Selasa, 22 Februari 2011

Pemuda dan Kredibilitas SBY

Oleh: Andri E. Tarigan

Pemuda merupakan tonggak perubahan yang sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan negeri ini. Hampir di setiap sendi sejarah perjalanan bangsa ini terdapat peran aktif para pemuda. Mereka berjuang dengan semangat dan pemikiran yang ditujukan untuk menegakkan kemanusiaan. Gerakan-gerakan yang digagas oleh para pemuda, menjadi kontrol sosial yang ampuh untuk menumbangkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan nilai luhur bangsa.

Gerakan pemuda yang bersejarah masih berlanjut dan masih bersuara sampai sekarang. Selama masa pemerintahan presiden SBY, hampir setiap bulan terlihat aksi-aksi pemuda yang menuntut keadilan dalam pemerintahan SBY. Demonstrasi besar terjadi pada masa 100 hari pemerintahan SBY. Aksi tersebut dilakukan karena SBY dianggap tidak mampu merealisasikan janji-janji yang diucapkannya saat kampanye. Aksi ini berlalu begitu saja, tanpa ada respon aktif dari masyarakat.

Demonstrasi masalah pangan juga banyak diberitakan di media. Salah satu dari demo tersebut adalah penentangan terhadap kebijakan mengimpor beras dari Thailand. Banyak pemuda, pekerja, dan para intelektual yang menentang kebijakan ini karena akan semakin menjauhkan pertanian di negeri kita dari kemandirian. Tuntutan para pemuda ini tidak direspon positif oleh pemerintah hingga baru-baru ini Thailand melakukan perlindungan bagi produknya dimana ekspor beras bagi Indonesia berkurang.

Di sepanjang 2010, ditemukan banyak kasus korupsi yang menggegerkan negeri kita. Mulai dari kasus aliran dana BLBI, bank Century, dan yang paling menggegerkan dan bikin geregetan: Gayus! Kesuburan lahan korupsi ini merupakan fokus yang tidak luput dari protes kaum muda. Tuntutan demi tuntutan juga dilayangkan dengan harapan kasus-kasus tersebut segera tuntas. Hanya saja, kasus-kasus tersebut tak kunjung tuntas, dan malah bertambah runyam dengan ditemukannya rekening buncit di tubuh Polri.

Di dunia pendidikan, aksi-aksi pemuda lebih ditujukan pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan masalah sistemik dalam skala nasional. Sebut saja UU BHP yang akhirnya batal direalisasikan. Kebijakan pendidikan nasional yang dianggap paling berpengaruh buruk tapi tak kunjung diubah adalah pelaksanaan UN.

Untuk hal kerusakan alam, pemuda banyak bersuara untuk kasus Lapindo. Kasus ini belum tuntas sampai saat ini dan daerah yang terancam oleh luapan lumpurnya juga semakin meluas. Kerusakan ini merupakan ancaman besar tapi belum diberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang harus bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terus bermunculan dari kasus ini.

Kasus-kasus TKI yang terus berlanjut dan perselisihan antar umat beragama juga termasuk agenda yang tak terselesaikan oleh pemerintah dan sangat disesalkan oleh para pemuda. Aksi-aksi demonstrasi, selebaran, dan tulisan-tulisan di media marak dilakukan agar pemerintah tidak gagal dalam menegakkan HAM bagi penduduk Indonesia. Pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap kaum pembela agama yang radikal dan anarkis yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945.

Kredibilitas?

Berbagai kasus yang tak terselesaikan seperti aliran dana BLBI, Century, Gayus, Lapindo, TKI, konflik agama, kesejahteraan, pendidikan, dan yang terbaru adalah membumbung tingginya harga cabe, merupakan hal yang kian menciderai kredibilitas SBY. Hampir semua tindakan SBY yang tampak di media dianggap sebagai pencitraan belaka. Banyak pula masyarakat yang pada akhirnya apatis karena tumpukan kasus tak terselesaikan dan maraknya kepentingan elite yang mengacaukan negeri ini.

Kredibilitas yang cidera ini semakin tampak dengan aksi tokoh-tokoh lintas agama yang menyuarakan berbagai kebohongan SBY. Mereka berpendapat bahwa pemerintah melakukan kebohongan karena terjadi ketimpangan antara pernyataan dan kenyataan. Data yang ditunjukkan pemerintah seolah permasalahan tidak ada, atau kecil. Padahal, permasalahan bangsa saat ini sangat akut dan menyangkut hak-hak yang asasi seperti agama dan kesejahteraan.

Aksi tokoh lintas agama itulah yang kembali memantik api pergerakan pemuda beberapa saat terakhir. Di berbagai tempat, para pemuda melakukan aksi-aksi demi menyuarakan agar SBY tidak lagi bohong bahkan meminta SBY turun dari jabatannya. Ada pula sekelompok pemuda yang melakukan aksi dengan membuat poster SBY berhidung panjang seperti Pinokio, dimana dalam orasinya mereka tidak lagi mengakui SBY sebagai presiden dan mengakhiri aksi dengan mengoyak poster SBY mirip Pinokio tersebut. Pada 24 januari lalu, berbagai organisasi mahasiswa melakukan demonstrasi dengan tuntutan yang sama dan berakhir dengan bentrokan antara mahasiswa dan polisi.

Rantai kasus yang tak terselesaikan merupakan agenda penting bagi SBY untuk memulihkan kredibilitasnya. Gaya kepemimpinan SBY selama ini, yang mengedepankan pencitraan dan mengesampingkan suara pemuda butuh koreksi khusus agar stabilitas nasional yang selama ini dibanggakan pemerintah tidak terganggu. Pemuda merupakan penyambung lidah rakyat yang berkekuatan, bisa dibayangkan apa jadinya bila pemuda tak lagi menghargai (kredibilitas) pemimpinnya.***


Penulis adalah ketua KDAS periode 2010/2011

Jumat, 10 Desember 2010

Aksi Menempel di Mading Kampus USU

Sejalan dengan peringatan Hari Anti Korupsi dan Hari HAM Sedunia, KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial) melakukan aksi menempel selebaran di mading-mading kampus USU. Aksi tersebut dilakukan sebagai wujud kegelisahan mahasiswa terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM dan tindak korupsi yang semakin merajalela. Selebaran tersebut berisi kalimat-kalimat dan karikatur yang sifatnya mengajak, mengkritik, atau menyindir.
Adapun sepuluh pernyataan yang tertulis dalam selebaran tersebut adalah:
1.      AKU MALU SEBAGAI ANAK KORUPTOR
2.      WANTED: KORUPTOR (Jika ditemukan harap dimutilasi)
3.      Kandangkan koruptor !!!
4.      Koruptor? Gonikan aja... Bah! Dah digonikanpun masih bisa lari?
5.      Koruptor sehat, rakyat melarat.
6.      CUKUP SUMIATI
7.      Dimana kawanku? (Usut tuntas kasus hilangnya aktivis ’98)
8.      DICARI:HAM
9.      HAM: Tidak untuk diperjualbelikan.
10.  Keberadaan HAM dianaktirikan.

Senin, 22 Juni 2009

MORAL DAN PEMIMPIN

Oleh: Jakob Siringo-ringo

Permasalahan yang dihadapi bangsa ini sekarang adalah persoalan terkait krisis moral. Hal ini tampak dari realita yang terlihat jelas oleh kita. Sebut saja, seperti, perilaku koruptor, isu pelanggaran HAM, dan sebagainya. Dengan kata lain, musuh utama bangsa saat ini adalah krisis moral yang mewabah—terutama menerpa para cendekia kita, penguasa, dan lain-lain.

Krisis moral yang justru menjadi permasalahan bangsa sepertinya akan terus berulang. Dan, tampaknya belum ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan persona yang terlibat langsung dengan isu pelanggaran HAM kini dipercaya menjadi calon wakil pemimpin (elite).

Dilema Dalam Pendidikan

Sekolah-sekolah kini seperti kehilangan tanggung jawab. Terutama tanggung jawab dalam membangun dan memperbaiki moralitas generasi penerus bangsa, yang nota bene bibit-bibit yang disemaikan—pengganti elite berikutnya, pemilik tanggung jawab bangsa, ke depan.

Generasi penerus bangsa, dalam hal ini anak didik sebagai dikelabui. Lihat saja buktinya pada generasi terdidik menengah pertama hingga menengah atas. Mereka diwajibkan memenuhi nilai yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Katanya untuk meningkatkan pendidikan.

Dalam persoalan ini dapat diketahui pada beberapa waktu lalu. Mereka (para generasi terdidik) mulai dari menengah pertama hingga menengah atas mengikuti ujian akhir (nasional), Ujian Nasional (UN). Ujian yang menjadi standar wajib kelulusan. Ujian yang memaksakan mutu (?) tanpa memperhatikan kualitas sesungguhnya.

Mutu pendidikan memang harus ditingkatkan. Berbagai cara harus pula diupayakan. Memang, indikator bagi peningkatan mutu pendidikan tersebut sangatlah banyak. Oleh Depdiknas sebagai indikator mutu, standar nilai kelulusan peserta ujian telah ditetapkan setinggi-tinggi.

Dari hasil pengamatan, sekolah di daerah-daerah yang terpencil akan kewalahan dalam mencapai angka tersebut. Namun, jangankan di daerah-daerah, di kota besar sekalipun menjerit akan keputusan nilai itu. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang melakukan ujian ulang.

Untuk itu, marilah kita bedah satu demi satu persoalan di atas terkait Ujian Nasional. Pertama, yang dilihat yaitu pada prakteknya. UN yang menjadi motor persoalan sudah dimulai sejak tahun 2003. Diketahui ketika itu pun sudah banyak kalangan yang menilai bahwa Ujian Nasional merupakan kebijakan yang sifatnya akan merugikan dan bukan menjadi jawaban atas permasalahan pendidikan. Jadi, jelas ketika pertama kali pun diajukan sudah diklaim bahwa UN adalah salah satu produk pemerintah yang kurang menggembirakan.

Buktinya kita lihat sampai sekarang. UN bukan saja membuang kesempatan para siswa untuk melanjutkan mimpi-mimpi mulianya, melainkan juga membunuh karakternya. Problematika yang kini dihadapi siswa tersebut seakan menginformasikan akan tutupnya pintu bagi pendidikan. Sarat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, itulah hedonisme oportunis sang pennguasa.

Kedua, membicarakan mutu. Hal ini disetujui oleh ketua DPP Partai Golkar, Burhanuddin Napitupulu, yang terkait dengan semangat sistem pendidikan nasional (sisdiknas), Sindo 8/6 2009. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alasan untuk memaksakan nilai (setinggi-tinggi) adalah karena mutu. Adakah mutu yang diperlihatkan dalam UN?

Ketiga, kecurangan-kecurangan yang terjadi selama UN. Apa penyebab terjadinya kecurangan dalam UN? Sudah dikaji dalam berbagai media, misalnya, bahwa semua itu terjadi karena UN sendiri merupakan produk pemerintah yang kurang menggembirakan. Lagi, dapat kita lihat betapa dosa-kecurangan itu menjadikan moral para siswa tidak baik.

Persoalan lain yang menambah produk pembodohan tersebut adalah disahkannya undang-undang baru pendidikan, UU BHP. Lagi-lagi sifatnya merugikan bahkan cenderung pelarangan kuliah bagi rakyat miskin. Undang-undang yang diturunkan dari UU sisdiknas no.20 tahun 2003 ini menegaskan bahwa setiap kampus (khususnya negeri) diswastanisasikan.

UU BHP di sini melegalkan kampus menjadi menuju perusahaan. Kalau sudah menjadi berbentuk perusahaan, dengan sendirinya pendidikan bukan lagi sebuah proses pembelajaran, melainkan penghajaran. Sesuai dengan keinginan perusahaan, kampus-kampus akan mencetak orang-orang yang hanya memenuhi kewajiban, dan otomatis kemerdekaannya akan ditentukan oleh kampus sendiri.

Dan, betul sedikit banyak maksud tujuan dari BHP itu sendiri sudah mulai diterapkan pada persyaratan masuk atau pada penerimaan calon mahasiswa baru. Kampus yang sudah berstatus BHP pun segera berlomba-lomba membuka jalur masuk mandiri. Seperti kita ketahui bahwa penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri tidak dapat dijangkau masyarakat miskin.

Selain itu, dampak lain yang merugikan bagi masyarakat miskin adalah semakin mengecilnya kesempatan untuk mendapatkan satu tempat berpijak dalam kuliah. Dalam hal ini, yang lebih layak menuntut ilmu adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Yang miskin tetap miskin, yang tak bermoral semakin tak bermoral.

Perbedaan antara penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri dengan ujian masuk perguruan tinggi biasanya dapat diperhatikan melalui harga yang ditawarkan. Contoh formulir pendaftaran untuk jalur masuk mandiri berkisar antara Rp 175.000-Rp 800.000 untuk setiap jalur seleksi. Sementara untuk ujian masuk biasanya, fomulir pendaftaran adalah Rp 200.000 (untuk IPA dan IPS) dan Rp 225.000 (untuk IPC).

UU BHP telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat di satu sisi. Sementara itu, di sisi yang lain amat bertentangan dengan konstitusi; juga mengingkari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Lalu jelaslah maksud dari BHP itu sendiri adalah mengutamakan materi, di samping membangun kualitas.

Sekali lagi, disahkannya UU BHP ini semakin menambah deretan panjang problema pendidikan kita. Tetapi, dengan semakin panjang dan lebarnya problema pendidikan kita, tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan kita. Di sinilah dilema yang kita hadapi. Dengan kata lain, dilema dalam pendidikan menandakan kualitas pendidikan itu sendiri (pendidikan: dekadensi).

Mendatangkan Nilai Kepemimpinan
Kita membutuhkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, hanya dengan pendidikan yang berkualitaslah kita dapat menumbuhkembangkan moral para anak didik sekaligus menngangkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Semai-semai yang sudah dibekali akal sehat, logika, moral baik, hingga SDM yang berkualitas, bertitik tolak mendatangkan nilai kepemimpinan. Seseorang yang memilliki nilai-nilai kepemimpinan, padanya nasib bangsa dipertaruhkan.

Bangsa yang layak maju tentu punya pemimpin yang berkuallitas. Dan, pemimpin yang bercita-cita untuk bangsanya selain punya visi-misi yang akurat, dalam kebijakannya juga tepat, merakyat.

Dari semua itu, pemerintah yang bercorak penguasa dan rakyat yang bercorak terkuasa sama-sama menjadi wadah dari nilai-nilai kepemimpinan. Dalam pada itu kepemimpinan yang dimaksud tetap yang berada dalam berkeadilan, merata, dan menyejahterakan rakyat. Terutama kurang mampu.

Satu kebijakan yang punya akuntabilitas mendatangkan pemimpin adalah pembangunan pendidikan. Lewat pendidikan, masyarakat terajar untuk berpikir maju, kritis. Dan, sifat pendidikan yang dimaksud tidak lain dari berkualitas. Sifat demikian diketahui pula menjadi ciri khas suatu bangsa yang maju.

Menurut hemat saya, mendatangkan mutu sesungguhnya dalam pendidikan berarti mendatangkan pula nilai pendidikan bermoral. Untuk itu, pendidikan bukan lagi cerita seperti zaman penjajahan susah diraih, atau malah menjadi beban. Karena hal ini tercantum dalam UUD 1945. Jadi, dengan pendidikan berkualitas, maka moral bangsa secara umum, pemuda secara khusus terbentuk menggembirakan. Sehingga melahirkan pemimpin bermoral, punya potensi sesungguhnya, dan berkeadilan, merakyat. Lagi terpercaya.***

Jumat, 27 Februari 2009

Membangun Ekonomi Rakyat dan Rakyat Membangun Ekonomi

Oleh: Chariady

Negara Indonesia yang kaya raya ini tentu tidak adil kalau hanya dieksploitasi segelintir pelaku ekonomi saja, misalkan korporat asing dan segelintir korporat dalam negeri (yang dianakemaskan). Akumulasi kekayaan hasil eksploitas sumber daya alam harus merata dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 230-an juta jiwa. Rakyat juga harus dilibatkan dalam mengelolanya. Kekayaan bumi pertiwi harusnya sudah bisa memberikan rakyat pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan gratis, tunjangan pengangguran, jaminan bagi anak terlantar serta merdeka dari kelaparan. Tapi miris, hasil keuntungan eksploitasi hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang punya kuasa dan akses yang mudah terhadap bumi kaya kita. Tak ayal, kata kemiskinan, kelaparan, dan beras selalu menjadi komoditas politk elit yang hendak dan telah berkuasa.
Ketidakadilan dalam ekonomi ini jelas tampak dalam potret hidup sehari-hari yang penuh cacat ketimpangan. Kita bisa melihat betapa angkuhnya mobil mewah yang berbandrol milyaran rupiah melintas di jalanan raya seolah tidak peduli dengan pemandangan suram kemiskinan di negeri ini. Sementara kalangan “sandal jepit” selalu menjadi objek tersingkirkan dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berbasis angka pertumbuhan. Ya benar memang angka bertumbuh sekian persen setiap tahunnya. Tapi, adakah pertumbuhan ini menetes kebawah sebagaimana dengan trickle down effect yang diyakini pemerintah ampuh ? Efektifkah ini terhadap pengurangan pengangguran, kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat ? Temporer sih ia. Kebijkan ekonomi ini rapuh terhadap gejolak krisis global. Tolak ukurnya tidak efektif jika didasarkan pertumbuhan dan akumulasi produk kapitalis saja.
Sejenak kita cuci mata. Kita lihat pemerintah baru-baru ini telah menurunkan (lebih tepatnya menyesuaikan) harga minyak sebanyak tiga kali untuk premium dan solar. Lalu adakah ini nyatanya untuk dan demi rakyat ? Sementara ongkos transportasi umum yang biasanya akrab dengan kehidupan kaum jelata tidak kunjung turun tarifnya. Harga-harga sembako justru naik. Ada apa ini ? Atau ini ada apanya. Semakin memperparah hajat hidup rakyat saja. Tidak salah kalau banyak rakyat yang mengatakan penurunan harga minyak hanya dinikmati kelas atas. Rakyat bawah ya tetap menderita. Belum lagi bayang-bayang PHK menanti sebagai imbas dari krisis global ini. Wah suram bukan.

Ekonomi Rakyat Kekuatan Kita
Ketika dunia didera krisis seperti ini, kembali yang menjadi dewa-dewi penyelamat ekonomi adalah usaha-usaha rakyat kelas bawah dan menengah yang akrab disebut UMKM. Ini cukup memberi kontribusi besar dalam penyediaan lapangan kerja. Sekitar 70 persen pekerja bekerja di sektor informal (UMKM). Immunitabilitas usaha ini tentu lebih kuat. Relatif aman terhadap fluktuasi kurs, lebih fleksibel, rasio utang terhadap modalnya rendah karena bagian besar modal adalah milik sendiri. Jadi di tengah krisis ini mereka tetap bisa berjalan tanpa terjebak jeratan utang. Sementara banyak industri besar seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), otomotif, dan perkebunan besar sudah gulung tikar karena sulitnya mendapat kredit segar, bahan baku impor yang mahal serta lesunya pasar eksport karena tiap negara prioritas ekspor kita (Uni Eropa, AS, dan Jepang) terus melakakukan proteksi untuk melindungi industri domestiknya.
Akhir-akhir ini pemerintah sudah mulai melirik sektor-sektor ini. Adanya Kredit Usaha Rakyat, Kredit UMKM, serta pemberdayaan program PNPM mengindikasikan mulai berpihkanya pemerintah terhadap usaha rakyat kita. Tapi ini juga perlu pembinaan dan monitoring yang bijak oleh pemerintah.

Usaha Rakyat Harus Dilindungi
Tidak dapat dipungkiri kontribusi sektor ril UMKM sangat besar terhadap stabilitas ekonomi kita dewasa ini. Betapa tidak, berkaca pada krisis moneter 1998 lalu, banyak korporasi bisnis besar yang bertumbangan. Perbankan terkena imbasnya karena NPL yang membludak, sehingga denyut nyadi perekonomian tersumbat akibat tidak ada dana segar yang bisa diakses. Capital flight besar-besaran pun terjadi. Apa jadinya ? Yang tetap dapat berdiri menopang ekonomi adalah usaha rakyat UMKM yang tidak terbelit oleh utang luar negeri. Bisa kita bayangkan bagaimana ketika utang yang tadinya Rp 2.500 per Dollarnya tiba-tiba harus dibayar dengan kurs yang naik 400 % (sekitar 15.000-an). Hancur minah pastinya.
Di tengah penduduk yang berkisar 230-an juta ini, pilihan tepat untuk memberdayakan rakyat dalam pembangunan ekonomi. Labor intensive efektif untuk diandalkan dalam jangka panjang. Permasalahan sebenarnya bukan masalah tidak efisiennya atau perkara lemahnya daya saing produk sektor ekonomi UMKM. Tapi yang menjadi permasalahannya adalah pemerintah lebih memfasilitasi sektor ekonomi besar yang capital intensive. Industri besar diberikan beragam fasilitas seperti pemberian ijin usaha (HGU) yang mudah, stimulus fiskal dan moneter, stimulus pengurangan bea masuk bahan baku, serta akses pasar diprioritaskan. Ekonomi rakyat seperti dianaktirikan. Selain itu sering yang menjadi permasalahan adalah adanya ketidakadilan pemanfaatan hasil SDA yang terjadi antara kepentingan masyarakat dan kepentingan capital. Kelompok nelayan dilarang memakai pukat harimau (trawl) dan bobot kapalnya dibatasi, tetapi pemilik modal diijinkan mengeksploitasi laut dengan bebasnya. Tambak-tambak besar dibangaun sehingga ruang gerak nelayan kecil di pantai sempit. Masih banyak ketimpangan lain yang tidak tersebutkan disini.
Pemerintah harus berpikir jangka panjang. Keadilan ekonomi harus tetap kita dukung. Kita semua tentu tidak inginkan kekayaan kita justru jadi kutukan. Sumber daya yang melimpah harus memberikan kesejahteraan bagi rakyat bukan bagi pemilik modal. Pemberdayaan UMKM tentu efektif untuk melibatkan elemen rakyat berpartisipasi dalam ekonomi. Sumber daya yang beragam merupakan bahan bakar potensial menggalakkan UMKM. Bidang pertanian, perkebunan rakyat, perikanan dan peternakan, tambang galian rakyat, serta industri kreatifitas seperti kerajin adalah potensi yang bisa dikelola dengan melibatkna rakyat. Tinggal bagaimana pemerintah memolesnya. Akses modal ekspansi dan jaminan pasar merupakan dua permasalahan krusial UMKM yang harus dijembatani pemerintah. Jika semua ini terlaksana, lambat laun, secara perlahan-lahan rakyatlah yang akan membangun ekonomi nantinya. Ekonomi yang dibangun rakyat tentu lebih kuat dibanding ekonomi yang dibangun kapitalis yang mengandalkan utang. Ekonomi rakyat harus dilindungi. Semoga.


Penulis adalah anggota KDAS, Ekonomi Akuntansi USU ‘05

Rabu, 27 Agustus 2008

Tangisan Kaum Tertindas

Oleh: Cahriady Purba

Dimana matamu
Ketika ku sekarat
Aku pucat otot gemetar menahan lapar
Rintihan hati begitu menusuk iris jiwaku
Asaku hilang di telan gelap pekat
Kucoba bertahan tubuh terkulai
Mengapa semua mata buta
Sesungguhnya aku pantas untuk di lihat

Dimana telingamu
Ketika ku berteriak
Teriakkan suara kebenaran
Suarakan duka penindasan
Semua bisanya didengar
Bukan mendengar
Mengapa semua telinga tuli
Sesungguhnya aku pantas tuk didengar

Dimana tanganmu
Ketika ku jatuh
Bangkit berdiri kucoba
Bukannya ditolong aku
Aku dicampakkan lagi
Ke kubangan lumpur kesengsaraan
Hartaku dirampas usahaku digusur
Mengapa semua tangan keji
Sesungguhnya aku pantas untuk ditopang

Dimana hatimu
Ketika ku tersakiti
Ketika kawan sebangsaku busung lapar
Giji buruk, bayi penerus bangsa mati
Dulu semua itu dibuat janji-janji
Tuk hisap semua simpati
Mengapa semua hati buta lalu mati
Sesungguhnya aku pantas tuk perhatian hati
Tak perlu lagi dibayar dengan mati

Semangat Rakyat Merdeka

Oleh: Edward Silaban

Kemerdekaan ini merupakan hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Perjuangan dengan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan dalam diri rakyat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka menjadi modal utama untuk mengisi kemerdekaan ini. Dengan spirit yang berkobar-kobar rakyat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dari Sabang sampai Merauke. Ini membuktikan semangat juang yang tinggi telah hidup dalam hati sanubari rakyat. Oleh karena itu, begitu pentingnya arti kemerdekaan ini bagi rakyat Indonesia yang belum merasakan kebebasan.
Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penjajahan dan berdiri di atas kaki sendiri lepas dari penjajahan luar. Kemerdekaan yang dimaksud jangan hanya sebatas lepas dari penjajahan tetapi lebih daripada itu. Perayaan HUT kemerdekaan Indonesia ke-63 ini hendaklah menjadi sebuah refleksi terhadap segala permasalahan yang ada. Kemerdekaan itu harus dimiliki oleh semua rakyat, bukan hanya satu lapisan tetapi semua lapisan merasakan makna kemerdekaan itu. Patut kita sadari kemerdekaan ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pertama, kemiskinan semakin tidak terbendung lagi. Dimana banyak rakyat yang menderita kelaparan dan belum mendapat akses kesehatan sehingga keberadaanya terabaikan. Kemerdekaan yang mereka rasakan masih sebatas kemerderkaan dalam angan-angan belum menyentuh hidup mereka.

Kedua, pendidikan yang tidak merata. Di beberapa daerah masih terdapat penduduk yang buta huruf. Angka buta huruf semakin bertambah karena mereka belum menikmati pendidikan. Hal ini terjadi karena kurangnya peranan pemrintah sebagai pengambil kebijakan dalam mewujudakan masyarakat adil dan makmur.

Ketiga, secara tidak langsung negara ini masih dijajah oleh bangsa asing. Terbukti adanya ketergantungan terhadap negara lain yang mengakibatkan rakyat semakin menderita. Apakah ini namanya bangsa yang merdeka (freedom)? Kemerdekaan itu adalah milik kita bersama rakyat Indonesia. Bukankah semasa penjajahan kita mengatakan “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas dijajah oleh bangsa lain”.

Masalah bangsa adalah masalah kita bersama yang harus dimerdekakan. Mari kita isi kemerdekaan ini dengan spirit dan kekuatan rakyat. Apabila rakyat sejahtera maka negara akan kuat. Sudah saatnya untuk memahami persoalan bangsa, termasuk penderitaan yang dialami rakyat. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kemerdekaan ini bukan sebatas konteks tetapi kemerdekaan yang membebaskan. Jangan pernah menghilangkan kemerdekaan dari ingatan rakyat. Mari wujudkan mimpi bahwa kemerdekaan ini adalah kemerdekaaan rakyat yang bebas dari segala bentuk penderitaan. Dengan semangat rakyat yang berkobar-kobar teriakkan kata merdeka!merdeka!merdeka!***


Penulis adalah mantan ketua KDAS

Pesan Merdeka

Oleh: Randy V. Persie

Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Dan sang saka merah putih
Masih setia berkibar
Di atas bumi manusia Indonesia
Merah berarti berani Bung
Berani pertahankan kebenaran
Berani menentang ketidakadilan
Berani hidup biasa demi kaum papa
Putih berarti suci Bung
Suci dalam berjuang
Suci sejak dalam pikiran
Suci dalam perbuatan

Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Ia bukan sekedar simbol
Sebab butuh perjuangan sungguh para pendahulu
Tapi mengapa kita tidak benar-benar merdeka
Sebab kita tidak memiliki keberanian
Sebab kita belum hidup dalam kesucian

Wahai bangsaku
Tiadakah kegelisahan mengusik
Tiadakah terbersit tanya dihati
Sampai kapan negeri ini benar-benar merdeka
Merdeka berfikir
Merdeka berpendapat
Merdeka berkaryaMerdeka dari kemiskinanIa bukan milik segelintir orang
Karena merdeka adalah hak kita semua

Wahai bangsaku
Kita semua hanya orang biasa
Dijadikan Tuhan luar biasa
Untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa
Bersama kita isi kemerdekaan
Dengan berani
Dengan suci
Persembahan agung bagi ibu pertiwi
Yang telah lama menanti

Kelak
Di bawah tiang bendera
Bersama kibaran merah putih
Kita teriakkan
Merdeka, merdeka, merdeka
Merdekalah Indonesiaku
BANGKIT INDONESIA
Oleh: Cahriady Purba*


Enam puluh tiga tahun sudah
Indonesia merdeka bebas siksa
Semua bangsa bersorak ria
Dengan jerih payah asa bergelora
Ribuan nyawa telah bersimpah darah
Bukanlah hal yang mudah
Bukan dibayar murah
Tuk gapai Indonesia merdeka


Tapi entah mengapa
Jiwa ini masih dihantui gelisah aku gundah
Aku bersuka tapi hatiku terbalut duka
Kucoba telusuri masa
Aku mencari makna
Aku gelisah kemerdekaan itu dimana
Kita merdeka tapi bangsa terbungkus, takut belum sirna
Kita memang penuh fenomena

Kucoba renungkan nasib bangsa
Kuambil cermin untuk berkaca
Tapi aku malu melihat wajah bangsa
Bangsaku penuh parasit
Benalu KKN bertebaran dimana mana
Bangsaku masih penuh ruang kebodohan
Bangsaku penuh luka berbalut perban kemiskinan

Aku menangis melihat mereka yang tak kunjung luput tangisnya
Lambungku perih melihat bangsa rawan giji buruk kelaparan
Ulu hatiku sakit melihat mereka yang masih terbungkam tertindas
Aku gelisah melihat mereka yang serakah tak bersedekah
Yang hidupnya serba warna warni pernak-pernik mewah

Bangkitlah Indoneisa
Kinilah saatnya menghias harumkan wajah bangsa
Kita bangkitkan jiwa kita bangun bangsa
Kita gali habis bukit kebodohan kita tutup lubang kemiskinan
Bebaskan yang tertindas hentikan penggusuran
Tebas koruptor kikis nafsu korupsi bangsa
Jauhlah egoisme apatismemu generasi muda
Dengan nasionalisme patriotisme, bangkitlah Indonesia

Mahasiswa Departemen Akuntansi USU
Anggota KDAS

Bukan lembu, Bukan Banteng, Tapi Singa

Oleh: Cahriady Puarba

Bukan, bukan lembu
Bukan tuk ciptakan lembu-lembu
Yang setia jadi babu
Pendidikan bukan bentuk lahirkan itu
Sebab lembu hanya lembu
Susu diperah tenaga diperas tarikkan pedati
Sebab lembu adalah buruh-buruh
Tak terbiasa berpikir olah sawah
Hanya bisa ratapi alam kaya yang berlimpah ruah
Jadi tunggangan kapitalis untuk merambah
Kapitalis yang jadikan gunung jadi kawah
Tuk korek keruk habis tembaga timah

Bukan, bukan pula ciptakan banteng-banteng
Pendidikan bukan lahirkan banteng
Sebab banteng hanya terbiasa beradu
Provokasi massa keruhkan suasana
Banteng nasionalismenya hampa
Banteng kerap kali penghianat bangsa
Jadi perpanjangan tangan asing yang penuh tega
Yang penuh hasrat kacaukan kuasai negara tercinta
Banteng berkubang di kas negara
Kacaulah suasana bangsa

Bukan, bukan lembu
Bukan banteng
Tapi untuk ciptakan singa
Pendidikan adalah untuk bentuk lahirkan singa-singa muda
Tuk jadi pemimpin-pemimpin kuat tuk bangsa dan dunia
Ditakuti semua bangsa di seluruh penjuru dunia
Tangguh juga bijaksana
Mencari solusi dalam setiap suasana
Sungguhlah singa tak kan kelaparan
Karena mereka setia berbagi dalam kesatuan persatuan

Pendidikan
Bukan lembu bukan banteng
Bukan ciptakan itu
Tapi lahirkan singa
Gemakan raungan di seluruh penjuru dunia
Kan takut gentar semua bangsa

Mewariskan Semangat Juang 45

Oleh: Cahriady Purba

Kunci perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita merupakan warisan yang harus tetap kita pertahankan. Kunci itu hanya berbentuk suatu wadah yang bersatu padu antara kegigihan, keberanian, semangat rela berkorban, dan perasaan senasib sepenanggungan yang disulut dengan api nasionalisme yang membara.
Tanpa ada nasionalsime pejuang ’45 kita, tidak ada yang namanya bangsa (bangsa Indonesia). Yang ada hanyalah perjuangan yang terpecah belah oleh ego-ego lokal regional yang sangat rapuh untuk dipecah belah kaum penjajah. Apalagi pejuang dulu rawan politik “devide et impera” Belanda.

Mustahil kita dapat memasuki babak baru (babak menikmati dan mengisi kemerdekaan) ini tanpa adanya roh semangat juang dalam raga mereka. Kita patut mensyukuri semangat juang mereka. Tapi yang menjadi pemasalahan sekarang adalah : sudahkah kita mewarisi kunci kemerdekaan (semangat juang) itu ?
Faktanya kita hanya sebatas menceritakan (layaknya dongeng sebelum tidur), bukan menularkanya. Ini terlihat jelas dari menjamurnya aliran egoisme dan apatisme berkebangsaan generasi sekarang. Dalam seluruh sistem kita telah ternoda oleh aliran apatisme dan egoisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme. Boleh dikatakan ini adalah aliran sesat yang kedua. Dalam sistem kehidupan sosial aliran ini teleh menyebar seperi virus yang membuat kita tidak mau tahu dengan permasalahan yang ada. Pudarnya sistem gotong royong, rasa kekeluargaan, dan hilangnya keramahtamahan bangsa merupakan contohnya. Orang lain tidak bisa makan atau tertindas ,sementara kita berlimpah kita tidak perduli. Yang sangat kontras dalam sistem sosial sekarang adalah keinginan untuk berkuasa, lalu memeras dan menguras.

Demikian juga pendidikan kita telah larut dalam godaan dan rayuan kapitalisme. Pendidikan sebagai media yang diharapkan menularkan semangat juang ’45 hanya sekedar menceritakan, bukan mewariskan. Banyak lembaga pendidikan mulai tingkat SD, SLTP, SMU, apalagi Perguruan Tinggi tidak pernah lagi melakukan upacara bendera demikian juga instansi pemerintahan. Padahal, paling tidak melalui upacara bendera kita selalu diingatkan oleh semangat juang pahlawan kita agar semakin termotivasi berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan tetap menjunjung nasionalisme.

Ini adalah fenomena yang menyesatkan, memudarkan , bukan memajukan bangsa. Apakah kita mau bangsa kita ini kehilangan identitasnya ? Perlu kita ingat bahwa Sang Merah Putih adalah lambang keberanian, kegigihan semangat, serta kesucian perjuangan pahlawan kita. Harus kita hargai. Peringatan HUT ke-63 RI ini bukanlah kebetulan atau tradisi tahunan, melainkan kesempatan untuk mengingatkan serta menumbuhkan kembali semangat juang ’45. HUT RI ini juga adalah roh yang menegor para koruptor bangsa, penghianat bangsa, provokator, serta seluruh genaerasi yang hilang roh nasionalismenya. Mari kita mewarisi bersama kunci kemerdekaan (semangat juang ’45) ini, bukan dengan sebatas merayakan, merenungkan atau mendokumentasikan, melainkan harus menularkan. Kita satukan perjuangan kita. Kita tuntun roh nasionalisme masuk dalam diri bangsa. Sekali merdeka selamanya merdeka.***