Minggu, 28 Oktober 2012

Bahasa Indonesia dan Nasionalisme Pemuda

Oleh : Jhon Rivel Purba.
 
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di atas merupakan pernyataan sikap bersama sebagai bentuk komitmen pemuda-pemudi Indonesia yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang yang berbeda, untuk membangun semangat persatuan demi Indonesia Merdeka. Mereka sangat menyadari bahwa motor persatuanlah yang bisa mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.

Menurut Moehammad Yamin, ada lima faktor yang bisa memperkuat semangat persatuan, yaitu: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Seirama dengan itu, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau tidak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya". Dalam tulisan ini penulis fokus menguraikan tentang penggunaan bahasa Indonesia di masa kini dan kaitannya dengan nasionalisme pemuda.

Memudarnya Nasionalisme Pemuda

Akhir-akhir ini, salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah memudarnya semangat nasionalisme khususnya dalam diri generasi muda. Rasa bangga terhadap sejarah dan budaya bangsa khususnya bahasa Indonesia, yang merupakan salah satu prinsip nasionalisme, kini sudah redup. Generasi muda tampaknya tidak lagi memaknai arti penting bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan, kemerdekaan, persatuan, persaudaraan, dan pembangunan.

Banyak faktor yang menyebabkan memudarnya semangat nasionalisme generasi muda dalam berbahasa Indonesia. Pertama, kurangnya penanaman nilai-nilai penting penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kedua, pengaruh media di tengah-tengah arus globalisasi. Ketiga, minimnya keteladanan dari pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat.

Meskipun seorang pemuda sudah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia di dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal dari sekolah dasar hingga perguguran tinggi, tetapi seseorang itu belum tentu memiliki rasa bangga berbahasa Indonesia. Berarti ada sesuatu yang kurang, yakni proses pendidikan bahasa Indonesia itu tidak didasari oleh nilai-nilai kebangsaan. Sehingga meskipun seseorang bisa fasih berbahasa Indonesia, tetapi tidak menyadari arti pentingnya bahasa itu bagi dirinya maupun bagi bangsanya.

Bagi generasi 1928 maupun 1945, bahasa Indonesia adalah bahasa perjuangan dan persatuan untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi bukti bahwa pemuda menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bagaimana dengan generasi sekarang? Generasi muda sekarang pada umumnya tidak menjiwai dan memaknai bahasa nasional tersebut sebagai bahasa perjuangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Justru ada kecenderungan generasi muda merasa rendah diri menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa asing. Orang yang berbahasa Inggris dianggap lebih hebat dan pintar dari pada berbahasa Indonesia. Dalam berkomunikasi, tidak sedikit generasi muda yang mencampur bahasa nasional dengan bahasa Inggris. Barangkali mereka ingin kelihatan hebat.

Bahkan anehnya, dalam berbagai acara atau kegiatan, kata-kata bahasa Inggris selalu menghiasi tema dan susunan acara tersebut. Padahal acaranya berlangsung di Indonesia dan semua pesertanya juga orang Indonesia. Ada pun alasan yang mereka lontarkan adalah supaya acara tersebut kelihatan hebat dan orang-orang tertarik untuk mengikutinya. Sungguh aneh.

Di ruang publik pun demikian. Tulisan-tulisan berbahasa asing menghiasi ruang publik, misalnya di jalan raya, terminal, bandara, pasar, dan sebagainya. Sialnya, banyak kata-kata yang mengungkapkan petunjuk, keterangan, maupun rambu-rambu, hanya menuliskannya dalam bahasa Inggris. Artinya bahasa Indonesia tidak lagi menjadi "tuan" di negerinya sendiri.

Media (cetak maupun elektronik) juga ikut "ngingris" ria dalam setiap pemberitaan dan siarannya. Tentu ini tidak terlepas dari kepentingan si pemilik media untuk menarik perhatian pembaca, pendengar, dan penonton untuk menjadi konsumen media tersebut. Fungsi media yang seharusnya mendidik masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, ternyata dikubur kepentingan bisnis. Pada akhirnya, masyarakat ikut terbawa arus.

Selain itu, minimnya keteladanan pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia, turut memperburuk nasionalisme berbahasa di kalangan kaum muda. Kesalahan berbahasa Indonesia yang dipertontonkan oleh pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat ini seringkali kita saksikan dalam berbagai pidato, seminar, kampanye, sidang, khotbah, ceramah, dan diskusi publik.

Solusi

Semangat kebangsaan dalam berbahasa Indonesia harus dibangkitkan kembali. Dengan harapan, supaya semua warga negara Indonesia hendaknya menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bersama, bahasa kebanggaan, bahasa persatuan, bahasa persaudaraan, bahasa perdamaian, bahasa perjuangan, dan bahasa pembangunan. Memang, untuk mencapai harapan ini bukanlah tugas yang mudah, melainkan tugas yang harus terus dikerjakan selama Indonesia masih ada.

Oleh sebab itu, harus ada komitmen bersama untuk mencapai tujuan bersama dengan langkah bersama. Pertama, penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa Indonesia diterapkan dengan berkesadaran sejarah. Di sini perlu ditekankan arti penting bahasa Indonesia bagi tiap-tiap individu maupun bagi bangsa. Ada pun tempat paling strategis dalam proses penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa ini adalah dalam lembaga pendidikan formal.

Kedua, dibutuhkan media yang konsisten dalam menyajikan menu bahasa Indonesia yang sehat. Surat kabar, radio, televisi, dan media lainnya kiranya melaksanakan fungsinya untuk mendidik masyarakat dan sebagai alat untuk mengawal penggunaan bahasa Indonesia. Perlu ditekankan, penggunaan bahasa asing bukanlah hal yang salah asal pada saat dan tempat yang tepat.

Ketiga, semua elemen masyarakat mulai dari pemimpin, pejabat publik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, mahasiswa, hendaknya memiliki kesadaran yang sama dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kesadaran yang sama akan melahirkan gerakan penyadaran bersama dalam membumikan bahasa Indonesia. Gerakan penyadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan bahasa, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, serta menggunakan sarana media komunikasi dan informasi.

Keempat, perlu didorong dan dibuka ruang bagi masyarakat khususnya pemuda untuk menghasilkan karya yang mendukung pengembangan bahasa Indonesia. Karya itu hendaknya digali dari bumi nusantara dengan tetap menjaga kearifan lokalnya. Dengan demikian rasa cinta terhadap bahasa Indonesia akan tercipta melalui pengenalan sejarah bahasa Indonesia dan melalui karya konkret pengembangan bahasa Indonesia. ***

Sumpah Pemuda di Langit Konflik

Oleh: Andri E. Tarigan

Setiap 28 Oktober, warga negara Indonesia dapat menyaksikan dikumandangkannya sebuah ikrar yang sangat mulia. Ikrar yang menjadi pondasi awal perjuangan kolektif para pendahulu kita untuk memperjuangkan terbentuknya negara merdeka. Jadilah Republik Indonesia, sebuah mahakarya yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Persatuan adalah gagasan yang dikumandangkan sebagai syarat utama pencapaian kemerdekaan, yang disampaikan dalam Sumpah Pemuda. Selain persatuan, ada juga gagasan yang tak kalah penting yakni rasa memiliki. Rasa memiliki tanah air, memiliki bangsa, memiliki bahasa. Hal-hal yang sengaja diabaikan oleh pemerintah status quo pada masa itu, yaitu pemerintahan Hindia Belanda.

Semenjak Sumpah Pemuda diikrarkan, ambisi untuk merebut kepemilikan aset produksi dan kekuasaan administratif bertumbuh subur. Gerakan demi gerakan berkembang. Pemuda, para mahasiswa intelektual, petani dan buruh, dan berbagai elemen lainnya mulai terjun ke ranah politik. Upaya merebut hak bermunculan ke permukaan.

Indonesia adalah milik Indonesia, bukan milik Belanda, atau imperialis lainnya. Seperti itu spiritnya, mengingat bangsa Indonesia kala itu jauh dari sejahtera. Bukan karena tak produktif, rakyat bekerja keras seharian. Hanya saja ada sistem penghisapan yang dikondisikan pemerintah kolonial. Sehingga untuk melawan itu, rasa persatuan dan rasa memiliki dikumandangkan.

Langit Konflik
Memandang Indonesia saat ini, Sumpah Pemuda seakan sudah tergadaikan. Kalimat-kalimatnya seperti hanya formalitas penghias di setiap upacara kenegaraan. Di luar upacara, para siswa tawuran. Premanisme ala organisasi masyarakat (ormas) merebak. Konflik tanah terjadi di berbagai wilayah. Masyarakat adat terancam. Saham BUMN tergadaikan ke tangan pemodal asing. Pejabat korup. Dimana persatuannya?

Masih panas terasa peristiwa pembakaran kantor bupati oleh rakyat, yang terjadi di Bima. Rakyat menunjukkan amarah yang tentu tak mungkin muncul begitu saja. Ada tekanan sosial-ekonomi, yang membuat rakyat sebegitu militannya. Sehingga rakyat melakukan tekanan balik, bottom-up pressure.

Di Jakarta, anak SMA dengan bangganya melakukan baku hantam. Menyampaikan hasrat menjadi hebat dengan aksi kekerasan. Tawuran ditradisikan. Diekspos pula setiap harinya di televisi. Bukan tak mungkin, baku hantam ini menjadi "inspirasi" bagi siswa SMA lainnya untuk melakukan hal serupa di daerah.

Masyarakat adat, terancam eksistensinya, tanah leluhur yang tergolong dalam hak ulayat kerap dieksploitasi oleh para pemilik modal dengan perusahaannya. Bentuk eksploitasi bisa berupa pengkerukan tanah demi pertambangan, atau berupa konversi tanaman rakyat menjadi perkebunan swasta. Eksploitasi ini menegaskan banyak hal, seperti dirampasnya perolehan kesejahteraan, dan dicederainya eksistensi adat masyarakat. Tak pelak, berujung konflik dan pembantaian.

Bagaimana hendak bertanah-air satu, sedangkan tempat tinggal dan tempat mencari makan dirampas? Untuk hidup saja susah. Belum lagi di perkotaan, Kaum Miskin Kota (KMK) kian menjadi korban penggusuran, rumah warga dirubuhkan dan digunakan untuk pembangunan real estate, proyek para pemilik modal. Pedagang kaki lima yang mendera kemiskinan, juga turut merasakan penggusuran.

Rakyat miskin jumlahnya mayoritas di negeri ini. Tak heran kalau rakyat miskin banyak menuntut, karena memang kekayaan alam di negara ini tak mampu dinikmati bersama secara merata. Ada saja sekelompok kecil orang yang memperoleh keuntungan masif. Dan tak heran kalau rakyat memilih jalan kisruh, karena hukum tak kunjung memunculkan jawaban atas kemiskinan. Entah karena hukumnya kurang sempurna, atau karena instansinya yang korup.

Muara dari kesenjangan sosial dan tradisi kekerasan/premanisme adalah konflik tak berujung. Belum lagi, pemilik modal yang bermain di kesenjangan sosial tersebut ternyata sebagian besar adalah orang asing. Semakin besarlah letupan konflik, entah dimana nasionalisme. Indonesia bak langit konflik, penuh perpecahan yang memuncak.

Dari tanah Batak sampai Papua masyarakat adat menjerit, melawan demi terlindungnya tanah ulayat. Di sisi lain, pemodal asing mengeksploitasi tanah Indonesia melalui berbagai perusahaan besar, dan tak jarang memantik pertikaian. Dimana wujud perjuangan kolektif melawan imperialisme asing demi kesejahteraan bersama dan lestarinya bangsa, yang seharusnya ada berkat Sumpah Pemuda?

Di upacara-upacara, Sumpah Pemuda dikumandangkan dengan indahnya. Barisan pejabat atau para siswa, tegas mengucapkan kata per kata warisan pemuda-pejuang dari awal abad keduapuluh itu. Bukan tak mengerti maknanya, bukan tak paham bahwa Sumpah Pemuda mengisyaratkan persatuan dan kepemilikan bersama. Sumpah tersebut berkumandang di langit konflik Indonesia. Takutnya, dampak Sumpah Pemuda hanya pemuasan pikiran semata. ***

Jumat, 29 Juni 2012

Menyoal Peringkat Indonesia dari Publikasi Failed States Index 2012

Oleh : Marthin Fransisco Manihuruk. 
 
Organisasi Internasional yang berkedudukan di Amerika
Serikat, yaitu The Fund for Peace dalam situsnya, www.fundforpeace.org, telah mempublikasikan daftar dan urutan-urutan dari negara-negara yang dianggap mendekati status negara gagal. Indonesia, yang mana juga masuk dalam daftar tersebut berada di peringkat 63 dari 178 negara dengan nilai ttal indeks 80,6 yang masuk kategori dalam bahaya. Padahal tahun lalu, Indonesia berada di peringkat ke 64 dari 177 negara. Ini membuktikan, bahwa Indonesia semakin buruk keadaannya dan semakin mendekati statusnya sebagai negara gagal. Biasanya negara yang dikategorikan seperti ini adalah negara yang status nya masih dalam keadaan perang. Tetapi Indonesia bukan dalam keadaan perang. Lantas apa yang menjadi permasalahan?
Fund for Peace mengukurnya dalam 12 indikator, yaitu, demographic Pressures, Refugees and IDPs, Group Crievance, Human Flight, Uneven Development, Poverty and economic decline, Legitimacy of the state, Public service, Human Rights, Security Apparatus, Factionalized Elites, External Intervention. Dalam pengukuran tersebut, Indonesia sangat terpuruk dalam 3 bidang yaitu, demographic pressure, human rights, dan Group crievance yang masing-masing nilai indeks kegagalannya yaitu 7,4, 6,8, dan 7,1. Secara faktual dapat dilihat bahwa kebenaran dari hasil pengukuran Fund for peace adalah Benar.

Kebenaran itu dapat dilihat dari fakta-fakta yang ada. Yang pertama adalah mengenai Demographic pressure yang dinilai sangat rendah dapat dilihat yaitu bahwa semakin meningkatnya jumlah penduduk. Program-program yang dilaksanakn pemerintah tak maksimal, baik itu berupa usaha KB (keluarga berencana) yang merupakan program andalan pemerintah dalam mengurangi pertumbuhan penduduk, maupun program desain dan tata letak wilayah serta infrastruktur dan suprastruktur pembangunan. Pengelolaan dalam menangani hal ini masih kurang. Sebut saja kota Jakarta yang sudah di stigma kan sebagai ikon kota termacet dan terpadat seluruh Indonesia. Padahal Jakarta merupakan kota metropolitan yang masuk dalam jajaran peringkat 2 dunia dalam hal penduduk. Ini tentu membawa imej buruk bagi Jakarta sendiri, yang mana dianggap sebagai kota yang "buruk". Menajemen desain tata kota yang baik sampai sekarang tak bisa dibuat walapun pemimpin daerahnya sudah berkali-kali

Kemudian yang kedua adalah mengenai Human Rights (hak-hak Azasi Manusia). Pengakuan dan penegakan HAM Indonesia masih merupakan coretan Hitam. Contohnya adalah kasus penembakan misterius yang kerap terjadi di Papua yang saat ini tidak ada jelas satupun pelakunya ditangkap. Penembakan ini selalu saja dikaitkan dengan OPM (organisasi Papua Merdeka) walaupun tak ada bukti yang nampak. Dalam UUD 1945 Indonesia sudah mencantumkan HAM sebagai hak yang tertinggi dan diakui. Tak hanya itu, UDHR (universal Declaration of Human Rights) juga mengakuinya dan Indonesia sudah meratifikasinya.Akan tetapi itu hanya menjadi dokumen bagi negara. Hasil Keburukan Indonesia dalam penegakan HAM tampak pada sidang UPR, dimana Indonesia diwakili oleh Menlu nya sendiri. Menlu tak dapat memberikan keterangan tentang penegakan HAM di Indonesia. Di dalam sidang UPR (Universal Periodic Review) yang dilaksanakan di Genevaa, Swiss, jelas penegakan HAM Indonesia dipertanyakan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Direktur Eksekutif HAM Asia, Wong Kai Shing bahwa respons Indonesia terhadap penegakan HAM tak lebih dari sekedar penyangkalan-penyangkalan tak berarti.

Dan yang ketiga adalah mengenai Group Crievance (protes kelompok minoritas). Implikasi yang dapat kita lihat secara langsung yaitu mengenai Intoleransi beragama di Indonesia. Penutupan gereja GKI Yasmin Bogor adalah salah satu diantara banyaknya kasus-kasus Intoleransi beragama. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa pendirian Gereja GKI Yasmin adalah sudah sah ke legalannya. Tentu saja hal ini menjadi sorotan masyarakat Dunia. Semua hal yang diurusi Indonesia sangat tampak hanya sebagai dagelan-dagelan tak berarti.

Faktor Ketidakseimbangan

Seyogianya menurut penulis, yang menjadi permasalahan disini adalah Indonesia terhadap 12 Indikator tersebut. Pada dasarnya, 12 indikator tersebut haruslah seimbang. Namun yang sering terjadi adalah adanya salah satu faktor yang dianggap "utama" dan dititikberatkan.

Salah satu dari 12 indikator yang sering diutamakan Indonesia yang kontras kita lihat adalah External Intervention. Seringnya Indonesia melakukan External Intervention ke negara lain, khususnya bagi negara yang sedang konflik ataupun perang, membuat dunia pun tahu bahwa Indonesia adalah negara yang paling sering memberikan kontribusi bagi perdamaian dunia. Hal itu tampak dari bantuan Indonesia yang memberikan relawan untuk membantu korban perang. Contoh yang nyata adalah pada perang Israel dan Palestina. Indonesia begitu keras memprotes kekejaman yang dilakukan Israel kepada Palestina karena dengan alasan Kemanusiaan dan Agama. Dan akhirnya Indonesia pun banyak di berikan penghargaan dalam hal menjaga perdamaian dunia. Memang sebagai masyarakat Internasional, Indonesia juga harus turut membantu para korban perang, dan menjaga ketertiban dunia sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 45 alinea 4. Namun, disisi lain ada ketimpangan. Banyak dari para korban TKI yang mati dibunuh di Arab Saudi, Malaysia dan di negara yang lain, Indonesia tidak pernah memperotes dengan keras. Padahal TKI yang mati dibunuh sangat berkaitan dengan harga diri bangsa.

Inilah yang disebut dengan ketimpangan antara satu indikator dengan indikator yang lainnya. Ada faktor yang diutamakan, sedangkan faktor yang lain diremehkan. Saya kira sangat wajar Indonesia dikategorikan sebagai negara yang mendekati gagal walaupun tidak sedang dalam keadaan perang.

Harus Seimbang

Dari fakta-fakta yang ada diatas, jelas bahwa negara Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang hampir gagal (in danger). Walaupun Menkopolhukam Djoko Suyanto mengatakan bahwa Indonesia bukan negara gagal, seyogianya hal itu adalah keliru. Walaupun negara tidak dalam keadaan perang, tetapi faktor utama ada pada 12 indikator yang dibuat fund for peace.

Mau tidak mau, dalam mengatasi hal ini Indonesia sebenarnya sudah diberikan solusi. 12 Indikator yang dijadikan indeks kegagalan negara merupakan jawaban dari semua akar permasalahan. Dalam mengatasi Indonesia sebagai negara gagal, sangat dibutuhkan adanya keseimbangan antara 12 indikator tersebut. Indonesia tidak boleh mengutamakan satu Indikator dalam membuat keberhasilan suatu negara.***

Tulisan ini terbit di Harian Analisa, 29 Juni 2012

Selasa, 13 Maret 2012

WWF Legitimasi Aqua Farm Cemari Danau Toba

Oleh : Karmel Simatupang. Sudah banyak kalangan protes tentang keberadaan PT Aquafarm
Nusantara di Danau Toba, LSM maupun komunitas masyarakat pencinta Danau Toba berulang kali pula melakukan pengamatan langsung, mengkritisi di media, bahwa selain merusak keindahan pemandangan Danau Toba, KJA Aquafarm juga telah mencemari Danau Toba, tetapi Aquafarm tetap membandel dan sepertinya kebal hukum. Terakhir, Aquafarm berhasil memperalat lembaga Internasional WWF, melegitimasi pencemaran air Danau Toba.
Legitimasi itu, dilontarkan WWF ketika mengunjungi lokasi proyek budidaya ikan nila, milik PT Aquafarm Nusantara (PTAN) di Danau Toba (DT), (Siantar Simalungun, 20/1). Mereka disambut hangat Manajemen PT Aquafarm. WWF pun menyimpulkan, aktifitas budidaya ikan nila PTAN telah memenuhi standar ISRTA (International Standards for Responsible Tilapia Aquaculture) dan Sertifikat Global GAP. Kini Aquafarm telah mengantongi sertifikatnya ISTRA dan Gobal GAP sebagai senjata ampuh.

Melalui sertifikat ini menjamin PTAN mengklaim aktivitasnya memenuhi semua kriteria untuk teknis budidaya ikan yang menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Dari sini kita belajar bahwa korporasi menggunakan segala cara, melanggengkan produksinya.

Selama ini kita mendukung keberadaan WWF (World Wildlife Foundation) karena peduli lingkungan, alam yang bersahabat tetapi sekarang kok ikut-ikutan menyetujui pencemaran DT?, bukankah sudah jelas kita tahu pakan ikan keramba jaring apung (KJA) sebagian besar mengendap ke danau dan mencemari danau setiap hari.

Sudah jelas pula di lokasi ditemukan kandungan fosfor, karbon dan nitrogen yang sangat merusak kualitas air. Kandungan fosfor melalui proses kimiawi dalam bentuk senyawa fosfat dapat dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan peningkatan kekeruhan air.

Peningkatan pertumbuhan eceng gondok yang membludak di DT adalah bukti booming-nya pencemaran ke danau ini. Eceng gondok hanya tumbuh di air kotor. Ekosistem menjadi tak seimbang, kualitas air menurun, konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah bahkan sampai batas nol, makanya mahluk hidup di air DT dan spesies lainnya bermatian.

Hilangnya beberapa spesies seperti ikan (Ihan Batak) di DT menguatkan sintesa bahwa ekosistem air DT sudah dalam tahap pencemaran kelas tinggi. Padahal di tahun 80-an ikan Ihan Batak itu cukup gampang di jumpai. Selain itu, terganggunya rantai ekosistem air akan membawa resiko kepada kesehatan manusia dan hewan. Menghilangkan nilai konservasi, estetika, rekreasional dan parawisata sehingga membutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tak sedikit.

Tidak Benar

Kembali ke soal WWF. Selama ini kita tahu WWF Indonesia, yang berpusat di Swedia ini, cinta lingkungan bahkan bervisi memperbaiki kerusakan lingkungan dan melestarikan keanekaragaman hayati. Tapi kini menjadi berwajah ganda. Lembaga internasional mencampuri urusan Danau Toba, itu artinya gurita kapitalisme internasional semakin menancapkan kukunya di bawah rejim SBY-Budiono. Pengambil kebijakan tak berdaya dan tak berdaulat.

Di lain hal, pada Harian Medan Bisnis, (26/1), WWF meminta semua pihak agar turut serta menjaga kelestarian Danau Toba. WWF berharap agar aktivitas ekonomi di Danau terindah dan terbesar di Asia Tenggara ini berjalan selaras. Disinilah logika berpikir mentok, dan WWF seperti bermuka dua. Disatu sisi mendukung kelestarian lingkungan, tetapi disisi lain justru melanggengkan pengrusakan lingkungan.

Bersama itu pula dilansir dari alamat www.medansatu. com, (13/2), Koalisi IX LSM Sumut mengatakan harus menyikapi keberadaan PT. Aquafarm di DT dengan rasional. Hampir sama dengan WWF, Koalisi IX LSM Sumut mengklaim tidak ada pencemaran berarti di DT. Dengan kata lain mereka membantah tentang adanya pencemaran yang dilakukan perusahaan di DT.

Dalam investigasi Koalisi IX LSM Sumut ini juga menyatakan lokasi KJA jauh dari keramaian sehingga tidak mengganggu keindahan DT. Padahal, kita melihat secara gamblang lokasi KJA bertebaran di lokasi wisata inti, seperti di Tiga Ras, Simalungun, Haranggaol, Parapat, Tobasa, Silalahi, Tongging dan tempat lainnya. Maka kita dapat menyimpulkan hasil investigasi Koalisi IX LSM ini tidak valid, dan bertentangan dengan kenyataan. Mungkin publik akan balik bertanya, lalu, siapa yang rasional?.

Diperkirakan setiap hari ada 200 ton ton pakan ikan masuk ke air DT, atau sekitar 73.000 ton pertahun. Bagaimana kalau sudah 10 tahun keatas. Tak terbayang bagaimana massifnya pencemaran yang ditimbulkannya. Saat ini KJA susah dihitung luasnya karena tersebar di sepanjang Kawasan Danau Toba.

Kembalikan Air Danau Bersih

Untuk kesekian kalinya ekosistem Danau Toba diganggu secara paksa, terutama oleh korporasi dan turunannya. Hutan sebagai penyangga DT, telah terlanjur di babat habis dan masih berlangsung hingga kini. Cerita tentang keindahan dan sejuknya panorama DT, mungkin akan tinggal kenangan bagi anak cucu kita nantinya, jika kondisi saat ini terus berlangsung.

Kita tahu ada banyak sekali tekanan yang kini dihadapi DT. Isu terbaru kembali membuat mata kita terbelalak, seputar polemik penumbangan Hutan Tele Samosir seluas 2.250 hektar, yang katanya untuk dijadikan tanaman bunga oleh PT. EJS asal Korea. Padahal hutan ini hanya sisa penjaga debit dan kualitas air DT.

Memang banyak pihak yang menyatakan peduli dengan danau ini, termasuk bantuan dana besar. Ada banyak seminar, forum ataupun komunitas pencinta DT, bahkan ada agenda tahunan membuat pesta DT yang didanai APBN. Namun nasib Danau ini tetap merana. Volume air terus menurun. Pun pence maran terus menjadi-jadi. Yang selalu muncul adalah kekerasan terhadap luar dalam DT.

Tak bisa dimungkiri, air DT sebenarnya menghidupi masyarakat Sumatera Utara dan merupakan bagian ekosistemnya Dunia. Walau secara administrasi ada 7 Kabupaten yang bersinggungan dengan Kawasan Danau Toba, namun sebenarnya hampir semua kabupaten penerima manfaat dari keberadaan DT. Energi listrik yang dikonsumsi Sumut jelas bergantung pada kelestarian air DT. Itu berarti DT memberikan sumbangsih yang cukup besar menopang hidup manusia.

Akhirnya, sesat pikir dan hilangnya nalar harus disudahi. DT harus dilindungi dari tangan-tangan jahil korporasi jahat. Dipulihkan dan dilestarikan. Danau Toba tak hanya butuh perawat, tapi juga kebijakan untuk merawat. Dan pemimpin bangsa ini kiranya tak lagi mengingkari fungsi dan eksistensi keberadaan DT. Semoga.***

Tulisan ini terbit di Harian Analisa, 13 maret 2012

Jumat, 02 Maret 2012

Hentikan KRIMINALISASI dan INTIMIDASI terhadap Petani serta KEMBALIKAN TANAH RAKYAT di SUMUT

Oleh:
HMI kom's FISIP USU, SMI, FMN, dan KDAS yang tergabung dalam aliansi Front Mahasiswa Sumatera Utara (FROM-SU)
28 Februari 2012

Kedaulatan merupakan hak semua rakyat Indonesia..!!
Mungkin saja, kekuasaan dapat merubah arah sejarah sesuai dengan kepentingan penguasanya, tetapi tidak dapat merubah esensi sejarah itu sendiri. Arah sejarah dapat dibelokkan, dirubah secara sistematis (baca: licik) dengan cara membungkam kebenaran, dengan cara mengabaikan fakta-fakta.

Agaknya, inilah yang terjadi di Kecamatan Pulau Raja, Asahan. Kekuasaan tengah memproses dan menempatkan hukum dan serangkaian aturan yang lebih memihak kepentingan penguasa (pemodal), dibandingkan dengan kebenaran sejati. Kasus pembunuhan terhadap Poridin Sipakkar (preman) yang tidak pernah dilakukan petani, malah diproses secara cepat dan memenjarakan 3 orang petani yang tidak bersalah.

Kasus ini terjadi pada hari Jumat (20/1), yang sampai siang hari kondisi Poridin masih sehat. Sebelum dibunuh, justru Poridin yang melakukan penganiayaan terhadap salah seorang petani pada pagi hari bersama kedua temannya. Karena dianggap keberadaan Poridin yang telah mengganggu dan menganiaya petani, korban pun dijemput oleh Polsek ke tempat kejadian agar menghindari sesuatu yang tidak diinginkan berdasarkan informasi dari petani yang berada di tempat. Pada saat mau dibawa ke Polsek Pulo Raja dengan disaksikan beratus warga (petani), korban dalam keadaan sehat, namun beberapa waktu kemudian warga mendapatkan informasi kalau Poridin telah meninggal.

Malang, petani malah dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Tidak sampai disitu saja, beberapa orang yang mengaku warga sekitar dan mahasiswa melakukan demonstrasi (aksi bayaran) turut memfitnah petani yang tidak bersalah. Kasus ini berawal dari permasalahan tanah petani yang dirampas oleh oknum-oknum (pengusaha) yang diindikasikan bekerjasama dengan pemerintah daerah serta pihak aparat hukum sekitar.

Permasalahan tanah (agraria) tidak hanya terjadi di daerah tersebut, namun masih banyak lagi daerah-daerah yang telah dieksploitasi oleh pihak penguasa (pemodal) yang telah "membeli" hukum di negara ini dan Sumut secara khusus guna melancarkan perbuatan busuknya.

Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Aliansi Front Mahasiswa Sumatera Utara (FROM-SU) melakukan aksi solidaritas menuntut:

1. Mengecam tindak intimidasi, kriminalisasi dan bebaskan 3 petani anggota SPI (Serikat Petani Indonesia) di Kec, Pulau Raja, Asahan.
2. Tangkap dan adili mafia perkebunan di Pulau Raja.
3. Kembalikan tanah rakyat di Pulau Raja.
4. Hentikan premanisme terhadap petani.
5. Hentikan perampasan tanah petani oleh PTPN II dipersil IV Deli Serdang
6. Stop galian C yang beroperasi di lahan garapan Kelompok Tani 7179 di Marendal

Kamis, 09 Februari 2012

Berkobarnya (Rakyat) Bima

Oleh : Andri E. Tarigan

    Gaung Bima kembali menggema. Setelah Desember lalu kabar dari Bima, NTT, tentang aksi rakyat yang berujung penembakan oleh aparat telah menggemparkan Nusantara, kini rakyat Bima beraksi kembali. Tidak tanggung-tanggung, dalam aksi kali ini rakyat membakar kantor bupati dan kantor KPUD. Mengapa rakyat bisa sedemikian marah?
    Rakyat telah memilih anarkisme, sesuatu yang ilegal, membahayakan keselamatan. Tentu ada tekanan-tekanan yang membuat rakyat sedemikian nekad melakukan hal tersebut. Penyebab mula-mula adalah konflik tanah, konflik yang memang akhir-akhir ini banyak memicu amarah rakyat di berbagai daerah di Indonesia.
    Demi penyelesaian konflik tanah di wilayah Bima ini, rakyat sudah turun melakukan demonstrasi semenjak April 2011 lalu, dilakukan secara baik-baik. Aksi berlanjut terus sampai akhirnya di Desember 2011, rakyat Bima harus menelan pahit karena terjadi insiden penembakan oleh aparat yang menewaskan pendemo. Yang dituntut oleh para pendemo adalah agar pemerintah segera mencabut izin penambangan PT Sumber Mineral Nusantara di tanah Bima yang disinyalir merusak lingkungan dan mengganggu mata pencaharian rakyat setempat.
    Demonstrasi yang berkepanjangan ini sudah diketahui oleh pemerintah pusat, bahkan Komnas HAM juga sudah menyurati pemerintah daerah agar tuntutan rakyat dikabulkan. Tapi entah kenapa Pemda setempat lambat menanggapinya. Baik desakan rakyat maupun saran pemerintah pusat tidak kunjung dikabulkan, sehingga, rakyat pun memilih langkah alternatifnya.
    Sebuah langkah alternatif yang ekstrim. 26 Januari 2011, rakyat Bima berkumpul dan berunjuk rasa demi penuntasan kasus kerusuhan di Pelabuhan Sape pada Desember lalu dan pencabutan izin tambang PT SMN. Berharap bisa berdialog dengan bupati setempat, rakyat ternyata tidak “diladeni”, bupati tidak ada di kantor. Sontak, amarah meluap. Tujuh ribuan massa pendemo mengepung kantor bupati dan melakukan pembakaran terhadap gedung. Polisi yang hanya berjumlah puluhan tidak sanggup mengamankan.
Berpihak Pada Rakyat
    Yang dibutuhkan oleh rakyat di daerah manapun, adalah adanya pemerintah yang tegas, yang berpihak pada rakyat. Demikian pula rakyat Bima. Tentu rakyat yang mayoritas bergantung pada hasil alam baik sebagai petani maupun pencari ikan laut yang selayaknya lebih diutamakan. Dan miris, pemerintah daerah Bima seperti lebih memihak pada para elit terutama para pemodal, atau lebih tepatnya pemilik PT SMN. Izin yang dikeluarkan atas aksi eksplorasi pertambangan PT SMN tak kunjung dicabut sekalipun rakyat sudah berlelah-lelah menyampaikan keluhan mereka.
    Jika kini rakyat sampai melakukan aksi anarkistis, maka kesalahan mereka hanya bisa dinilai masih sebatas melanggar hukum. Amarah mereka manusiawi, mengapa pemerintah terlalu lambat? Turunnya ribuan massa, jumlah yang tidak sedikit, jelas merupakan indikator nyata bahwa beroperasinya pertambangan tersebut merupakan sebuah masalah yang besar dan serius.
    Lebih lanjut, keseriusan masalah pertambangan ini sudah direspon DPRD kabupaten Bima. Rapat paripurna DPRD membahas masalah tersebut dan memutuskan untuk meminta bupati mencabut izin pertambangan. Tetapi, Bupati Bima yakni Ferry Zulkarnain, tak kunjung memberi respon langsung (tempo.co, 26 Januari 2012).
Bupati tak di kantor, kantor bupati dibakar. Sebuah konsekuensi yang sebenarnya turut mencoreng nama pemerintah Indonesia secara keseluruhan. Bukan kisah baru lagi di negeri kita bahwa acapkali demonstrasi rakyat dilakukan di kantor-kantor pemerintahan tetapi pemerintahnya sendiri tidak di kantor, tidak menanggapi aspirasi para pendemo. Rakyat Bima memperbaharui kisah tersebut. Kali ini, ada amarah yang meluap. Ada kantor yang terbakar!
Sejalan
Pemerintah Indonesia secara keseluruhan kini harus lebih matang dalam hal manajemen konflik. Rakyat Indonesia sudah semakin emosional. Pemerintah layak untuk lebih sering mengambil jalan tengah, mengedepankan stabilitas, menerapkan kebijakan dengan lebih bijak.
Jika Presiden SBY mau turun tangan untuk perdamaian di dunia internasional, maka para “bawahan” Presiden tentu harus turut bijak pula mengedepankan perdamaian. Pemerintah juga perlu lebih giat menambah nilai diri, bertransformasi. Bagaimana memunculkan kecintaan rakyat kepada negara dan perangkat-perangkatnya. Memang sulit, karena banyak rakyat terlanjur apatis akibat tindak korupsi yang marak terjadi di tubuh pemerintahan. Tapi rakyat gerah butuh penyegaran. Dan jawaban atas itu adalah transformasi, kalau bukan revolusi.
Penulis yakin, pemerintah Indonesia bukan pemerintah yang malas, bukan pemerintah yang hanya bisa bertindak selaku “pemadam kebakaran”, yang membiarkan saja rakyat terbakar dalam amarah sehingga terjadi kerusuhan-kerusuhan lalu memadamkannya dengan kebijakan-kebijakan yang represif, terjadi kekerasan. Indonesia adalah negeri yang berbudaya, harusnya pemerintah bisa “mencuri” hati rakyat dengan mengusung nilai-nilai budaya itu, pemerintah bisa sejalan dengan rakyat.
    Perihal Bima, api ada karena ada pergesekan. Kobaran amarah yang menggerakkan rakyat Bima menunjukkan bahwa pemerintah setempat belum mampu untuk sejalan dengan rakyat. Sementara, peran pemerintah adalah pengayom. Saat rakyat bergerak sampai melanggar batas, perlu dipertanyakan, sudah sejauh mana peran aktif pemerintah sebagai pengayom.***

Sabtu, 07 Januari 2012

Mencoba Menjadi Indonesia, Mulai 2012

Oleh: Jakob Siringo-ringo


Tulisan ini terinspirasi dari sebuah judul buku sejarah Negara Sumatera Timur dengan peristiwa penting masa itu (Maret 1946) adalah revolusi sosial. Kala itu sejarahnya bergelimang dengan keadaan yang diperhadapkan pada penjajahan dan penjarahan. Di satu sisi kalangan penguasa lokal (Melayu) lebih simpatik pada otonomi dan bahkan melanjutkan status quo, bukan Republik. Hal ini terjadi karena pendekatan yang jauh sekali dari lunak oleh kaum radikal, sehingga mengkhawatirkan kekuasaan yang ada dan mapan. Sementara di sisi lain, tindakan penjajahan, baik penguasa lokal maupun asing (kolonial) dinilai oleh masyarakat berseberangan dengan cita-cita kemerdekaan. Sejarahnya adalah konflik pertanahan.

Masa Sekarang
Perjuangan berat kini sesungguhnya dihadapi oleh bangsa ini. Penjajahan asing terutama lokal (kebalikan zaman kolonial), sangat mengerikan. Tingkat kepedulian sosial yang begitu minus di antara sesama melengkapi kian menderitanya rakyat lemah bangsa ini dari kehidupan bernegara. Kemunafikan menjalankan roda pemerintahan makin berkobar. Di mana-mana bersalahan dan tidak luput dari kasus korupsi. Keadilan diinjak-injak dengan senangnya. Senandung kemenangan digemakan ke seluruh negeri guna membutakan kesadaran politik rakyat. Segala yang ada dimanipulasi semulus-mulusnya.

Suramnya perilaku politik menjadi titik mematikan bagi perjalanan bangsa ini di atas rel idealisme sesunggguhnya sebagai sebuah negara demokratis. Perjuangan rakyat dari bawah selalu dipadamkan dengan cara paksa. Bukannya dicari jalan keluar secara konkret, malah menyalahkan rakyat sebagai kelompok termarginalkan dan divonis bersalah.

Sepanjang tahun 2011 contoh terdekat dan paling segar diingatan menyajikan sejuta persoalan rakyat yang tidak pernah diselesaikan tuntas dengan memenangkan si rakyat (lemah) dari tuntutannya. Selama itu pula perjuangan rakyat selalu diredam bahkan secara represif dihadapi dengan muatan yang sarat politis-ekonomi. Artinya, kepentingan modal lebih dibela dibandingkan rakyat yang memperjuangkan hak-haknya di tanahnya sendiri.

Perjuangan rakyat Riau melawan tindakan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dengan berunjuk rasa melalui aksi jahit mulut merupakan contoh kepentingan yang tidak bijaksana disikapi oleh pemerintah. Negara hanya bisa berdiam diri. Kasus ini berkembang mengenai penyerobotan tanah-tanah rakyat oleh perusahaan industri kertas itu. Sama seperti di Tapanuli yang melakukan penyerobotan hutan adat oleh PT.Toba Pulp Lestari (TPL) dengan berdasarkan SK Menhut yang sudah dikantongi pihak perusahaan selalu merugikan rakyat. Pemerintah setali tiga uang, bertindak sebagai “kaki” penginjak. Rakyat menolak Hutan Tanaman Industri (HTI).

Masih di Sumatera, kasus pertempuran di Mesuji Lampung lagi-lagi menyangkut tanah rakyat. Korban meninggal dunia adalah puncak dari begitu beringasnya “kaki” penginjak itu. Penajajahan kolonial gambaran sejarah itu terulang di tempat dan dengan cara yang berbeda. Kekejaman ini menusuk sanubari rakyat yang ingin mencari nafkah sesuap nasi, namun harus menjadi korban hadirnya kapitalis lokal yang dimanjakan dan tidak dikontrol sebagaimana tujuan negara yang adil dan makmur. Setidaknya berdasarkan hak asasi manusia, tindakan brutal penguasa dan pengusaha terhadap kasus di Mesuji ini sangat terkutuk. Dan, harus dilawan. Memakan korban nyawa paling pantang terhadap rakyat yang sudah merdeka dari penjajahan. Itu sebabnya pilihan rakyat berjuang membela haknya sekalipun presiden yang jadi musuhnya.

Lalu tragedi Bima semakin memperjelas betapa berurat berakarnya penjajahan di negeri ini. Tidak hanya yang terselubung seperti anggapan selama ini (ekonomi), tetapi masih begitu kental juga penjajahan fisik. Tepat pada 24 Desember 2011 tragedi Bima lagi-lagi menelan korban tembakan peluru aparat tanpa ampun. Seakan membuktikan kalau negara ini adalah negara centeng. Sebelumnya juga sudah terjadi peristiwa yang sama di tanah Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka dan sebetulnya hak bangsa (bukan negara) Indonesia, dari penjajahan asing. Bima bergejolak karena kedatangan tambang emas melalui perusahaan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang jelas-jelas ditolak rakyat secara sadar. Di Papua juga tambang emas oleh Freeport dari AS.

Tragedi Bima jelas menyulut perlawanan rakyat atas tindakan represif itu. Serupa dengan kasus di tempat lain, hanya ekspos di Bima lebih terangkat akibat serangan pihak aparat yang membabi buta hilang kendali itu. Inilah kondisi negara yang bergejolak di sana-sini guna memperoleh kemerdekaannya sendiri-sendiri seakan belum ada pemerintah yang memberi perlindungan. Kenyataan pahitnya adalah secara de jure negeri ini berpemerintahan layaknya sebuah negara, tetapi secara de facto absurd. Kenyataan bahwa rakyat memiliki negara yang absurd atau bayang-bayang terlihat jelas dari serangkaian peristiwa yang berkaitan dengan kasus pertanahan ini.

Bagaimana dengan kasus korupsi dan sebagainya? Setali tiga uang alias sama saja, rakyat tetap tertindas dan dijajah sekian lamanya melalui prosedur pergantian peran di pemerintahan. Sebab semua jenis pemerintahan yang ada selalu mengusung ide-ide brilian, tapi sangat berdasar berlawanan terhadap kebutuhan sehari-hari rakyat. Ide brilian kapitalis berorientasi keuntungan mutlak, semata-mata membangun keuntungan dan mencari kesenangan memperkaya diri dan kelompok, kemudian menyalahgunakan kekuasaan untuk korupsi dan semacamnya.

Mencoba menjadi Indonesia, betapa bijaknya jika telah lebih dulu adil dalam pikiran apalagi perbuatan. Rakyat di negeri ini tengah gerah dengan kondisi dan tingkah laku berjubel anehnya dan sengajanya penjajahan dilanggengkan. Tidak Indonesia merupakan sebuah pilihan yang ditetapkan oleh penguasa negeri dan kini dipraktikkan langsung terhadap rakyat. Masyarakat tidak layak mendapat tempat di negeri berjibun kompleksitas masalah yang selalu menekan rakyat sebagai korban akhir. Kenangan menjadi Indonesia seolah dititipkan melalui penindasan yang berlangsung hampir di seantero pulau atau wilayah territorial negara. Dan tak satu pun persoalan yang menyangkut kepentingan umum tuntas diselesaikan dengan tegas oleh pemerintah. Segala alat negara untuk membantu jalannya roda pemerintahan guna menyejahterakan rakyat kini berubah menjadi musuh bagi rakyat di setiap kenyataan hendak diharapkan rakyat. Penyelesaian pada peristiwa penembakan, pengrusakan, peenggusuran, perampasan tanah, dan sebagainya tidak diciptakan sebagaimana tujuan awal negeri ini terbentuk. Justru kini dikembalikan pada situasi di mana kemarahan rakyat dipancing untuk sesuatu revolusi yang memakan korban lebih banyak dan tidak begitu diinginkan bersama.
Nah, bagaimana mencoba menjadi Indonesia, jika pilihannya terus dihadapkan pada penjajahan dan penghisapan pada rakyat padahal Republik sah sebagai negara demokrasi dan telah hidup pada era modern. Kendati demikian, satu-satunya formula yang jitu dan kerap terjadi dalam perubahan suatu bangsa adalah revolusi.

Pada 2012, rakyat mengharapkan terjadi perubahan: mencintai Indonesia. Rakyat mencoba kembali menjadi Indonesia dengan cara bagaimanapun. Sebuah keniscayaan pun dinantikan. Maka kelakuan bawaan sejak kolonial harus segera direvolusi sebab negara ini bukan cegara centeng, bukan milik pemodal, bukan pula negara tempat pengeksploitasian. Sebab itu kesadaran dalam bernegara dan berbangsa sejatinya sudah tumbuh segera sebelum api revolusi yang menyadarkannya. Formatnya kini sudah mencoba menjadi Indonesia. Oleh karena itu, dari bawah akan terjadi pemaksaan atas segala sesuatu yang tidak dapat menjadikan negara ini lebih adil dan makmur sebagaimana termaktub pada pembukaan UUD 1945. Pemaksaan sebagaimana revolusi adalah didikan bagi penguasa yang tidak menyadari segala perbuatannya telah menindas apalagi objeknya adalah masyarakatnya sendiri. Maka, ketegasan dari negara diperlukan, sebab bukan para pemodaal saja yang berhak hidup atau sejahtera di negeri ini. Paling utama adalah rakyat tanpa kecuali.***

Siapa Lawanmu?

Oleh: Parlindungan Sirait



            Tembak sana, tembak sini, pukul sana pukul sini. Itulah bentuk kekuasaan kepolisian Republik Indonesia yang kekuasaannya seperti “melebihi kekuasaan Tuhan”, begitu yang terlihat pada kasus di Bima. Mereka sudah tidak tahu lagi siapa lawannya yang sebenarnya kalau ingin membangun NKRI. Seakan lupa perjuangan masa lalu para leluhur bangsa yang mengusir penjajah, namun saat ini kontras, penjajah (sistem penjajahan terselubung) dilindungi. Mereka lebih memilih menumpas rakyatnya, ketimbang orang yang rakus yang sedang dimabuk gemilang emas.
            Dengan brutalnya pihak kepolisian menembaki warga. Warga yang berada di pelabuhan penyeberangan pada 19 Desember 2011 meneriakkan suaranya melalui demonstrasi, yang merupakan lajuan suara yang tidak digubris pemerintah, menjadi korban penembakan dan kekerasan dan jelas melanggar HAM.
            Bentrok di pelabuhan Sape, Bima, NTB pada puncaknya Sabtu 24 Desember 2011 yang menewaskan beberapa demonstran dan banyak yang luka parah dan luka ringan. Hal ini terjadi karena pembubaran secara paksa oleh pihak kepolisian yang dengan gagahnya memorakporandakan para demonstran. Aparat kepolisian saat ini lebih terlihat sebagai kaki tangan pihak-pihak berkepentingan dibandingkan mengayomi masyarakat.
            Kebrutalan kepolisian memunculkan seolah-olah dengan ganasnya penguasa melindungi kepentingan modal. Mengetahui sebelumnya, bahwa warga Lambu Kabupaten Bima melakukan penolakan terhadap PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) bergerak di bidang pertambangan emas telah mendapat izin operasi penambangan sejak dua tahun yang lalu di daerah  Lambu dan Langgudu yang juga dikuasai PT SMN yang sebagian besar sahamnya oleh PT Arc Exploration Ltd dari Australia dengan masa operasi 25 tahun yang bakal mengeruk kekayaan SDA Indonesia sampai ke dasar.
            Alasan penolakan adalah karena pertambangan emas itu membahayakan sumber mata pencaharian warga seperti merusak ekosistem alam yang berakibat fatal dengan hancurnya sistem persawahan di masa mendatang, karena mata pencaharaian warga setempat yang utama adalah bertani.
            Gagah melindungi kepentingan modal belum using peristiwa berdarah di Papua, Mesuji, kini dimunculkan lagi di Bima dengan masalah dan modus yang serupa untuk melindungi kepentingan modal. Citra kepolisian yang seyogianya melindungi, mengayomi rakyat malah ikut membantu sistem penindasan yang dilakukan para pemodal. Tak jarang kedengaran bahwa untuk melindungi perusahaan-perusahaan asing, digunakan pihak kepolisian (Brimob). Kelompok pemodal selalu menggunakan tangan polisi/Brimob untuk mengamankan kepentingannya. Dan parahnya dalam konflik sektor agrarian seperti ini pemerintah tak berkutik dibuat kaum pemodal, hanya bisa mengucapkan “turut prihatin” kecam sana kecam sini tanpa ada tindakan konkret. Termasuk kasus di Bima saat ini, apakah hanya bisa bilang rasa simpati tidak bisakah berempati? Apakah kalian bukan pemerintah sesungguhnya? Ataukah iblis yang dengan sengaja melindungi kaum pemodal yang merupakan sederetan protozoa yang menghisap darah rakyat dan darah leluhur bangsa yang tertumpah di bumi ibu pertiwi?
            Jangan terjadi lagi. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan bunyi pasal 33 ayat 3 yang seolah-olah diingkari oleh pemerintah sebagai penguasa yang mengutamakan kepentingan modal beralasan menjaga stabilitas ekonomi. Lagi-lagi pemerintah mampu bersembunyi di balik perselingkuhannya dengan kaum penguasa untuk tetap mengeksploitasi alam tanpa mengindahkan pasal di atas seperti kasus di Bima, sehingga memunculkan pertentangan. Apakah rakyat di Bima harus berakhir seperti Papua yang sudah hampir menutup hati buat NKRI atau bahkan seperti tetangga mereka Timor Leste.
            Harapannya jangan ada lagi penindasan dalam bentuk apa pun. Pemerintah harus bertindak, jangan Cuma diam seperti kerbau ditusuk hidungnya. Banyak peringatan keras buat pemerintah dan jadi tugas utama menyelesaikan kasus agrarian yang akhir-akhir ini eksis di bumi Ibu Pertiwi. Jangan lagi terjadi kekerasan dan rakya di mana pun rangkullah tanpa batas saudara kita di mana pun termasuk di Bima. Kepolisian berdirilah di tengah rakyatmu dan ayomilah rakyatmu seperti sumpahmu.***

Menyoal Kepedulian Negara (?)

Oleh : Johenro PT Silalahi, A.Md.

Memajukan kesejahteraan umum adalah salah satu cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yang harus segera diwujudan secara konkret, efektif dan efisien. Bertitik tolak dari hal itu, maka Negara harus melahirkan kreatifitas dan inovasi dalam membangun imajinasi optimisme kultural. Selain itu, Negara juga harus mampu mengembangkan potensi yang terkubur selama ini untuk diberdayakan dalam membangun Negara yang lebih sejahtera.
Realita yang terjadi pada saat ini justru mengisyaratkan ekspektasi Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan itu semakin jauh. Tak dapat dipungkiri lagi, negara dituntut oleh banyak kalangan untuk segera merevitalisasi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro kepada rakyat kecil

Welfare State

Marciano Vidal mengungkapkan, karakteristik Negara kesejahteraan ditandai oleh empat hal (Kompas, 7 November 2011). Pertama, komitmen Negara dalam menciptakan peluang lapangan kerja untuk mengakomodasi melimpahnya angkatan kerja aktif-produktif. Kedua, adanya jaminan sosial yang berlaku bagi semua warga Negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan teruama kesehatan dan bila terjadi kecelakaan. Ketiga, terselenggaranya pendidikan murah-bermutu bagi rakyat, termasuk jaminan beasiswa bagi mereka yang berprestasi, tetapi berasal dari kalangan ekonomi lemah. Keempat, kebijakan sosial sebagai upaya redistribusi kekayaan.

Dan poin yang terakhir ini, seperti yang disebutkan oleh Aloys Budi Purnomo, sangat syarat dengan lahirnya sebuah solidaritas baru dari yang kuat kepada yang lemah bahkan bukan sekadar untuk menyembuhkan disparitas sosial belaka.

Dalam pasal 28A UUD 1945 amandemen kedua, memaktubkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dan Negara serta para penyelenggara Negara harus dapat bertanggung jawab dalam menyelenggarakan semua pelayanan publik sehingga masyarakat dapat mencapai titik kesejahteraan tanpa pengecualian.

Komitmen Negara dalam menciptakan amanat Pancasila, khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dinilai belumlah maksimal. Belum adanya penghargaan Negara terhadap keeksistensian warga negaranya. Bahkan, seperti yang telah diberitakan sebelumnya, gaji profesor lebih rendah dari guru SD (Kompas, 25 Oktober 2011). Akibatnya, sejumlah ilmuwan dan para peneliti Indonesia justru bekerja diluar negeri karena tidak mendapat perlakuan yang layak di negeri sendiri.

BPJS dan Eksistensi Negara

Jumat, 28 Oktober 2011, demonstran yang mayoritas dari kaum buruh menuntut RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan. Kurun waktu tujuh tahun perjuangan menuntut adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat bukan tidak beralasan. Bergerak dari amanat para founding father Negara Indonesia, yang termaktub dalam UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Walaupun pada akhirnya UU BPJS diundangkan, rakyat masih harus bersabar menanti implementasinya sampai beberapa tahun ke depan.

Kehadiran Undang-Undang BPJS ini, akan menegaskan keeksistensian Negara dalam memberi jaminan sosial dan pengakuan serta penghargaan Negara terhadap warganya. Artinya, eksistensi Negara akan benar-benar teruji oleh adanya UU BPJS ini. Apalagi UU BPJS yang merupakan peleburan empat BUMN, yaitu Asabari, Askes, Jamsostek, dan Taspen, yang merupakan motor penyelenggaraan jaminan sosial selama ini.

Kendati demikian, ibarat badan yang dilepaskan tetapi kaki yang masih terikat. Pemerintah yang diwakilkan delapan kementerian merasa keberatan dengan melontarkan berbagai alasan. Hal ini dikarenakan keempat BUMN yang menyelenggarakan jaminan sosial yang selama ini merupakan lembaga yang bersifat profit, namun setelah adanya UU BPJS yang ditanggungjawabi oleh Negara harus mengalami transformasi menjadi nirlaba.

Dengan skeptisisme yang telah ditunjukkan pemerintah tersebut, masyarakat dan kaum intelektual yang memberikan hati kepada rakyat, khususnya rakyat rentan, harus dapat mengawal implementasi jaminan sosial ini.

UU BPJS merupakan terobosan baru untuk melindungi segenap bangsa Indonesia yang dapat mengangkat harkat hidup serta menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Proses implementasi awal yang sesungguhnya akan kita rasakan tiga tahun mendatang, 2014. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah skeptisisme yang dimiliki akan menjadi tantangan besar? Walaupun demikian, hal itu harus menjadi kekuatan sebagai evaluasi demi perbaikan implementasi UU BPJS yang sesungguhnya.

Negara harus benar-benar serius, karena hal ini menyangkut kepedulian akan warganya. Jika tidak, kredibilitas Negara akan menjadi pertanyaan besar. Parahnya, akan menumbuhkan krisis kepercayaan warga Negara terhadap Negara. Tetapi harapannya, dengan pengawalan seluruh elemen masyarakat, amanat yang telah tertuang dalam konstitusi Negara harus dapat wujudkan secara konkret. Semoga! ***


Tulisan terbit di Harian Analisa, 29 November 2011