Minggu, 28 Oktober 2012

Sumpah Pemuda di Langit Konflik

Oleh: Andri E. Tarigan

Setiap 28 Oktober, warga negara Indonesia dapat menyaksikan dikumandangkannya sebuah ikrar yang sangat mulia. Ikrar yang menjadi pondasi awal perjuangan kolektif para pendahulu kita untuk memperjuangkan terbentuknya negara merdeka. Jadilah Republik Indonesia, sebuah mahakarya yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Persatuan adalah gagasan yang dikumandangkan sebagai syarat utama pencapaian kemerdekaan, yang disampaikan dalam Sumpah Pemuda. Selain persatuan, ada juga gagasan yang tak kalah penting yakni rasa memiliki. Rasa memiliki tanah air, memiliki bangsa, memiliki bahasa. Hal-hal yang sengaja diabaikan oleh pemerintah status quo pada masa itu, yaitu pemerintahan Hindia Belanda.

Semenjak Sumpah Pemuda diikrarkan, ambisi untuk merebut kepemilikan aset produksi dan kekuasaan administratif bertumbuh subur. Gerakan demi gerakan berkembang. Pemuda, para mahasiswa intelektual, petani dan buruh, dan berbagai elemen lainnya mulai terjun ke ranah politik. Upaya merebut hak bermunculan ke permukaan.

Indonesia adalah milik Indonesia, bukan milik Belanda, atau imperialis lainnya. Seperti itu spiritnya, mengingat bangsa Indonesia kala itu jauh dari sejahtera. Bukan karena tak produktif, rakyat bekerja keras seharian. Hanya saja ada sistem penghisapan yang dikondisikan pemerintah kolonial. Sehingga untuk melawan itu, rasa persatuan dan rasa memiliki dikumandangkan.

Langit Konflik
Memandang Indonesia saat ini, Sumpah Pemuda seakan sudah tergadaikan. Kalimat-kalimatnya seperti hanya formalitas penghias di setiap upacara kenegaraan. Di luar upacara, para siswa tawuran. Premanisme ala organisasi masyarakat (ormas) merebak. Konflik tanah terjadi di berbagai wilayah. Masyarakat adat terancam. Saham BUMN tergadaikan ke tangan pemodal asing. Pejabat korup. Dimana persatuannya?

Masih panas terasa peristiwa pembakaran kantor bupati oleh rakyat, yang terjadi di Bima. Rakyat menunjukkan amarah yang tentu tak mungkin muncul begitu saja. Ada tekanan sosial-ekonomi, yang membuat rakyat sebegitu militannya. Sehingga rakyat melakukan tekanan balik, bottom-up pressure.

Di Jakarta, anak SMA dengan bangganya melakukan baku hantam. Menyampaikan hasrat menjadi hebat dengan aksi kekerasan. Tawuran ditradisikan. Diekspos pula setiap harinya di televisi. Bukan tak mungkin, baku hantam ini menjadi "inspirasi" bagi siswa SMA lainnya untuk melakukan hal serupa di daerah.

Masyarakat adat, terancam eksistensinya, tanah leluhur yang tergolong dalam hak ulayat kerap dieksploitasi oleh para pemilik modal dengan perusahaannya. Bentuk eksploitasi bisa berupa pengkerukan tanah demi pertambangan, atau berupa konversi tanaman rakyat menjadi perkebunan swasta. Eksploitasi ini menegaskan banyak hal, seperti dirampasnya perolehan kesejahteraan, dan dicederainya eksistensi adat masyarakat. Tak pelak, berujung konflik dan pembantaian.

Bagaimana hendak bertanah-air satu, sedangkan tempat tinggal dan tempat mencari makan dirampas? Untuk hidup saja susah. Belum lagi di perkotaan, Kaum Miskin Kota (KMK) kian menjadi korban penggusuran, rumah warga dirubuhkan dan digunakan untuk pembangunan real estate, proyek para pemilik modal. Pedagang kaki lima yang mendera kemiskinan, juga turut merasakan penggusuran.

Rakyat miskin jumlahnya mayoritas di negeri ini. Tak heran kalau rakyat miskin banyak menuntut, karena memang kekayaan alam di negara ini tak mampu dinikmati bersama secara merata. Ada saja sekelompok kecil orang yang memperoleh keuntungan masif. Dan tak heran kalau rakyat memilih jalan kisruh, karena hukum tak kunjung memunculkan jawaban atas kemiskinan. Entah karena hukumnya kurang sempurna, atau karena instansinya yang korup.

Muara dari kesenjangan sosial dan tradisi kekerasan/premanisme adalah konflik tak berujung. Belum lagi, pemilik modal yang bermain di kesenjangan sosial tersebut ternyata sebagian besar adalah orang asing. Semakin besarlah letupan konflik, entah dimana nasionalisme. Indonesia bak langit konflik, penuh perpecahan yang memuncak.

Dari tanah Batak sampai Papua masyarakat adat menjerit, melawan demi terlindungnya tanah ulayat. Di sisi lain, pemodal asing mengeksploitasi tanah Indonesia melalui berbagai perusahaan besar, dan tak jarang memantik pertikaian. Dimana wujud perjuangan kolektif melawan imperialisme asing demi kesejahteraan bersama dan lestarinya bangsa, yang seharusnya ada berkat Sumpah Pemuda?

Di upacara-upacara, Sumpah Pemuda dikumandangkan dengan indahnya. Barisan pejabat atau para siswa, tegas mengucapkan kata per kata warisan pemuda-pejuang dari awal abad keduapuluh itu. Bukan tak mengerti maknanya, bukan tak paham bahwa Sumpah Pemuda mengisyaratkan persatuan dan kepemilikan bersama. Sumpah tersebut berkumandang di langit konflik Indonesia. Takutnya, dampak Sumpah Pemuda hanya pemuasan pikiran semata. ***

Tidak ada komentar: