Rabu, 27 Agustus 2008

Korupsi Adalah Musuh Nasionalisme

Oleh: Maruli Tua

Sekali lagi saya tegaskan: bahwa musuh nomor wahid nasionalisme saat ini adalah korupsi! Mengapa? Karena korupsi telah membunuh bangsa. Bangsa sebagai elemen dasar nasionalisme telah dihabisi secara mengenaskan dan hampir tanpa perlawanan.

Nasionalisme
Ya, baiklah, sebagian besar dari kita pasti sudah tahu bahwa nasionalisme adalah suatu paham tentang kebangsaan. Bahwa nasionalisme berasal dari kata “nation” dan “ism”. Nation adalah bangsa dan ism adalah paham atau pandangan. Bahwa nasionalisme adalah pandangan atau sikap yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Bersikap nasionalis adalah berarti tidak membedakan orang atau suatu kelompok berdasarkan suku, agama, ras, ataupun golongannya. Ya, anak sekolah dasar pun sudah paham itu.

Tapi baiklah kita sekali lagi merenungkan dengan sedalam-dalamnya dan mempertanyakan kembali dengan lebih kritis: bagaimana kondisi nasionalisme saat ini? Masih relevankan itu? Bagaimana masa depannya?

Di permukaan, kita setiap hari melihat dan merasakan banyak persoalan dan konflik datang silih berganti. Sengketa pemilihan kepala daerah di Maluku Utara sampai masalah kebebasan berkeyakinan kelompok minoritas atau di luar mainstream, mahalnya uang masuk pendaftaran sekolah dan biaya buku sampai semakin kuatnya laskar atau milisi sipil berkedok agama ketimbang aparat kepolisian, penggundulan hutan secara massif sampai semakin mahalnya biaya perobatan masyarakat di rumah sakit, dan bahkan isu perekrutan sejumlah warga negara Indonesia oleh pihak Malaysia sebagai milisi sipil di perbatasan. Atau pertikaian berdarah di Poso yang ternyata lebih kuat dugaan motif korupsinya yang akhirnya mengorbankan masyarakat yang berbeda agama untuk saling membunuh. Itu semua hanyalah puncak gunung es yang nampak di permukaan.

Rakyat sebagai inti utama dari negara (baca: pemerintah) merasakan bahwa ada atau tidak ada negara seperti tidak berarti. Bahkan dirasakan bahwa negara adalah bagian dari masalah itu sendiri. Ingat dengan kasus sengketa lahan pasir antara petani di Kulonprogo, Yogyakarta, dengan Pemerintah plus pengusaha? Negara yang seharusnya mengusahakan kesejahteraan rakyat petani yang sudah puluhan tahun mengubah lahan tandus menjadi daerah pertanian subur malah memerangi petani untuk kenyamanan pengusaha berinvestasi di sana. Atau coba tanyakan kepada para pedagang pasar tradisional eks pasar Melawai, Jakarta, yang pasarnya diduga dibakar, yang sejak Agustus 2005 melawan kesewenang-wenangan aparat Pemda Jakarta plus konglomerat Agung Podomoro Group: bagaimana negara memperlakukan mereka? Bahkan kepada sejumlah guru di Lubuk Pakam, Sumatera Utara, yang digerebek oleh tim Densus-88 Anti Teror: bukankan karena tekanan negara secara tidak langsung yang menyebabkan mereka berusaha ”menyelamatkan” murid dan stakeholder sekolah dengan melakukan kecurangan?

Salah satu akar permasalahan dari hal-hal tercontohkan di atas adalah korupnya sistem dan mental birokrat dan aparatus negara. Lupakan dulu tentang moralitas atau seberapa rajinnya para penyelenggara negara tersebut beribadah atau memberikan sumbangan sosial dan keagamaan. Abaikanlah seberapa manisnya wajah dan janji-janjinya di media massa ataupun di poster-poster dan umbul-umbul sepanjang jalan yang merusak pemandangan.

Korupsi

Bahwa Indonesia (baca: penyelenggara negara) adalah paling korup, saya yakin sebagian terbesar kita pasti mengangguk setuju. Kompas edisi 21 Juli 2008 mengungkapkan sebagian fakta bahwa Pemerintah dari Aceh sampai Papua terjerat korupsi. Sepanjang tahun 2008 dilaporkan adanya 23 kasus korupsi oleh sejumlah pejabat negara. Bayangkan, baru sampai pertengahan 2008! Lagi, dalam berita utama Kompas edisi 22 Juli 2008 diungkapkan fakta sebagian kasus korupsi yang muncul atau di proses selama tahun 2008, mulai dari BUMN, departemen, sampai komisi negara. Eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR/DPRD), dan yudikatif (peradilan/hakim) kolaps!

Memahami akar permasalahan korupsi di Indonesia masih relevan dengan memakai pisau analisis Syed Hussein Alatas, pendekatan William J. Chamblis dan teori Milovan Djilas. Ketiganya menganalisis korupsi melalui dasar-dasar sosiologis (George Junus Aditjondro, 2001).

Syed Hussein Alatas (SHA) cenderung melihat peranan segelintir tokoh yang berintegritas tinggi. Inti analisis SHA adalah: pertama, unsur-unsur pokok korupsi: subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan dan keuntungan pribadi, unsur kerahasiaan, dan pelanggaraan terhadap norma-norma umum; kedua, tipologi korupsi: suap (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme; ketiga, korupsi dalam suatu masyarakat/bangsa/negara bisa berkembang dari stadium pertama sampai ketiga. Pada fase stadium ketiga, kondisi ini masih dapat diselamatkan apabila masih ada segelintir orang yang punya integritas tinggi yang memimpin kampanye dan pemberantasan korupsi di masyarakat/bangsa/negara itu. Hal ini mirip seperti ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap KPK untuk memenjarakan sebanyak-banyaknya pejabat negara yang tidak tersentuh hukum dalam kasus-kasus korupsi.

William J. Chamblis melihat korupsi sebagai bagian integral dari setiap birokrasi, akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi, yang merupakan satu cabal yang tertutup, sulit dibongkar dari dalam dan juga tidak mudah diubah dari luar (pendekatan struktural). Cabal adalah kolaborasi sistemik antara pengusaha dengan birokrat & politisi dan aparat penegak hukum untuk mengamankan kepentingan bersama. Sulitnya menerobos cabal dari dalam karena solidnya kolusi antar aktor tersebut dan dari luar karena melimpahnya "ikan teri" yang siap dikorbankan untuk diadili dan melindungi "ikan kakap atau paus". Contoh paling aktual adalah kasus suap pengusaha Arthalyta Suryani kepada jaksa Urip Tri Gunawan atau kasus korupsi dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR dan menteri.

Milovan Djilas dengan teori munculnya "kelas baru" di negara-negara sosialis, studi kasus Uni Soviet dan Yugoslavia, dimana kelas baru itu timbul akibat konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi di tangan satu elite nasional (nomenklatura) yang dipilih oleh Komite Sentral Partai Komunis untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Mirip dengan struktur kelas di masa Orde Soeharto (1967-1998) yang saat ini strukturnya menjadi lebih kecil per daerah seiring dengan penerapan otonomi daerah ataupun di pusat dengan struktur dimana penguasa menjadi pusat dengan pembagian "kue ekonomi" yang bertingkat dan fakultatif.

Selain itu, bahaya laten korupsi massif dengan daya rusak luar biasa adalah korupsi politik yang di Indonesia dikenal dengan istilah money politics. Political corruption menurut Paul Heywood (1997), mencakup: corrupt activities which take place either wholly within the public sphere or at the interface between the public and private spheres-such as when politicians or functionaries use their privileged access to resources (in whatever form) illegitimately to benefit themselves or others. Contoh paling sederhana adalah kebiasaan sebagian pejabat yang menggunakan mobil negara untuk belanja ke mall atau rekreasi dengan keluarganya. Apalagi level korupsi politik pada saat ini sudah mencapai fase banalitas atau tingkatan dimana aksi korupsi oleh para penyelenggara negara sudah dianggap wajar dan disesali sebagai kesialan kalau terungkap secara hukum serta sikap masyarakat yang cenderung permisif terhadap korupsi dan koruptor.

Nasionalisme vis a vis Korupsi

63 tahun bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat berperang terhadap korupsi sebagai musuh nasionalisme yang riil dan paling mematikan. Dalam perayaan hari kemerdekaan tahun ini, setiap anak bangsa terutama kaum muda menemukan momentum paling tepat untuk merefleksikan secara jujur dan mendalam berbagai persoalan bangsa dan dinamikanya. Kaum muda juga harus bersatu untuk mengidentifikasi musuh sejati nasionalisme yang selama ini telah melemahkan dan menghancurkan setiap fondasi persatuan dan kesatuan rakyat dan bangsa Indonesia. Iblis itu salah satunya adalah korupsi!

Melihat sejarah dan memandang masa depan akan menjumpai hal yang sama karena dan kalau masalah korupsi tidak serius dituntaskan. Menghancurkan korupsi sampai ke akar-akarnya seperti yang dilakukan Soeharto dan mesin politik-militernya terhadap PKI-Komunisme bisa dijadikan pelajaran. Dan kaum muda (baca: kritis-progresif) lah yang paling bisa diharapkan karena tidak memiliki beban sejarah dan intelektualitas-idealisme yang kuat. Pangkal persoalannya adalah ketidakadilan sosial dan ekonomi. Alat ketidakadilan itu adalah korupsi yang telah bermeta-morfosis menjadi tujuan. Saat ini, kaum muda kembali dipanggil untuk tampil merebut “kemerdekaan” yang sejati. 63 tahun yang lampau Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Leimena, Tan Malaka, dan sederet kaum muda lainnya merebutnya dari Belanda dan kaum kolonialis lainnya. Nasionalisme terbukti mampu memberikan energi luar biasa bagi lahirnya kemerdekaan. Rakyat sebagai pendukung utamanya adalah nasionalis sejati. Sejarah akan kembali mencatat: korupsi atau nasionalisme yang akan keluar sebagai pemenang perang besar ini. Dan kita adalah penentunya!***


Anggota KDAS, Alumni FE-USU

Tidak ada komentar: