Rabu, 27 Agustus 2008

Menyegarkan Kembali Makna Nasionalisme Kita

Oleh: Oscar Siagian

Membicarakan nasionalisme dalam konteks Indonesia kekinian, mengandung sarat makna. Nasionalisme tidak saja dipandang sebagi perakat, namun juga sudah mulai digugat. Tak heran, perguncingan mengenai pemaknaan ulang akan nasionalisme itu sendiri, semakin menggejala seiring dengan munculnya beragam fenomena yang mengisyaratkan bahwa nasionalisme kita mengalami reduksi. Bangsa kita tertawan beragam ulah yang tak produktif berbarengan dengan ketidakharmonisan dalam menggapai cita-cita sebagaimana diimpikan oleh para pendiri bangsa ini.

Nasionalisme

Menguarai makna nasionalisme akan lebih afdol manakala diawali dengan pengertian yang jelas terhadap Bangsa dan Negara. Sebab, nasionalisme berintikan pada kesetiaan kepada bangsa. Dalam pemahaman lebih jauh, bangsa dimaknai sebagai kesepahaman sejarah, rasa dan masa lalu, namun lebih jauh semangat itu diejawantahkan dalam ikatan sosio-politik dan teritorial bernama negara.

Menurut Dr Johannes Leimena, negara itu adalah persekutuan (gemeenschap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium). Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen).

Kita melihat bahwa negara dan bangsa adalah terjalin satu dengan yang lain. Sebenarnya negara sebagai “realitet” yang berdiri sendiri tidak ada, yang ada adalah bangsa. Negara adalah suatu organisasi dan suatu fungsi dari bangsa. Bangsa ada mengawali terbentuknya negara.

Bangsa adalah suatu persekutuan orang-orang yang memiliki satu daerah, satu bahasa, satu hasrat hidup bersama, satu sejarah, satu nasib dan satu tujuan. Pada tiap bangsa terdapat juga kesamaan cara berpikir atas dasar atau kesatuan, suatu cara beraksi atas dasar satu tujuan, suatu persamaan dalam perasaan hidup.

Ketika negara ini berdiri, sudah ada fondasi dari sebuah bangsa yang tumbuh dan berkembang. Beragam peristiwa sejarah dan titik kulminasi menjadi perekat dan keseriusan dalam membangun suatu negara baru, bernama Indonesia. Bangunan negara yang bernama Indonesia itu, didasarkan pada persamaan senasib sepenanggungan, satu rasa dan satu cita-cita sebagaimana terkandung dalam aliena IV Pembukaan UUD 1945.

UUD 1945, menjadi kontrak politik antara warga negara dengan negara. Turunan konstitusi (hukum dasar) itulah kemudian menghasilkan beragam aturan main dalam penataan ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Simbol-simbol negara, seperti lagu kebangsaan, bendera, dll, semakin menegaskan akan persamaan dan persatuan.

Indonesia yang sejahtera, berkehidupan yang cerdas, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia, adalah cita-cita kita. Itu adalah visi kebangsaan. Kita membangun, kita berjuang, mengabdi dan berproses adalah untuk mencapai tujuan yang sedemikian mulia itu.

Sejahtera berarti bahwa bangsa ini tidak memelihara kemiskinan. Sejahtera berarti, rakyat semakin dihormati. Sejahtera berarti, uang rakyat benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada korupsi. Sejahtera juga bermakna semua tatanan sosial, politik dan pemerintah bekerja dalam sistem kenegaraan.

Cerdas berarti bahwa warga negara tidak bodoh, tidak tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak buta huruf. Mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Cerdas berarti warga masyarakat tahu mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban. Cerdas berarti, tidak mau dijajah dalam bentuk apapun.

Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berarti bangsa ini hidup dalam tatanan dunia yang damai, dimana bangsa ini turut memberi kontribusi di dalamnya. Keterlibatan itu juga bisa dimaknai dalam kesigapan kita dalam mengawal keutuhan teritorial bangsa tercinta ini.

Nasionalisme Kekinian

Namun, kini, sudah 63 tahun negara ini berdiri dengan memproklamirkan tekad tersebut. Satu pertanyaan reflektif bagi kita dalam memandang bangsa ini, sudahkah negara kita bergerak maju seiring dengan pencapaian cita-cita tersebut ?

Harus kita akui, sebagai sebuah kekuatan politik, ekonomi, dan teritorial, perlahan namun bangsa ini mengalami pergulatan jati diri. Tentu banyak kegembiraan yang kita dapatkan. Pengakuan terbuka bangsa-bangsa lain atas prestasi anak bangsa, tidak boleh dipandang sebelah mata. Demikian juga prestasi olah raga yang sudah banyak kita capai di level dunia.

Namun, ada banyak perintang-perintang yang menghalangi perwujudan visi kebangsaan tersebut. Dari luar, kita merasakan hempasan arus globalisasi. Globalisasi dengan beragam turunannya, utamanya neolibralisme, dengan cepat menjarah potensi-potensi dan ciri-ciri kebangsaan kita.

Kemudian, badai perebutan batas-batas negara yang berujung pada lepasnya sebahagian pulau kita. Belum lagi kearifan lokal, seperti lagu-lagu dan tarian daerah, disambar bangsa lain.

Dari dalam negari kita menyaksikan betapa maraknya parodi pengkhianatan atas cita-cita kebangsaan kita. Dari Sabang sampai Merauke terbentang aliran korupsi. Hampir setiap instansi, juga menggambarkan hal serupa. Pejabat publik korupsi. Uang rakyat dijarah.

Belum lagi kenyataan empirik yang kita alami saat ini, dimana ratusan bahkan ribuan warga harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Di beberapa daerah, petani kesulitan mendapatkan pupuk. Aliran air untuk kepentingan lahan pertanian tak berjalan dengan lancar. Listrik padam secara teratur.

Sudahkah nasionalisme membumi diranah republik ?


Anggota KDAS, Alumni FKM USU

Tidak ada komentar: