Minggu, 07 Desember 2014

Yogyakarta Kota Berbudaya



Oleh : Jhon Rivel Purba

Dari beberapa daerah/kota yang pernah saya kunjungi di Indonesia, belum ada seindah Yogyakarta. Yogyakarta memang begitu istimewa. Masyarakatnya ramah, menghargai perbedaan, nyaman dan cukup aman, biaya hidup murah, banyak terdapat obyek wisata, iklim pendidikannya segar, tersedianya buku-buku berkualitas, kesadaran berlalu lintas baik, dan sebagainya. Karenanya, tidak salah ketika Yogyakarta dijuluki sebagai kota budaya, pelajar, kota wisata, kota buku, dan berhati nyaman. 

Penulis sendiri menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta pada pertengahan Mei 2011. Pagi itu saya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, kemudian menaiki taksi menuju Jalan Kaliurang Km. 5. Sopir taksinya ramah. Sepanjang perjalanan kami bercerita. Ketika tiba di alamat yang saya tuju, saya menanyakan biayanya. Alangkah terkejutnya saya ketika biayanya hanya Rp. 15.000. Sangat murah. Hal yang bisa saya tangkap di hari pertama tersebut adalah bahwa si sopir taksi (mewakili orang Yogyakarta) suka menolong, ramah dan menghargai pendatang. 

Pengalaman lainnya, ketika beberapa kali handphone saya ketinggalan di warung makan, handphone tersebut diamankan oleh pihak warung sebelum dikembalikan pada saya. Begitu juga dengan flashdisk, ketika beberapa kali ketinggalan di warung internet (warnet) maupun tempat foto copy, selalu diamankan dan dikembalikan oleh pihak warnet atau karyawan foto copy. 

Dalam berkomunikasi, seringkali penduduk Yogyakarta menyebutkan kata "maaf", "terima kasih", dan menanyakan "apa yang bisa saya bantu?". Ucapan yang disampaikan dengan lembut tersebut benar-benar membuat hati terasa nyaman. Sungguh nyaman. Julukan Yogyakarta berhati nyaman benar-benar terasa. 

Maka tidak mengherankan, ketika saya berada di Jakarta atau Manado atau daerah lain, kota yang paling saya rindukan bukanlah kota kelahiran saya (Medan), melainkan Kota Yogyakarta. Bagi saya (setidaknya hingga saat ini) Kota Yogyakarta adalah kota surga. Surga dalam pendidikan, surga ketenangan batin, surga wisata, surga budaya, surga kesederhanaan, dan surga keberagaman. Masih banyak lagi yang bisa saya ceritakan untuk menggambarkan Yogyakarta sebagai kota surga.

Yogyakarta adalah wujud Indonesia mini. Sebagai kota pelajar, Kota Yogyakarta didatangi oleh pelajar/mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang dengan membawa budaya masing-masing. Hal ini membuat Yogyakarta menjadi indah berwarna-warni. Demikian juga sebagai kota wisata, Yogyakarta didatangi oleh turis dari berbagai daerah maupun negara luar.

Di satu sisi, realitas seperti ini membuat Yogyakarta semakin indah dan dinamis. Tetapi di sisi lain, hal ini menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik. Kedatangan orang luar di Yogyakarta, bagaikan membawa daging dan juga duri. Dikatakan daging karena bisa menambah pendapatan daerah, memperluas lapangan kerja/usaha, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta. Dikatakan duri karena dapat menciptakan masalah baru, seperti kemacetan lalu lintas, mengganggu kenyamanan, dan menciderai toleransi yang selama ini terbangun baik. 

Kicauan Florence
Adapun Florence Sihombing, mahasiswa S-2 FH UGM, yang beberapa hari lalu membuat kicauan kontroversial di pathnya menjadi topik pembicaraan hangat. Media cetak dan elektronik memberitakannya. Bagaimana tidak, dia dinilai menghina masyarakat Yogyakarta atas kicauannya berisi "Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja". Kicauannya itu akhirnya bagaikan mematuk dirinya sendiri. Beberapa elemen masyarakat memprotes dan mengutuk Florence atas pernyataannya di media sosial tersebut. Protes tidak hanya lewat media sosial, tetapi juga di jalanan dan proses hukum. 

Terlepas dari kekesalan yang dialami Florence sebelumnya sehingga dia membuat kicauan provokatif, bagaimanapun juga tidak bisa diterima. Kicauannya itu terkesan arrogan, tidak etis, dan tidak punya landasan yang jelas. Sangat disayangkan seorang yang berstatus mahasiswa pascasarjana di universitas ternama menebarkan sentimen. Padahal sebagai kaum intelektual seharusnya sudah di tataran penyebaran ide/argumen, bukan sentimen. Saya sebagai mahasiswa pascasarjana UGM sangat merasa malu. Pernyataan Florence tersebut lebih cocok sebenarnya ditujukan pada dirinya. 

Kemudian, protes yang dilakukan warga terhadap Florence bisa dipahami sebagai bentuk rasa cinta pada Yogyakarta dan juga keberagaman yang ada di dalamnya. Mereka tidak mau Yogyakarta yang dikenal selama ini sebagai kota budaya, pelajar, dan keberagaman, dinodai oleh siapapun khususnya para pendatang yang menebar kebencian. Protes warga dan juga mereka yang mencintai Yogyakarta, tentu menjadi pelajaran berharga terutama dalam menjaga keharmonisan di Yogyakarta khususnya dan di Indonesia umumnya. 

Selain itu, kasus Florence juga menjadi pembelajaran bagi siapapun yang menggunakan media sosial. Masalah-masalah pribadi apalagi yang menebar kebencian, tak patut diposting di media sosial. Setiap postingan dan komentar yang dibuat seseorang, bisa menggambarkan kepribadian si penulisnya. Media sosial sebaiknya digunakan sebagai alat untuk mencerahkan, mencerdaskan, dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi sesama pengguna media sosial. 

Kembali ke Yogyakarta, kita ingin kota ini tetap sebagai kota berbudaya yang tumbuh berkembang dengan keberagamannya. Oleh karena itu, maka semua pihak (khususnya pendatang) hendaknya menjaga keharmonisan dan nilai-nilai budaya yang ada di Yogyakarta.***

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana FIB UGM Yogyakarta
 Dimuat pada Harian Analisa, Kamis 4 September 2014.

Tidak ada komentar: