Rabu, 27 Agustus 2008

Bangsa yang Cerdas: (Bukan) Sekedar Baru Bisa Mimpi (?)

Oleh : Tongam Panggabean

Republik Baru Bisa Mimpi (BBM) dan Democrazy, dua tayangan di televisi swasta yang berbeda mecoba menghadirkan dan membahas masalah-masalah ekonomi, sosial budaya, politik, hankam ideologi dan agama dalam ranah humor. Acara yang dirancang sedemikian rupa dengan pilihan latar dan tokoh yang mirip baik secara fisik maupun karakter. Sungguh sangat menarik sehingga tidaklah mengherankan keduanya termasuk rating tertinggi yang digemari pemirsa. Apakah kedua tayangan itu adalah indikator bahwa masyarakat kita sudah frustasi karena ekspektasi-ekspektasi mereka tak kunjung nyata?, benarkah republik ini masih Baru Bisa Mimpi dan berDemocrazy, mungkinkah ini bagian dari proses pendidikan pendewasaan bangsa?
Di republik nyata ini, para elit politik sedang sibuk memperkaya diri sendiri, partai politik sibuk dengan urusan memenangkan pemilu 2009. Mereka berkampanye atas nama rakyat dengan jargon-jargon berantas kemiskinan, pendidikan untuk rakyat dan sebagainya. Sambil sikut-menyikut saling ingin menjatuhkan. Lebih parah lagi, perilaku aparat pembuat hukum seperti DPR yang terjebak dalam politik konspirasi dagang sapi dalam pembuatan regulasi-regulasi dan dalam kontrol kekuatan kapitalis sehingga tidak mandiri dan anti rakyat.

Sangatlah kontradiktif dengan tujuan agung negara kita; mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang adil dan makmur. Sementara sudah sekitar 5 tahun lamanya kita menggunakan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas No 30 tahun 2003). Undang-undang yang terdiri dari 22 bab 77 pasal dan banyak menuai kontroversi. Pemerintah mengklaim bahwa undang-undang ini sebagai pengejawantahan salah satu tujuan reformasi yaitu demokratisasi dan desentralisasi pendidikan

Pendidikan (yang) sekedar Baru Bisa Mimpi dan Democrazy

Pada bab III pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas 2003 tentang penyelenggaraan pendidikan disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Sungguh suatu cita-cita yang sangat mulia jika ditinjau dari tataran teoritis. Namun, kenyataan berkata lain karena kembali terjebak dalam plesetan ala pemerintah. Betapa tidak, demokrasi yang seyogianya adalah penghormatan sepenuhnya atas hak asasi manusia telah dibelenggu dengan tindakan yang otoriter.

Pertama, adanya ketidakadilan dalam praktek pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang menggunakan standarisasi. Tampaknya pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tetap tidak mau tahu dan tetap menutup mata dan telinga atas kenyataan sebagian besar sekolah yang belum memperoleh pembinaan dan fasilitas pendidikan yang adil dan seimbang dari pemerintah. Sehingga seluruh sekolah di Indonesia sebenarnya belum layak mengikuti proses ujian yang sama. Sangatlah disayangkan tindakan pemerintah yang reaksioner dengan tetap melaksanakannya sebagai wujud paham otoriterian yang sudah melekat kuat. Alih-alih untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kenyataannya justru menjerumuskan siswa dan para guru ke dalam kemerosotan moral yang semakin akut.

Kedua, Apabila kita telusuri secara seksama, otonomi pendidikan sebenarnya adalah dampak langsung dari pemberlakuan otonomi daerah. Lagi-lagi secara teori, hal ini alangkah sangat baiknya jika dijalankan sebagaimana esensinya. Di mana daerah berhak mengatur kegiatan pendidikannya masing-masing dengan asumsi bahwa daerah lebih dekat secara emosional sehingga lebih mengenal dan terbeban untuk memajukan daerahnya. Pengenalan yang objektif terhadap budaya dan kearifan lokal misalnya akan lebih mengarahkan pendidikan kepada pendidikan hadap masalah yang bisa memecahkan permasalahan yang ada. Dari segi dana juga dinilai akan lebih tepat guna karena kebocoran-kebocoran akan dapat ditekan sedemikian rupa lewat pengawasan masyarakat secara langsung.

Dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen ke-4 (negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional) juga sudah jelas diatur. Konkritnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang beursia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas 2003).

Namun, sangatlah disayangkan karena di dalam implementasinya ternyata terjadi lagi penyimpangan. Sangat ironis karena kembali tejadi keambiguan. Di satu sisi pemerintah ternyata memanfaatkan otonomi daerah sebagai dalih untuk melepaskan tanggung jawab terutama dalam hal pendanaan dan membebankannya kepada masyarakat. Tampaknya pemberian tanggungjawab kepada daerah dan masyarakat semakin memuluskan usaha tersebut sebagaimana yang sudah sengaja diatur pada pasal 34 ayat 2 pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2), sedangkan di sisi lain pemerintah tetap mempertahankan sentralisasi dengan tidak memberikan otoritas kepada daerah untuk menilai sejauh mana kemajuan anak didiknya terutama dalam kemandirian pelakasanaan UN yang masih terpusat. Lalu dimana prinsip otonomi yang dimaksud?

Memang, republik ini benar-benar baru bisa mimpi. Mimpi akan guru yang berkualitas dan profesional melalui sertifikasi guru tanpa melihat terlebih dahulu sudah sejauh mana kesejahteraan guru, mimpi akan berkurangnya pengangguran dengan keinginan memperbanyak jumlah SMK daripada SMA dengan asumsi bahwa pengangguran disebabkan ketidak adanya skill para pencari kerja padahal sesungguhnya lebih disebabkan ketiadaan lapangan pekerjaan, mimpi akan penjangkauan buku yang lebih cepat dan merata di seluruh Indonesia dengan internetisasi buku yang yang tidak logis dilihat dari kemampuan ekonomi rakyat yang tidak merata dan masih banyak mimpi-mimpi lain.

Akar permasalahan

Masalah pendidikan di republik ini sudah sangat kompleks, ibarat merunut benang sudah sulit membedakan mana ujungnya, salah bertindak bisa berakibat fatal. Kompleksitas itu dapat dilihat dari persfektif sejarah kebijakan ekonomi kita.

Dependensi dengan kekuatan neoliberalisme global. Dalam arti di bawah kendali pasar. Apabila dirunut ke belakang, maka tidak terlepas dari kebijakan rezim sebelumnya yang membuka kran sebesar-besarnya terhadap kapitalisme-kapitalisme itu. pemberian lahan tambang emas di Papua kepada PT Freeport Internasional tahun 1967, menyusul kemudian Blok Cepu, Caltex dan masih banyak lagi. Alih-alih mendapatkan untung, justru yang kita dapatkan adalah puntung karena kesalahan penguasa kita sebelumnya yang tidak berpihak kepada rakyat, melainkan kepada para investor asing melalui undang-undang penanaman modal yang dikendalikan investor sendiri.

Kita telah kehilangan jati diri dan kearifan nasional dan lokal. negara dengan potensi sumber daya manusia yang besar secara kuantitas dan bisa dipacu kualitasnya, potensi agraris yang luar biasa, potensi laut yang melimpah, kandungan minyak dan tambang yang melimpah pula telah dijarah. Pemerintah tidak pernah belajar dari kebesaran kerajaan Sriwijaya dengan corak maritimnya atau Majapahit dengan corak agrarisnya yang terbukti mampu menghantarkan kedua kerajaan itu menjadi kekuatan global pada paruh waktu abad ke-7 dan ke-14. Implikasi dari semua itu adalah rapuhnya perekonomian nasional. Sedikit saja guncangan global, ekonomi kita akan goyah.

Arah republik ini tidak jelas lagi. Jerat utang luar negeri merambah kepada ketidakmandirian politik luar negeri dan dalam negeri. Intervensi kekuatan kapitalisme global sangat besar terutama dalam pembuatan regulasi-regulasi. Semakin diperparah lagi oleh para politisi dan negarawan gadungan yang korup. Tidak urung, sektor pendidikan pun jadi terkena imbasnya.

Menurut strategi neoliberalisme, seluruh kebijakan pemerintah hanya ditujukan untuk melayani kepentingan perusahaan-perusahaan swasta, bukan untuk melayani kepentingan publik yang tidak produktif sehingga tidak menghasilkan akumulasi kapital. Karena itu anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun dan sebagainya harus dihapuskan, karena sektor-sektor tersebut bukanlah sektor yang produktif.
Khusus untuk sektor pendidikan, tampaknya pemerintah lebih memilih untuk mengabdi kepada neoliberalisme tersebut ketimbang kepada rakyat. Kebijakan konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. Telah ditetapkan bahwa anggaran pendidkan hanya sebesar 12 % (11,8 % pada 2007) atau Rp 61,4 triliun dari total nilai anggaran Rp 854,6 triliun.
Maka tejadilah privatisasi pendidikan. Sebagai hasil neoliberalisasi tersebut. Merujuk kepada pasal 19 undang-undang sisdiknas yang berbunyi; “masyarakat berkewajiban memberikan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan” dan pasal 12 ayat 2(b) yang memberi kewajiban bagi peserta didik untuk menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Ada dua implikasi yang terjadi dengan pemberlakuan pasal itu yakni, lembaga pendidikan akan dikuasai oleh masyarakat golongan The Have dan yang lain, lembaga pendidikan terancam bangkrut dan jalan satu-satunya untuk mencegah adalah dengan mengubah orientasi pendidkian menjadi capital and profitable oriented. inilah yang terjadi pada beberapa perguruan tinggi terutama perguruan tinggi negeri dengan mengubah statusnya menjadi Badan Hukum Milik Negara ( setengah negeri dan setengah swasta) bahkan lebih mudah didorong menjadi sepenuhnya berstatus swasta dengan akan berlakunya undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Mimpi benar-benar tinggal mimpi, republik ini masih baru bisa mimpi.

Pencarian Solusi

Hanya satu jawaban bagi mereka yang mengaku sebagai nasionalis dan negarawan sejati. Bangkit melawan atau dia. Sekarang yang menjadi pertanyaan lagi adalah dengan cara apa melawannya? Apakah masih mungkin, dan apabila masih, seberapa energi yang dibutuhkan, kapan akan terwujud, pada masa hidup kitakah, atau masa kehidupan anak cucu kita? Tetapi yang pasti bukan harus berorientasi kepada hasil tetapi kepada proses yang kita lalui.

Memang banyak pilihan yang bisa dilakukan. Memilih seperti yang dilakukan oleh Fidel Castro di Kuba, atau Hugo Chaves di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia dengan kebijakan negara frontal menyatakan perang dengan segala bentuk neoliberalisme atau Soekarno dengan konsep Berdikarinya?, atau bapak peletak filsafat pendidikan Paulo Freire melalui upaya penyadaran dan pemerdekaannya (pendidikan kaum tertindas dan Pedagogies of the Opressed) atau seperti yang dilakukan pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara yang melalui pendidikan ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia yang merdeka. Ada beberapa pilihan untuk tidak terjebak di dalam sekedar baru bisa mimpi dan democrazy. Yang mana harus kita pilih? Pastinya semuanya itu kembali kepada kita.


Mahasiswa Ilmu Sejarah USU 04, Mantan Ketua Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS)

Tidak ada komentar: