Sabtu, 07 Januari 2012

Mencoba Menjadi Indonesia, Mulai 2012

Oleh: Jakob Siringo-ringo


Tulisan ini terinspirasi dari sebuah judul buku sejarah Negara Sumatera Timur dengan peristiwa penting masa itu (Maret 1946) adalah revolusi sosial. Kala itu sejarahnya bergelimang dengan keadaan yang diperhadapkan pada penjajahan dan penjarahan. Di satu sisi kalangan penguasa lokal (Melayu) lebih simpatik pada otonomi dan bahkan melanjutkan status quo, bukan Republik. Hal ini terjadi karena pendekatan yang jauh sekali dari lunak oleh kaum radikal, sehingga mengkhawatirkan kekuasaan yang ada dan mapan. Sementara di sisi lain, tindakan penjajahan, baik penguasa lokal maupun asing (kolonial) dinilai oleh masyarakat berseberangan dengan cita-cita kemerdekaan. Sejarahnya adalah konflik pertanahan.

Masa Sekarang
Perjuangan berat kini sesungguhnya dihadapi oleh bangsa ini. Penjajahan asing terutama lokal (kebalikan zaman kolonial), sangat mengerikan. Tingkat kepedulian sosial yang begitu minus di antara sesama melengkapi kian menderitanya rakyat lemah bangsa ini dari kehidupan bernegara. Kemunafikan menjalankan roda pemerintahan makin berkobar. Di mana-mana bersalahan dan tidak luput dari kasus korupsi. Keadilan diinjak-injak dengan senangnya. Senandung kemenangan digemakan ke seluruh negeri guna membutakan kesadaran politik rakyat. Segala yang ada dimanipulasi semulus-mulusnya.

Suramnya perilaku politik menjadi titik mematikan bagi perjalanan bangsa ini di atas rel idealisme sesunggguhnya sebagai sebuah negara demokratis. Perjuangan rakyat dari bawah selalu dipadamkan dengan cara paksa. Bukannya dicari jalan keluar secara konkret, malah menyalahkan rakyat sebagai kelompok termarginalkan dan divonis bersalah.

Sepanjang tahun 2011 contoh terdekat dan paling segar diingatan menyajikan sejuta persoalan rakyat yang tidak pernah diselesaikan tuntas dengan memenangkan si rakyat (lemah) dari tuntutannya. Selama itu pula perjuangan rakyat selalu diredam bahkan secara represif dihadapi dengan muatan yang sarat politis-ekonomi. Artinya, kepentingan modal lebih dibela dibandingkan rakyat yang memperjuangkan hak-haknya di tanahnya sendiri.

Perjuangan rakyat Riau melawan tindakan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dengan berunjuk rasa melalui aksi jahit mulut merupakan contoh kepentingan yang tidak bijaksana disikapi oleh pemerintah. Negara hanya bisa berdiam diri. Kasus ini berkembang mengenai penyerobotan tanah-tanah rakyat oleh perusahaan industri kertas itu. Sama seperti di Tapanuli yang melakukan penyerobotan hutan adat oleh PT.Toba Pulp Lestari (TPL) dengan berdasarkan SK Menhut yang sudah dikantongi pihak perusahaan selalu merugikan rakyat. Pemerintah setali tiga uang, bertindak sebagai “kaki” penginjak. Rakyat menolak Hutan Tanaman Industri (HTI).

Masih di Sumatera, kasus pertempuran di Mesuji Lampung lagi-lagi menyangkut tanah rakyat. Korban meninggal dunia adalah puncak dari begitu beringasnya “kaki” penginjak itu. Penajajahan kolonial gambaran sejarah itu terulang di tempat dan dengan cara yang berbeda. Kekejaman ini menusuk sanubari rakyat yang ingin mencari nafkah sesuap nasi, namun harus menjadi korban hadirnya kapitalis lokal yang dimanjakan dan tidak dikontrol sebagaimana tujuan negara yang adil dan makmur. Setidaknya berdasarkan hak asasi manusia, tindakan brutal penguasa dan pengusaha terhadap kasus di Mesuji ini sangat terkutuk. Dan, harus dilawan. Memakan korban nyawa paling pantang terhadap rakyat yang sudah merdeka dari penjajahan. Itu sebabnya pilihan rakyat berjuang membela haknya sekalipun presiden yang jadi musuhnya.

Lalu tragedi Bima semakin memperjelas betapa berurat berakarnya penjajahan di negeri ini. Tidak hanya yang terselubung seperti anggapan selama ini (ekonomi), tetapi masih begitu kental juga penjajahan fisik. Tepat pada 24 Desember 2011 tragedi Bima lagi-lagi menelan korban tembakan peluru aparat tanpa ampun. Seakan membuktikan kalau negara ini adalah negara centeng. Sebelumnya juga sudah terjadi peristiwa yang sama di tanah Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka dan sebetulnya hak bangsa (bukan negara) Indonesia, dari penjajahan asing. Bima bergejolak karena kedatangan tambang emas melalui perusahaan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang jelas-jelas ditolak rakyat secara sadar. Di Papua juga tambang emas oleh Freeport dari AS.

Tragedi Bima jelas menyulut perlawanan rakyat atas tindakan represif itu. Serupa dengan kasus di tempat lain, hanya ekspos di Bima lebih terangkat akibat serangan pihak aparat yang membabi buta hilang kendali itu. Inilah kondisi negara yang bergejolak di sana-sini guna memperoleh kemerdekaannya sendiri-sendiri seakan belum ada pemerintah yang memberi perlindungan. Kenyataan pahitnya adalah secara de jure negeri ini berpemerintahan layaknya sebuah negara, tetapi secara de facto absurd. Kenyataan bahwa rakyat memiliki negara yang absurd atau bayang-bayang terlihat jelas dari serangkaian peristiwa yang berkaitan dengan kasus pertanahan ini.

Bagaimana dengan kasus korupsi dan sebagainya? Setali tiga uang alias sama saja, rakyat tetap tertindas dan dijajah sekian lamanya melalui prosedur pergantian peran di pemerintahan. Sebab semua jenis pemerintahan yang ada selalu mengusung ide-ide brilian, tapi sangat berdasar berlawanan terhadap kebutuhan sehari-hari rakyat. Ide brilian kapitalis berorientasi keuntungan mutlak, semata-mata membangun keuntungan dan mencari kesenangan memperkaya diri dan kelompok, kemudian menyalahgunakan kekuasaan untuk korupsi dan semacamnya.

Mencoba menjadi Indonesia, betapa bijaknya jika telah lebih dulu adil dalam pikiran apalagi perbuatan. Rakyat di negeri ini tengah gerah dengan kondisi dan tingkah laku berjubel anehnya dan sengajanya penjajahan dilanggengkan. Tidak Indonesia merupakan sebuah pilihan yang ditetapkan oleh penguasa negeri dan kini dipraktikkan langsung terhadap rakyat. Masyarakat tidak layak mendapat tempat di negeri berjibun kompleksitas masalah yang selalu menekan rakyat sebagai korban akhir. Kenangan menjadi Indonesia seolah dititipkan melalui penindasan yang berlangsung hampir di seantero pulau atau wilayah territorial negara. Dan tak satu pun persoalan yang menyangkut kepentingan umum tuntas diselesaikan dengan tegas oleh pemerintah. Segala alat negara untuk membantu jalannya roda pemerintahan guna menyejahterakan rakyat kini berubah menjadi musuh bagi rakyat di setiap kenyataan hendak diharapkan rakyat. Penyelesaian pada peristiwa penembakan, pengrusakan, peenggusuran, perampasan tanah, dan sebagainya tidak diciptakan sebagaimana tujuan awal negeri ini terbentuk. Justru kini dikembalikan pada situasi di mana kemarahan rakyat dipancing untuk sesuatu revolusi yang memakan korban lebih banyak dan tidak begitu diinginkan bersama.
Nah, bagaimana mencoba menjadi Indonesia, jika pilihannya terus dihadapkan pada penjajahan dan penghisapan pada rakyat padahal Republik sah sebagai negara demokrasi dan telah hidup pada era modern. Kendati demikian, satu-satunya formula yang jitu dan kerap terjadi dalam perubahan suatu bangsa adalah revolusi.

Pada 2012, rakyat mengharapkan terjadi perubahan: mencintai Indonesia. Rakyat mencoba kembali menjadi Indonesia dengan cara bagaimanapun. Sebuah keniscayaan pun dinantikan. Maka kelakuan bawaan sejak kolonial harus segera direvolusi sebab negara ini bukan cegara centeng, bukan milik pemodal, bukan pula negara tempat pengeksploitasian. Sebab itu kesadaran dalam bernegara dan berbangsa sejatinya sudah tumbuh segera sebelum api revolusi yang menyadarkannya. Formatnya kini sudah mencoba menjadi Indonesia. Oleh karena itu, dari bawah akan terjadi pemaksaan atas segala sesuatu yang tidak dapat menjadikan negara ini lebih adil dan makmur sebagaimana termaktub pada pembukaan UUD 1945. Pemaksaan sebagaimana revolusi adalah didikan bagi penguasa yang tidak menyadari segala perbuatannya telah menindas apalagi objeknya adalah masyarakatnya sendiri. Maka, ketegasan dari negara diperlukan, sebab bukan para pemodaal saja yang berhak hidup atau sejahtera di negeri ini. Paling utama adalah rakyat tanpa kecuali.***

Siapa Lawanmu?

Oleh: Parlindungan Sirait



            Tembak sana, tembak sini, pukul sana pukul sini. Itulah bentuk kekuasaan kepolisian Republik Indonesia yang kekuasaannya seperti “melebihi kekuasaan Tuhan”, begitu yang terlihat pada kasus di Bima. Mereka sudah tidak tahu lagi siapa lawannya yang sebenarnya kalau ingin membangun NKRI. Seakan lupa perjuangan masa lalu para leluhur bangsa yang mengusir penjajah, namun saat ini kontras, penjajah (sistem penjajahan terselubung) dilindungi. Mereka lebih memilih menumpas rakyatnya, ketimbang orang yang rakus yang sedang dimabuk gemilang emas.
            Dengan brutalnya pihak kepolisian menembaki warga. Warga yang berada di pelabuhan penyeberangan pada 19 Desember 2011 meneriakkan suaranya melalui demonstrasi, yang merupakan lajuan suara yang tidak digubris pemerintah, menjadi korban penembakan dan kekerasan dan jelas melanggar HAM.
            Bentrok di pelabuhan Sape, Bima, NTB pada puncaknya Sabtu 24 Desember 2011 yang menewaskan beberapa demonstran dan banyak yang luka parah dan luka ringan. Hal ini terjadi karena pembubaran secara paksa oleh pihak kepolisian yang dengan gagahnya memorakporandakan para demonstran. Aparat kepolisian saat ini lebih terlihat sebagai kaki tangan pihak-pihak berkepentingan dibandingkan mengayomi masyarakat.
            Kebrutalan kepolisian memunculkan seolah-olah dengan ganasnya penguasa melindungi kepentingan modal. Mengetahui sebelumnya, bahwa warga Lambu Kabupaten Bima melakukan penolakan terhadap PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) bergerak di bidang pertambangan emas telah mendapat izin operasi penambangan sejak dua tahun yang lalu di daerah  Lambu dan Langgudu yang juga dikuasai PT SMN yang sebagian besar sahamnya oleh PT Arc Exploration Ltd dari Australia dengan masa operasi 25 tahun yang bakal mengeruk kekayaan SDA Indonesia sampai ke dasar.
            Alasan penolakan adalah karena pertambangan emas itu membahayakan sumber mata pencaharian warga seperti merusak ekosistem alam yang berakibat fatal dengan hancurnya sistem persawahan di masa mendatang, karena mata pencaharaian warga setempat yang utama adalah bertani.
            Gagah melindungi kepentingan modal belum using peristiwa berdarah di Papua, Mesuji, kini dimunculkan lagi di Bima dengan masalah dan modus yang serupa untuk melindungi kepentingan modal. Citra kepolisian yang seyogianya melindungi, mengayomi rakyat malah ikut membantu sistem penindasan yang dilakukan para pemodal. Tak jarang kedengaran bahwa untuk melindungi perusahaan-perusahaan asing, digunakan pihak kepolisian (Brimob). Kelompok pemodal selalu menggunakan tangan polisi/Brimob untuk mengamankan kepentingannya. Dan parahnya dalam konflik sektor agrarian seperti ini pemerintah tak berkutik dibuat kaum pemodal, hanya bisa mengucapkan “turut prihatin” kecam sana kecam sini tanpa ada tindakan konkret. Termasuk kasus di Bima saat ini, apakah hanya bisa bilang rasa simpati tidak bisakah berempati? Apakah kalian bukan pemerintah sesungguhnya? Ataukah iblis yang dengan sengaja melindungi kaum pemodal yang merupakan sederetan protozoa yang menghisap darah rakyat dan darah leluhur bangsa yang tertumpah di bumi ibu pertiwi?
            Jangan terjadi lagi. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan bunyi pasal 33 ayat 3 yang seolah-olah diingkari oleh pemerintah sebagai penguasa yang mengutamakan kepentingan modal beralasan menjaga stabilitas ekonomi. Lagi-lagi pemerintah mampu bersembunyi di balik perselingkuhannya dengan kaum penguasa untuk tetap mengeksploitasi alam tanpa mengindahkan pasal di atas seperti kasus di Bima, sehingga memunculkan pertentangan. Apakah rakyat di Bima harus berakhir seperti Papua yang sudah hampir menutup hati buat NKRI atau bahkan seperti tetangga mereka Timor Leste.
            Harapannya jangan ada lagi penindasan dalam bentuk apa pun. Pemerintah harus bertindak, jangan Cuma diam seperti kerbau ditusuk hidungnya. Banyak peringatan keras buat pemerintah dan jadi tugas utama menyelesaikan kasus agrarian yang akhir-akhir ini eksis di bumi Ibu Pertiwi. Jangan lagi terjadi kekerasan dan rakya di mana pun rangkullah tanpa batas saudara kita di mana pun termasuk di Bima. Kepolisian berdirilah di tengah rakyatmu dan ayomilah rakyatmu seperti sumpahmu.***

Menyoal Kepedulian Negara (?)

Oleh : Johenro PT Silalahi, A.Md.

Memajukan kesejahteraan umum adalah salah satu cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yang harus segera diwujudan secara konkret, efektif dan efisien. Bertitik tolak dari hal itu, maka Negara harus melahirkan kreatifitas dan inovasi dalam membangun imajinasi optimisme kultural. Selain itu, Negara juga harus mampu mengembangkan potensi yang terkubur selama ini untuk diberdayakan dalam membangun Negara yang lebih sejahtera.
Realita yang terjadi pada saat ini justru mengisyaratkan ekspektasi Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan itu semakin jauh. Tak dapat dipungkiri lagi, negara dituntut oleh banyak kalangan untuk segera merevitalisasi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro kepada rakyat kecil

Welfare State

Marciano Vidal mengungkapkan, karakteristik Negara kesejahteraan ditandai oleh empat hal (Kompas, 7 November 2011). Pertama, komitmen Negara dalam menciptakan peluang lapangan kerja untuk mengakomodasi melimpahnya angkatan kerja aktif-produktif. Kedua, adanya jaminan sosial yang berlaku bagi semua warga Negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan teruama kesehatan dan bila terjadi kecelakaan. Ketiga, terselenggaranya pendidikan murah-bermutu bagi rakyat, termasuk jaminan beasiswa bagi mereka yang berprestasi, tetapi berasal dari kalangan ekonomi lemah. Keempat, kebijakan sosial sebagai upaya redistribusi kekayaan.

Dan poin yang terakhir ini, seperti yang disebutkan oleh Aloys Budi Purnomo, sangat syarat dengan lahirnya sebuah solidaritas baru dari yang kuat kepada yang lemah bahkan bukan sekadar untuk menyembuhkan disparitas sosial belaka.

Dalam pasal 28A UUD 1945 amandemen kedua, memaktubkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dan Negara serta para penyelenggara Negara harus dapat bertanggung jawab dalam menyelenggarakan semua pelayanan publik sehingga masyarakat dapat mencapai titik kesejahteraan tanpa pengecualian.

Komitmen Negara dalam menciptakan amanat Pancasila, khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dinilai belumlah maksimal. Belum adanya penghargaan Negara terhadap keeksistensian warga negaranya. Bahkan, seperti yang telah diberitakan sebelumnya, gaji profesor lebih rendah dari guru SD (Kompas, 25 Oktober 2011). Akibatnya, sejumlah ilmuwan dan para peneliti Indonesia justru bekerja diluar negeri karena tidak mendapat perlakuan yang layak di negeri sendiri.

BPJS dan Eksistensi Negara

Jumat, 28 Oktober 2011, demonstran yang mayoritas dari kaum buruh menuntut RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan. Kurun waktu tujuh tahun perjuangan menuntut adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat bukan tidak beralasan. Bergerak dari amanat para founding father Negara Indonesia, yang termaktub dalam UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Walaupun pada akhirnya UU BPJS diundangkan, rakyat masih harus bersabar menanti implementasinya sampai beberapa tahun ke depan.

Kehadiran Undang-Undang BPJS ini, akan menegaskan keeksistensian Negara dalam memberi jaminan sosial dan pengakuan serta penghargaan Negara terhadap warganya. Artinya, eksistensi Negara akan benar-benar teruji oleh adanya UU BPJS ini. Apalagi UU BPJS yang merupakan peleburan empat BUMN, yaitu Asabari, Askes, Jamsostek, dan Taspen, yang merupakan motor penyelenggaraan jaminan sosial selama ini.

Kendati demikian, ibarat badan yang dilepaskan tetapi kaki yang masih terikat. Pemerintah yang diwakilkan delapan kementerian merasa keberatan dengan melontarkan berbagai alasan. Hal ini dikarenakan keempat BUMN yang menyelenggarakan jaminan sosial yang selama ini merupakan lembaga yang bersifat profit, namun setelah adanya UU BPJS yang ditanggungjawabi oleh Negara harus mengalami transformasi menjadi nirlaba.

Dengan skeptisisme yang telah ditunjukkan pemerintah tersebut, masyarakat dan kaum intelektual yang memberikan hati kepada rakyat, khususnya rakyat rentan, harus dapat mengawal implementasi jaminan sosial ini.

UU BPJS merupakan terobosan baru untuk melindungi segenap bangsa Indonesia yang dapat mengangkat harkat hidup serta menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Proses implementasi awal yang sesungguhnya akan kita rasakan tiga tahun mendatang, 2014. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah skeptisisme yang dimiliki akan menjadi tantangan besar? Walaupun demikian, hal itu harus menjadi kekuatan sebagai evaluasi demi perbaikan implementasi UU BPJS yang sesungguhnya.

Negara harus benar-benar serius, karena hal ini menyangkut kepedulian akan warganya. Jika tidak, kredibilitas Negara akan menjadi pertanyaan besar. Parahnya, akan menumbuhkan krisis kepercayaan warga Negara terhadap Negara. Tetapi harapannya, dengan pengawalan seluruh elemen masyarakat, amanat yang telah tertuang dalam konstitusi Negara harus dapat wujudkan secara konkret. Semoga! ***


Tulisan terbit di Harian Analisa, 29 November 2011