan sampai titik darah terakhir atas nama nasionalisme.

Padahal pada saat yang sama dengan entengnya mereka membuat kontrak dengan perusahan multi nasional (MNCs) yang intinya menjual aset bangsa, menjual bumi, air, dan kekayaan yang termasuk di dalamnya kepada pihak asing. Hutan kita ludes, emas dan tembaga lenyap, sumber energi langka, habitat alam rusak, hutang abadi, BUMN tergadai. Semuanya dengan begitu gampang dilepaskan dari nasionalisme.

Maka jadilah nasionalisme diklaim secara sepihak menjadi wacana satu arah yakni dari elit penguasa semata. Nasionalisme tahunan. Nasionalisme bersenjata. Nasionalisme simbolis. Nasionalisme anti kritik. Nasionalisme telah menjadi manufacturing consent untuk kepentingan ekonomi politik para elit.

Pendidikan, Demokrasi, dan Nasionalisme

Dalam masyarakat kontemporer sekarang, pengaruh globalisasi dan pasar bebas telah menjadikan konsumerisme dan serba instan sebagai gaya hidup. Tradisionalisme semakin hilang. Di sisi lain fundamentalis agama semakin kuat sebagai kontra globalisasi. Sayangnya upaya pengembalian nilai-nilai agama terjebak dalam satu kacamata saja dengan pejuangan penuh simbolisme dan kekerasan.

Sadar atau tidak - baik globalisasi ataupun fundamentalis – itulah sebenarnya yang paling menggerogoti nasionalisme. Globalisasi membuat identitas bangsa terkesan menjadi ketinggalan zaman. Sementara kelompok fundamentalis menyingkirkan keanekaragaman nilai budaya dan kemanusiaanjika tidak terdapat dalam ayat-ayat kitab suci mereka.

Mencari jati diri yang utuh dalam wadah nasionalisme menjadi sulit. Jati diri nasionalisme dalam jaman globalisasi tidak bisa tidak terdiri dari berbagai lapisan yang terintegrasi dalam kepribadian dewasa (Franz Magnis-Suseno, 2006). Lapisan-lapisan itu antara lain keluarga, keluarga besar (suku atau marga), umat agama lokal, agama universal, jaringan profesi, wadah civil society, dan bangsa. Manusia dewasa merealisasikan diri secara harmonis dalam semua lingkaran sosial ini, dengan selalu terbuka bagi perluasan-perluasan baru. Makin lengkap jati diri seseorang, makin mampu ia membawa diri dalam tantangan globalisasi.

Sebaliknya orang yang mengidentifikasi diri hanya dalam satu lingkaran sosial saja akan mengalami distorsi identitas. Mereka tidak sanggup menjadi bagian masyarakat nasional atau global tanpa melakukan pemaksaan kehendak, tidak bisa berdialog di antara berbagai perbedaan, menganggap orang lain sebagai pihak yang harus diwaspadai, dan sulit membangun kebersamaan. Padahal dialog dan saling menghargai adalah benih demokrasi. Dan demokrasi adalah benih nasionalisme.

Lalu dengan kondisi seperti ini, model pendidikan seperti apakah yang diperlukan untuk menumbuhkembangkan nasionalisme? Jawabannya tak lain adalah pendidikan demokrasi. Pendidikan yang membuka kesadaran identitas kebangsaan kita, ia menyangkut persoalan mendasar pada cakrawala “ruang hidup” dan “kehidupan bersama” (Agus Suwignyo, 2008). Persoalannya adalah seberapa jauh multidimensionalitas dalam cakrawala itu disadari, digali, dan diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

Semakin menjadi persoalan saat kita kembali lagi kepada siapa yang membuat kebijakan pendidikan, yakni elit. Jika elit sendiri tidak mempunyai cakrawala berpikir yang sedemikian maka pendidikan demokrasi tetap dalam posisi terancam. Pada kenyataannya kekhwatiran itu beralasan. Visi pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas mengindikasikan kemandekan berpikir (cul de sac) para elit kita. Kata "nasionalisme" tidak terurai demikian juga maknanya.

Jadilah model pendidikan yang gagap dengan pemaksaan mutu pendidikan dengan simbol-simbol “nasional” seperti Ujian Nasional, Kecerdasan Nasional, Standar Pendidikan Nasional, dan sebagainya. Ditambah pula dengan unsur spiritual (yang juga tidak terurai) menjadikan semangat primordialisme semakin terasa dalam sistem pendidikan kita. Yang cukup mengkhwatirkan kita adalah pendidikan model ini akan mendistorsi kekhasan dankeunikan pendidikan lokal atas nama nasional.

Wacana nasionalisme sudah sepatutnya diletakkan dalam ruang publik di mana setiap kelompok masyarakat dapat dengan leluasa mengkaji dengan kritis dan memberi kontribusi kreatif di dalamnya. Nasionalisme yang seharusnya menjadi wacana dalam ruang publik ini sayangnya telah menjadi sarana ideologi negara dalam ruang privat yang diciptakannya.

Semuanya (sekali lagi) berawal kekaburan dan kedangkalan dalam memaknai dinamika “bermasyarakat” dan “bernegara”. Sebab pada dasarnya pada dinamika itulah pendidikan bertumpu. Oleh karenanya kekaburan itu harus segera dibenahi sebelum kita bisa melahirkan kembali makna pendidikan yang mendalam dan inklusif.

Menyemai Keadilan

Apa yang menjadi masalah utama dalam kehidupan bangsa yang kita hadapi saat ini adalah keadilan (J.S.Djiwandono, 2004). Pembangunan yang tidak merata untuk setiap daerah, ketimpangan struktur sosial dan ekonomi, redistribusi sumber-sumber ekonomi yang kacau, hukum yang tidak ditegakkan, adalah bentuk-bentuk kegagalan negara yang merusak semangat nasionalisme. Berbagai konflik yang berbau SARA tidak bisa lepas dari ketidakadilan yang terjadi. Hanya saja pemerintah sering mengaburkan sisi ini dan menjadikan SARA sebagai kambing hitam. Kita baru bisa bangga dengan kebangsaan kita kalau the state delivers the goods.

Oleh karenanya, kita sebagai generasi muda saat ini harus membuka mata selebar-lebarnya melihat sumber-sumber ketidakadilan yang terjadi di bangsa ini. Mencari, menemukan, lalu mengatasinya adalah solusi cerdas yang harus digarap oleh generasi muda saat ini dengan berbagai cara. Kukuhnya nasionalisme sangat dipengaruhi sejauh mana keadilan diwujudkan di negeri ini!

Bentuk konkritnya adalah belajar dengan sungguh-sungguh dan mampu mengaplikasikan ilmunya untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kita sadar bahwa di tengah berbagai arus ideologi yang berkembang saat ini, hanya nasionalisme-lah satu-satunya yang mampu menyatukan kita sebagai sebuah bangsa.

Nasionalisme saat ini juga harus kita artikan sebagai mengangkat bangsa kita dari keterpurukannya, mengangkat jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan bermartabat di mata dunia. Upaya itu bisa dilakukan dalam berbagai bidang baik sains, seni, budaya, olah raga, musik, hukum, bisnis, politik, dan bidang-bidang lainnya. Semuanya harus dibungkus dengan semangat cinta tanah air, cinta akan keberanekaragamannya, dan cinta pada rakyatnya.

Dalam masa reformasi, kita harus berani terlebih dahulu mereformasi diri sendiri, dalam arti keberanian membebaskan diri dari kungkungan cara berpikir, pola hidup, dan tingkah laku usang. Banyak di antaranya yang terjadi akibat indoktrinasi yang terjadi di masa lalu. Inilah liberation from bondage. Kalau kita sudah mereformasi diri sendiri barulah kita dapat berpartisiasi dalam proses reformasi di negeri ini.

Dengan demikian, bersama Noe dan generasi muda lain yang masih gelisah melihat pudarnya nasionalisme di negeri ini, dengan mantap kita menjawab pertanyaan: “Masihkah semangat nasionalisme ada di dirimu?” Masih dan akan terus di sana! Karena itulah jiwaku, itulah nadiku.***


Dumai, akhir Juli 2008, anggota KDAS, alumni Ilmu Administrasi Negara
FISIP USU Tahun 2003

Eksistensi Pendidikan Alternatif

Oleh: Randy V. Persie

Tak dapat disangkal lagi pendidikan adalah suatu hal yang sangat fundamental bagi kemajuan peradaban bangsa. Kualitasnya berbanding lurus dengan kesejahteraan sosial masyarakat. Keniscayaan sejarah global menunjukkan bahwa negara-negara maju mendirikan dan mengembangkan pilar-pilar peradaban pada kokohnya fondasi pendidikan. Sebut saja Cina dengan pesatnya laju pertumbuhan ekonominya. Berawal ketika Deng Xiao Ping menggelorakan kualitas pendidikan sebagai basis. Demikian pula India dengan jasa teknologi informasinya yang banyak dipakai oleh negara-negara maju. Kesemuanya itu dimulai sejak negara tersebut memacu pendidikan. Oleh karena itu pendidikan haruslah menjadi prioritas untuk dikedepankan peningkatan kualitasnya sebagai refleksi kritis penemuan solusi atas disparitas sosial dalam kemasan multidimensi permasalahan bangsa.

Mengapa Pendidikan Alternatif ?

Pendidikan selalu menjadi katrol dalam menakar pencerahan. Layaknya katrol pada sumur, semakin talinya ditarik tentu ember yang berisi air pun bergerak naik ke atas. Si penarik dapat diasumsikan warga belajar, katrol berkaitan dengan kebijakan atau sistem pendidikan yang diterapkan sementara ember berisi air mengenai berkualitas tidaknya pendidikan yang dijalankan. Tiap-tiap komponen mempunyai fungsi, tapi dalam hal ini tugas yang paling mendasar ada pada katrol. Kita bisa bayangkan bila katrol (bc. kebijakan pendidikan)nya berkarat atau rusak tentu berdampak pada buntunya proses pencerahan holistik.

Agar tidak terjebak pada kebuntuan tersebut kita juga perlu tahu bahwa pencerahan ini tidak hanya diperoleh melalui lembaga formal tapi juga informal. Meskipun memang kita bisa lihat bahwa lembaga formal jauh mendominasi proses kegiatan belajar anak bangsa. Sementara yang seharusnya diperoleh secara informal sering dianggap iseng sehingga tidak ada pun tak apa-apa. Hal ini bertendensi ketimpangan tanggung jawab sebelah pada lembaga sekolah formal. Selanjutnya hal ini bisa saja tidak menjadi masalah bila sekolah-sekolah benar-benar menerapkan serangkaian unsur pendidikan –kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun fakta menunjukkan keniscayaan anomali sistem pendidikan membelenggu daya kritis. Alih-alih mengentaskan kebodohan justru menetaskan permasalahan baru yang bergerak perlahan menjadi patologi sosial.

Dampak kebijakan baik langsung maupun tidak mengarahkan warga belajar kelak menjadi sekrup-sekrup mesin kapitalisme. Menuntun teratur generasi intelektual ke sektor-sektor dimana mereka mendapat upah, lebih vulgar teman saya menggambarkannya sebagai ‘budak-budak kapitalis’.
Globalisasi sering menjadi pembenaran atas terkontaminasinya pendidikan terhadap komersialisasi. Keagungan tujuan pendidikan pun ternodai. Muaranya degradasi moral, minus jiwa wira usaha. Sebab aspek kognitif satu-satunya dan utama dipoles, lupa betapa pentingnya juga menanamkan nilai-nilai emosional dan spiritual. Maka tak perlu heran bila kelak bersentuhan dengan kompleksnya problema kehidupan lalu terjebak pada kemandegan berfikir (cul de sag).

Fenomena ini memunculkan benih kegelisahan yang kemudian terkristalisasi dengan mengusung metode pendidikan transformatif. Pendidikan alternatif muncul dilatarbelakangi oleh disorientasi pendidikan yang kerap kali diakibatkan oleh sekolah legal formal. Kehadirannya bukanlah wujud pemberontakan sebagaimana sering dialamatkan. Namun sebuah upaya mencari metode dan cara baru bagi pendidikan kontemporer. Tidak terjebak pada keharusan belajar di ruang kelas sekolah. Menerapkan cara-cara baru dan meretas paradigma tradisional yang memang tak sehat lagi bagi pembentukan manusia seutuhnya. Hal esensial dalam pendidikan alternatif ialah pendekatannya bersifat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/ keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan bakat.

Pendidikan alternatif dapat diterjemahkan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga pendidikan legal formal. Ia menstimulasi warga belajar untuk ikut berperan aktif. Harmonisasi pemikiran, emosional dan spiritual begitu padu membentuk individu. Tidak sekedar transfer materi tetapi juga upaya memupuk dan menumbuhkembangkan rasa percaya diri warga belajar. Sehingga tumbuh keberanian mengemukakan ide secara alamiah bukan karena terpaksa seperti kebanyakan terjadi.

Mari kita eksplorasi perbandingan antara pendidikan alternatif dengan lembaga formal pendidikan. Sehingga lebih jelas kita tahu perbedaan yang paling mendasar. Melihat secara obyektif apakah memang perlu pendidikan alternatif dimunculkan atau justru ia hanya model pendidikan ‘suam-suam kuku’.

Bila dalam pendidikan formal hubungan pendidik-peserta didik ialah subjek-objek. Peserta didik terpenjara dalam kebiasaan menghapal. Nyaris tidak bersentuhan dengan realita di sekitarnya. Meminjam istilah Paulo Freire, gambaran semacam ini disebut budaya bisu. Peserta didik lebih sering terkooptasi permanen dengan apa yang ditransfer pendidik, tanpa mampu membahasakan sendiri apa yang telah diperolehnya. Sebab itu tak jarang bila ditanyakan sesuatu, maka jawaban yang akrab ialah “kata guruku…”, “dosenku bilang…”.

Materi yang ditransfer pendidik sering dibingkai dalam kebenaran baku, sehingga minus upaya menyentuhkan kebenarannya dengan realita. Fenomena sedemikian bermuara pada tumpulnya kreativitas, dan menindas kemerdekaan berfikir. Kegagalan membangun pengalaman belajar bermakna bagi peserta didik. Inilah buah pelaksanaan anomali sistem pendidikan nasional. Parahnya lagi, tidak semua warga negara bebas mengecap pendidikan. Komersialisasi pendidikan berujung pada orang miskin dilarang sekolah. Pendeknya, pendidikan formal tidak lagi ramah secara intelektual dan finansial.

Kegelisahan ini coba direspon pendidikan alternatif. Menerapkan metode yang menjembatani pengetahuan dengan realita kehidupan. Interaksi pendidik dan peserta didik ialah subjek-subjek dalam proses dialektika (diskusi) dengan realita sebagai objeknya. Pendidik lebih difungsikan sebagai fasilitator. Peserta didik dirangsang lebih pro aktif dalam proses pembelajaran. Dituntun untuk menemukan potensi masing-masing dan mendinamisasikannya. Konsep dialektika yang sehat. Dengan menjadi subyek pembelajaran, ruang pengembangan kapasitas terbuka lebar.

Misalkan, penerapan langsung rumus-rumus fisika, matematika dan lainnya terhadap benda-benda di sekitar lingkungan dan hidup mereka. Hal tersebut juga berlaku dengan mata pelajaran lainnya. Menciptakan suasana belajar yang kondusif, menyenangkan. Bukankah dengan cara demikian proses belajar mengajar lebih mudah untuk diserap. Selain itu bagaimana mendesain proses pembelajaran menjadi media refleksi terhadap kehidupan sehari-hari dan diri pribadi.
Penyelenggaraan pendidikan alternatif berusaha sedapat mungkin menjadi wadah yang akrab bagi kelompok-kelompok masyarakat yang secara geografis terisolir, marginal dan masyarakat miskin yang tidak dapat diakomodasi sekolah-sekolah formal. Beberapa yang sudah ada diantaranya, komunitas pinggir kali, komunitas anak jalanan, sekolah anak rakyat, sanggar anak dan masih banyak lagi. Di kalangan ekonomi menengah ke atas mucul gerakan homeschooling.

Pendidikan benar-benar diupayakan memberikan bekal bagi warga belajar untuk mengkaji apalagi menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sehingga mereka terbiasa mandiri dan kreatif menganalisis dan memecahkan permasalahan. Dalam kasus semacam ini, pendidikan tidak berpijak pada lantai yang semu. Pendidikan bercermin dari problematika kehidupan sehari-hari. Pendidikan demokratis, hadap-masalah.

Sekolah-sekolah alternatif diharapkan mengambil peran oposan aktif menembus kebekuan dan status quo dalam sistem pendidikan nasional. Ketika sekolah-sekolah formal (negeri dan swasta) berada dalam lingkaran hegemoni negara dan tidak berdaya untuk mengakhiri gejala dehumanisasi dalam pendidikan dan saat lembaga-lembaga pelatihan nonformal (kursus dan lembaga bimbingan belajar) ikut terseret industrialisasi dan komodifikasi ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan peran lembaga formal dan coba membanding-bandingkan dengan pendidikan alternatif. Keberadaannya tetap membawa efek positif yang signifikan, sebab dapat menjadi sinyal kejut bagi lembaga formal untuk semakin serius berbenah diri. Keduanya saling melengkapi untuk menghantarkan generasi intelektual menjadi manusia seutuhnya.

Akhirnya merunut pada makna harfiah pendidikan yang berarti menarik potensi. Maka, apapun bentuk pendidikan baik formal maupun informal, sudah seharusnya dapat menarik potensi manusia keluar. Dengan itu pula harus disadari bahwa pendidikan mengambil peran mutlak mendinamisasikan potensi tersebut. Memantapkan setiap orang untuk memilih kemampuan membedakan antara apa yang diketahui dan tidak diketahui sehingga tahu dengan jelas kemana perginya mencari sesuatu yang perlu diketahui, pada akhirnya tahu bagaimana menerapkan dan mengabdikan pengetahuan yang didapatkan.

Proses seperti inilah menunjukkan kesejatian pendidikan dalam bingkai proses pembebasan. Setiap warga belajar berkesadaran memaksimalkan potensinya sehingga tumbuh menjadi manusia merdeka sebagai proses penemuan kreatif pengetahuan dan kebenaran. Dalam arti pendidikan diorientasikan dan bermuara pada pengembangan kemampuan setiap orang untuk menerapkan pengetahuan secara bijak dan tepat, demikian whiteheard.***

Bangsa yang Cerdas: (Bukan) Sekedar Baru Bisa Mimpi (?)

Oleh : Tongam Panggabean

Republik Baru Bisa Mimpi (BBM) dan Democrazy, dua tayangan di televisi swasta yang berbeda mecoba menghadirkan dan membahas masalah-masalah ekonomi, sosial budaya, politik, hankam ideologi dan agama dalam ranah humor. Acara yang dirancang sedemikian rupa dengan pilihan latar dan tokoh yang mirip baik secara fisik maupun karakter. Sungguh sangat menarik sehingga tidaklah mengherankan keduanya termasuk rating tertinggi yang digemari pemirsa. Apakah kedua tayangan itu adalah indikator bahwa masyarakat kita sudah frustasi karena ekspektasi-ekspektasi mereka tak kunjung nyata?, benarkah republik ini masih Baru Bisa Mimpi dan berDemocrazy, mungkinkah ini bagian dari proses pendidikan pendewasaan bangsa?
Di republik nyata ini, para elit politik sedang sibuk memperkaya diri sendiri, partai politik sibuk dengan urusan memenangkan pemilu 2009. Mereka berkampanye atas nama rakyat dengan jargon-jargon berantas kemiskinan, pendidikan untuk rakyat dan sebagainya. Sambil sikut-menyikut saling ingin menjatuhkan. Lebih parah lagi, perilaku aparat pembuat hukum seperti DPR yang terjebak dalam politik konspirasi dagang sapi dalam pembuatan regulasi-regulasi dan dalam kontrol kekuatan kapitalis sehingga tidak mandiri dan anti rakyat.

Sangatlah kontradiktif dengan tujuan agung negara kita; mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang adil dan makmur. Sementara sudah sekitar 5 tahun lamanya kita menggunakan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas No 30 tahun 2003). Undang-undang yang terdiri dari 22 bab 77 pasal dan banyak menuai kontroversi. Pemerintah mengklaim bahwa undang-undang ini sebagai pengejawantahan salah satu tujuan reformasi yaitu demokratisasi dan desentralisasi pendidikan

Pendidikan (yang) sekedar Baru Bisa Mimpi dan Democrazy

Pada bab III pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas 2003 tentang penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Sungguh suatu cita-cita yang sangat mulia jika ditinjau dari tataran teoritis. Namun, kenyataan berkata lain karena kembali terjebak dalam plesetan ala pemerintah. Betapa tidak, demokrasi yang seyogianya adalah penghormatan sepenuhnya atas hak asasi manusia telah dibelenggu dengan tindakan yang otoriter.

Pertama, adanya ketidakadilan dalam praktek pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang menggunakan standarisasi. Tampaknya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tetap tidak mau tahu dan tetap menutup mata dan telinga atas kenyataan sebagian besar sekolah yang belum memperoleh pembinaan dan fasilitas pendidikan yang adil dan seimbang dari pemerintah. Sehingga seluruh sekolah di Indonesia sebenarnya belum layak mengikuti proses ujian yang sama. Sangatlah disayangkan tindakan pemerintah yang reaksioner dengan tetap melaksanakannya sebagai wujud paham otoriterian yang sudah melekat kuat. Alih-alih untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kenyataannya justru menjerumuskan siswa dan para guru ke dalam kemerosotan moral yang semakin akut.

Kedua, Apabila kita telusuri secara seksama, otonomi pendidikan sebenarnya adalah dampak langsung dari pemberlakuan otonomi daerah. Lagi-lagi secara teori, hal ini alangkah sangat baiknya jika dijalankan sebagaimana esensinya. Di mana daerah berhak mengatur kegiatan pendidikannya masing-masing dengan asumsi bahwa daerah lebih dekat secara emosional sehingga lebih mengenal dan terbeban untuk memajukan daerahnya. Pengenalan yang objektif terhadap budaya dan kearifan lokal misalnya akan lebih mengarahkan pendidikan kepada pendidikan hadap masalah yang bisa memecahkan permasalahan yang ada. Dari segi dana juga dinilai akan lebih tepat guna karena kebocoran-kebocoran akan dapat ditekan sedemikian rupa lewat pengawasan masyarakat secara langsung.

Dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen ke-4 (negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional) juga sudah jelas diatur. Konkritnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang beursia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas 2003).

Namun, sangatlah disayangkan karena di dalam implementasinya ternyata terjadi lagi penyimpangan. Sangat ironis karena kembali tejadi keambiguan. Di satu sisi pemerintah ternyata memanfaatkan otonomi daerah sebagai dalih untuk melepaskan tanggung jawab terutama dalam hal pendanaan dan membebankannya kepada masyarakat. Tampaknya pemberian tanggungjawab kepada daerah dan masyarakat semakin memuluskan usaha tersebut sebagaimana yang sudah sengaja diatur pada pasal 34 ayat 2 pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2), sedangkan di sisi lain pemerintah tetap mempertahankan sentralisasi dengan tidak memberikan otoritas kepada daerah untuk menilai sejauh mana kemajuan anak didiknya terutama dalam kemandirian pelakasanaan UN yang masih terpusat. Lalu dimana prinsip otonomi yang dimaksud?

Memang, republik ini benar-benar baru bisa mimpi. Mimpi akan guru yang berkualitas dan profesional melalui sertifikasi guru tanpa melihat terlebih dahulu sudah sejauh mana kesejahteraan guru, mimpi akan berkurangnya pengangguran dengan keinginan memperbanyak jumlah SMK daripada SMA dengan asumsi bahwa pengangguran disebabkan ketidak adanya skill para pencari kerja padahal sesungguhnya lebih disebabkan ketiadaan lapangan pekerjaan, mimpi akan penjangkauan buku yang lebih cepat dan merata di seluruh Indonesia dengan internetisasi buku yang yang tidak logis dilihat dari kemampuan ekonomi rakyat yang tidak merata dan masih banyak mimpi-mimpi lain.

Akar permasalahan

Masalah pendidikan di republik ini sudah sangat kompleks, ibarat merunut benang sudah sulit membedakan mana ujungnya, salah bertindak bisa berakibat fatal. Kompleksitas itu dapat dilihat dari persfektif sejarah kebijakan ekonomi kita.

Dependensi dengan kekuatan neoliberalisme global. Dalam arti di bawah kendali pasar. Apabila dirunut ke belakang, maka tidak terlepas dari kebijakan rezim sebelumnya yang membuka kran sebesar-besarnya terhadap kapitalisme-kapitalisme itu. pemberian lahan tambang emas di Papua kepada PT Freeport Internasional tahun 1967, menyusul kemudian Blok Cepu, Caltex dan masih banyak lagi. Alih-alih mendapatkan untung, justru yang kita dapatkan adalah puntung karena kesalahan penguasa kita sebelumnya yang tidak berpihak kepada rakyat, melainkan kepada para investor asing melalui undang-undang penanaman modal yang dikendalikan investor sendiri.

Kita telah kehilangan jati diri dan kearifan nasional dan lokal. negara dengan potensi sumber daya manusia yang besar secara kuantitas dan bisa dipacu kualitasnya, potensi agraris yang luar biasa, potensi laut yang melimpah, kandungan minyak dan tambang yang melimpah pula telah dijarah. Pemerintah tidak pernah belajar dari kebesaran kerajaan Sriwijaya dengan corak maritimnya atau Majapahit dengan corak agrarisnya yang terbukti mampu menghantarkan kedua kerajaan itu menjadi kekuatan global pada paruh waktu abad ke-7 dan ke-14. Implikasi dari semua itu adalah rapuhnya perekonomian nasional. Sedikit saja guncangan global, ekonomi kita akan goyah.

Arah republik ini tidak jelas lagi. Jerat utang luar negeri merambah kepada ketidakmandirian politik luar negeri dan dalam negeri. Intervensi kekuatan kapitalisme global sangat besar terutama dalam pembuatan regulasi-regulasi. Semakin diperparah lagi oleh para politisi dan negarawan gadungan yang korup. Tidak urung, sektor pendidikan pun jadi terkena imbasnya.

Menurut strategi neoliberalisme, seluruh kebijakan pemerintah hanya ditujukan untuk melayani kepentingan perusahaan-perusahaan swasta, bukan untuk melayani kepentingan publik yang tidak produktif sehingga tidak menghasilkan akumulasi kapital. Karena itu anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan sebagainya harus dihapuskan, karena sektor-sektor tersebut bukanlah sektor yang produktif.
Khusus untuk sektor pendidikan, tampaknya pemerintah lebih memilih untuk mengabdi kepada neoliberalisme tersebut ketimbang kepada rakyat. Kebijakan konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. Telah ditetapkan bahwa anggaran pendidkan hanya sebesar 12 % (11,8 % pada 2007) atau Rp 61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp 854,6 triliun.
Maka tejadilah privatisasi pendidikan. Sebagai hasil neoliberalisasi tersebut. Merujuk kepada pasal 19 undang-undang sisdiknas yang berbunyi; “masyarakat berkewajiban memberikan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan” dan pasal 12 ayat 2(b) yang memberi kewajiban bagi peserta didik untuk menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Ada dua implikasi yang terjadi dengan pemberlakuan pasal itu yakni, lembaga pendidikan akan dikuasai oleh masyarakat golongan The Have dan yang lain, lembaga pendidikan terancam bangkrut dan jalan satu-satunya untuk mencegah adalah dengan mengubah orientasi pendidkian menjadi capital and profitable oriented. inilah yang terjadi pada beberapa perguruan tinggi terutama perguruan tinggi negeri dengan mengubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara ( setengah negeri dan setengah swasta) bahkan lebih mudah didorong menjadi sepenuhnya berstatus swasta dengan akan berlakunya undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Mimpi benar-benar tinggal mimpi, republik ini masih baru bisa mimpi.

Pencarian Solusi

Hanya satu jawaban bagi mereka yang mengaku sebagai nasionalis dan negarawan sejati. Bangkit melawan atau dia. Sekarang yang menjadi pertanyaan lagi adalah dengan cara apa melawannya? Apakah masih mungkin, dan apabila masih, seberapa energi yang dibutuhkan, kapan akan terwujud, pada masa hidup kitakah, atau masa kehidupan anak cucu kita? Tetapi yang pasti bukan harus berorientasi kepada hasil tetapi kepada proses yang kita lalui.

Memang banyak pilihan yang bisa dilakukan. Memilih seperti yang dilakukan oleh Fidel Castro di Kuba, atau Hugo Chaves di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia dengan kebijakan negara frontal menyatakan perang dengan segala bentuk neoliberalisme atau Soekarno dengan konsep Berdikarinya?, atau bapak peletak filsafat pendidikan Paulo Freire melalui upaya penyadaran dan pemerdekaannya (pendidikan kaum tertindas dan Pedagogies of the Opressed) atau seperti yang dilakukan pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara yang melalui pendidikan ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia yang merdeka. Ada beberapa pilihan untuk tidak terjebak di dalam sekedar baru bisa mimpi dan democrazy. Yang mana harus kita pilih? Pastinya semuanya itu kembali kepada kita.


Mahasiswa Ilmu Sejarah USU 04, Mantan Ketua Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS)

Pendidikan Adalah Penyadaran

Oleh: Amin Siahaan

Prolog

Peradaban manusia adalah sebuah keniscayaan. Ia tumbuh, berkembang, dan berubah seiring usia zaman. Di sisi lain, setiap peradaban mempunyai kondisi zaman (zeitgeist) yang berbeda. Terutama pada pola kehidupan masyarakat. Paling tidak ada lima tahapan evolusi manusia. Di awali dari masyarakat berburu, berternak, bertani, beralih kepada industri kecil (home industry) sampai kepada industri besar (kapitalisme, dan kini berkembang lagi menjadi neo-liberalisme).

Bahkan, evolusi manusia ini juga merambah ke domain kepercayaan atau religi. Di mana perwujudan “Tuhan” selalu mengalami perubahan. Dimulai dari yang bersembunyi di balik fenomena alam (petir, guntur); berwujud binatang (sapi, gajah); menjelma menjadi manusia (antropomorf); dan berubah menjadi Tuhan yang gaib: tidak bisa dilihat, diraba, atau pun dicium; dan, kemudian, Tuhan yang meniada (atheis).

Peradaban umat manusia juga menghasilkan perkembangan teknologi mutakhir. Dulu, alat untuk berperang cukup menggunakan tombak dan kapak. Kini, sudah menggunakan bom atom (nuklir). Dari gambaran sederhana di atas, jelaslah bahwa setiap fase perubahan melahirkan tata pergaulan hidup yang berbeda. Lalu pertanyaannya, apa yang menyebabkan perubahan itu?

Evolusi Berpikir Awal Dari Pendidikan

Evolusi berpikir manusia setidaknya dipengaruhi dua faktor. Pertama, pertumbuhan umat manusia. Jumlah populasi manusia yang terus bertambah, mau tidak mau meningkatkan interaksi sesama manusia. Persentuhan ini melahirkan dinamika kehidupan yang bermotifkan ekonomi, politik, dan juga budaya. Ekonomi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, politik menyangkut kekuasaan (power), dan budaya melahirkan kepercayaan (religi) dan norma (etika).

Maka, persaingan hidup pun muncul. Yaitu, berusaha menguasai penuh akses terhadap ketiga pilar tersebut. Kedua, alam. Terutama berkaitan dengan faktor produksi seperti tanah dan nilai (value) yang terkandung di dalamnya. Minyak, dalam konteks kekinian, misalnya. Atau, gejala alam yang di luar kekuatan manusia untuk mengatasinya, seperti banjir, badai, gempa, juga turut memberikan andil.

Dalam prosesnya, pergumulan manusia dengan kedua faktor ini menghasilkan banyak prestasi (inovasi). Yang dikemudian hari kita sebut sebagai ilmu pengetahuan. Sedangkan media yang dipakai pada awalnya adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut kegelisahan manusia terhadap manusia dan alam itu sendiri. Yaitu pertanyaannya berupa apa, kenapa, mengapa, dan bagaimana. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan diawali dari ber-filsafat (mother of science).

Demikianlah proses ini terus berlangsung secara ajeg. Sampai pada akhirnya kita mengenal institusi pendidikan, sebagai bentuk terkini (modern) dalam menciptakan penemuan-penemuan baru (inovasi). Di sisi lain, memperbincangkan dunia pendidikan adalah sangat menarik. Apalagi, jika hal ini dihubungkan dengan keyakinan bahwa hanya dengan pendidikan, maka peradaban umat manusia akan lebih baik dan bermartabat.

Dan untuk menuju ke sana, ada dua elemen penting yang harus dipahami dan dimengerti. Yakni, soal sistem dan kultur (budaya). Pertama, sistem pendidikan (baca: pengajaran) yang elegan adalah dengan metode dialog. Yaitu, dialog antara si guru dengan si murid. Namun, sebelum dialog berjalan, perlu ditekankan bahwa posisi antara guru dan murid adalah sama, sejajar. Dengan kata lain, guru dan murid adalah subyek.

Sangat diharamkan, jika guru memposisikan sebagai subyek (yang maha tahu) dan murid diposisikan sebagai obyek (yang maha tidak tahu). Jika ini yang terjadi-meminjam istilah Paolo Freire-pendidikan tidak ubahnya seperti investasi bank (banking concept of education). Dimana, murid tidak lebih sebagai obyek investasi dan sumber deposito. Murid hanya dijejali “deposito” (ilmu pengetahuan) yang kelak hasilnya dipetik dikemudian hari. Dan di sini, murid tidak diberikan kesempatan untuk mengkritisi “deposito” itu.

Kemudian, ketika kedudukan guru dan murid telah sejajar, maka keberlangsungan dialog harus dibenturkan kepada realita di masyarakat. Ini agar muatan dialog tidak mengambang, namun mempunyai orientasi yang jelas. Yaitu, dialog menghasilkan jalan keluar (pemikiran) atas gejala sosial yang terjadi. Misalnya, guru dan murid mendiskusikan masalah kemiskinan dan dari dialog itu mereka mengetahui akar masalah kemiskinan. Dan akhirnya mengambil langkah kongkret untuk mengatasinya. Adanya obyek yang secara khusus dibahas antara murid dan guru ini, dikenal dengan istilah pendidikan hadap masalah (problem posing education).

Sebelumnya, model pendidikan ini akan mendekatkan murid dengan kenyataan dan menjadikan dirinya apa adanya. Proses dialog, akan memetakan sampai sejauh mana pola pikir serta emosioanal (empati) guru dan murid atas permasalahan-permasalahan yang ada. Dan, harapannya, berujung kepada komitmen mereka. Lebih jauh, pendidikan hadap masalah akan membuat guru dan murid saling belajar dan mengisi. Proses memanusiakan manusia (humanisasi) pun berlangsung.

Masih soal sistem, yaitu kriteria kandungan kurikulum sebagai panduan dalam proses pembelajaran. Untuk mendukung adanya dialog, maka kurikulum juga harus merepresentasikan kepentingan rakyat kebanyakan. Artinya, kurikulum adalah pengejewantahan dari kebutuhan dan permasalahan di masyarakat. Bahkan lebih jauh, kurikulum disusun seirama dengan keadaan geopolitik, ekonomi dan budaya negara yang bersangkutan. Bukan malah sebaliknya, yaitu menampung segala agenda kaum penguasa (kapital). Dimana isinya kebanyakan sangat jauh dari kebutuhan rill masyarakat.

Kedua, budaya atau kultur yang menihilkan peranan murid (dehumanisasi). Seperti budaya patriakhi dan feodalisme. Harus diakui, kedua hal ini masih sangat kentara dalam dunia pendidikan. Karena sudah berlangsung lama dan mapan, maka membutuhkan tenaga ekstra keras untuk mengikisnya. Apalagi kemapanan kultur ini ditopang kuat oleh fondasi agama, adat, dan bahkan politik. Jadi, untuk membongkar kultur ini harus direncanakan secara menyeluruh (holisitik).

Mengapa kedua hal ini-sistem dan kultur-perlu mendapatkan perhatian mendalam? Karena penyelesaian terhadap dua masalah ini, akan berujung kepada esensi institusi pendidikan sebagai fungsi penyadar. Yaitu penyadaran dari manusia (guru dan murid) yang tidak mengerti alam (lingkungan) dan dirinya menjadi subyek yang memahami esensi siapa dirinya dan apa yang terjadi di sekitarnya.

Menguatkan Pendidikan Sebagai Media Penyadaran

Sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah, ketika kita mendapatkan asumsi umum bahwa institusi pendidikan hanya sebagai modal awal untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak lebih dari itu. Sejenak, hal ini wajar saja. Toh, manusia juga harus bekerja agar dapat bertahan hidup. Apalagi tantangan dunia semakin menjadi-jadi sejalan derasnya arus globalisasi (neo-liberalisme).

Kondisi massif ini sesungguhnya sangat memprihatinkan. Karena ia telah menegasikan fungsi pendidikan yang sesungguhnya: memanusiakan manusia (humnanisasi). Gejala yang dapat kita lihat yaitu, semakin teralienasinya pikiran (akal) dan kepedulian (empati) dari komponen pendidikan (guru, murid dan pemerintah) terhadap kondisi kekinian. Dan mengenai hal ini, sepertinya kita sepakat bahwa dunia sedang mengarah kepada kehancuran (destruction).

Nah, di sinilah sebenarnya lembaga pendidikan dapat memberikan sumbangsihnya dalam mewujudkan peradaban manusia yang lebih baik. Pranata pendidikan dapat mengambil alih peranan negara dan agama, yang sejatinya juga harus menciptakan peradaban yang luhur. Namun, seperti yang kita ketahui, kedua institusi itu pun malah sibuk dengan kepentingannya masing-masing.

Negara (pemerintah), di kebanyakan tempat, tak lebih merupakan panggung opera yang pemainnya (elite politik) sedang memainkan sandiwara belaka (pro status quo). Seperti halnya di Indonesia, elite hanya sibuk mencari, mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Soal kesejahteraan rakyat, hanya terjadi menjelang pemilu. Itu pun didasari jika mereka (rakyat) dapat memberikan suara potensial kepada mereka (elite).

Kondisi lembaga keumatan pun tak jauh berbeda. Mereka terjebak pada permasalahan dangkal. Seperti persaingan dalam proses pemuridan (baca: penyebaran ajaran agama). Fungsi sosial yang ada pun terbatas di permukaan saja. Belum berani menyentuh pada akar permasalahan. Atau dengan kata lain, masih jauh dari gerakan politik. Dan parahnya, institusi keagamaan justru berhubungan mesra dengan penguasa. Peran oposisi yang seharusnya dijaga, malah terabaikan.

Di satu sisi, usaha untuk mengembalikan pendidikan ke fungsinya semula menemui hambatan. Apalagi, jika mengharapkan adanya perubahan dari internal. Maksudnya, penyelenggara pendidikan adalah pemerintah (negara), karenanya terlihat mustahil jika negara mau benar-benar menjadikan institusi pendidikan sebagai media penyadaran dalam arti yang sesungguhnya. Ini karena, negara termasuk salah satu kelompok status quo. Kalau toh mau dipaksakan adanya perubahan dari dalam, maka harus ada perubahan konstelasi elite (politik).

Dan ini, salah satunya, harus melalui mekanisme pemilu. Jika menggunakan cara-cara di luar mekanisme kontitusional, revolusi, misalnya, akan mengakibatkan cost yang sangat besar. Di samping, harus tersedianya syarat-syarat terjadinya revolusi, seperti adanya pemimpin revolusi yang diakui bersama, dan tingkat kesadaran massa revolusi yang tinggi. Oleh karenanya, setidaknya sampai detik ini, gerakan revitalisasi dunia pendidikan harus mengkombinasikan gerakan dari dalam dan luar sistem.

Dari dalam, yaitu dengan terus menerus mengkampanyekan pendidikan yang humanis. Bisa dengan penerbitan (kampanye) tulisan berupa buletin, selebaran, spanduk, dan lainnya. Atau, dengan mendirikan sekolah-sekolah alternatif. Sedangkan gerakan dari luar, lebih kepada gerakan politik praktis. Yaitu menggandeng kekuatan politik (elite) yang dipandang dapat memperjuangkan lembaga pendidikan ke arah yang lebih baik. Untuk mengikatnya, bisa saja dilakukan dengan metode kontrak politik.


Alumni Ilmu Sejarah USU 2002, Anggota KDAS