Rabu, 28 Desember 2011

Bersama Menyelamatkan Danau Toba

Oleh: John Rivel Purba

Akhir-akhir ini gelombang seruan untuk menyelamatkan Danau Toba semakin besar dan kuat. Seruan ini memiliki dua makna. Pertama, adanya kegelisahan dan keresahan masyarakat dengan melihat kondisi Danau Toba yang semakin kritis. Kedua, muncul harapan dan semangat baru untuk menyelamatkan Danau Toba demi kehidupan yang lebih baik di masa depan
Jika kita melihat kondisi Danau Toba belakangan ini, terjadi kerusakan yang sangat parah. Kerusakan disebabkan oleh kesadaran lingkungan masyarakat yang rendah, pembangunan yang eksploitatif tanpa memperhatian aspek lingkungan, ketidakberdayaan dan ketidakseriusan pemerintah, dan longgarnya peraturan tentang lingkungan dan tata ruang. Dengan demikian, secara umum kerusakan itu disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.

Dalam praktiknya, kerusakan itu bisa melalui pembuangan limbah ke danau, perambahan hutan di sekitar danau, dan usaha keramba apung yang tidak terkendali. Akibatnya adalah terjadi pencemaran air, penurunan permukaan air, hilangnya beberapa hewan air, tumbuhnya tanaman enceng gondok yang merusak keindahan alam Danau Toba, timbulnya berbagai penyakit, dan kerusakan ini tentunya menghambat pariwisata.

Kerusakan Danau Toba juga bisa mengakibatkan kehancuran budaya masyarakat sekitar terutama dalam cara berpikir dan cara hidup. Tidak tertutup kemungkinan, kerusakan Danau Toba juga akan melahirkan konflik sosial budaya pada masyarakat setempat. Perasaan diperlakukan tidak adil secara sosial, ekonomi, dan budaya, tentunya bisa menjadi pemicu konflik.

Tanpa ada upaya yang serius untuk menyelamatkan Danau Toba, maka dipastikan persoalan yang akan dihadapi semakin besar ke depan. Oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan untuk mengambil langkah strategis guna menyelamatkan Danau Toba. Tetapi yang perlu dipikrikan adalah bagaimana supaya upaya itu bisa menguntungkan secara ekologi dan ekonomi, supaya sejalan dengan cita-cita kemerdekaan, yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur.
Upaya Penyelamatan

Memang upaya penyelamatan Danau Toba bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Meskipun demikian, tiada kata terlambat demi perubahan yang baik. Kendala yang paling besar dalam penyelamatan danau terbesar di Indonesia ini adalah mengubah pola pikir dan gaya hidup serta membentuk kesadaran lingkungan, baik dari masyarakat maupun pemerintah itu sendiri. 

Oleh karena itu, yang pertama dan terutama harus dilakukan adalah membentuk kesadaran lingkungan. Tujuannya adalah bagaimana supaya semua pihak merasa bahwa danau ini adalah milik bersama. Juga menyadari bahwa persoalan kerusakan Danau Toba adalah persoalan bersama. Sehingga ada komitmen bersama untuk meyelamatkannya secara bersama demi kepentingan bersama. Jadi, Danau Toba bukan hanya milik dan tanggungjawab masyarakat setempat, tetapi semua masyarakat (baik global maupun nasional) bertanggungjawab terhadap kelestarian danau ini.

Proses membentuk kesadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, serta menggunakan sarana media komunikasi dan informasi seperti koran, majalah, televisi, jejaring sosial, dan media lainnya. Proses ini juga perlu melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, mahasiswa, pers, dan LSM. Sekali lagi tujuannya adalah untuk menebarkan benih-benih kesadaran lingkungan.

Selain itu, cara paling strategis untuk menanamkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat khususnya generasi muda adalah melalui pendidikan formal. Bisa melalui mata pelajaran muatan lokal yang diberikan kepada siswa sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Misalnya mata pelajaran pendidikan sadar budaya dan lingkungan. Muatan lokal atau mata pelajaran tersebut bisa dirancang sedemikian rupa agar peserta didik memiliki semangat kebersamaan dalam menyelamatkan lingkungan khususnya Danau Toba dengan berpijak pada kearifan lokal.

Kedua, dibutuhkan keseriusan pemerintah (pusat dan daerah) dengan mengedepankan kepentingan masyarakat luas, bukan kepentingan pemilik modal. Pemerintah hendaknya bisa merangkul masyarakat dan menjadikan mayarakat sebagai subyek dalam upaya penyelamatan dan pelestarian Danau Toba. Merangkul masyarakat dilakukan secara dialogis dan melalui pendekatan budaya.

Rencana pengembangan Danau Toba sebagai industri wisata andalan Sumatera Utara (Sumut) mulai 2012 patut didukung. Hanya saja, jangan sampai rencana-rencana seperti ini berhenti di tengah jalan dengan berbagai alasan, misalnya soal anggaran. Atau jangan sampai proses pengembangan ini justru menyingkirkan masyarakat dengan mengatasnamakan pembangunan, yang  hanya menguntungkan segelintir elite dan pemilik modal.

Ketiga, perlu ada aturan yang jelas dan tegas dalam penyelamatan Danau Toba. Aturan-aturan itu bisa dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang menjadi rambu-rambu kelancaran pelestarian danau tersebut. Misalnya memberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang mencemari danau, pelaku perambahan hutan di daerah tangkapan air, mengatur lokalisasi usaha keramba apung, dan mengatur tata ruang.

Obyek Wisata Andalan
Selanjutnya, penyelamatan dan pelestarian Danau Toba ini akan sendirinya memuluskan industri pariwisata di Sumut. Tinggal bagaimana strategi mempromosikannya kepada masyarakat dunia, serta membangun budaya dan ekonomi kreatif yang menarik minat wisatawan. Dalam tahap ini juga, masyarakat harus tetap dilibatkan sebagai pelaku. Sehingga pengembangan Danau Toba sebagai obyek wisata andalan Sumut benar-benar mendatangkan keadilan dan kesejahteraan.
Semoga melalui momen Pesta Danau Toba (PDT) pada 27-30 Desember 2011, menjadi momen hadirnya titik terang penyelamatan dan pengembangan Danau Toba demi kesejahteraan masyarakat.***

Penulis adalah mantan ketua KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial), mahasiswa Pascasarjana UGM

Senin, 19 Desember 2011

Berpantang Mengotori Danau Toba

Oleh: Karmel Simatupang

Danau Toba adalah anugerah bagi Sumut, Indonesia bahkan dunia. Air danau yang dulu menjadi sumber air minum yang layak harus dikembalikan. Pemerintahan Pusat, Pemprovsu dan ke-7 Kabupaten wilayah KDT sudah tidak saatnya untuk lempar batu sembunyi tangan dan melestarikan sikap apriorinya.
Ketika semasa kecil, orang-orangtua selalu bilang, "Jangan meludah ke Danau Toba, jangan buang sampah ke Danau Toba, apalagi buang hajat, nanti penghuninya marah, karena danau ini ada yang menjaga."

Pesan sosial dari pantangan mitos di atas dengan jelas dan terang mengatakan masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba sangat menghargai kebersihan dan kesucian Danau Toba. Namun, secara perlahan, mitos tersebut meluntur bahkan boleh dibilang hampir punah akibat modernisme dan pengaruh budaya masa kini.

Ketika itu, penulis masih kelas 3 Sekolah Dasar (SD 137371) di Kecamatan Sipoholon, bersama keluarga sedang berwisata ke Danau Toba (DT), menaiki kapal berukuran sedang di lepas pantai DT, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.

Mitos di atas menjadi sangat bernilai positip di tengah massifnya tekanan yang bertubi-tubi ke danau ini. Hasilnya, saat ini air DT tak layak lagi dikonsumsi bahkan untuk sekadar direnangi. Sebuah ironi di negeri yang penuh ironi.

Sejak hadirnya korporasi-korporasi di Kawasan Danau Toba (KDT), kesucian sekaligus keindahan-kebersihan ekosistem danau ini mulai memudar. Air Danau Toba pun menyurut.

Menurut keterangan Dimpos Manalu, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) beberapa waktu lalu menyebutkan dalam 5-10 tahun terakhir, level air DT menurun sampai 3 meter.

Diingatan kita belum lekang, beberapa tahun yang lalu, jutaan ikan mati mendadak di DT akibat keracunan. Industri dan pertambangan di sekitar KDT, perhotelan dan perkapalan juga ditengarai tak becus mengelola limbahnya.

Perumahan penduduk di seputar pinggiran KDT bertata letak membelakangi danau, bisa dipastikan limbah rumah tangga akan terbuang ke DT.

Selain itu hadirnya, keramba jaring apung asing (KJA) dalam skala besar makin memperparah kualitas air DT, karena sebagian besar pakan ikan mengendap ke dasar danau dan  mencemari danau setiap harinya. Di lokasi ditemukan kandungan posfor dan nitrogen yang berasal dari pakan ikan.

Saat ini  menurut tinjauan langsung penulis di lapangan, KJA sudah menyebar ke seluruh KDT, mulai dari Tiga Ras di Simalungun, Parapat, Balige, Porsea, Muara, Tomok, Pangururan, Silalahi, Tongging dan wilayah-wilayah kecil lainnya. Air DT sudah menjadi seperti miliknya pengusaha KJA.

Ada peternakan babi skala besar di Simalungun, disinyalir membuang limbahnya ke sungai-sungai yang bermuara ke DT. Juga pestisida yang dipakai para petani di KDT, jelas sebagian terbawa arus air ke DT.

Danau Toba Kian Tercemar
Salah satu kasus yang menjadi bukti nyata menyangkut kualitas air Danau Toba kian merusak adalah peningkatan pertumbuhan eceng gondok di Danau Toba. Eceng gondok adalah salah satu tumbuhan yang hidup di air berawa-rawa dan kotor. Saat ini hampir di seluruh pinggiran dan sebagian di lepas pantai terdapat eceng gondok. Artiannya, Danau Toba seluruhnya memang sudah tercemar.

Permukaan Danau Toba yang sudah tertutup eceng gondok tampak sudah menyebar kemana-mana. Misalnya di sekitar Balige, Laguboti, Sigumpar dan Porsea di kabupaten Toba, juga Pangururan di kabupaten Samosir, serta Tongging dan Silalahi di kabupaten Dairi.

Situs sejarah budaya, Tano Ponggol, atau terusan Tano Ponggol yang memisahkan Pulau Samosir dengan daratan Sumatera di Pangururan tidak bisa lagi dilalui kapal berukuran sedang, karena seluruh pinggirannya ditumbuhi eceng gondok.

Menurut hasil pengukuran yang dilakukan tahun 2008 oleh Badan Lingkungan Hidup Propinsi Sumatera Utara pernah menunjukkan pH (kadar keasaman) air sudah berada di level 8,2 (dalam sklala 6-9).

Tak ayal, Danau Toba yang maha dahsyat ini memang menjadi sebuah tragedi. Danau yang memiliki potensi sumber daya super dahsyat itu, tak punya tandingan dari segi keindahan dan panorama di dunia manapun, belum lagi DT merupakan danau vulkano-tektonik terluas di dunia. Namun perhatian terhadapnya tak sebanding. Sebaliknya eksploitasi besar-besaran terus mengintainya. Jadilah merana.

Bangsa ini untuk kesekian kalinya kurang menghargai keajaiban alamnya sendiri. Danau Toba ibarat seorang gadis yang berdandan memesona siapa saja, namun orang-orang di sekitarnya nakal, tamak dan rakus, hingga membuntuti aroma kecantikannya.

Aksi  
Tak bisa dibantah, setiap orang pasti sangat membutuhkan air, karena tanpa air mahluk apapun tidak akan pernah hidup. Air adalah simbol kehidupan, jika air sudah tercemari hidup segala mahluk hidup pun akan tercemari. 

Danau Toba adalah anugerah bagi Sumut, Indonesia bahkan dunia. Air danau yang dulu menjadi sumber air minum yang layak harus dikembalikan. Pemerintahan Pusat, Pemprovsu dan ke-7 Kabupaten wilayah KDT sudah tidak saatnya untuk lempar batu sembunyi tangan dan melestarikan sikap apriorinya.

Sebaliknya harus berjibaku, bergandengan tangan bersama semua stakeholder KDT dan warga dunia, memulihkan ekosistem Danau Toba. Ide-ide yang berkembang saat ini di masyarakat, seperti perlunya badan khusus yang menangani KDT, layak di dukung, sekaligus diawasi supaya tidak menyimpang dari tujuan yang sesungguhnya.

Mitos diatas bukan lagi sekedar mitos. Tapi bukti riil, Danau Toba pastilah akan marah, menjadi ancaman bagi umat manusia jika terlalu lama untuk di hargai dan dipulihkan.

Penanaman pohon yang baru-baru ini digagasi Kodam I/BB dengan "Toba Go Green" nya layak dikawal dan didukung, karena itu juga berarti ikut melestarikan kualitas air DT.

Akhirnya, mitos di atas mari kita positipkan, Danau Toba untuk kesejahteraan rakyat Sumatera Utara, Indonesia dan warga dunia. Semoga.***

Penulis adalah aktivis Earth Society for Danau Toba dan KDAS, Medan.
Terbit di Harian Medan Bisnis, Senin 19 desember 2011

Minggu, 18 Desember 2011

Mengapa Kapitalisme Ditentang

Oleh: Andri E. Tarigan

Perekonomian dunia mencapai titik balik, krisis global melanda dan merisaukan warga dunia. Seperti yang pernah terjadi dalam tragedi "Selasa Hitam" pada Oktober tahun 1929, wall street kembali mengalami kejatuhan. Banyak orang yang dirugikan dalam hal ini, bahkan termasuk pemilik modal. Orang-orang pun gelisah dan memilih turun ke jalan, melakukan aksi occupy (menduduki).
Tak hanya wall street, orang-orang di belahan bumi lain pun turut melakukan aksi occupy. Bursa efek di London diramaikan para demonstran, tak ketinggalan di Bursa Efek Jakarta pun begitu. Mereka menyerukan suara-suara penentangan terhadap kapitalisme. Kapitalisme dinilai gagal. Entah karena latah, atau karena kesamaan pemikiran, disebut-sebut istilah "1 persen yang kaya, 99 persen yang melarat" dalam aksi-aksi occupy yang ada. Kapitalisme ditentang karena ditenggarai sebagai penyubur kemelaratan.

Sekilas melirik kondisi global masa lampau, keberadaan kapitalisme sebenarnya sudah cukup lama ditentang. Paham komunisme yang dulu berjaya dalam perpolitikan dunia merupakan garis utama penentang kapitalisme. Sebab-sebabnya, kesadaran bahwa sistem kapitalisme hanya akan menguntungkan para pemodal, yang notabene berjumlah sedikit. Sementara para pekerja, yang jumlahnya banyak, imbalannya dibuat serendah mungkin demi meminimalkan biaya produksi.

Tetapi, keidealan komunisme dianggap terlalu utopis sehingga perlahan terkikis zaman dan akhirnya kehilangan masa jaya. Belum lagi kekalahan perang negara-negara komunis, bubarnya Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin, menjadi penanda berakhirnya era komunisme. Giliran kapitalismelah yang meraja disaat Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya secara aktif mengukuhkan cengkram kapitalisme atas dunia.

Kapitalisme terus berkembang dan menjadi paham yang dipraktekkan hampir di semua negara. PBB yang menampung banyak negara, turut menjadi penyubur kapitalisme dalam berbagai instansinya, seperti World Bank, WTO, dan IMF. Yang dijanjikan oleh kapitalisme adalah pembangunan yang pesat, dan itu diidamkan setiap negara.

Kegagalan

Cap yang kini dilekatkan kepada kapitalisme dalam perenungan warga global adalah kegagalan. Dianggap benar yang diserukan oleh para komunis bahwa kapitalisme adalah penyejahteraan segelintir orang. Mata publik seketika terbuka bahwasanya realita menunjukkan kemiskinan semakin melanda dunia. Pembangunan pesat yang dijanjikan dan perputaran perekonomian yang cepat ternyata tak menjadi jawaban atas kesejahteraan bersama.

Yang ada, dunia terlihat memburuk. Dalam dunia pendidikan, institusi-institusi yang berjamur diarahkan untuk membentuk pekerja-pekerja teknis, demi kepentingan perkembangan industri. Orang-orang dibentuk semekanis mungkin agar mudah diatur. Pendidikan budaya, humaniora, dikesampingkan. Dinamisme manusia beserta nilai-nilai kulturalnya hanya dijadikan entitas pelengkap. Orang-orang mendasari hidupnya pada tren pasar, bukan pada hakikatnya sebagai manusia. Pendidikan tidak lagi mendapat peran memanusiakan manusia (hakikat pendidikan menurut filsuf Brasil, Paulo Freire).

Dalam dunia perekonomian, hukum rimba berlaku. Yang kuat modalnya yang berkuasa. Produk-produk internasional memadati pasar dan tergeserlah pedagang-pedagang kecil, terancamlah produk-produk tradisional. Modal yang banyak membuat peluang para pemodal menjadi sangat besar untuk mengembangbiakkan keuangannya. Istilahnya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Negara-negara berkembang seperti Indonesia terpaksa melilitkan diri pada utang demi pelaksanaan pembangunan, demi mimpi menjadi negara maju. Belum lagi kalau ternyata investasi-investasi pemodal besar gagal, imbasnya selalu ditimpakan pada pemodal kecil dan pekerja yang menggantungkan nasib pada mereka.

Dalam perpolitikan, uang menjadi indikator kemampuan seseorang untuk memenangkan kebijakan. Sulit menghargai ide-ide politik seseorang untuk mengembangkan negara ketika orang tersebut tampak tidak bermodal. Mereka yang ingin berpartisipasi dalam perpolitikan, tanpa modal yang besar, pada akhirnya termarjinalkan. Dalam hal ini orang bermodal kecil, yang jumlahnya mayoritas, terpasung hak politiknya.

Yang paling menakutkan adalah kerusakan alam. Kapitalisme, yang memberdayakan segala hal demi keuntungan, menjadi pendorong utama eksploitasi alam. Efek dari eksploitasi alam yang paling terlihat adalah global warming, yang kini menjadi ancaman keberlangsungan hidup. Masyarakat global sudah cukup khawatir akan hal ini. Tetapi proses industri ala kapitalisme, yang paling bertanggung jawab atas kerusakan ini tetap berlangsung, bukannya berkurang malah makin bertambah.

Individu bentukan kapitalisme adalah individu yang rakus. Mereka yang berada di kelas atas, berusaha keras untuk semakin tinggi, tanpa memperdulikan kemelaratan yang mungkin ditimbulkannya di masyarakat kelas bawah. Sedangkan mereka yang dibawah, semakin sulit bergerak memikirkan sesamanya karena untuk memenuhi kebutuhan perutnya sendiripun sudah harus berusaha keras. Ditambah lagi, masyarakat kelas atas pamer kemewahan, masyarakat bawah pun dipenuhi ilusi untuk menjadi kelas atas. Semakin rakus dan egoislah mereka untuk bisa lepas dari kemelaratan.

Atas kegagalan-kegagalannya, kapitalisme ditentang. Bukan tanpa alasan, bukan sekedar kepentingan politik pihak tertentu, bukan mengingkari kemajuan pembangunan yang tercapai, bukan pula mengingkari stabilitas dan keamanan yang telah terjaga. Realita dari kepercayaan warga global terhadap kapitalisme adalah lingkaran kemelaratan yang terus-menerus membesar. Jika melarat, segala aspek akan terlantar. Dampak buruknya struktural, maka layak kapitalisme ditentang.***

Tulisan terbit di Harian Analisa, Rabu 23 November 2011

Meredupnya Gerakan (Mahasiswa) Kritis

Oleh: Jhon Rivel Purba
Sepertinya gerakan mahasiswa saat ini sudah mulai meredup. Suara-suara kritis mahasiswa sudah jarang terdengar. Padahal, persoalan bangsa semakin besar. Dalam bidang politik dan hukum misalnya, persoalan korupsi dan mandulnya penegakan hukum merupakan persolan mendasar. Sementara dalam bidang ekonomi ditandai dengan ketidakberdayaan rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan segala aspek kehidupan berbangsa ditandai dengan segudang persoalan. Lantas, dimana peran mahasiswa yang katanya sebagai agent of change dan agent of social control?
Kalau kita amati akhir-akhir ini, suara kritis justru datang dari masyarakat biasa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Misalnya suara penolakan gedung baru DPR dan kritikan terhadap pemerintahan SBY-Boediono, lebih sering disuarakan masyarakat biasa. Timbul pertanyaan, ada apa dengan gerakan mahasiswa sekarang ini?

Faktor Penyebab

Kalau dianalisis, banyak faktor penyebab tumpulnya taring gerakan mahasiswa. Antara lain; sistem pendidikan yang membatasi masa studi, gerakan yang tidak terkonsolidasi, organisasi kemahasiswaan yang bermuara pada kepentingan segelintir orang, terkontaminasi dengan kepentingan politik internal maupun eksternal kampus, tekanan dari pihak kampus, dan terjebak dengan kemajuan teknologi informasi.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah membatasi masa studi mahasiswa. Jika masa studi telah berakhir namun mahasiswa belum menyelesaikan perkuliahannya, maka mahasiswa bersangkutan harus siap-siap dikeluarkan dari kampus tersebut. Pada umumnya masa studi mahasiswa di PTN berkisar antara 4-7 tahun. Bahkan untuk menamatkan jenjang sarjana, tidak sedikit mahasiswa menempuhnya hanya 3-4 tahun.

Kondisi demikian menyebabkan mahasiswa fokus mencari nilai yang tinggi, berupaya cepat tamat, dan berharap cepat mendapatkan pekerjaan. Segala hal yang menghambat tujuan tersebut akan dihilangkan, termasuk berorganisasi. Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa organisasi akan mengganggu perkuliahan. Kalau pun ikut berorganisasi, maka organisasi yang diikuti adalah organisasi yang mendukung nilai dan cepat tamat. Sehingga, organisasi yang sifatnya kritis sudah mulai jarang diminati mahasiswa.

Pembatasan masa studi tersebut lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Mahasiswa diarahkan menjadi robot-robot yang mengikuti arus kebijakan pasar. Memang sistem pendidikan kita telah berorientasi pasar, yakni mahasiswa adalah produk dan kampus adalah mesin penghasil produk. Mahasiswa sebagai produk akan diserahkan kepada pasar. Sistem seperti ini secara tidak langsung melemahkan gerakan mahasiswa. Karena sistem pasar tidak pernah menginginkan suara-suara kritis.

Kalau pun ada organisasi yang kritis, sangat sulit menyatukan sikap dengan organisasi kritis yang lain, meskipun perjuangannya sama yakni memperjuangkan rakyat. Hal ini terjadi karena sudah ada saling mencurigai dengan kelompok lain, apalagi hal yang dikritisi adalah isu politik. Tidak terkonsolidasinya gerakan ini tidak terlepas dari tidak adanya isu bersama yang dijadikan sebagai perjuangan bersama.

Berbeda dengan gerakan mahasiswa pada 1966 dan 1998 yang mempunyai isu bersama yakni menjatuhkan pemerintah yang berkuasa karena dinilai telah melanggar konstitusi. Gerakan mahasiswa itu pun bisa bersatu karena situasi politik dan ekonomi pada masa itu sedang kacau sehingga hal yang diinginkan adalah perubahan.

Sedangkan sekarang, organisasi-organisasi mahasiswa tampaknya hanya sibuk bersaing menanamkan pengaruh di kampus. Hanya saja yang paling menonjol adalah eksistensi dan kepentingan, bukan perjuangan. Misalnya pada momen penyambutan mahasiswa baru tampak jelas "persaingan" mencari kader-kader baru. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa telah kesulitan mencari kader baru.

Dalam demokrasi di kampus melalui pemilihan presiden mahasiswa (tingkat universitas), gubernur mahasiswa (tingkat fakultas), dan ketua himpunan mahasiswa (tingkat jurusan/departemen), yang tampak adalah kepentingan segelintir orang dan kepentingan organisasi tertentu, termasuk organisasi ekstra kampus. Maka tidak mengherankan, organisasi kemahasiswaan di kampus, katakanlah senat mahasiswa, nihil dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa itu sendiri.

Parahnya, jabatan-jabatan sebagai senat mahasiswa hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Misalnya, meningkatkan posisi tawar untuk memperoleh beasiswa, membuat proyek-proyek kegiatan, dan kegiatan yang tak ada hubungannya dengan aspirasi mahasiswa. Sialnya, senat mahasiswa ini bisa "dibeli" dan dijinakkan oleh pihak birokrasi kampus.

Mahasiswa menjadi terkotak-kotak karena saling menonjolkan eksistensi organisasi masing-masing dan terkontaminasi dengan kepentingan birokrasi kampus maupun eksternal kampus. Ini jelas-jelas merugikan mahasiswa secara keseluruhan. Kondisi ini juga melahirkan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi mahasiswa, persoalan kampus, dan bangsa.

Tekanan dari pihak kampus juga membatasi ruang gerakan mahasiswa. Misalnya dengan melarang menempelkan selebaran penyadaran di tembok-tembok kampus, melarang diskusi-diskusi kritis di dalam kampus, melarang mimbar bebas dan aksi demonstrasi di dalam kampus. Padahal, konstitusi memberikan kebebasan bersuara dan berserikat kepada semua warga negara. Namun, kampus sebagai tempat melahirkan calon-calon pemimpin bangsa justru membatasi kebebasan bersuara tersebut.

Hampir semua kampus membatasi mahasiswa menyampaikan suara kritisnya.

Satpam, pegawai, dan mahasiswa "kaki tangan" birokrasi kampus, bahkan preman, dijadikan sebagai tembok penghambat gerakan mahasiswa kritis di kampus. Mahasiswa yang kritis akan ditekan. Ada juga mahasiswa yang dijadikan sebagai "mata-mata" untuk mengawasi mahasiswa yang dianggap kritis.

Terakhir, gerakan mahasiswa semakin redup ketika banyak mahasiswa terjebak dengan kemajuan teknologi. Misalnya jejaring sosial seperti facebook, dan permainan game online, membuat mahasiswa asyik dengan dirinya sendiri dan kurang peduli dengan kehidupan sekelilingnya. Ditambah lagi budaya instan yang berkontribusi terhadap lemahnya gerakan mahasiswa.

Banyak mahasiswa yang menjadikan pusat perbelanjaan dan hiburan sebagai rumah kedua. Sementara "berkunjung" ke desa-desa, pemukiman kumuh, daerah bencana alam, dan tempat-tempat orang miskin, adalah hal yang sudah jarang dilakukan mahasiswa.

Apa yang terjadi dengan bangsa ini ke depan jika mahasiswa yang katanya sebagai agent of social control; pada kenyataannya apatis, hedonis, dan pragmatis? Apa yang terjadi jika mahasiswa hanya menjadi alat penguasa dan milik pemodal? Jawabannya sudah pasti bangsa ini akan semakin terpuruk. Lantas, bagaimana menyalakan gerakan mahasiswa kritis? Itulah yang perlu dipikirkan oleh mahasiswa secara kritis dan kreatif. Hidup mahasiswa! ***

Tulisan terbit di Harian Analisa, Rabu, 18 Mei 2011

Selasa, 22 Februari 2011

Pemuda dan Kredibilitas SBY

Oleh: Andri E. Tarigan

Pemuda merupakan tonggak perubahan yang sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan negeri ini. Hampir di setiap sendi sejarah perjalanan bangsa ini terdapat peran aktif para pemuda. Mereka berjuang dengan semangat dan pemikiran yang ditujukan untuk menegakkan kemanusiaan. Gerakan-gerakan yang digagas oleh para pemuda, menjadi kontrol sosial yang ampuh untuk menumbangkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan nilai luhur bangsa.

Gerakan pemuda yang bersejarah masih berlanjut dan masih bersuara sampai sekarang. Selama masa pemerintahan presiden SBY, hampir setiap bulan terlihat aksi-aksi pemuda yang menuntut keadilan dalam pemerintahan SBY. Demonstrasi besar terjadi pada masa 100 hari pemerintahan SBY. Aksi tersebut dilakukan karena SBY dianggap tidak mampu merealisasikan janji-janji yang diucapkannya saat kampanye. Aksi ini berlalu begitu saja, tanpa ada respon aktif dari masyarakat.

Demonstrasi masalah pangan juga banyak diberitakan di media. Salah satu dari demo tersebut adalah penentangan terhadap kebijakan mengimpor beras dari Thailand. Banyak pemuda, pekerja, dan para intelektual yang menentang kebijakan ini karena akan semakin menjauhkan pertanian di negeri kita dari kemandirian. Tuntutan para pemuda ini tidak direspon positif oleh pemerintah hingga baru-baru ini Thailand melakukan perlindungan bagi produknya dimana ekspor beras bagi Indonesia berkurang.

Di sepanjang 2010, ditemukan banyak kasus korupsi yang menggegerkan negeri kita. Mulai dari kasus aliran dana BLBI, bank Century, dan yang paling menggegerkan dan bikin geregetan: Gayus! Kesuburan lahan korupsi ini merupakan fokus yang tidak luput dari protes kaum muda. Tuntutan demi tuntutan juga dilayangkan dengan harapan kasus-kasus tersebut segera tuntas. Hanya saja, kasus-kasus tersebut tak kunjung tuntas, dan malah bertambah runyam dengan ditemukannya rekening buncit di tubuh Polri.

Di dunia pendidikan, aksi-aksi pemuda lebih ditujukan pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan masalah sistemik dalam skala nasional. Sebut saja UU BHP yang akhirnya batal direalisasikan. Kebijakan pendidikan nasional yang dianggap paling berpengaruh buruk tapi tak kunjung diubah adalah pelaksanaan UN.

Untuk hal kerusakan alam, pemuda banyak bersuara untuk kasus Lapindo. Kasus ini belum tuntas sampai saat ini dan daerah yang terancam oleh luapan lumpurnya juga semakin meluas. Kerusakan ini merupakan ancaman besar tapi belum diberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang harus bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terus bermunculan dari kasus ini.

Kasus-kasus TKI yang terus berlanjut dan perselisihan antar umat beragama juga termasuk agenda yang tak terselesaikan oleh pemerintah dan sangat disesalkan oleh para pemuda. Aksi-aksi demonstrasi, selebaran, dan tulisan-tulisan di media marak dilakukan agar pemerintah tidak gagal dalam menegakkan HAM bagi penduduk Indonesia. Pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap kaum pembela agama yang radikal dan anarkis yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945.

Kredibilitas?

Berbagai kasus yang tak terselesaikan seperti aliran dana BLBI, Century, Gayus, Lapindo, TKI, konflik agama, kesejahteraan, pendidikan, dan yang terbaru adalah membumbung tingginya harga cabe, merupakan hal yang kian menciderai kredibilitas SBY. Hampir semua tindakan SBY yang tampak di media dianggap sebagai pencitraan belaka. Banyak pula masyarakat yang pada akhirnya apatis karena tumpukan kasus tak terselesaikan dan maraknya kepentingan elite yang mengacaukan negeri ini.

Kredibilitas yang cidera ini semakin tampak dengan aksi tokoh-tokoh lintas agama yang menyuarakan berbagai kebohongan SBY. Mereka berpendapat bahwa pemerintah melakukan kebohongan karena terjadi ketimpangan antara pernyataan dan kenyataan. Data yang ditunjukkan pemerintah seolah permasalahan tidak ada, atau kecil. Padahal, permasalahan bangsa saat ini sangat akut dan menyangkut hak-hak yang asasi seperti agama dan kesejahteraan.

Aksi tokoh lintas agama itulah yang kembali memantik api pergerakan pemuda beberapa saat terakhir. Di berbagai tempat, para pemuda melakukan aksi-aksi demi menyuarakan agar SBY tidak lagi bohong bahkan meminta SBY turun dari jabatannya. Ada pula sekelompok pemuda yang melakukan aksi dengan membuat poster SBY berhidung panjang seperti Pinokio, dimana dalam orasinya mereka tidak lagi mengakui SBY sebagai presiden dan mengakhiri aksi dengan mengoyak poster SBY mirip Pinokio tersebut. Pada 24 januari lalu, berbagai organisasi mahasiswa melakukan demonstrasi dengan tuntutan yang sama dan berakhir dengan bentrokan antara mahasiswa dan polisi.

Rantai kasus yang tak terselesaikan merupakan agenda penting bagi SBY untuk memulihkan kredibilitasnya. Gaya kepemimpinan SBY selama ini, yang mengedepankan pencitraan dan mengesampingkan suara pemuda butuh koreksi khusus agar stabilitas nasional yang selama ini dibanggakan pemerintah tidak terganggu. Pemuda merupakan penyambung lidah rakyat yang berkekuatan, bisa dibayangkan apa jadinya bila pemuda tak lagi menghargai (kredibilitas) pemimpinnya.***


Penulis adalah ketua KDAS periode 2010/2011