Rabu, 27 Agustus 2008

Eksistensi Pendidikan Alternatif

Oleh: Randy V. Persie

Tak dapat disangkal lagi pendidikan adalah suatu hal yang sangat fundamental bagi kemajuan peradaban bangsa. Kualitasnya berbanding lurus dengan kesejahteraan sosial masyarakat. Keniscayaan sejarah global menunjukkan bahwa negara-negara maju mendirikan dan mengembangkan pilar-pilar peradaban pada kokohnya fondasi pendidikan. Sebut saja Cina dengan pesatnya laju pertumbuhan ekonominya. Berawal ketika Deng Xiao Ping menggelorakan kualitas pendidikan sebagai basis. Demikian pula India dengan jasa teknologi informasinya yang banyak dipakai oleh negara-negara maju. Kesemuanya itu dimulai sejak negara tersebut memacu pendidikan. Oleh karena itu pendidikan haruslah menjadi prioritas untuk dikedepankan peningkatan kualitasnya sebagai refleksi kritis penemuan solusi atas disparitas sosial dalam kemasan multidimensi permasalahan bangsa.

Mengapa Pendidikan Alternatif ?

Pendidikan selalu menjadi katrol dalam menakar pencerahan. Layaknya katrol pada sumur, semakin talinya ditarik tentu ember yang berisi air pun bergerak naik ke atas. Si penarik dapat diasumsikan warga belajar, katrol berkaitan dengan kebijakan atau sistem pendidikan yang diterapkan sementara ember berisi air mengenai berkualitas tidaknya pendidikan yang dijalankan. Tiap-tiap komponen mempunyai fungsi, tapi dalam hal ini tugas yang paling mendasar ada pada katrol. Kita bisa bayangkan bila katrol (bc. kebijakan pendidikan)nya berkarat atau rusak tentu berdampak pada buntunya proses pencerahan holistik.

Agar tidak terjebak pada kebuntuan tersebut kita juga perlu tahu bahwa pencerahan ini tidak hanya diperoleh melalui lembaga formal tapi juga informal. Meskipun memang kita bisa lihat bahwa lembaga formal jauh mendominasi proses kegiatan belajar anak bangsa. Sementara yang seharusnya diperoleh secara informal sering dianggap iseng sehingga tidak ada pun tak apa-apa. Hal ini bertendensi ketimpangan tanggung jawab sebelah pada lembaga sekolah formal. Selanjutnya hal ini bisa saja tidak menjadi masalah bila sekolah-sekolah benar-benar menerapkan serangkaian unsur pendidikan –kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun fakta menunjukkan keniscayaan anomali sistem pendidikan membelenggu daya kritis. Alih-alih mengentaskan kebodohan justru menetaskan permasalahan baru yang bergerak perlahan menjadi patologi sosial.

Dampak kebijakan baik langsung maupun tidak mengarahkan warga belajar kelak menjadi sekrup-sekrup mesin kapitalisme. Menuntun teratur generasi intelektual ke sektor-sektor dimana mereka mendapat upah, lebih vulgar teman saya menggambarkannya sebagai ‘budak-budak kapitalis’.
Globalisasi sering menjadi pembenaran atas terkontaminasinya pendidikan terhadap komersialisasi. Keagungan tujuan pendidikan pun ternodai. Muaranya degradasi moral, minus jiwa wira usaha. Sebab aspek kognitif satu-satunya dan utama dipoles, lupa betapa pentingnya juga menanamkan nilai-nilai emosional dan spiritual. Maka tak perlu heran bila kelak bersentuhan dengan kompleksnya problema kehidupan lalu terjebak pada kemandegan berfikir (cul de sag).

Fenomena ini memunculkan benih kegelisahan yang kemudian terkristalisasi dengan mengusung metode pendidikan transformatif. Pendidikan alternatif muncul dilatarbelakangi oleh disorientasi pendidikan yang kerap kali diakibatkan oleh sekolah legal formal. Kehadirannya bukanlah wujud pemberontakan sebagaimana sering dialamatkan. Namun sebuah upaya mencari metode dan cara baru bagi pendidikan kontemporer. Tidak terjebak pada keharusan belajar di ruang kelas sekolah. Menerapkan cara-cara baru dan meretas paradigma tradisional yang memang tak sehat lagi bagi pembentukan manusia seutuhnya. Hal esensial dalam pendidikan alternatif ialah pendekatannya bersifat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/ keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan bakat.

Pendidikan alternatif dapat diterjemahkan sebagai ketidakpercayaan pada lembaga pendidikan legal formal. Ia menstimulasi warga belajar untuk ikut berperan aktif. Harmonisasi pemikiran, emosional dan spiritual begitu padu membentuk individu. Tidak sekedar transfer materi tetapi juga upaya memupuk dan menumbuhkembangkan rasa percaya diri warga belajar. Sehingga tumbuh keberanian mengemukakan ide secara alamiah bukan karena terpaksa seperti kebanyakan terjadi.

Mari kita eksplorasi perbandingan antara pendidikan alternatif dengan lembaga formal pendidikan. Sehingga lebih jelas kita tahu perbedaan yang paling mendasar. Melihat secara obyektif apakah memang perlu pendidikan alternatif dimunculkan atau justru ia hanya model pendidikan ‘suam-suam kuku’.

Bila dalam pendidikan formal hubungan pendidik-peserta didik ialah subjek-objek. Peserta didik terpenjara dalam kebiasaan menghapal. Nyaris tidak bersentuhan dengan realita di sekitarnya. Meminjam istilah Paulo Freire, gambaran semacam ini disebut budaya bisu. Peserta didik lebih sering terkooptasi permanen dengan apa yang ditransfer pendidik, tanpa mampu membahasakan sendiri apa yang telah diperolehnya. Sebab itu tak jarang bila ditanyakan sesuatu, maka jawaban yang akrab ialah “kata guruku…”, “dosenku bilang…”.

Materi yang ditransfer pendidik sering dibingkai dalam kebenaran baku, sehingga minus upaya menyentuhkan kebenarannya dengan realita. Fenomena sedemikian bermuara pada tumpulnya kreativitas, dan menindas kemerdekaan berfikir. Kegagalan membangun pengalaman belajar bermakna bagi peserta didik. Inilah buah pelaksanaan anomali sistem pendidikan nasional. Parahnya lagi, tidak semua warga negara bebas mengecap pendidikan. Komersialisasi pendidikan berujung pada orang miskin dilarang sekolah. Pendeknya, pendidikan formal tidak lagi ramah secara intelektual dan finansial.

Kegelisahan ini coba direspon pendidikan alternatif. Menerapkan metode yang menjembatani pengetahuan dengan realita kehidupan. Interaksi pendidik dan peserta didik ialah subjek-subjek dalam proses dialektika (diskusi) dengan realita sebagai objeknya. Pendidik lebih difungsikan sebagai fasilitator. Peserta didik dirangsang lebih pro aktif dalam proses pembelajaran. Dituntun untuk menemukan potensi masing-masing dan mendinamisasikannya. Konsep dialektika yang sehat. Dengan menjadi subyek pembelajaran, ruang pengembangan kapasitas terbuka lebar.

Misalkan, penerapan langsung rumus-rumus fisika, matematika dan lainnya terhadap benda-benda di sekitar lingkungan dan hidup mereka. Hal tersebut juga berlaku dengan mata pelajaran lainnya. Menciptakan suasana belajar yang kondusif, menyenangkan. Bukankah dengan cara demikian proses belajar mengajar lebih mudah untuk diserap. Selain itu bagaimana mendesain proses pembelajaran menjadi media refleksi terhadap kehidupan sehari-hari dan diri pribadi.
Penyelenggaraan pendidikan alternatif berusaha sedapat mungkin menjadi wadah yang akrab bagi kelompok-kelompok masyarakat yang secara geografis terisolir, marginal dan masyarakat miskin yang tidak dapat diakomodasi sekolah-sekolah formal. Beberapa yang sudah ada diantaranya, komunitas pinggir kali, komunitas anak jalanan, sekolah anak rakyat, sanggar anak dan masih banyak lagi. Di kalangan ekonomi menengah ke atas mucul gerakan homeschooling.

Pendidikan benar-benar diupayakan memberikan bekal bagi warga belajar untuk mengkaji apalagi menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sehingga mereka terbiasa mandiri dan kreatif menganalisis dan memecahkan permasalahan. Dalam kasus semacam ini, pendidikan tidak berpijak pada lantai yang semu. Pendidikan bercermin dari problematika kehidupan sehari-hari. Pendidikan demokratis, hadap-masalah.

Sekolah-sekolah alternatif diharapkan mengambil peran oposan aktif menembus kebekuan dan status quo dalam sistem pendidikan nasional. Ketika sekolah-sekolah formal (negeri dan swasta) berada dalam lingkaran hegemoni negara dan tidak berdaya untuk mengakhiri gejala dehumanisasi dalam pendidikan dan saat lembaga-lembaga pelatihan nonformal (kursus dan lembaga bimbingan belajar) ikut terseret industrialisasi dan komodifikasi ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan peran lembaga formal dan coba membanding-bandingkan dengan pendidikan alternatif. Keberadaannya tetap membawa efek positif yang signifikan, sebab dapat menjadi sinyal kejut bagi lembaga formal untuk semakin serius berbenah diri. Keduanya saling melengkapi untuk menghantarkan generasi intelektual menjadi manusia seutuhnya.

Akhirnya merunut pada makna harfiah pendidikan yang berarti menarik potensi. Maka, apapun bentuk pendidikan baik formal maupun informal, sudah seharusnya dapat menarik potensi manusia keluar. Dengan itu pula harus disadari bahwa pendidikan mengambil peran mutlak mendinamisasikan potensi tersebut. Memantapkan setiap orang untuk memilih kemampuan membedakan antara apa yang diketahui dan tidak diketahui sehingga tahu dengan jelas kemana perginya mencari sesuatu yang perlu diketahui, pada akhirnya tahu bagaimana menerapkan dan mengabdikan pengetahuan yang didapatkan.

Proses seperti inilah menunjukkan kesejatian pendidikan dalam bingkai proses pembebasan. Setiap warga belajar berkesadaran memaksimalkan potensinya sehingga tumbuh menjadi manusia merdeka sebagai proses penemuan kreatif pengetahuan dan kebenaran. Dalam arti pendidikan diorientasikan dan bermuara pada pengembangan kemampuan setiap orang untuk menerapkan pengetahuan secara bijak dan tepat, demikian whiteheard.***

Tidak ada komentar: