Oleh : Jhon
Rivel Purba
Dari
beberapa daerah/kota yang pernah saya kunjungi di Indonesia, belum ada seindah
Yogyakarta. Yogyakarta memang begitu istimewa. Masyarakatnya ramah, menghargai
perbedaan, nyaman dan cukup aman, biaya hidup murah, banyak terdapat obyek
wisata, iklim pendidikannya segar, tersedianya buku-buku berkualitas, kesadaran
berlalu lintas baik, dan sebagainya. Karenanya, tidak salah ketika Yogyakarta
dijuluki sebagai kota budaya, pelajar, kota wisata, kota buku, dan berhati
nyaman.
Penulis
sendiri menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta pada pertengahan Mei 2011.
Pagi itu saya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, kemudian menaiki taksi menuju
Jalan Kaliurang Km. 5. Sopir taksinya ramah. Sepanjang perjalanan kami
bercerita. Ketika tiba di alamat yang saya tuju, saya menanyakan biayanya.
Alangkah terkejutnya saya ketika biayanya hanya Rp. 15.000. Sangat murah. Hal
yang bisa saya tangkap di hari pertama tersebut adalah bahwa si sopir taksi
(mewakili orang Yogyakarta) suka menolong, ramah dan menghargai
pendatang.
Pengalaman
lainnya, ketika beberapa kali handphone saya ketinggalan di warung makan,
handphone tersebut diamankan oleh pihak warung sebelum dikembalikan pada saya.
Begitu juga dengan flashdisk, ketika beberapa kali ketinggalan di warung
internet (warnet) maupun tempat foto copy, selalu diamankan dan dikembalikan
oleh pihak warnet atau karyawan foto copy.
Dalam
berkomunikasi, seringkali penduduk Yogyakarta menyebutkan kata "maaf",
"terima kasih", dan menanyakan "apa yang bisa saya bantu?".
Ucapan yang disampaikan dengan lembut tersebut benar-benar membuat hati terasa
nyaman. Sungguh nyaman. Julukan Yogyakarta berhati nyaman benar-benar
terasa.
Maka tidak
mengherankan, ketika saya berada di Jakarta atau Manado atau daerah lain, kota
yang paling saya rindukan bukanlah kota kelahiran saya (Medan), melainkan Kota
Yogyakarta. Bagi saya (setidaknya hingga saat ini) Kota Yogyakarta adalah kota
surga. Surga dalam pendidikan, surga ketenangan batin, surga wisata, surga
budaya, surga kesederhanaan, dan surga keberagaman. Masih banyak lagi yang bisa
saya ceritakan untuk menggambarkan Yogyakarta sebagai kota surga.
Yogyakarta
adalah wujud Indonesia mini. Sebagai kota pelajar, Kota Yogyakarta didatangi
oleh pelajar/mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang dengan
membawa budaya masing-masing. Hal ini membuat Yogyakarta menjadi indah
berwarna-warni. Demikian juga sebagai kota wisata, Yogyakarta didatangi oleh
turis dari berbagai daerah maupun negara luar.
Di satu
sisi, realitas seperti ini membuat Yogyakarta semakin indah dan dinamis. Tetapi
di sisi lain, hal ini menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik.
Kedatangan orang luar di Yogyakarta, bagaikan membawa daging dan juga duri.
Dikatakan daging karena bisa menambah pendapatan daerah, memperluas lapangan
kerja/usaha, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta. Dikatakan
duri karena dapat menciptakan masalah baru, seperti kemacetan lalu lintas,
mengganggu kenyamanan, dan menciderai toleransi yang selama ini terbangun
baik.
Kicauan
Florence
Adapun
Florence Sihombing, mahasiswa S-2 FH UGM, yang beberapa hari lalu membuat
kicauan kontroversial di pathnya menjadi topik pembicaraan hangat. Media cetak
dan elektronik memberitakannya. Bagaimana tidak, dia dinilai menghina
masyarakat Yogyakarta atas kicauannya berisi "Jogja miskin, tolol, dan tak
berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja".
Kicauannya itu akhirnya bagaikan mematuk dirinya sendiri. Beberapa elemen
masyarakat memprotes dan mengutuk Florence atas pernyataannya di media sosial
tersebut. Protes tidak hanya lewat media sosial, tetapi juga di jalanan dan
proses hukum.
Terlepas
dari kekesalan yang dialami Florence sebelumnya sehingga dia membuat kicauan
provokatif, bagaimanapun juga tidak bisa diterima. Kicauannya itu terkesan
arrogan, tidak etis, dan tidak punya landasan yang jelas. Sangat disayangkan
seorang yang berstatus mahasiswa pascasarjana di universitas ternama menebarkan
sentimen. Padahal sebagai kaum intelektual seharusnya sudah di tataran
penyebaran ide/argumen, bukan sentimen. Saya sebagai mahasiswa pascasarjana UGM
sangat merasa malu. Pernyataan Florence tersebut lebih cocok sebenarnya ditujukan
pada dirinya.
Kemudian,
protes yang dilakukan warga terhadap Florence bisa dipahami sebagai bentuk rasa
cinta pada Yogyakarta dan juga keberagaman yang ada di dalamnya. Mereka tidak
mau Yogyakarta yang dikenal selama ini sebagai kota budaya, pelajar, dan
keberagaman, dinodai oleh siapapun khususnya para pendatang yang menebar
kebencian. Protes warga dan juga mereka yang mencintai Yogyakarta, tentu
menjadi pelajaran berharga terutama dalam menjaga keharmonisan di Yogyakarta
khususnya dan di Indonesia umumnya.
Selain itu,
kasus Florence juga menjadi pembelajaran bagi siapapun yang menggunakan media
sosial. Masalah-masalah pribadi apalagi yang menebar kebencian, tak patut
diposting di media sosial. Setiap postingan dan komentar yang dibuat seseorang,
bisa menggambarkan kepribadian si penulisnya. Media sosial sebaiknya digunakan
sebagai alat untuk mencerahkan, mencerdaskan, dan memberikan informasi yang
bermanfaat bagi sesama pengguna media sosial.
Kembali ke
Yogyakarta, kita ingin kota ini tetap sebagai kota berbudaya yang tumbuh
berkembang dengan keberagamannya. Oleh karena itu, maka semua pihak (khususnya
pendatang) hendaknya menjaga keharmonisan dan nilai-nilai budaya yang ada di
Yogyakarta.***
* Penulis
adalah mahasiswa pascasarjana FIB UGM Yogyakarta
Dimuat pada Harian Analisa, Kamis 4 September 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar