Minggu, 28 Oktober 2012

Bahasa Indonesia dan Nasionalisme Pemuda

Oleh : Jhon Rivel Purba.
 
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di atas merupakan pernyataan sikap bersama sebagai bentuk komitmen pemuda-pemudi Indonesia yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang yang berbeda, untuk membangun semangat persatuan demi Indonesia Merdeka. Mereka sangat menyadari bahwa motor persatuanlah yang bisa mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.

Menurut Moehammad Yamin, ada lima faktor yang bisa memperkuat semangat persatuan, yaitu: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Seirama dengan itu, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau tidak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya". Dalam tulisan ini penulis fokus menguraikan tentang penggunaan bahasa Indonesia di masa kini dan kaitannya dengan nasionalisme pemuda.

Memudarnya Nasionalisme Pemuda

Akhir-akhir ini, salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah memudarnya semangat nasionalisme khususnya dalam diri generasi muda. Rasa bangga terhadap sejarah dan budaya bangsa khususnya bahasa Indonesia, yang merupakan salah satu prinsip nasionalisme, kini sudah redup. Generasi muda tampaknya tidak lagi memaknai arti penting bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan, kemerdekaan, persatuan, persaudaraan, dan pembangunan.

Banyak faktor yang menyebabkan memudarnya semangat nasionalisme generasi muda dalam berbahasa Indonesia. Pertama, kurangnya penanaman nilai-nilai penting penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kedua, pengaruh media di tengah-tengah arus globalisasi. Ketiga, minimnya keteladanan dari pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat.

Meskipun seorang pemuda sudah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia di dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal dari sekolah dasar hingga perguguran tinggi, tetapi seseorang itu belum tentu memiliki rasa bangga berbahasa Indonesia. Berarti ada sesuatu yang kurang, yakni proses pendidikan bahasa Indonesia itu tidak didasari oleh nilai-nilai kebangsaan. Sehingga meskipun seseorang bisa fasih berbahasa Indonesia, tetapi tidak menyadari arti pentingnya bahasa itu bagi dirinya maupun bagi bangsanya.

Bagi generasi 1928 maupun 1945, bahasa Indonesia adalah bahasa perjuangan dan persatuan untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi bukti bahwa pemuda menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bagaimana dengan generasi sekarang? Generasi muda sekarang pada umumnya tidak menjiwai dan memaknai bahasa nasional tersebut sebagai bahasa perjuangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Justru ada kecenderungan generasi muda merasa rendah diri menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa asing. Orang yang berbahasa Inggris dianggap lebih hebat dan pintar dari pada berbahasa Indonesia. Dalam berkomunikasi, tidak sedikit generasi muda yang mencampur bahasa nasional dengan bahasa Inggris. Barangkali mereka ingin kelihatan hebat.

Bahkan anehnya, dalam berbagai acara atau kegiatan, kata-kata bahasa Inggris selalu menghiasi tema dan susunan acara tersebut. Padahal acaranya berlangsung di Indonesia dan semua pesertanya juga orang Indonesia. Ada pun alasan yang mereka lontarkan adalah supaya acara tersebut kelihatan hebat dan orang-orang tertarik untuk mengikutinya. Sungguh aneh.

Di ruang publik pun demikian. Tulisan-tulisan berbahasa asing menghiasi ruang publik, misalnya di jalan raya, terminal, bandara, pasar, dan sebagainya. Sialnya, banyak kata-kata yang mengungkapkan petunjuk, keterangan, maupun rambu-rambu, hanya menuliskannya dalam bahasa Inggris. Artinya bahasa Indonesia tidak lagi menjadi "tuan" di negerinya sendiri.

Media (cetak maupun elektronik) juga ikut "ngingris" ria dalam setiap pemberitaan dan siarannya. Tentu ini tidak terlepas dari kepentingan si pemilik media untuk menarik perhatian pembaca, pendengar, dan penonton untuk menjadi konsumen media tersebut. Fungsi media yang seharusnya mendidik masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, ternyata dikubur kepentingan bisnis. Pada akhirnya, masyarakat ikut terbawa arus.

Selain itu, minimnya keteladanan pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia, turut memperburuk nasionalisme berbahasa di kalangan kaum muda. Kesalahan berbahasa Indonesia yang dipertontonkan oleh pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat ini seringkali kita saksikan dalam berbagai pidato, seminar, kampanye, sidang, khotbah, ceramah, dan diskusi publik.

Solusi

Semangat kebangsaan dalam berbahasa Indonesia harus dibangkitkan kembali. Dengan harapan, supaya semua warga negara Indonesia hendaknya menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bersama, bahasa kebanggaan, bahasa persatuan, bahasa persaudaraan, bahasa perdamaian, bahasa perjuangan, dan bahasa pembangunan. Memang, untuk mencapai harapan ini bukanlah tugas yang mudah, melainkan tugas yang harus terus dikerjakan selama Indonesia masih ada.

Oleh sebab itu, harus ada komitmen bersama untuk mencapai tujuan bersama dengan langkah bersama. Pertama, penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa Indonesia diterapkan dengan berkesadaran sejarah. Di sini perlu ditekankan arti penting bahasa Indonesia bagi tiap-tiap individu maupun bagi bangsa. Ada pun tempat paling strategis dalam proses penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa ini adalah dalam lembaga pendidikan formal.

Kedua, dibutuhkan media yang konsisten dalam menyajikan menu bahasa Indonesia yang sehat. Surat kabar, radio, televisi, dan media lainnya kiranya melaksanakan fungsinya untuk mendidik masyarakat dan sebagai alat untuk mengawal penggunaan bahasa Indonesia. Perlu ditekankan, penggunaan bahasa asing bukanlah hal yang salah asal pada saat dan tempat yang tepat.

Ketiga, semua elemen masyarakat mulai dari pemimpin, pejabat publik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, mahasiswa, hendaknya memiliki kesadaran yang sama dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kesadaran yang sama akan melahirkan gerakan penyadaran bersama dalam membumikan bahasa Indonesia. Gerakan penyadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan bahasa, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, serta menggunakan sarana media komunikasi dan informasi.

Keempat, perlu didorong dan dibuka ruang bagi masyarakat khususnya pemuda untuk menghasilkan karya yang mendukung pengembangan bahasa Indonesia. Karya itu hendaknya digali dari bumi nusantara dengan tetap menjaga kearifan lokalnya. Dengan demikian rasa cinta terhadap bahasa Indonesia akan tercipta melalui pengenalan sejarah bahasa Indonesia dan melalui karya konkret pengembangan bahasa Indonesia. ***

Tidak ada komentar: