Rabu, 16 Oktober 2013

Review Buku “Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam” oleh Rafael Edy Bosko



Bagaimana sebenarnya keberadaan masyarakat adat di muka bumi ini? Jika secara ontologis mereka diakui sebagai manusia yang sama dengan masyarakat manusia lainnya, bukankah berarti mereka memiliki hak yang sama? Atau secara fundamentalis, pertanyaannya adalah, apakah mereka memiliki hak asasi sebagai manusia? Tulisan ini ingin mengetengahkan problem masyarakat adat dalam diskursus hak asasi manusia atau hak mereka sebagai masyarakat adat. Apalagi saat ini yang sangat menonjol adalah perampasan hak generasi ketiga, yakni pembangunan dan lingkungan oleh penguasa dan pengusaha terhadap mereka.
            Tanah dan sumber daya alam sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat adat untuk mempertahankan eksistensinya. Sejarah telah menjadi saksi “takdir buruk” berkenaan dengan hak mereka terhadap tanah, sumber daya alam, dan perjuangan mereka untuk tetap  bertahan hidup. Namun dalam masa penjajahan, tanah dan wilayah mereka dirampas oleh para kolonial. Tidak hanya itu, mereka juga disingkirkan ke wilayah “tapal batas”, yaitu tanah yang pada waktu itu dianggap sebagai tanah terlantar dengan nilai ekonomi yang sangat kecil. Perampasan dan marginalisasi masyarakat adat pun terjadi bersama dengan hilangnya pertahanan atau eksistensi mereka.
            Proses perampasan dan marginalisasi tersebut berlangsung hingga pada abad ini dengan kondisi yang semakin parah, yakni tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum.[1] Dalam banyak kasus, hal ini disebabkan oleh upaya mengejar pembangunan eknomi bersama dengan kebutuhan ekonomi global. Pembangunan ekonomi nasional dan tuntutan ekonomi global telah memacu meningkatnya kebutuhan sumber daya alam yang sangat tinggi. Hal ini berujung pada “pencarian global” terhadap sumber daya alam bahkan sampai ke daerah perawan di seluruh dunia, termasuk ke wilayah-wilayah di mana masyarakat adat hidup.
Kalau dahulu dianggap sebagai daerah tanpa nilai karena terpencil dan tidak menguntungkan, maka dewasa ini tanah perawan milik masyarakat adat ini akhirnya diidentifikasi sebagai wilayah yang kaya sumber daya hutan, bahan-bahan mineral, dan sumber daya air. Proses perampasan, penindasan, dan pengabaian yang berkelanjutan telah membawa masyarakat adat di seluruh dunia kepada perjuangan yang sama untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka, temasuk hak atas tanah  dan sumber daya alamnya.

Hak-hak Masyarakat Adat dalam Hukum Internasional: Sebuah Tinjauan Sejarah
            Gagasan tentang hak-hak masyarakat adat dapat dilacak dari awal masa periode kolonial, ketika para misionaris dan cendekiawan yang menaruh perhatian terhadap nasib masyarakat adat mencoba untuk memastikan bahwa masyarakat adat di daerah kolonial terlindungi dari tindakan-tindakan dari para pendatang dan orang-orang yang ingin memperoleh akses  ke tanah dan sumber daya alam mereka dan menjadikan mereka tenaga kerja. Fransisco de Vitoria merupakan pioner aliran ini yang disebut Aliran Hukum Internasional Spanyol (Spanish School of International Law) pada abad XV mengkritik cara kolonial merebut tanah dan hak-hak orang Indian yang dijadikan tenaga kerja. Aliran ini menegaskan bahwa Indian memiliki kewenangan dan hak-hak asli yang otonom atas tanah, dimana orang Eropa harus menghormatinya.[2]
            Tidak hanya sampai di situ saja,  kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat pun sudah tercantum dan masuk dalam pembahasan hukum internasional pada akhir Perang Dunia I. Hal ini tampak dari konvenan Liga Bangsa-Bangsa pasal 22 tentang “bangsa yang belum mampu untuk berdiri sendiri di tengah kondisi dunia modern yang berat” dan melihat dalam “ketentraman dan perkembangan” mereka sebuah “peradaban luhur”. Demikian juga dengan pasal 23 yang mengharuskan para anggota dari Liga Bangsa-Bangsa untuk melakukan tugas positif untuk berusaha memastikan perlakuan yang adil terhadap masyarakat adat dari wilayah yang berada di bawah kontrol mereka.
            Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wujud baru dari Liga Bangsa-Bangsa tidak memberikan perhatian pada permasalahan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini bisa terlihat pada pasal 73 Piagam PBB yang hanya merujuk pada “wilayah dimana penduduknya belum memperoleh secara penuh sistem pemerintahan sendiri. Tentu saja ini merupakan suatu konsep yang tidak ada relevansinya dengan isu masyarakat adat. Ada pun demikian halnya, PBB sejak awal pembentukan telah menempuh beberapa kebijakan yang berhubungan dengan nasib dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat tersebut dengan membentuk lembaga-lembaga penelitian.
            Selain lembaga penelitian, ILO dan badan khusus PBB lainnya juga memberi perhatian terkait permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat sejak 1920-an. Hingga pada saat ini juga hukum internasional mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat termuat dalam Konvensi 169 ILO yang mulai berlaku pada 5 September 1991 dan pada bulan Mei 1998 telah diratifikasi oleh 13 negara. Konvensi ini menyediakan rezim hukum pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat secara cukup memadai. Meskipun demikian, mekanisme penerapannya lemah karena tidak ada prosedur pengaduan khusus yang tersedia bagi masyarakat adat untuk membawa kasus mereka ke depan ILO.

Masalah-Masalah Berkenaan dengan Hak-Hak Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Alamnya
1.      Kegagalan atau Keengganan Negara-Negara untuk Mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat terhadap Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam
Dalam banyak praktik, negara menyatakan bahwa tanah dan sumber daya alam milik masyarakat adat adalah tanah publik atau milik raja. Seperti didirikannya cagar alam atau taman nasional di Nikaragua tanpa mempertimbangka populasi adat di kawasan itu. Di Indonesia sendiri, terdapat ambivalensi atau dualism hukum yang mempengaruhi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah mereka.

Di Indonesia sendiri, UUPA tahun 1960 mengakui eksistensi masyarakat hukum adat yang terlihat jelas dalam Pasal 3 - dengan berbagai batasan seperti kepentingan publik atau nasional – hak-hak dari masyarakat hukum adat atas tanah mereka yang disebut hak ulayar (hak menguasai atas tanah dan wilayah mereka). Namun demikian pada saat yang sama, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang kemudian disusul dengan peraturan pelaksanaan, yaitu PP No. 21 Tahun1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Peraturan ini antara lain menentukan bahwa “hak-hak masyarakat hukum adat dan anggotanya untuk mengambil hasil hutan, pelaksanaannya perlu  ditertibkan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan” (pasal 6 ayat 1) dan bahwa “di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka  pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan” (pasal 6 ayat 3).

2.      Hukum dan Kebijakan Diskriminatif yang Berdampak Pada Masyarakat Adat dalam Hubungan dengan Tanah dan Sumber Daya Alam Mereka
Di masa modern, praktik penghapusan kepemilikan tanah secara sewenang-wenang ini hanya diterapkan pada masyarakat adat. Misalnya kasus Tee-Hit-Ton Indian versus Amerika Serikat. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menegaskan bahwa pengambilalihan tanah oleh pemerintah federal terhadap tanah yang dikuasai dengan hak Indian asli (atau hak pribumi) tidak menimbulkan hak atas kompensasi apa pun. Hal ini berlaku meskipun Konstitusi Amerika Serikat dalam Amandemen Kelimanya dengan jelas mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil hak milik tanpa melalui proses hukum yang adil dan fair (due process) dan kompensasi yang adil.

3.      Kegagalan atau Keengganan untuk Memberi Batas
Demarkasi tanah, diikuti oleh proses administratif seperti registrasi dan sertifikasi, adalah proses formal untuk mengidentifikasi lokasi actual dan batas-batas tanah dan wilayah masyarakat adat dan secara fisik member tanda pada batas-batas tersebut di lapangan. Di Indonesia hak ulayat bukan merupakan hak yang harus diberi batas, didaftar, dan diberi sertifikat. Keengganan pemerintah Indonesia untuk melakukan demarkasi mungkin sebagian diakibatkan oleh kenyataan bahwa sangat banyak kelompok masyarakat adat yang mengklaim hak kepemilikan atas tanah atau wilayah yang sama. Sehingga hal ini menyebabkan seringnya muncul konflik antara masyarakat adat dan non masyarakat adat, atau antar masyarakat adat sendiri.

4.      Kegagalan atau Keengganan Negara-Negara untuk Melaksanakan atau Menerapkan Hukum yang Melindungi Tanah Masyarakat Adat
Perundang-undangan yang dinilai protektif tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan implementasi yang benar, misalkan saja seperti di Brazil. Meskipun wilayah Yanomami telah didemarkasi, pemerintah Brazil tidak menyediakan sumber daya yang memadai untuk mencegah invasi ribuan penambang emas. Dan di satu sisi, masyarakat adat tidak mampu untuk melindungi dirinya dan wilayahnya karena tidak tersedia bantuan hukum yang efektif yang dapat ditempuh. Seperti kasus lain di Indonesia, bahkan ketika masyarakat adat telah berhasil mengambil upaya hukum melalui pengadilan dan memenangkan kasus mereka, keputusan pengadilan menjadi tidak berarti karena munculnya surat ketua Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi.

Pembangunan Sumber Daya Alam di Tanah Masyarakat Adat: Kasus-Kasus Penting
Wilayah masyarakat adat telah menjadi sasaran utama proyek pembangunan yang dibuat pemerintah dan pengusaha, seperti proyek pengembangan listrik tenaga air (bendungan) dan pemukiman kembali, pertambangan, serta industri bioteknologi dan farmasi. Di Amerika Serikat, daerah reservasi (bagi orang Indian) terbukti menyimpan sejumlah besar cadangan mineral, kayu, margasatwa, dan sumber air[3]. Di perkirakan 65% cadangan uranium Amerika Utara terdapat di dalam daerah reservasi Indian Amerika. Wilayah reservasi ini merupakan tempat bagi 80% penambangan uranium yang dilakukan di Amerika Serikat dan pemrosesan uranium seluruhnya  dilakukan di daerah reservasi ini.[4]
Hal ini secara sengaja dan terpaksa mendepak masyarakat adat dari sumber daya alamnya. Sehingga mereka dapat juga disebut sebagai “korban pembangunan”, karena sebagian besar hasil dari proyek pembangunan tersebut ditujukan kepada pemerintah dan pengusaha. Selain itu, kerugian yang ditanggung oleh masyarakat adat yang berada di areal pertambangan dan pemrosesan uranium yaitu mereka mengalami gangguan kesehatan disebabkan radiasi. Tidak heran jika hal ini terjadi karena memang mereka, terlebih sebagai pekerjanya tidak diberi pakaian pelindung atau bahkan informasi penting mengenai resiko terkapar uranium.
            Di Ekuador, aktivitas perusahaan-perusahaan minyak, seperti Petroecuador-anak perusahaan Texaco, sebuah perusahaan transnasional Amerika telah membawa dampak yang parah terhadap kehidupan dan lingkungan masyarakat adat yang tinggal di sana. Kurangnya kepercayaan terhadap hukum domestic mendorong masyarakat adat setempat melakukan class action melawan Texaco di Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk menuntut ganti rugi atas rusaknya wilayah mereka. Akan tetapi, tuntutan mereka ditolak dengan alasan forum non-conveniens dan rasa hormat internasional (international comity). Alih-alih pun menempuh upaya damai.
            Sedangkan masyarakat adat di Papua Nugini melalukan aksi yang cukup frontal dengan mengangkat senjata dalam melawan perusahaan pertambangan batubara dan pemerintah. Tindakan perlawanan mereka menyebabkan ditutupnya pertambangan dan adanya gerakan separatis sampai saat ini. Serupa dengan hal itu, masyarakat adat di Nigeria melakukan protes  serta melakukan perlawanan terhadap Shell dan pemerintah pusat akibat kerusakan lingkungan dan bagi hasil yang tidak adil dari industri minyak yang beroperasi di tanah  mereka. Perlawanan mereka dibalas dengan penindasan yang brutal oleh rezim militer tahun1995.
            Di Indonesia sendiri, akibat adanya ambivalensi dan dualisme seperti yang dijelaskan di atas telah menyebabkan berpindah dan terpinggirkannya masyarakat adat yang tinggal di hutan tropis Kalimantan, karena tanah mereka telah diambil untuk industri kayu. Padahal banyak masyarakat adat yang tinggal atau menggantungkan hidupnya di areal tersebut mengalami nasib yang sama seperti di Guyana, Suriname, dan Malaysia.
            Proyek pembangkit listrik tenaga air (bendungan)  juga mengakibatkan gangguan paling parah yang harus dialami oleh masyarakat adat. Kebutaan mereka akan politik, mengakibatkan pengambilalihan tanah dengan mudahnya oleh pemerintah melalui proses hukum yang tidak adil. Di banyak negara, terutama negara berkembang, dukungan finansial terbesar untuk  pembangunan bendungan diperoleh dari Bank Dunia. Bank Dunia telah mengadopsi Operational Directive 4.20, yaitu suatu panduan kebijakan yang khusus dibuat dalam rangka melindungi masyarakat adat, hanya mengalokasikan sebagian kecil dari anggaran proyek (yang dibiayai oleh bank) untuk biaya rehabilitasi.[5] Penggenangan tanah mereka dapat menghancurkan sejarah dan budaya mereka. Proyek-proyek tersebut tidak  hanya mengancam kehidupan mereka, tetapi juga identitas mereka sebagai masyarakat adat. Tidak heran jika protes dan perlawanan terhadap pembangunan bendungan selalu menjadi bagian dari perjuangan masyarakat adat.
            Misalkan saja Bendungan Sardar Sarovar di  sepanjang lembah sungai Narmada di India. Masyarakat khususnya masyarakat adat yang dipaksa atau diancam untuk ikut dalam program pemukiman kembali yang kepemilikannya secara adat tidak terdokumentasi sehingga tidak memenuhi persyaratan pembuktian dalam sistem hukum negara, dan oleh karenanya dianggap tidak berhak atas ganti kerugian tanah ganti tanah terlibat atau bergabung dalam aksi protes damai dan mogok makan.
            Pemindahan secara paksa tersebut ditambah dengan dampak negative terhadap lingkungan proyek menuai kritikan dari dalam maupun luar negeri. Kritikan tersebut membuat Bank Dunia yang menyediakan sejumlah dana yang besar untuk proyek tersebut membentuk sebuah badan peninjau yang independen dengan nama Inspection Panel untuk mengkaji aspek sosial dan lingkungan tersebut.  Namun demikian,w walau bukti dari membangun bendungan selama 50 tahun telah menunjukkan bahwa bendungan mega-hidroelektrik tersebut sangat tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, karena pinjaman dan dana masih dialirkan dari Bank Dunia.



[1] H. Reynolds, dikutip dari John Connel dan Richard Howitt, “Mining, Dispossesion and Development”, 1991, hal. 5.
[2] S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, 1996, hlm. 10.
[3] Coggins, George Cameron dan James Donley, “Natural Resources Development on Native American Indian Reservation in the US”, dalam Gary D, Meyers, The Way Forward: Collaboration and Cooperation ‘In Country’, National  Native Title Tribunal, hlm. 92-93.
[4] Sachs, Aaron, Eco-Justice: Linking Human Rights and The Environment, worldwatch Institute, 1995, hlm. 28.
[5] Independent Commission on International Humanitarian Issues (ICIHI). Indigenous Peoples: A Global Quest, 1987, Zed Book, London, hlm. 55.