Rabu, 19 Juni 2013

Aktualisasi Diri Konsep Terbaik 'Ketidakpatuhan' Sosial


Oleh : Putera Arif Panjaitan


Istilah ‘aktualisasi diri’ tentu sudah kerap kita dengar dan pakai dalam wacana pembicaraan. Terutama pembicaraan yang berkenaan dengan topik pengenalan dan pengembangan diri pada mahasiswa-mahasiswa yang berorientasi pada pembobotan intelektualitas di kampus maupun organisasi. Secara sepintas istilah ini akan mudah dipahami karena kita mengerti arti dari ‘aktual’ yang berarti betul-betul terjadi; sedang menjadi pembicaraan orang banyak; serta masih baru (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan pemahaman itu kita simpulkan bahwa aktualisasi diri berarti semacam pembobotan, apakah dengan pengetahuan intelektualitas maupun karakter serta jati diri.

Namun akan terkesan berbeda dengan defenisi dalam konsep psikologi sosial (Berdasarkan Buku karya George Boeree), di mana aktualisasi diri termasuk dalam kategori ‘ketidakpatuhan’. Nah, tentu mengundang banyak pertanyaan bagi kita yang memang sadar atau tidak sadar begitu ‘dilandasi’ spirit aktualisasi diri sesuai pemahaman masing-masing. Tidak apa, bila kepatuhan dianggap sebagai hal yang wajar atau normal, sehingga ketidakpatuhan (cenderung dimaknai ketidakmampuan menyesuaikan diri) dianggap sebagai perilaku abnormal atau menyimpang, maka penyebabnya antara lain gangguan kejiwaan, kriminalitas, maupun aktualisasi diri.

Tentu kita tidak bermaksud menyamakan konsep aktualisasi diri sebagai gangguan kejiwaan maupun kriminalitas bukan? Umumnya, sebagian orang yang memilih tampil beda adalah penderita gangguan kejiwaan atau penjahat. Namun, banyak juga dari mereka yang sebenarnya sama sekali bukan pelanggar norma atau aturan, karena mereka ternyata hidup dengan norma dan aturan ‘buatan’ sendiri atau kelompoknya. Jadi, mereka sebenarnya adalah orang-orang yang ‘patuh’ terhadap norma dan aturan, dan inilah yang harus kita bedakan.

Sangat tidak tepat untuk menilai seluruh kepatuhan sebagai hal yang bermakna positif atau hal yang patut diajarkan secara bulat-bulat kepada generasi. Masyarakat Indonesia umumnya dinilai sebagai orang-orang yang patuh. Dapat kita maklumi sebagai karakter dari bentukan zaman feudal dan Kolonial. Sebagaimana Mochtar Lubis dalam “Ciri-ciri Pokok Manusia Indonesia”, kaitannya dengan ‘kepatuhan’ menjelaskan bahwa orang-orangnya umumnya hipokritis atau munafik (suka berpura-pura, lain di muka lain di belakang). Ini akibat dari tekanan yang keras dari sistem pemerintahan feodal. Orang dipaksa untuk bersikap ‘asal bapak senang’, agar selalu mendapat limpahan berkah dari penguasa dan terlepas dari hukuman.

Selanjutnya, masih ada sekelompok kecil orang yang benar-benar bebas sepenuhnya dari tekanan untuk mematuhi atau menyesuaikan diri dengan norma dan peraturan yang ada serta memanfaatkan kemerdekaan mereka itu demi kebajikan. Sebutan yang kini popular bagi mereka adalah ‘aktualisasi diri’.
Abe Maslow (seorang psikolog Amerika, lihat di google) meyakini bahwa bila Anda tidak lagi dikejar oleh kebutuhan dasar (makanan, pakaian, tempat tinggal), kebutuhan akan rasa aman, atau rasa rendah diri, Anda kini benar-benar bebas untuk melakukan apa saja yang ingin Anda lakukan; Anda bebas merealisasi ‘jati diri yang Anda kehendaki’. Anda kini menjadi seorang ‘pengaktualisasi diri’.

Meminjam defenisi yang diuraikan oleh George Boeree, dijelaskan bahwa para pengaktualisasi diri umumnya berjuang demi: (1) hak untuk menentukan nasib sendiri dan kebebasan serta (2) menolak
tekanan sosial yang justru tidak dapat dilepaskan oleh sebagian besar dari kita. Mereka tidak peduli terhadap pemegang otoritas dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat pada saat itu (contohnya, dalam ‘mindset’ pemikiran masyarakat semasa feodal perbudakan dianggap sebagai sesuatu yang wajar). Sebagai gantinya, mereka bertumpu pada nilai-nilai kebajikan, moralitas, akal budi, dan pengalaman mereka sendiri. Mereka menjunjung tinggi (3) nilai-nilai demokratis, yang artinya terbuka dan bersedia menerima keragaman budaya dan sifat-sifat manusia. Tetapi tidak hanya sekedar toleran, melainkan juga terjun langsung ke dalam keanekaragaman itu dan lebih sanggup (4) menerima diri mereka sebagaimana adanya.

Indikasi lebih mendalam terhadap sikap ketidakadilan mereka untuk menyesuaikan diri dengan apa yang berlaku saat itu, tampak pada (5) spontanitas mereka untuk selalu mencari jalan dalam memecahkan masalah-masalah yang ada berdasarkan akal budi mereka, dan (6) tidak menyukai keruwetan atau birokrasi yang berbelit-belit (mencintai kesederhanaan). Mereka memiliki kemampuan (7) menghargai sesuatu yang diremehkan orang lain serta (8) kreatifitas yang memungkinkan mereka untuk berada di atas orang lain.
Seluruh kepribadian tersebut tidak menjadikan mereka sebagai orang yang bersikap ‘semau gue’ (sebagai pelanggar norma yang bersikap negatif). Wataknya terkendali untuk tidak melakukan perbuatan destruktif dan anarkis. Mereka cenderung bersikap wajar pada kehidupan sehari-harinya, tetapi memiliki kemampuan untuk menerima diri dan orang lain yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada zamannya.

Tetapi, keberanian untuk mendobrak norma-norma yang mereka anggap negatif bukan hanya ciri pribadi-pribadi semacam itu, karena mereka juga menikmati hubungan yang hangat dan akrab dengan sekumpulan teman serta memiliki kepedulian sosial. Nah, ini dapat terbentuk berkat proses yang terasah dalam kolektifitas kelompok.

Para pengaktualisasi diri tentu memiliki pandangan yang lebih luas sehingga dapat menerima keunikan yang menjadi tradisi pada orang lain. Sikap multikulturalisme dan pluralisme akan lebih teruji dengan ‘passing over’ (melintasi batas agama maupun budaya) orang lain, dengan maksud menambah wawasan pengalaman. Sehingga ia dapat menerima keunikan orang lain sekaligus memperdalam kecintaannya pada budaya sendiri. Selain itu, merumuskan nilai-nilai yang dianut secara korektif adalah ciri khas bagi pengaktualisasi diri. Nilai itu dapat merupakan nilai lama dengan interpretasi yang kontekstual, sesuai dengan tuntutan zamannya.

Ciri khas kegerakan orang maupun kelompok yang mengaktualisasikan diri akan tampak tidak patuh terhadap norma dan aturan yang terdapat pada masyarakat luas apabila ternyata dinilai bertentangan dengan prinsip norma yang mereka anut. Contohnya korupsi menjadi ‘budaya’ dalam setiap lapisan masyarakat, prostitusi menjadi ajang hiburan masyarakat umum, perusakan lingkungan, dsb.

Jadi, meskipun pribadi-pribadi ini juga sama-sama memiliki semacam ‘ketidakbersediaan untuk menyesuaikan diri dengan norma dan aturan’, namun itu semua dilakukan demi hal-hal positif serta dilandasi cinta kasih. VOR VERITAS..!!


Jl. Perjuangan 155, pada suasana senja yang gerah dengan suhu Kota Medan 340/230 C, sembari memaknai fenomena ‘senam’ revolusi kemarin yang meletus dari laten rakyat akibat picu issu kenaikan BBM. Semoga rakyat semakin bersatu lawan segala bentuk penindasan.