Bagaimana
sebenarnya keberadaan masyarakat adat di muka bumi ini? Jika secara ontologis
mereka diakui sebagai manusia yang sama dengan masyarakat manusia lainnya,
bukankah berarti mereka memiliki hak yang sama? Atau secara fundamentalis,
pertanyaannya adalah, apakah mereka memiliki hak asasi sebagai manusia? Tulisan
ini ingin mengetengahkan problem masyarakat adat dalam diskursus hak asasi
manusia atau hak mereka sebagai masyarakat adat. Apalagi saat ini yang sangat
menonjol adalah perampasan hak generasi ketiga, yakni pembangunan dan
lingkungan oleh penguasa dan pengusaha terhadap mereka.
Tanah dan sumber daya alam sangat
penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat adat untuk mempertahankan
eksistensinya. Sejarah telah menjadi saksi “takdir buruk” berkenaan dengan hak
mereka terhadap tanah, sumber daya alam, dan perjuangan mereka untuk tetap bertahan hidup. Namun dalam masa penjajahan,
tanah dan wilayah mereka dirampas oleh para kolonial. Tidak hanya itu, mereka
juga disingkirkan ke wilayah “tapal batas”, yaitu tanah yang pada waktu itu
dianggap sebagai tanah terlantar dengan nilai ekonomi yang sangat kecil.
Perampasan dan marginalisasi masyarakat adat pun terjadi bersama dengan
hilangnya pertahanan atau eksistensi mereka.
Proses perampasan dan marginalisasi
tersebut berlangsung hingga pada abad ini dengan kondisi yang semakin parah,
yakni tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum.[1]
Dalam banyak kasus, hal ini disebabkan oleh upaya mengejar pembangunan eknomi
bersama dengan kebutuhan ekonomi global. Pembangunan ekonomi nasional dan
tuntutan ekonomi global telah memacu meningkatnya kebutuhan sumber daya alam
yang sangat tinggi. Hal ini berujung pada “pencarian global” terhadap sumber
daya alam bahkan sampai ke daerah perawan di seluruh dunia, termasuk ke
wilayah-wilayah di mana masyarakat adat hidup.
Kalau
dahulu dianggap sebagai daerah tanpa nilai karena terpencil dan tidak
menguntungkan, maka dewasa ini tanah perawan milik masyarakat adat ini akhirnya
diidentifikasi sebagai wilayah yang kaya sumber daya hutan, bahan-bahan mineral,
dan sumber daya air. Proses perampasan, penindasan, dan pengabaian yang
berkelanjutan telah membawa masyarakat adat di seluruh dunia kepada perjuangan
yang sama untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka,
temasuk hak atas tanah dan sumber daya
alamnya.
Hak-hak Masyarakat Adat
dalam Hukum Internasional: Sebuah Tinjauan Sejarah
Gagasan tentang hak-hak masyarakat
adat dapat dilacak dari awal masa periode kolonial, ketika para misionaris dan
cendekiawan yang menaruh perhatian terhadap nasib masyarakat adat mencoba untuk
memastikan bahwa masyarakat adat di daerah kolonial terlindungi dari
tindakan-tindakan dari para pendatang dan orang-orang yang ingin memperoleh
akses ke tanah dan sumber daya alam
mereka dan menjadikan mereka tenaga kerja. Fransisco de Vitoria merupakan
pioner aliran ini yang disebut Aliran Hukum Internasional Spanyol (Spanish School of International Law)
pada abad XV mengkritik cara kolonial merebut tanah dan hak-hak orang Indian
yang dijadikan tenaga kerja. Aliran ini menegaskan bahwa Indian memiliki
kewenangan dan hak-hak asli yang otonom atas tanah, dimana orang Eropa harus
menghormatinya.[2]
Tidak hanya sampai di situ
saja, kebijakan-kebijakan yang mengatur
tentang masyarakat adat pun sudah tercantum dan masuk dalam pembahasan hukum
internasional pada akhir Perang Dunia I. Hal ini tampak dari konvenan Liga
Bangsa-Bangsa pasal 22 tentang “bangsa yang belum mampu untuk berdiri sendiri
di tengah kondisi dunia modern yang berat” dan melihat dalam “ketentraman dan perkembangan”
mereka sebuah “peradaban luhur”. Demikian juga dengan pasal 23 yang
mengharuskan para anggota dari Liga Bangsa-Bangsa untuk melakukan tugas positif
untuk berusaha memastikan perlakuan yang adil terhadap masyarakat adat dari
wilayah yang berada di bawah kontrol mereka.
Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) sebagai wujud baru dari Liga Bangsa-Bangsa tidak memberikan perhatian
pada permasalahan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini bisa terlihat pada pasal
73 Piagam PBB yang hanya merujuk pada “wilayah dimana penduduknya belum
memperoleh secara penuh sistem pemerintahan sendiri. Tentu saja ini merupakan
suatu konsep yang tidak ada relevansinya dengan isu masyarakat adat. Ada pun
demikian halnya, PBB sejak awal pembentukan telah menempuh beberapa kebijakan
yang berhubungan dengan nasib dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat adat tersebut dengan membentuk lembaga-lembaga penelitian.
Selain lembaga penelitian, ILO dan
badan khusus PBB lainnya juga memberi perhatian terkait permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat adat sejak 1920-an. Hingga pada saat ini juga hukum
internasional mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat termuat dalam Konvensi 169 ILO
yang mulai berlaku pada 5 September 1991 dan pada bulan Mei 1998 telah
diratifikasi oleh 13 negara. Konvensi ini menyediakan rezim hukum pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat secara cukup memadai. Meskipun demikian,
mekanisme penerapannya lemah karena tidak ada prosedur pengaduan khusus yang
tersedia bagi masyarakat adat untuk membawa kasus mereka ke depan ILO.
Masalah-Masalah
Berkenaan dengan Hak-Hak Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Alamnya
1. Kegagalan
atau Keengganan Negara-Negara untuk Mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat terhadap
Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam
Dalam banyak praktik,
negara menyatakan bahwa tanah dan sumber daya alam milik masyarakat adat adalah
tanah publik atau milik raja. Seperti didirikannya cagar alam atau taman
nasional di Nikaragua tanpa mempertimbangka populasi adat di kawasan itu. Di
Indonesia sendiri, terdapat ambivalensi atau dualism hukum yang mempengaruhi
hak-hak masyarakat adat terhadap tanah mereka.
Di Indonesia sendiri,
UUPA tahun 1960 mengakui eksistensi masyarakat hukum adat yang terlihat jelas
dalam Pasal 3 - dengan berbagai batasan seperti kepentingan publik atau
nasional – hak-hak dari masyarakat hukum adat atas tanah mereka yang disebut
hak ulayar (hak menguasai atas tanah dan wilayah mereka). Namun demikian pada
saat yang sama, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
yang kemudian disusul dengan peraturan pelaksanaan, yaitu PP No. 21 Tahun1970
tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Peraturan ini antara lain menentukan bahwa
“hak-hak masyarakat hukum adat dan anggotanya untuk mengambil hasil hutan,
pelaksanaannya perlu ditertibkan, sehingga
tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan” (pasal 6 ayat 1) dan bahwa “di
dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat
untuk memungut hasil hutan dibekukan” (pasal 6 ayat 3).
2. Hukum
dan Kebijakan Diskriminatif yang Berdampak Pada Masyarakat Adat dalam Hubungan
dengan Tanah dan Sumber Daya Alam Mereka
Di masa modern, praktik
penghapusan kepemilikan tanah secara sewenang-wenang ini hanya diterapkan pada
masyarakat adat. Misalnya kasus Tee-Hit-Ton Indian versus Amerika Serikat.
Dalam kasus ini Mahkamah Agung menegaskan bahwa pengambilalihan tanah oleh
pemerintah federal terhadap tanah yang dikuasai dengan hak Indian asli (atau
hak pribumi) tidak menimbulkan hak atas kompensasi apa pun. Hal ini berlaku
meskipun Konstitusi Amerika Serikat dalam Amandemen Kelimanya dengan jelas
mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil hak milik tanpa melalui
proses hukum yang adil dan fair (due
process) dan kompensasi yang adil.
3. Kegagalan
atau Keengganan untuk Memberi Batas
Demarkasi tanah,
diikuti oleh proses administratif seperti registrasi dan sertifikasi, adalah
proses formal untuk mengidentifikasi lokasi actual dan batas-batas tanah dan
wilayah masyarakat adat dan secara fisik member tanda pada batas-batas tersebut
di lapangan. Di Indonesia hak ulayat bukan merupakan hak yang harus diberi
batas, didaftar, dan diberi sertifikat. Keengganan pemerintah Indonesia untuk
melakukan demarkasi mungkin sebagian diakibatkan oleh kenyataan bahwa sangat banyak
kelompok masyarakat adat yang mengklaim hak kepemilikan atas tanah atau wilayah
yang sama. Sehingga hal ini menyebabkan seringnya muncul konflik antara
masyarakat adat dan non masyarakat adat, atau antar masyarakat adat sendiri.
4. Kegagalan
atau Keengganan Negara-Negara untuk Melaksanakan atau Menerapkan Hukum yang
Melindungi Tanah Masyarakat Adat
Perundang-undangan yang dinilai
protektif tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan implementasi yang
benar, misalkan saja seperti di Brazil. Meskipun wilayah Yanomami telah
didemarkasi, pemerintah Brazil tidak menyediakan sumber daya yang memadai untuk
mencegah invasi ribuan penambang emas. Dan di satu sisi, masyarakat adat tidak
mampu untuk melindungi dirinya dan wilayahnya karena tidak tersedia bantuan
hukum yang efektif yang dapat ditempuh. Seperti kasus lain di Indonesia, bahkan
ketika masyarakat adat telah berhasil mengambil upaya hukum melalui pengadilan
dan memenangkan kasus mereka, keputusan pengadilan menjadi tidak berarti karena
munculnya surat ketua Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa keputusan tersebut
tidak dapat dieksekusi.
Pembangunan
Sumber Daya Alam di Tanah Masyarakat Adat: Kasus-Kasus Penting
Wilayah
masyarakat adat telah menjadi sasaran utama proyek pembangunan yang dibuat
pemerintah dan pengusaha, seperti proyek pengembangan listrik tenaga air
(bendungan) dan pemukiman kembali, pertambangan, serta industri bioteknologi
dan farmasi. Di Amerika Serikat, daerah reservasi (bagi orang Indian) terbukti
menyimpan sejumlah besar cadangan mineral, kayu, margasatwa, dan sumber air[3].
Di perkirakan 65% cadangan uranium Amerika Utara terdapat di dalam daerah
reservasi Indian Amerika. Wilayah reservasi ini merupakan tempat bagi 80%
penambangan uranium yang dilakukan di Amerika Serikat dan pemrosesan uranium
seluruhnya dilakukan di daerah reservasi
ini.[4]
Hal
ini secara sengaja dan terpaksa mendepak masyarakat adat dari sumber daya
alamnya. Sehingga mereka dapat juga disebut sebagai “korban pembangunan”,
karena sebagian besar hasil dari proyek pembangunan tersebut ditujukan kepada
pemerintah dan pengusaha. Selain itu, kerugian yang ditanggung oleh masyarakat
adat yang berada di areal pertambangan dan pemrosesan uranium yaitu mereka mengalami
gangguan kesehatan disebabkan radiasi. Tidak heran jika hal ini terjadi karena
memang mereka, terlebih sebagai pekerjanya tidak diberi pakaian pelindung atau
bahkan informasi penting mengenai resiko terkapar uranium.
Di Ekuador, aktivitas
perusahaan-perusahaan minyak, seperti Petroecuador-anak perusahaan Texaco,
sebuah perusahaan transnasional Amerika telah membawa dampak yang parah
terhadap kehidupan dan lingkungan masyarakat adat yang tinggal di sana.
Kurangnya kepercayaan terhadap hukum domestic mendorong masyarakat adat
setempat melakukan class action melawan
Texaco di Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk menuntut ganti rugi atas
rusaknya wilayah mereka. Akan tetapi, tuntutan mereka ditolak dengan alasan forum non-conveniens dan rasa hormat
internasional (international comity).
Alih-alih pun menempuh upaya damai.
Sedangkan masyarakat adat di Papua
Nugini melalukan aksi yang cukup frontal dengan mengangkat senjata dalam
melawan perusahaan pertambangan batubara dan pemerintah. Tindakan perlawanan
mereka menyebabkan ditutupnya pertambangan dan adanya gerakan separatis sampai
saat ini. Serupa dengan hal itu, masyarakat adat di Nigeria melakukan
protes serta melakukan perlawanan
terhadap Shell dan pemerintah pusat akibat kerusakan lingkungan dan bagi hasil
yang tidak adil dari industri minyak yang beroperasi di tanah mereka. Perlawanan mereka dibalas dengan
penindasan yang brutal oleh rezim militer tahun1995.
Di Indonesia sendiri, akibat adanya
ambivalensi dan dualisme seperti yang dijelaskan di atas telah menyebabkan
berpindah dan terpinggirkannya masyarakat adat yang tinggal di hutan tropis
Kalimantan, karena tanah mereka telah diambil untuk industri kayu. Padahal
banyak masyarakat adat yang tinggal atau menggantungkan hidupnya di areal
tersebut mengalami nasib yang sama seperti di Guyana, Suriname, dan Malaysia.
Proyek pembangkit listrik tenaga air
(bendungan) juga mengakibatkan gangguan
paling parah yang harus dialami oleh masyarakat adat. Kebutaan mereka akan
politik, mengakibatkan pengambilalihan tanah dengan mudahnya oleh pemerintah
melalui proses hukum yang tidak adil. Di banyak negara, terutama negara
berkembang, dukungan finansial terbesar untuk
pembangunan bendungan diperoleh dari Bank Dunia. Bank Dunia telah
mengadopsi Operational Directive 4.20, yaitu
suatu panduan kebijakan yang khusus dibuat dalam rangka melindungi masyarakat
adat, hanya mengalokasikan sebagian kecil dari anggaran proyek (yang dibiayai
oleh bank) untuk biaya rehabilitasi.[5] Penggenangan
tanah mereka dapat menghancurkan sejarah dan budaya mereka. Proyek-proyek
tersebut tidak hanya mengancam kehidupan
mereka, tetapi juga identitas mereka sebagai masyarakat adat. Tidak heran jika
protes dan perlawanan terhadap pembangunan bendungan selalu menjadi bagian dari
perjuangan masyarakat adat.
Misalkan saja Bendungan Sardar
Sarovar di sepanjang lembah sungai
Narmada di India. Masyarakat khususnya masyarakat adat yang dipaksa atau
diancam untuk ikut dalam program pemukiman kembali yang kepemilikannya secara
adat tidak terdokumentasi sehingga tidak memenuhi persyaratan pembuktian dalam
sistem hukum negara, dan oleh karenanya dianggap tidak berhak atas ganti
kerugian tanah ganti tanah terlibat atau bergabung dalam aksi protes damai dan
mogok makan.
Pemindahan secara paksa tersebut
ditambah dengan dampak negative terhadap lingkungan proyek menuai kritikan dari
dalam maupun luar negeri. Kritikan tersebut membuat Bank Dunia yang menyediakan
sejumlah dana yang besar untuk proyek tersebut membentuk sebuah badan peninjau
yang independen dengan nama Inspection
Panel untuk mengkaji aspek sosial dan lingkungan tersebut. Namun demikian,w walau bukti dari membangun
bendungan selama 50 tahun telah menunjukkan bahwa bendungan mega-hidroelektrik
tersebut sangat tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, karena pinjaman
dan dana masih dialirkan dari Bank Dunia.
[1] H. Reynolds, dikutip dari John
Connel dan Richard Howitt, “Mining, Dispossesion and Development”, 1991, hal.
5.
[2] S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, 1996,
hlm. 10.
[3] Coggins, George Cameron dan James
Donley, “Natural Resources Development on Native American Indian Reservation in
the US”, dalam Gary D, Meyers, The Way
Forward: Collaboration and Cooperation ‘In Country’, National Native Title Tribunal, hlm. 92-93.
[4] Sachs, Aaron, Eco-Justice: Linking Human Rights and The
Environment, worldwatch Institute, 1995, hlm. 28.
[5] Independent Commission on
International Humanitarian Issues (ICIHI). Indigenous
Peoples: A Global Quest, 1987, Zed Book, London, hlm. 55.