Rabu, 27 Agustus 2008

Nasionalisme: Masih Adakah?

Oleh: Samuel Purba

Apa yang dimaksud dengan nasionalisme Indonesia adalah keinginan untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Indonesia dari eksplorasi kaum kaya-kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun, termasuk oleh oknum/ lapisan bangsa Indonesia sendiri. Wataknya adalah watak pemerdekaan, pembebasan, pertolongan, dan pengangkatan kaum miskin dan kecil (Y.B. Mangunwijaya, 1997).

Noe, vokalis grup musik Letto, pernah menggugat makna kata Indonesia - khususnya bagi generasi muda saat ini - dalam sebuah tulisannya di harian Kompas. Kata Indonesia sudah sangat sering diasumsikan sebagai perwakilan dari hal-hal yang sifatnya negatif. Kalau ada berita tentang korupsi mereka akan katakan “ Indonesia banget !!!”. Kalau menjumpai pelayanan yang lambat dan birokratits mereka juga akan mengatakan “ Indonesia banget !!!”.

Ketika mereka harus ikut upacara yang bertele-tele, ketika mereka membaca kasus tawuran antar kampung yang memakan korban jiwa, mereka akan berujar, “ Indonesia banget !!!” Ketika bertemu dengan kampanye pilkada besar-besaran yang menghabiskan uang sedemikian banyak, ketika membaca kasus busung lapar, ketika mendengar kebiasaan para wakil rakyat meminta uang pelicin atau pergi pelesir ke luar negeri dengan alasan studi banding, dan berbagai hal-hal negatif lainnya, maka yang terucap tak lain “ Indonesia banget !!!”.

Paparan Noe barangkali mewakili jiwa anak muda zaman sekarang yang diliputi kegelisahan pudarnya semangat nasionalisme. Kegelisahan yang sesungguhnya bukan hanya pudarnya nasionalisme, namun rasa malu sebagai rakyat Indonesia yang diliputi sikap menyalahkan diri sendiri tanpa berbuat apa-apa untuk kemajuan negeri.

Sedemikian parahkah citra Indonesia di mata anak negeri sendiri? Bagaimana lagi bentuk citra kita di antara bangsa lain? Tidakkah semangat kaum muda dalam membangun Budi Utomo tahun 1908 sanggup menginspirasi kita? Apakah bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya tidak mampu lagi menyadarkan kita betapa pentingnya menjadi sebuah bangsa setelah penderitaan 350 tahun dijajah?

Nasionalisme Elit Kita

Berbagai persoalan nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari peran elit kita. Seandainya para elit mampu menghidupi nasionalisme maka nasionalisme itu juga akan hidup di tengah-tengah rakyatnya. Namun kenyataannya sering sekali jauh dari harapan. Para elit terlampau sering menggunakan simbol nasionalisme untuk kepentingan sesaat lalu melecehkannya di saat lain.

Kita melihat kenyataan yang memprihatinkan pada bangsa ini. Jumlah penduduk miskin mencapai 36 juta jiwa menurut versi BPS. Kalau mengikuti standar Bank Dunia, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 110 juta jiwa. Jumlah penganggur lebih dari 11 juta jiwa. Indeks pembangunan manusia (Human Development Index) berada di posisi 111 dari 175 negara. Belum lagi kalaumelihat data angka buta huruf, angka harapan hidup, angka putus sekolah, angka import berbanding eksport, angka tingkat korupsi, maka kenyataannya kondisi bangsa ini semakin terasa sangat memprihatinkan.

Sementara semakin sering saja kita mendengar para elit mengatakan untuk mencintai produk buatan negeri sendiri, padahal di saat yang sama mereka bergonta-ganti mobil terbaru buatan Eropa dan Amerika. Kita sering mendengar ajakan untuk menghargai dokter dan sarana kesehatan dalam negeri, pada saat yang sama istri para pejabat dengan bangga mengatakan baru pulang berobat dari luar negeri dengan gangguan kesehatan yang sepele. Bukankah sebuah kenyataan yang memuakkan?

Lebih membuat kita tidak habis pikir pada saat kegiatan nasional dilaksanakan dengan sangat seremonial, penuh dengan simbol-simbol nasionalisme dan retorika elit. Menyanyikan lagu-lagu kebangsaan berkali-kali. Apakah para elit tidak terpikir bahwa kegiatan-kegiatan tersebut hampir tidak mungkin membangkitkan semangat nasionalisme?

Pada saat Aceh dan Papua bergolak, pada saat Malaysia dan Australia menyinggung simbol-simbol negara, maka para elit reaktif. Pura-pura kebakaran jenggot dan meyerukan semangat nasionalisme. Pemberontak harus ditumpas demi nasionalisme, negara-negara tersebut harus dilawan sampai titik darah terakhir atas nama nasionalisme.

Padahal pada saat yang sama dengan entengnya mereka membuat kontrak dengan perusahan multi nasional (MNCs) yang intinya menjual aset bangsa, menjual bumi, air, dan kekayaan yang termasuk di dalamnya kepada pihak asing. Hutan kita ludes, emas dan tembaga lenyap, sumber energi langka, habitat alam rusak, hutang abadi, BUMN tergadai. Semuanya dengan begitu gampang dilepaskan dari nasionalisme.

Maka jadilah nasionalisme diklaim secara sepihak menjadi wacana satu arah yakni dari elit penguasa semata. Nasionalisme tahunan. Nasionalisme bersenjata. Nasionalisme simbolis. Nasionalisme anti kritik. Nasionalisme telah menjadi manufacturing consent untuk kepentingan ekonomi politik para elit.

Pendidikan, Demokrasi, dan Nasionalisme

Dalam masyarakat kontemporer sekarang, pengaruh globalisasi dan pasar bebas telah menjadikan konsumerisme dan serba instan sebagai gaya hidup. Tradisionalisme semakin hilang. Di sisi lain fundamentalis agama semakin kuat sebagai kontra globalisasi. Sayangnya upaya pengembalian nilai-nilai agama terjebak dalam satu kacamata saja dengan pejuangan penuh simbolisme dan kekerasan.

Sadar atau tidak - baik globalisasi ataupun fundamentalis – itulah sebenarnya yang paling menggerogoti nasionalisme. Globalisasi membuat identitas bangsa terkesan menjadi ketinggalan zaman. Sementara kelompok fundamentalis menyingkirkan keanekaragaman nilai budaya dan kemanusiaanjika tidak terdapat dalam ayat-ayat kitab suci mereka.

Mencari jati diri yang utuh dalam wadah nasionalisme menjadi sulit. Jati diri nasionalisme dalam jaman globalisasi tidak bisa tidak terdiri dari berbagai lapisan yang terintegrasi dalam kepribadian dewasa (Franz Magnis-Suseno, 2006). Lapisan-lapisan itu antara lain keluarga, keluarga besar (suku atau marga), umat agama lokal, agama universal, jaringan profesi, wadah civil society, dan bangsa. Manusia dewasa merealisasikan diri secara harmonis dalam semua lingkaran sosial ini, dengan selalu terbuka bagi perluasan-perluasan baru. Makin lengkap jati diri seseorang, makin mampu ia membawa diri dalam tantangan globalisasi.

Sebaliknya orang yang mengidentifikasi diri hanya dalam satu lingkaran sosial saja akan mengalami distorsi identitas. Mereka tidak sanggup menjadi bagian masyarakat nasional atau global tanpa melakukan pemaksaan kehendak, tidak bisa berdialog di antara berbagai perbedaan, menganggap orang lain sebagai pihak yang harus diwaspadai, dan sulit membangun kebersamaan. Padahal dialog dan saling menghargai adalah benih demokrasi. Dan demokrasi adalah benih nasionalisme.

Lalu dengan kondisi seperti ini, model pendidikan seperti apakah yang diperlukan untuk menumbuhkembangkan nasionalisme? Jawabannya tak lain adalah pendidikan demokrasi. Pendidikan yang membuka kesadaran identitas kebangsaan kita, ia menyangkut persoalan mendasar pada cakrawala “ruang hidup” dan “kehidupan bersama” (Agus Suwignyo, 2008). Persoalannya adalah seberapa jauh multidimensionalitas dalam cakrawala itu disadari, digali, dan diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

Semakin menjadi persoalan saat kita kembali lagi kepada siapa yang membuat kebijakan pendidikan, yakni elit. Jika elit sendiri tidak mempunyai cakrawala berpikir yang sedemikian maka pendidikan demokrasi tetap dalam posisi terancam. Pada kenyataannya kekhwatiran itu beralasan. Visi pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas mengindikasikan kemandekan berpikir (cul de sac) para elit kita. Kata "nasionalisme" tidak terurai demikian juga maknanya.

Jadilah model pendidikan yang gagap dengan pemaksaan mutu pendidikan dengan simbol-simbol “nasional” seperti Ujian Nasional, Kecerdasan Nasional, Standar Pendidikan Nasional, dan sebagainya. Ditambah pula dengan unsur spiritual (yang juga tidak terurai) menjadikan semangat primordialisme semakin terasa dalam sistem pendidikan kita. Yang cukup mengkhwatirkan kita adalah pendidikan model ini akan mendistorsi kekhasan dankeunikan pendidikan lokal atas nama nasional.

Wacana nasionalisme sudah sepatutnya diletakkan dalam ruang publik di mana setiap kelompok masyarakat dapat dengan leluasa mengkaji dengan kritis dan memberi kontribusi kreatif di dalamnya. Nasionalisme yang seharusnya menjadi wacana dalam ruang publik ini sayangnya telah menjadi sarana ideologi negara dalam ruang privat yang diciptakannya.

Semuanya (sekali lagi) berawal kekaburan dan kedangkalan dalam memaknai dinamika “bermasyarakat” dan “bernegara”. Sebab pada dasarnya pada dinamika itulah pendidikan bertumpu. Oleh karenanya kekaburan itu harus segera dibenahi sebelum kita bisa melahirkan kembali makna pendidikan yang mendalam dan inklusif.

Menyemai Keadilan

Apa yang menjadi masalah utama dalam kehidupan bangsa yang kita hadapi saat ini adalah keadilan (J.S.Djiwandono, 2004). Pembangunan yang tidak merata untuk setiap daerah, ketimpangan struktur sosial dan ekonomi, redistribusi sumber-sumber ekonomi yang kacau, hukum yang tidak ditegakkan, adalah bentuk-bentuk kegagalan negara yang merusak semangat nasionalisme. Berbagai konflik yang berbau SARA tidak bisa lepas dari ketidakadilan yang terjadi. Hanya saja pemerintah sering mengaburkan sisi ini dan menjadikan SARA sebagai kambing hitam. Kita baru bisa bangga dengan kebangsaan kita kalau the state delivers the goods.

Oleh karenanya, kita sebagai generasi muda saat ini harus membuka mata selebar-lebarnya melihat sumber-sumber ketidakadilan yang terjadi di bangsa ini. Mencari, menemukan, lalu mengatasinya adalah solusi cerdas yang harus digarap oleh generasi muda saat ini dengan berbagai cara. Kukuhnya nasionalisme sangat dipengaruhi sejauh mana keadilan diwujudkan di negeri ini!

Bentuk konkritnya adalah belajar dengan sungguh-sungguh dan mampu mengaplikasikan ilmunya untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Kita sadar bahwa di tengah berbagai arus ideologi yang berkembang saat ini, hanya nasionalisme-lah satu-satunya yang mampu menyatukan kita sebagai sebuah bangsa.

Nasionalisme saat ini juga harus kita artikan sebagai mengangkat bangsa kita dari keterpurukannya, mengangkat jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan bermartabat di mata dunia. Upaya itu bisa dilakukan dalam berbagai bidang baik sains, seni, budaya, olah raga, musik, hukum, bisnis, politik, dan bidang-bidang lainnya. Semuanya harus dibungkus dengan semangat cinta tanah air, cinta akan keberanekaragamannya, dan cinta pada rakyatnya.

Dalam masa reformasi, kita harus berani terlebih dahulu mereformasi diri sendiri, dalam arti keberanian membebaskan diri dari kungkungan cara berpikir, pola hidup, dan tingkah laku usang. Banyak di antaranya yang terjadi akibat indoktrinasi yang terjadi di masa lalu. Inilah liberation from bondage. Kalau kita sudah mereformasi diri sendiri barulah kita dapat berpartisiasi dalam proses reformasi di negeri ini.

Dengan demikian, bersama Noe dan generasi muda lain yang masih gelisah melihat pudarnya nasionalisme di negeri ini, dengan mantap kita menjawab pertanyaan: “Masihkah semangat nasionalisme ada di dirimu?” Masih dan akan terus di sana! Karena itulah jiwaku, itulah nadiku.***


Dumai, akhir Juli 2008, anggota KDAS, alumni Ilmu Administrasi Negara
FISIP USU Tahun 2003

Tidak ada komentar: