Oleh: Andri E. Tarigan
Setiap 28 Oktober, warga negara
Indonesia dapat menyaksikan dikumandangkannya sebuah ikrar yang sangat
mulia. Ikrar yang menjadi pondasi awal perjuangan kolektif para
pendahulu kita untuk memperjuangkan terbentuknya negara merdeka. Jadilah
Republik Indonesia, sebuah mahakarya yang diproklamirkan pada 17
Agustus 1945.
Persatuan adalah
gagasan yang dikumandangkan sebagai syarat utama pencapaian kemerdekaan,
yang disampaikan dalam Sumpah Pemuda. Selain persatuan, ada juga
gagasan yang tak kalah penting yakni rasa memiliki. Rasa memiliki tanah
air, memiliki bangsa, memiliki bahasa. Hal-hal yang sengaja diabaikan
oleh pemerintah status quo pada masa itu, yaitu pemerintahan Hindia
Belanda.
Semenjak Sumpah Pemuda diikrarkan, ambisi untuk merebut kepemilikan aset
produksi dan kekuasaan administratif bertumbuh subur. Gerakan demi
gerakan berkembang. Pemuda, para mahasiswa intelektual, petani dan
buruh, dan berbagai elemen lainnya mulai terjun ke ranah politik. Upaya
merebut hak bermunculan ke permukaan.
Indonesia adalah milik Indonesia, bukan milik Belanda, atau imperialis
lainnya. Seperti itu spiritnya, mengingat bangsa Indonesia kala itu jauh
dari sejahtera. Bukan karena tak produktif, rakyat bekerja keras
seharian. Hanya saja ada sistem penghisapan yang dikondisikan pemerintah
kolonial. Sehingga untuk melawan itu, rasa persatuan dan rasa memiliki
dikumandangkan.
Langit Konflik
Memandang Indonesia saat ini, Sumpah Pemuda seakan sudah tergadaikan.
Kalimat-kalimatnya seperti hanya formalitas penghias di setiap upacara
kenegaraan. Di luar upacara, para siswa tawuran. Premanisme ala
organisasi masyarakat (ormas) merebak. Konflik tanah terjadi di berbagai
wilayah. Masyarakat adat terancam. Saham BUMN tergadaikan ke tangan
pemodal asing. Pejabat korup. Dimana persatuannya?
Masih panas terasa peristiwa pembakaran kantor bupati oleh rakyat, yang
terjadi di Bima. Rakyat menunjukkan amarah yang tentu tak mungkin muncul
begitu saja. Ada tekanan sosial-ekonomi, yang membuat rakyat sebegitu
militannya. Sehingga rakyat melakukan tekanan balik, bottom-up pressure.
Di Jakarta, anak SMA dengan bangganya melakukan baku hantam.
Menyampaikan hasrat menjadi hebat dengan aksi kekerasan. Tawuran
ditradisikan. Diekspos pula setiap harinya di televisi. Bukan tak
mungkin, baku hantam ini menjadi "inspirasi" bagi siswa SMA lainnya
untuk melakukan hal serupa di daerah.
Masyarakat adat, terancam eksistensinya, tanah leluhur yang tergolong
dalam hak ulayat kerap dieksploitasi oleh para pemilik modal dengan
perusahaannya. Bentuk eksploitasi bisa berupa pengkerukan tanah demi
pertambangan, atau berupa konversi tanaman rakyat menjadi perkebunan
swasta. Eksploitasi ini menegaskan banyak hal, seperti dirampasnya
perolehan kesejahteraan, dan dicederainya eksistensi adat masyarakat.
Tak pelak, berujung konflik dan pembantaian.
Bagaimana hendak bertanah-air satu, sedangkan tempat tinggal dan tempat
mencari makan dirampas? Untuk hidup saja susah. Belum lagi di perkotaan,
Kaum Miskin Kota (KMK) kian menjadi korban penggusuran, rumah warga
dirubuhkan dan digunakan untuk pembangunan real estate, proyek para
pemilik modal. Pedagang kaki lima yang mendera kemiskinan, juga turut
merasakan penggusuran.
Rakyat miskin jumlahnya mayoritas di negeri ini. Tak heran kalau rakyat
miskin banyak menuntut, karena memang kekayaan alam di negara ini tak
mampu dinikmati bersama secara merata. Ada saja sekelompok kecil orang
yang memperoleh keuntungan masif. Dan tak heran kalau rakyat memilih
jalan kisruh, karena hukum tak kunjung memunculkan jawaban atas
kemiskinan. Entah karena hukumnya kurang sempurna, atau karena
instansinya yang korup.
Muara dari kesenjangan sosial dan tradisi kekerasan/premanisme adalah
konflik tak berujung. Belum lagi, pemilik modal yang bermain di
kesenjangan sosial tersebut ternyata sebagian besar adalah orang asing.
Semakin besarlah letupan konflik, entah dimana nasionalisme. Indonesia
bak langit konflik, penuh perpecahan yang memuncak.
Dari tanah Batak sampai Papua masyarakat adat menjerit, melawan demi
terlindungnya tanah ulayat. Di sisi lain, pemodal asing mengeksploitasi
tanah Indonesia melalui berbagai perusahaan besar, dan tak jarang
memantik pertikaian. Dimana wujud perjuangan kolektif melawan
imperialisme asing demi kesejahteraan bersama dan lestarinya bangsa,
yang seharusnya ada berkat Sumpah Pemuda?
Di upacara-upacara, Sumpah Pemuda dikumandangkan dengan indahnya.
Barisan pejabat atau para siswa, tegas mengucapkan kata per kata warisan
pemuda-pejuang dari awal abad keduapuluh itu. Bukan tak mengerti
maknanya, bukan tak paham bahwa Sumpah Pemuda mengisyaratkan persatuan
dan kepemilikan bersama. Sumpah tersebut berkumandang di langit konflik
Indonesia. Takutnya, dampak Sumpah Pemuda hanya pemuasan pikiran semata.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar