Senin, 19 Desember 2011

Berpantang Mengotori Danau Toba

Oleh: Karmel Simatupang

Danau Toba adalah anugerah bagi Sumut, Indonesia bahkan dunia. Air danau yang dulu menjadi sumber air minum yang layak harus dikembalikan. Pemerintahan Pusat, Pemprovsu dan ke-7 Kabupaten wilayah KDT sudah tidak saatnya untuk lempar batu sembunyi tangan dan melestarikan sikap apriorinya.
Ketika semasa kecil, orang-orangtua selalu bilang, "Jangan meludah ke Danau Toba, jangan buang sampah ke Danau Toba, apalagi buang hajat, nanti penghuninya marah, karena danau ini ada yang menjaga."

Pesan sosial dari pantangan mitos di atas dengan jelas dan terang mengatakan masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba sangat menghargai kebersihan dan kesucian Danau Toba. Namun, secara perlahan, mitos tersebut meluntur bahkan boleh dibilang hampir punah akibat modernisme dan pengaruh budaya masa kini.

Ketika itu, penulis masih kelas 3 Sekolah Dasar (SD 137371) di Kecamatan Sipoholon, bersama keluarga sedang berwisata ke Danau Toba (DT), menaiki kapal berukuran sedang di lepas pantai DT, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.

Mitos di atas menjadi sangat bernilai positip di tengah massifnya tekanan yang bertubi-tubi ke danau ini. Hasilnya, saat ini air DT tak layak lagi dikonsumsi bahkan untuk sekadar direnangi. Sebuah ironi di negeri yang penuh ironi.

Sejak hadirnya korporasi-korporasi di Kawasan Danau Toba (KDT), kesucian sekaligus keindahan-kebersihan ekosistem danau ini mulai memudar. Air Danau Toba pun menyurut.

Menurut keterangan Dimpos Manalu, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) beberapa waktu lalu menyebutkan dalam 5-10 tahun terakhir, level air DT menurun sampai 3 meter.

Diingatan kita belum lekang, beberapa tahun yang lalu, jutaan ikan mati mendadak di DT akibat keracunan. Industri dan pertambangan di sekitar KDT, perhotelan dan perkapalan juga ditengarai tak becus mengelola limbahnya.

Perumahan penduduk di seputar pinggiran KDT bertata letak membelakangi danau, bisa dipastikan limbah rumah tangga akan terbuang ke DT.

Selain itu hadirnya, keramba jaring apung asing (KJA) dalam skala besar makin memperparah kualitas air DT, karena sebagian besar pakan ikan mengendap ke dasar danau dan  mencemari danau setiap harinya. Di lokasi ditemukan kandungan posfor dan nitrogen yang berasal dari pakan ikan.

Saat ini  menurut tinjauan langsung penulis di lapangan, KJA sudah menyebar ke seluruh KDT, mulai dari Tiga Ras di Simalungun, Parapat, Balige, Porsea, Muara, Tomok, Pangururan, Silalahi, Tongging dan wilayah-wilayah kecil lainnya. Air DT sudah menjadi seperti miliknya pengusaha KJA.

Ada peternakan babi skala besar di Simalungun, disinyalir membuang limbahnya ke sungai-sungai yang bermuara ke DT. Juga pestisida yang dipakai para petani di KDT, jelas sebagian terbawa arus air ke DT.

Danau Toba Kian Tercemar
Salah satu kasus yang menjadi bukti nyata menyangkut kualitas air Danau Toba kian merusak adalah peningkatan pertumbuhan eceng gondok di Danau Toba. Eceng gondok adalah salah satu tumbuhan yang hidup di air berawa-rawa dan kotor. Saat ini hampir di seluruh pinggiran dan sebagian di lepas pantai terdapat eceng gondok. Artiannya, Danau Toba seluruhnya memang sudah tercemar.

Permukaan Danau Toba yang sudah tertutup eceng gondok tampak sudah menyebar kemana-mana. Misalnya di sekitar Balige, Laguboti, Sigumpar dan Porsea di kabupaten Toba, juga Pangururan di kabupaten Samosir, serta Tongging dan Silalahi di kabupaten Dairi.

Situs sejarah budaya, Tano Ponggol, atau terusan Tano Ponggol yang memisahkan Pulau Samosir dengan daratan Sumatera di Pangururan tidak bisa lagi dilalui kapal berukuran sedang, karena seluruh pinggirannya ditumbuhi eceng gondok.

Menurut hasil pengukuran yang dilakukan tahun 2008 oleh Badan Lingkungan Hidup Propinsi Sumatera Utara pernah menunjukkan pH (kadar keasaman) air sudah berada di level 8,2 (dalam sklala 6-9).

Tak ayal, Danau Toba yang maha dahsyat ini memang menjadi sebuah tragedi. Danau yang memiliki potensi sumber daya super dahsyat itu, tak punya tandingan dari segi keindahan dan panorama di dunia manapun, belum lagi DT merupakan danau vulkano-tektonik terluas di dunia. Namun perhatian terhadapnya tak sebanding. Sebaliknya eksploitasi besar-besaran terus mengintainya. Jadilah merana.

Bangsa ini untuk kesekian kalinya kurang menghargai keajaiban alamnya sendiri. Danau Toba ibarat seorang gadis yang berdandan memesona siapa saja, namun orang-orang di sekitarnya nakal, tamak dan rakus, hingga membuntuti aroma kecantikannya.

Aksi  
Tak bisa dibantah, setiap orang pasti sangat membutuhkan air, karena tanpa air mahluk apapun tidak akan pernah hidup. Air adalah simbol kehidupan, jika air sudah tercemari hidup segala mahluk hidup pun akan tercemari. 

Danau Toba adalah anugerah bagi Sumut, Indonesia bahkan dunia. Air danau yang dulu menjadi sumber air minum yang layak harus dikembalikan. Pemerintahan Pusat, Pemprovsu dan ke-7 Kabupaten wilayah KDT sudah tidak saatnya untuk lempar batu sembunyi tangan dan melestarikan sikap apriorinya.

Sebaliknya harus berjibaku, bergandengan tangan bersama semua stakeholder KDT dan warga dunia, memulihkan ekosistem Danau Toba. Ide-ide yang berkembang saat ini di masyarakat, seperti perlunya badan khusus yang menangani KDT, layak di dukung, sekaligus diawasi supaya tidak menyimpang dari tujuan yang sesungguhnya.

Mitos diatas bukan lagi sekedar mitos. Tapi bukti riil, Danau Toba pastilah akan marah, menjadi ancaman bagi umat manusia jika terlalu lama untuk di hargai dan dipulihkan.

Penanaman pohon yang baru-baru ini digagasi Kodam I/BB dengan "Toba Go Green" nya layak dikawal dan didukung, karena itu juga berarti ikut melestarikan kualitas air DT.

Akhirnya, mitos di atas mari kita positipkan, Danau Toba untuk kesejahteraan rakyat Sumatera Utara, Indonesia dan warga dunia. Semoga.***

Penulis adalah aktivis Earth Society for Danau Toba dan KDAS, Medan.
Terbit di Harian Medan Bisnis, Senin 19 desember 2011

Tidak ada komentar: