Sabtu, 07 Januari 2012

Menyoal Kepedulian Negara (?)

Oleh : Johenro PT Silalahi, A.Md.

Memajukan kesejahteraan umum adalah salah satu cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yang harus segera diwujudan secara konkret, efektif dan efisien. Bertitik tolak dari hal itu, maka Negara harus melahirkan kreatifitas dan inovasi dalam membangun imajinasi optimisme kultural. Selain itu, Negara juga harus mampu mengembangkan potensi yang terkubur selama ini untuk diberdayakan dalam membangun Negara yang lebih sejahtera.
Realita yang terjadi pada saat ini justru mengisyaratkan ekspektasi Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan itu semakin jauh. Tak dapat dipungkiri lagi, negara dituntut oleh banyak kalangan untuk segera merevitalisasi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro kepada rakyat kecil

Welfare State

Marciano Vidal mengungkapkan, karakteristik Negara kesejahteraan ditandai oleh empat hal (Kompas, 7 November 2011). Pertama, komitmen Negara dalam menciptakan peluang lapangan kerja untuk mengakomodasi melimpahnya angkatan kerja aktif-produktif. Kedua, adanya jaminan sosial yang berlaku bagi semua warga Negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan teruama kesehatan dan bila terjadi kecelakaan. Ketiga, terselenggaranya pendidikan murah-bermutu bagi rakyat, termasuk jaminan beasiswa bagi mereka yang berprestasi, tetapi berasal dari kalangan ekonomi lemah. Keempat, kebijakan sosial sebagai upaya redistribusi kekayaan.

Dan poin yang terakhir ini, seperti yang disebutkan oleh Aloys Budi Purnomo, sangat syarat dengan lahirnya sebuah solidaritas baru dari yang kuat kepada yang lemah bahkan bukan sekadar untuk menyembuhkan disparitas sosial belaka.

Dalam pasal 28A UUD 1945 amandemen kedua, memaktubkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dan Negara serta para penyelenggara Negara harus dapat bertanggung jawab dalam menyelenggarakan semua pelayanan publik sehingga masyarakat dapat mencapai titik kesejahteraan tanpa pengecualian.

Komitmen Negara dalam menciptakan amanat Pancasila, khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dinilai belumlah maksimal. Belum adanya penghargaan Negara terhadap keeksistensian warga negaranya. Bahkan, seperti yang telah diberitakan sebelumnya, gaji profesor lebih rendah dari guru SD (Kompas, 25 Oktober 2011). Akibatnya, sejumlah ilmuwan dan para peneliti Indonesia justru bekerja diluar negeri karena tidak mendapat perlakuan yang layak di negeri sendiri.

BPJS dan Eksistensi Negara

Jumat, 28 Oktober 2011, demonstran yang mayoritas dari kaum buruh menuntut RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan. Kurun waktu tujuh tahun perjuangan menuntut adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat bukan tidak beralasan. Bergerak dari amanat para founding father Negara Indonesia, yang termaktub dalam UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Walaupun pada akhirnya UU BPJS diundangkan, rakyat masih harus bersabar menanti implementasinya sampai beberapa tahun ke depan.

Kehadiran Undang-Undang BPJS ini, akan menegaskan keeksistensian Negara dalam memberi jaminan sosial dan pengakuan serta penghargaan Negara terhadap warganya. Artinya, eksistensi Negara akan benar-benar teruji oleh adanya UU BPJS ini. Apalagi UU BPJS yang merupakan peleburan empat BUMN, yaitu Asabari, Askes, Jamsostek, dan Taspen, yang merupakan motor penyelenggaraan jaminan sosial selama ini.

Kendati demikian, ibarat badan yang dilepaskan tetapi kaki yang masih terikat. Pemerintah yang diwakilkan delapan kementerian merasa keberatan dengan melontarkan berbagai alasan. Hal ini dikarenakan keempat BUMN yang menyelenggarakan jaminan sosial yang selama ini merupakan lembaga yang bersifat profit, namun setelah adanya UU BPJS yang ditanggungjawabi oleh Negara harus mengalami transformasi menjadi nirlaba.

Dengan skeptisisme yang telah ditunjukkan pemerintah tersebut, masyarakat dan kaum intelektual yang memberikan hati kepada rakyat, khususnya rakyat rentan, harus dapat mengawal implementasi jaminan sosial ini.

UU BPJS merupakan terobosan baru untuk melindungi segenap bangsa Indonesia yang dapat mengangkat harkat hidup serta menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Proses implementasi awal yang sesungguhnya akan kita rasakan tiga tahun mendatang, 2014. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah skeptisisme yang dimiliki akan menjadi tantangan besar? Walaupun demikian, hal itu harus menjadi kekuatan sebagai evaluasi demi perbaikan implementasi UU BPJS yang sesungguhnya.

Negara harus benar-benar serius, karena hal ini menyangkut kepedulian akan warganya. Jika tidak, kredibilitas Negara akan menjadi pertanyaan besar. Parahnya, akan menumbuhkan krisis kepercayaan warga Negara terhadap Negara. Tetapi harapannya, dengan pengawalan seluruh elemen masyarakat, amanat yang telah tertuang dalam konstitusi Negara harus dapat wujudkan secara konkret. Semoga! ***


Tulisan terbit di Harian Analisa, 29 November 2011

Tidak ada komentar: