Tampilkan postingan dengan label Gerakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gerakan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Juni 2013

Aktualisasi Diri Konsep Terbaik 'Ketidakpatuhan' Sosial


Oleh : Putera Arif Panjaitan


Istilah ‘aktualisasi diri’ tentu sudah kerap kita dengar dan pakai dalam wacana pembicaraan. Terutama pembicaraan yang berkenaan dengan topik pengenalan dan pengembangan diri pada mahasiswa-mahasiswa yang berorientasi pada pembobotan intelektualitas di kampus maupun organisasi. Secara sepintas istilah ini akan mudah dipahami karena kita mengerti arti dari ‘aktual’ yang berarti betul-betul terjadi; sedang menjadi pembicaraan orang banyak; serta masih baru (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan pemahaman itu kita simpulkan bahwa aktualisasi diri berarti semacam pembobotan, apakah dengan pengetahuan intelektualitas maupun karakter serta jati diri.

Namun akan terkesan berbeda dengan defenisi dalam konsep psikologi sosial (Berdasarkan Buku karya George Boeree), di mana aktualisasi diri termasuk dalam kategori ‘ketidakpatuhan’. Nah, tentu mengundang banyak pertanyaan bagi kita yang memang sadar atau tidak sadar begitu ‘dilandasi’ spirit aktualisasi diri sesuai pemahaman masing-masing. Tidak apa, bila kepatuhan dianggap sebagai hal yang wajar atau normal, sehingga ketidakpatuhan (cenderung dimaknai ketidakmampuan menyesuaikan diri) dianggap sebagai perilaku abnormal atau menyimpang, maka penyebabnya antara lain gangguan kejiwaan, kriminalitas, maupun aktualisasi diri.

Tentu kita tidak bermaksud menyamakan konsep aktualisasi diri sebagai gangguan kejiwaan maupun kriminalitas bukan? Umumnya, sebagian orang yang memilih tampil beda adalah penderita gangguan kejiwaan atau penjahat. Namun, banyak juga dari mereka yang sebenarnya sama sekali bukan pelanggar norma atau aturan, karena mereka ternyata hidup dengan norma dan aturan ‘buatan’ sendiri atau kelompoknya. Jadi, mereka sebenarnya adalah orang-orang yang ‘patuh’ terhadap norma dan aturan, dan inilah yang harus kita bedakan.

Sangat tidak tepat untuk menilai seluruh kepatuhan sebagai hal yang bermakna positif atau hal yang patut diajarkan secara bulat-bulat kepada generasi. Masyarakat Indonesia umumnya dinilai sebagai orang-orang yang patuh. Dapat kita maklumi sebagai karakter dari bentukan zaman feudal dan Kolonial. Sebagaimana Mochtar Lubis dalam “Ciri-ciri Pokok Manusia Indonesia”, kaitannya dengan ‘kepatuhan’ menjelaskan bahwa orang-orangnya umumnya hipokritis atau munafik (suka berpura-pura, lain di muka lain di belakang). Ini akibat dari tekanan yang keras dari sistem pemerintahan feodal. Orang dipaksa untuk bersikap ‘asal bapak senang’, agar selalu mendapat limpahan berkah dari penguasa dan terlepas dari hukuman.

Selanjutnya, masih ada sekelompok kecil orang yang benar-benar bebas sepenuhnya dari tekanan untuk mematuhi atau menyesuaikan diri dengan norma dan peraturan yang ada serta memanfaatkan kemerdekaan mereka itu demi kebajikan. Sebutan yang kini popular bagi mereka adalah ‘aktualisasi diri’.
Abe Maslow (seorang psikolog Amerika, lihat di google) meyakini bahwa bila Anda tidak lagi dikejar oleh kebutuhan dasar (makanan, pakaian, tempat tinggal), kebutuhan akan rasa aman, atau rasa rendah diri, Anda kini benar-benar bebas untuk melakukan apa saja yang ingin Anda lakukan; Anda bebas merealisasi ‘jati diri yang Anda kehendaki’. Anda kini menjadi seorang ‘pengaktualisasi diri’.

Meminjam defenisi yang diuraikan oleh George Boeree, dijelaskan bahwa para pengaktualisasi diri umumnya berjuang demi: (1) hak untuk menentukan nasib sendiri dan kebebasan serta (2) menolak
tekanan sosial yang justru tidak dapat dilepaskan oleh sebagian besar dari kita. Mereka tidak peduli terhadap pemegang otoritas dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat pada saat itu (contohnya, dalam ‘mindset’ pemikiran masyarakat semasa feodal perbudakan dianggap sebagai sesuatu yang wajar). Sebagai gantinya, mereka bertumpu pada nilai-nilai kebajikan, moralitas, akal budi, dan pengalaman mereka sendiri. Mereka menjunjung tinggi (3) nilai-nilai demokratis, yang artinya terbuka dan bersedia menerima keragaman budaya dan sifat-sifat manusia. Tetapi tidak hanya sekedar toleran, melainkan juga terjun langsung ke dalam keanekaragaman itu dan lebih sanggup (4) menerima diri mereka sebagaimana adanya.

Indikasi lebih mendalam terhadap sikap ketidakadilan mereka untuk menyesuaikan diri dengan apa yang berlaku saat itu, tampak pada (5) spontanitas mereka untuk selalu mencari jalan dalam memecahkan masalah-masalah yang ada berdasarkan akal budi mereka, dan (6) tidak menyukai keruwetan atau birokrasi yang berbelit-belit (mencintai kesederhanaan). Mereka memiliki kemampuan (7) menghargai sesuatu yang diremehkan orang lain serta (8) kreatifitas yang memungkinkan mereka untuk berada di atas orang lain.
Seluruh kepribadian tersebut tidak menjadikan mereka sebagai orang yang bersikap ‘semau gue’ (sebagai pelanggar norma yang bersikap negatif). Wataknya terkendali untuk tidak melakukan perbuatan destruktif dan anarkis. Mereka cenderung bersikap wajar pada kehidupan sehari-harinya, tetapi memiliki kemampuan untuk menerima diri dan orang lain yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada zamannya.

Tetapi, keberanian untuk mendobrak norma-norma yang mereka anggap negatif bukan hanya ciri pribadi-pribadi semacam itu, karena mereka juga menikmati hubungan yang hangat dan akrab dengan sekumpulan teman serta memiliki kepedulian sosial. Nah, ini dapat terbentuk berkat proses yang terasah dalam kolektifitas kelompok.

Para pengaktualisasi diri tentu memiliki pandangan yang lebih luas sehingga dapat menerima keunikan yang menjadi tradisi pada orang lain. Sikap multikulturalisme dan pluralisme akan lebih teruji dengan ‘passing over’ (melintasi batas agama maupun budaya) orang lain, dengan maksud menambah wawasan pengalaman. Sehingga ia dapat menerima keunikan orang lain sekaligus memperdalam kecintaannya pada budaya sendiri. Selain itu, merumuskan nilai-nilai yang dianut secara korektif adalah ciri khas bagi pengaktualisasi diri. Nilai itu dapat merupakan nilai lama dengan interpretasi yang kontekstual, sesuai dengan tuntutan zamannya.

Ciri khas kegerakan orang maupun kelompok yang mengaktualisasikan diri akan tampak tidak patuh terhadap norma dan aturan yang terdapat pada masyarakat luas apabila ternyata dinilai bertentangan dengan prinsip norma yang mereka anut. Contohnya korupsi menjadi ‘budaya’ dalam setiap lapisan masyarakat, prostitusi menjadi ajang hiburan masyarakat umum, perusakan lingkungan, dsb.

Jadi, meskipun pribadi-pribadi ini juga sama-sama memiliki semacam ‘ketidakbersediaan untuk menyesuaikan diri dengan norma dan aturan’, namun itu semua dilakukan demi hal-hal positif serta dilandasi cinta kasih. VOR VERITAS..!!


Jl. Perjuangan 155, pada suasana senja yang gerah dengan suhu Kota Medan 340/230 C, sembari memaknai fenomena ‘senam’ revolusi kemarin yang meletus dari laten rakyat akibat picu issu kenaikan BBM. Semoga rakyat semakin bersatu lawan segala bentuk penindasan.

Rabu, 10 April 2013

Pemuda Kristen Harus Berperan Aktif dalam Transformasi Bangsa


Oleh : Putera Arif Panjaitan


Wajah semakin muram, hati semakin perih seakan tertusuk, menghayati problematika hidup bangsa membuat penggalan nafas kita pun semakin sesak. Benarlah kita harus rela menderita demi memperjuangkan kebenaran bukan justru menyerah menahan perih.
Pepatah anekdot berkata: “berbahagialah orang yang tidak membaca buku, berbahagialah orang yang tidak membaca berita pada surat kabar dan berbahagialah orang yang tidak menonton berita di televisi, sebab mereka tidak akan menyadari dan memikirkan kemelut yang lebih pahit dari hidupnya”.
Sebagai bagian minoritas dari kemajemukan bangsa ini, penganut Kristen lebih banyak disibukkan dengan persoalan ancaman eksistensi yang dihadapi dari tekanan mayoritas. Kejadiannya masih berlangsung hingga dewasa ini, seperti pelarangan mendirikan rumah ibadah, gangguan melaksanakan ibadah, perlakuan pincang dalam aspek pembangunan, hingga teror dan berbagai perlakuan diskriminatif lainnya. Mengapa demikian? Kontribusi apa sebenarnya yang sudah dilakukan oleh umat Kristen sendiri?
            Memahami persoalan bangsa yang telah akut dewasa ini kita harus mengulas lebih luas ke belakang. Dimulai dari sejarah kemerdekaan bangsa ini. Apa yang harus kita maknai dari kemerdekaan? Siapakah yang merdeka? Sejak kapan kemerdekaan itu? Bagaimana pelaksanaan kemerdekaan di negara dan bangsa kita? Setelah kita renungkan, mengapa kita sungguh-sungguh masih belum merdeka?
            Jawaban terletak pada sistematika dan mekanisme berdirinya negara hingga kini, berada dalam intervensi asing dan kepentingan elit politik bangsa kita. Bukanlah suratan takdir yang menjadi nasib naas yang sumbernya dari mitos belaka. Untuk ini, setiap pemuda harus semakin banyak membaca realita kehidupan. Maka kita akan memahami, ke manakah arahnya perjalanan negara ini? Tentu lari menjauhi cita-cita kelahirannya dalam konstitusi. Artinya apa? Seharusnya kemerdekaan sejati tentulah berbuahkan kebebasan, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan akan tetapi hal itu semakin jauh dari manusia-manusia penghuni Indonesia.
            Pasalnya mekanisme pemerintahan sudah melakukan pengabdian yang melenceng yaitu kepada kaum pemilik modal terutama pihak asing yang skala modalnya sangat besar, bukan lagi kepada rakyat yang adalah katanya pemilik kedaulatan. Keadaan ini sesungguhnya merupakan jebakan maut yang akan menjerumuskan bangsa kita pada penjajahan tiada henti sampai kesudahannya. Bagaimana tidak, begitulah dimulai sejak Orde Baru yang mana kebijakan perekonomian katanya berusaha untuk memakmurkan negara. Kenyataan bahwa pembangunan jaman Orde Baru itu adalah bersumber dari utang luar negeri yaitu terhadap bank dunia, IMF, dll. Kebijakan system ekonomi liberal itu diteruskan sampai sekarang. Jadi tidak heran kalau akutnya persoalan menjerat setiap sendi kehidupan rakyat, khususnya rakyat jelata yang merupakan penduduk Indonesia kebanyakan.
Tentu jelas bahwa kebijakan kapitalisme sangat merusak bangsa kita. Sebab bukanlah bangsa kita yang menjadi sumber modal melainkan tempat menanam modal. Penanaman modal ditujukan untuk meraup keuntungan. Dari mana? Sumber daya alam Indonesia yang melimpah di perut bumi, tumbuhan di atasnya, kekayaan dalam genangan perairan laut, serta sumber daya manusianya sangat cocok untuk dijadikan pekerja alias budak. Budak ditujukan untuk mengerjakan eksploitasi kekayaan itu. Lantas hasilnya ke mana? Sebagian besarnya hasil produksi diangkut ke luar negeri,  keuntungan produksi (deviden) kembali ke pengusaha/penanam modal, pajak operasi usahanya masuk ke pemerintah. Sesuai undang-undang seharusnya masuk ke kas negara tetapi kenyataan, inilah yang diincar-incar oleh penyelenggara pemerintahan kita sehingga begitu semangatnya mereka mengundang investasi masuk ke dalam negeri, dengan dalih membuka lowongan pekerjaan. Memang ada sesuainya, sebab manusia-manusia Indonesia bekerja membudak dalam perusahaan modal asing demi mencari makan.  
Bagaimana dengan penyadaran mental manusia Indonesia? Kita pernah berharap akan pendidikan yang mencerdaskan, sesuai amanat UUD 45. Lagi-lagi kita mengaku justru menyesalinya dengan kekecewaan yang mendalam. Harus kita membongkar bagaimana pendidikan hadir di Indonesia serta ditujukan untuk apa dan siapa pendidikan itu. Secerdas-cerdasnya bangsa dibuat sampai berpendidikan tinggi ternyata kebanyakan ditujukan memenuhi stakeholder yang alamatnya adalah di perusahaan modal asing. Kalau pun ada ke pemerintahan maupun lembaga-lembaga lainnya, amati saja dewasa ini mekanismenya berorientasi pada komersial maupun pasar, dalam hal ini menuju kapital tadi. Perhatikanlah, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari mekanisme pemerintahan negara Indonesia ini? Padahal sejak awal negara Indonesia mengakui dirinya demokrasi.
Perlahan sejak reformasi, muncullah kesadaran-kesadaran di tengah generasi sekarang. Meski sedikit tetapi sudah berdampak untuk mengembalikan hakikat kemanusiaan bangsa Indonesia yang telah dikungkung oleh pembodohan turun-temurun. Perlawanan demi mewujudkan kemerdekaan yang sejati dari penjajahan bangsa asing dan bangsa sendiri banyak dilakukan oleh pemuda, yaitu gerakan-gerakan mahasiwa. Kita dapat menilai bagaimana pergerakan itu berlangsung dan apa hasilnya. Menurut hemat penulis, sebaiknya generasi sekarang belajar dari gerakan mereka, apa keunggulan dan rintangan mereka, strategi apa yang penting dikembangkan ke depannya memenuhi kebutuhan transformasi bangsa, yang sejatinya tiada henti. Malah penulis sangat prihatin dengan sikap apatisnya generasi sekarang, mengisyarakakan tertidurnya kembali kesadaran pemikiran. Harus diakui ada banyak penyebabnya, antara lain warisan laten NKK/BKK, strategi akademis kampus yang semakin sibuk, daya tarik gaya hidup hedonis dan banyak hal lainnya yang saat ini malah menjadi bagian dari trend dan minat bakat pemuda. Alhasil, setan kapitalis begitu terbahak-bahak dalam kebahagiaanya menyaksikan pemerkosaan bangsa Indonesia berlangsung tanpa ada usaha perlawanan, langgeng.
Spirit Pembebasan
Kita dapat menilai kontribusi pergerakan yang berlebelkan “Anak Tuhan” – Kristen – sangat minim dalam perjuangan bangsa ini. Analisis sementara penulis menilai hal ini akibat bentuk dan pola distribusi pengajaran yang kurang kontekstual. Konteks keimanan tidak sesuai dengan situasi zamannya padahal Injil Kristus kita yakini menembus batas zaman, yaitu kekal sampai selama-lamanya. Akan tetapi kekuatan ini seakan dibatasi sehingga terkesan tidak punya daya, misi orang percaya lebih diarahkan pada mandat surgawi. Mandat ini diberi ketegasan pemisahan dengan mandat duniawi. Jadi semakin jelaslah apa yang dikerjakan justru jauh dari realita kehidupan. Keadaan inilah yang dikritisi oleh Marx yang tidak percaya Tuhan itu, menyebut agama sebagai candu. Harus menjadi dasar kritik bagi kita untuk memberi kesaksian bahwa kuasa Tuhan adalah di atas segalanya.
Mari berpikir jernih ke depan. Saya memandang Injil Kristus sangatlah relevan untuk menjawab persoalan bangsa kita saat ini. Masalahnya, sangat minim pembebasan yang dilakukan oleh gereja di tengah penindasan yang sistemik. Saya berpendapat karena orang-orangnya tidak dilandasi oleh spirit pembebasan. Barangkali kita terjebak dengan pola beragama ekstrinsik (memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukannya untuk kehidupan) ditandai dengan kesibukan tradisi-tradisi ibadah/ritual belaka tanpa praktek konkrit sebagai komitment dari imannya. Kalaupun ternyata sebagian kita mengikuti pola beragama intrinsik (lebih substansial, lebih ke dalam, menjadi faktor pemadu & menghujam dalam arah kehidupan yang manusiawi), tetapi tidak punya penglihatan yang kritis terhadap situasi zaman, maka minimlah kontribusi untuk transformasi bangsa dan negara Indonesia ini. Untuk itu penting setiap orang percaya mengaktualisasi serta membototi diri dengan pemikiran dan kesadaran yang kritis. Kini sudah saatnya kita mengarahkan pola pemikiran terhadap persoalan hidup yang sistemik dan struktural.
Mengimani akan besarnya kuasa Tuhan, maka kita haruslah berprinsip pada misi yang holistik. Tuhan berkuasa atas surga dan dunia, di surga adalah tahta-Nya dengan segala kesempurnaan dan di bumi adalah proses bagi setiap orang supaya kelak menuju kerajaan tersebut. Kitalah yang menjadi saksi membumikan kerajaan surga itu, sehingga banyak orang menjadi percaya, diberkati dan diselamatkan. Sembari melakukan tugas penginjilan, setiap orang percaya harus mengikuti teladan yang dikerjakan Tuhan Yesus ketika di dunia. Maka tidak mengabaikan tugas-tugas menolong sesama dari penindasan sistemik, turut dalam membangun kehidupan yang lebih baik serta menjaga keutuhan ciptaan Tuhan yang lainnya seperti flora, fauna dan lingkungan ekosistem. Yang intinya adalah menjadi bagian dari pencegah pembusukan dunia ini.
Panggilan generasi Kristen saat ini adalah sebagai “anak zaman”, memenuhi tuntutan penyelesaian persoalan zaman dengan menjadi garam dan terang dunia. Itulah kontekstualisasi dari tindakan iman percaya.  Patut belajar dari belahan dunia lain yang juga adalah orang-orang Kristen, yang mengalami gejolak heroik tantangan keimanan dalam hidup. Misalnya belahan benua Amerika Latin, khususnya negara Brazil, lahirlah sebuah gagasan Teologi Pembebasan oleh Gustavo Guitterez. Intinya orang Kristen harus melakukan praksis dalam iman, yaitu Kontemplasi (beribadah dan berdoa) dalam rangka mengenal menyelami lebih dalam tentang Tuhan dan aksi sebagai komitmen tindakan konkrit dari iman. Perspektif Kristen yang mendasari semangat transformasi bangsa secara Alkitabiah dapat dilakukan dengan membangun kesejahteraan kota/negara (Yeremia 29:7).
Kata kesejahteraan erat kaitannya dengan kata Shalom. Sementara Shalom dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu pertama individual fisik yang sehat (Mazmur 38), terbebas dari kejahatan, selamat, aman (Yosua 10:21), menang dari peperangan (Hakim-Hakim 8:9), ekonomi atau pendapatan yang baik (Mazmur 37:11), keluarga yang baik (Mazmur 128:1-6), moral yang terjaga (Mazmur 34:14) dan tidak melanggar Titah Tuhan (Bilangan 24:12-14). Kedua komunitas dan negara, tidak ada perang (Hakim-Hakim 11:13, Keluaran 3:8), kesejahteraan ekonomi (Mazmur 147:14; 128:5-6), keamanan politik (Mazmur 122:6-7; II Raja-Raja 20:19), negara yang damai (Imamat 26:1-6). Ketiga relasi yang baik kepada Tuhan dan sesama, kebenaran akan memancarkan kedamaian (Mazmur 85:10), tidak ada damai tanpa keadilan (Yeremia 6:13-14), dampak dari keadilan, kebenaran dan kebajikan akan semakin terasa di seluruh bangsa (Yesaya 32:16-18), menjalankan hukum yang terutama dan yang pertama (Matius 22:35-40; Lukas 10:25-37) serta menjadi saksi (Kisah Para Rasul 1:8).
Hal-hal itulah yang harus dipenuhi dalam kehidupan manusia di bumi. Jika kita memikirkan untuk mewujudkannya pada masa kini, maka sungguh harus dilakukan lewat perjuangan yang cukup keras. Melihat tantangan zaman sekarang ini, apakah kita masih akan memakai metode lama dalam mewujudkannya? Sungguh, sikap fanatisme yang berlebihan hanya mencerminkan sempitnya wawasan berpikir yang justru menjebak kita dalam penolakan dan menyebabkan timbulnya perpecahan kerukunan. Untuk itu penting bagi kita melakukan segala hal dalam hikmat yang bijaksana, dengan mengefektifkan rasionalitas berpikir, sebagai perwujudan mengasihi Tuhan dengan akal budi.
Nah, generasi sekarang harus mulai menyadari, untuk melakukan transformasi bangsa ini bukanlah pekerjaan biasa yang akan mengalir sendirinya seiring bergulirnya waktu. Harus kita akui, proses  penindasan dan pembusukan dunia saat ini merupakan program pemerkosaan yang terencana dan terorkestrasi oleh pihak-pihak serakah. Tingkat belajar mereka untuk mencapai sukses programnya lebih tinggi daripada usaha kita untuk bebas dari lingkaran setan penindasan. Keadaan ini nyata, konkrit dan bukanlah mimpi. Kalau masih bermimpi bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa ada tindakan perbaikan, bangunlah segera!
Sebagai generasi muda kita  punya banyak pilihan dalam menentukan strategi. Namun bentuk strategi masa kini harus jauh lebih canggih daripada strategi-strategi yang pernah ada. Oleh karenanya generasi sekarang wajib merumuskan terlebih dahulu bentuk penindasan yang berlangsung sehingga dapat kelihatan dan dapat pula ditentukan metode untuk memperjuangkan kebenaran dalam solusi perbaikan. Ada yang berjuang dengan berproses secara pribadi, ada yang bergabung dengan kelompok atau komunitas dan ada yang membangun jaringan serta aliansi. Semua upaya itu ditandai dengan proses belajar guna pembobotan dan aktualisasi diri. Lewat cara ini proses penyadaran ditransfer satu dengan yang lainnya. Masing-masing individu mengenali diri sindiri (berkenaan dengan siapa diri sesungguhnya serta tingkat potensi dan kelemahan pribadi), memahami situasi kehidupan sosial di lingkup daerah – nasional – global serta memiliki solusi perbaikan atas persoalan dan kemelut yang menimpa bangsa. Tujuannya untuk mencapai mimpi bersama, mewujudkan perbaikan bangsa ke arah perkembangan yang lebih baik sesuai dengan visi masing-masing (tansformasi).
Oleh karena itu, sungguh berdosanya apabila kita masih menyia-nyiakan waktu yang Tuhan beri karena tidak diisi seoptimal mungkin menjadi rekan sekerja Tuhan di tengah dunia yang dikasihi-Nya ini. Sebab kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi. Semoga peran pemuda Kristen dalam transformasi bangsa semakin progresif dan menjadi diperhitungkan ke depannya. Setidaknya orang percaya merupakan elemen yang diakui keberadaanya dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi bangsa Indonesia. Belum terlambat… Kejar terus..!!!
***



Ditulis pada suasana pagi yg gelap akibat PLN memadamkan penerangan listrik di Jl. Perjuangan No. 155 Medan, 22 Maret 2013

Sabtu, 07 Januari 2012

Siapa Lawanmu?

Oleh: Parlindungan Sirait



            Tembak sana, tembak sini, pukul sana pukul sini. Itulah bentuk kekuasaan kepolisian Republik Indonesia yang kekuasaannya seperti “melebihi kekuasaan Tuhan”, begitu yang terlihat pada kasus di Bima. Mereka sudah tidak tahu lagi siapa lawannya yang sebenarnya kalau ingin membangun NKRI. Seakan lupa perjuangan masa lalu para leluhur bangsa yang mengusir penjajah, namun saat ini kontras, penjajah (sistem penjajahan terselubung) dilindungi. Mereka lebih memilih menumpas rakyatnya, ketimbang orang yang rakus yang sedang dimabuk gemilang emas.
            Dengan brutalnya pihak kepolisian menembaki warga. Warga yang berada di pelabuhan penyeberangan pada 19 Desember 2011 meneriakkan suaranya melalui demonstrasi, yang merupakan lajuan suara yang tidak digubris pemerintah, menjadi korban penembakan dan kekerasan dan jelas melanggar HAM.
            Bentrok di pelabuhan Sape, Bima, NTB pada puncaknya Sabtu 24 Desember 2011 yang menewaskan beberapa demonstran dan banyak yang luka parah dan luka ringan. Hal ini terjadi karena pembubaran secara paksa oleh pihak kepolisian yang dengan gagahnya memorakporandakan para demonstran. Aparat kepolisian saat ini lebih terlihat sebagai kaki tangan pihak-pihak berkepentingan dibandingkan mengayomi masyarakat.
            Kebrutalan kepolisian memunculkan seolah-olah dengan ganasnya penguasa melindungi kepentingan modal. Mengetahui sebelumnya, bahwa warga Lambu Kabupaten Bima melakukan penolakan terhadap PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) bergerak di bidang pertambangan emas telah mendapat izin operasi penambangan sejak dua tahun yang lalu di daerah  Lambu dan Langgudu yang juga dikuasai PT SMN yang sebagian besar sahamnya oleh PT Arc Exploration Ltd dari Australia dengan masa operasi 25 tahun yang bakal mengeruk kekayaan SDA Indonesia sampai ke dasar.
            Alasan penolakan adalah karena pertambangan emas itu membahayakan sumber mata pencaharian warga seperti merusak ekosistem alam yang berakibat fatal dengan hancurnya sistem persawahan di masa mendatang, karena mata pencaharaian warga setempat yang utama adalah bertani.
            Gagah melindungi kepentingan modal belum using peristiwa berdarah di Papua, Mesuji, kini dimunculkan lagi di Bima dengan masalah dan modus yang serupa untuk melindungi kepentingan modal. Citra kepolisian yang seyogianya melindungi, mengayomi rakyat malah ikut membantu sistem penindasan yang dilakukan para pemodal. Tak jarang kedengaran bahwa untuk melindungi perusahaan-perusahaan asing, digunakan pihak kepolisian (Brimob). Kelompok pemodal selalu menggunakan tangan polisi/Brimob untuk mengamankan kepentingannya. Dan parahnya dalam konflik sektor agrarian seperti ini pemerintah tak berkutik dibuat kaum pemodal, hanya bisa mengucapkan “turut prihatin” kecam sana kecam sini tanpa ada tindakan konkret. Termasuk kasus di Bima saat ini, apakah hanya bisa bilang rasa simpati tidak bisakah berempati? Apakah kalian bukan pemerintah sesungguhnya? Ataukah iblis yang dengan sengaja melindungi kaum pemodal yang merupakan sederetan protozoa yang menghisap darah rakyat dan darah leluhur bangsa yang tertumpah di bumi ibu pertiwi?
            Jangan terjadi lagi. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan bunyi pasal 33 ayat 3 yang seolah-olah diingkari oleh pemerintah sebagai penguasa yang mengutamakan kepentingan modal beralasan menjaga stabilitas ekonomi. Lagi-lagi pemerintah mampu bersembunyi di balik perselingkuhannya dengan kaum penguasa untuk tetap mengeksploitasi alam tanpa mengindahkan pasal di atas seperti kasus di Bima, sehingga memunculkan pertentangan. Apakah rakyat di Bima harus berakhir seperti Papua yang sudah hampir menutup hati buat NKRI atau bahkan seperti tetangga mereka Timor Leste.
            Harapannya jangan ada lagi penindasan dalam bentuk apa pun. Pemerintah harus bertindak, jangan Cuma diam seperti kerbau ditusuk hidungnya. Banyak peringatan keras buat pemerintah dan jadi tugas utama menyelesaikan kasus agrarian yang akhir-akhir ini eksis di bumi Ibu Pertiwi. Jangan lagi terjadi kekerasan dan rakya di mana pun rangkullah tanpa batas saudara kita di mana pun termasuk di Bima. Kepolisian berdirilah di tengah rakyatmu dan ayomilah rakyatmu seperti sumpahmu.***

Minggu, 18 Desember 2011

Meredupnya Gerakan (Mahasiswa) Kritis

Oleh: Jhon Rivel Purba
Sepertinya gerakan mahasiswa saat ini sudah mulai meredup. Suara-suara kritis mahasiswa sudah jarang terdengar. Padahal, persoalan bangsa semakin besar. Dalam bidang politik dan hukum misalnya, persoalan korupsi dan mandulnya penegakan hukum merupakan persolan mendasar. Sementara dalam bidang ekonomi ditandai dengan ketidakberdayaan rakyat memenuhi kebutuhan hidupnya. Belum lagi dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan segala aspek kehidupan berbangsa ditandai dengan segudang persoalan. Lantas, dimana peran mahasiswa yang katanya sebagai agent of change dan agent of social control?
Kalau kita amati akhir-akhir ini, suara kritis justru datang dari masyarakat biasa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Misalnya suara penolakan gedung baru DPR dan kritikan terhadap pemerintahan SBY-Boediono, lebih sering disuarakan masyarakat biasa. Timbul pertanyaan, ada apa dengan gerakan mahasiswa sekarang ini?

Faktor Penyebab

Kalau dianalisis, banyak faktor penyebab tumpulnya taring gerakan mahasiswa. Antara lain; sistem pendidikan yang membatasi masa studi, gerakan yang tidak terkonsolidasi, organisasi kemahasiswaan yang bermuara pada kepentingan segelintir orang, terkontaminasi dengan kepentingan politik internal maupun eksternal kampus, tekanan dari pihak kampus, dan terjebak dengan kemajuan teknologi informasi.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah membatasi masa studi mahasiswa. Jika masa studi telah berakhir namun mahasiswa belum menyelesaikan perkuliahannya, maka mahasiswa bersangkutan harus siap-siap dikeluarkan dari kampus tersebut. Pada umumnya masa studi mahasiswa di PTN berkisar antara 4-7 tahun. Bahkan untuk menamatkan jenjang sarjana, tidak sedikit mahasiswa menempuhnya hanya 3-4 tahun.

Kondisi demikian menyebabkan mahasiswa fokus mencari nilai yang tinggi, berupaya cepat tamat, dan berharap cepat mendapatkan pekerjaan. Segala hal yang menghambat tujuan tersebut akan dihilangkan, termasuk berorganisasi. Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa organisasi akan mengganggu perkuliahan. Kalau pun ikut berorganisasi, maka organisasi yang diikuti adalah organisasi yang mendukung nilai dan cepat tamat. Sehingga, organisasi yang sifatnya kritis sudah mulai jarang diminati mahasiswa.

Pembatasan masa studi tersebut lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Mahasiswa diarahkan menjadi robot-robot yang mengikuti arus kebijakan pasar. Memang sistem pendidikan kita telah berorientasi pasar, yakni mahasiswa adalah produk dan kampus adalah mesin penghasil produk. Mahasiswa sebagai produk akan diserahkan kepada pasar. Sistem seperti ini secara tidak langsung melemahkan gerakan mahasiswa. Karena sistem pasar tidak pernah menginginkan suara-suara kritis.

Kalau pun ada organisasi yang kritis, sangat sulit menyatukan sikap dengan organisasi kritis yang lain, meskipun perjuangannya sama yakni memperjuangkan rakyat. Hal ini terjadi karena sudah ada saling mencurigai dengan kelompok lain, apalagi hal yang dikritisi adalah isu politik. Tidak terkonsolidasinya gerakan ini tidak terlepas dari tidak adanya isu bersama yang dijadikan sebagai perjuangan bersama.

Berbeda dengan gerakan mahasiswa pada 1966 dan 1998 yang mempunyai isu bersama yakni menjatuhkan pemerintah yang berkuasa karena dinilai telah melanggar konstitusi. Gerakan mahasiswa itu pun bisa bersatu karena situasi politik dan ekonomi pada masa itu sedang kacau sehingga hal yang diinginkan adalah perubahan.

Sedangkan sekarang, organisasi-organisasi mahasiswa tampaknya hanya sibuk bersaing menanamkan pengaruh di kampus. Hanya saja yang paling menonjol adalah eksistensi dan kepentingan, bukan perjuangan. Misalnya pada momen penyambutan mahasiswa baru tampak jelas "persaingan" mencari kader-kader baru. Hal ini juga telah menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa telah kesulitan mencari kader baru.

Dalam demokrasi di kampus melalui pemilihan presiden mahasiswa (tingkat universitas), gubernur mahasiswa (tingkat fakultas), dan ketua himpunan mahasiswa (tingkat jurusan/departemen), yang tampak adalah kepentingan segelintir orang dan kepentingan organisasi tertentu, termasuk organisasi ekstra kampus. Maka tidak mengherankan, organisasi kemahasiswaan di kampus, katakanlah senat mahasiswa, nihil dalam memperjuangkan aspirasi mahasiswa itu sendiri.

Parahnya, jabatan-jabatan sebagai senat mahasiswa hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Misalnya, meningkatkan posisi tawar untuk memperoleh beasiswa, membuat proyek-proyek kegiatan, dan kegiatan yang tak ada hubungannya dengan aspirasi mahasiswa. Sialnya, senat mahasiswa ini bisa "dibeli" dan dijinakkan oleh pihak birokrasi kampus.

Mahasiswa menjadi terkotak-kotak karena saling menonjolkan eksistensi organisasi masing-masing dan terkontaminasi dengan kepentingan birokrasi kampus maupun eksternal kampus. Ini jelas-jelas merugikan mahasiswa secara keseluruhan. Kondisi ini juga melahirkan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi mahasiswa, persoalan kampus, dan bangsa.

Tekanan dari pihak kampus juga membatasi ruang gerakan mahasiswa. Misalnya dengan melarang menempelkan selebaran penyadaran di tembok-tembok kampus, melarang diskusi-diskusi kritis di dalam kampus, melarang mimbar bebas dan aksi demonstrasi di dalam kampus. Padahal, konstitusi memberikan kebebasan bersuara dan berserikat kepada semua warga negara. Namun, kampus sebagai tempat melahirkan calon-calon pemimpin bangsa justru membatasi kebebasan bersuara tersebut.

Hampir semua kampus membatasi mahasiswa menyampaikan suara kritisnya.

Satpam, pegawai, dan mahasiswa "kaki tangan" birokrasi kampus, bahkan preman, dijadikan sebagai tembok penghambat gerakan mahasiswa kritis di kampus. Mahasiswa yang kritis akan ditekan. Ada juga mahasiswa yang dijadikan sebagai "mata-mata" untuk mengawasi mahasiswa yang dianggap kritis.

Terakhir, gerakan mahasiswa semakin redup ketika banyak mahasiswa terjebak dengan kemajuan teknologi. Misalnya jejaring sosial seperti facebook, dan permainan game online, membuat mahasiswa asyik dengan dirinya sendiri dan kurang peduli dengan kehidupan sekelilingnya. Ditambah lagi budaya instan yang berkontribusi terhadap lemahnya gerakan mahasiswa.

Banyak mahasiswa yang menjadikan pusat perbelanjaan dan hiburan sebagai rumah kedua. Sementara "berkunjung" ke desa-desa, pemukiman kumuh, daerah bencana alam, dan tempat-tempat orang miskin, adalah hal yang sudah jarang dilakukan mahasiswa.

Apa yang terjadi dengan bangsa ini ke depan jika mahasiswa yang katanya sebagai agent of social control; pada kenyataannya apatis, hedonis, dan pragmatis? Apa yang terjadi jika mahasiswa hanya menjadi alat penguasa dan milik pemodal? Jawabannya sudah pasti bangsa ini akan semakin terpuruk. Lantas, bagaimana menyalakan gerakan mahasiswa kritis? Itulah yang perlu dipikirkan oleh mahasiswa secara kritis dan kreatif. Hidup mahasiswa! ***

Tulisan terbit di Harian Analisa, Rabu, 18 Mei 2011

Selasa, 22 Februari 2011

Pemuda dan Kredibilitas SBY

Oleh: Andri E. Tarigan

Pemuda merupakan tonggak perubahan yang sangat berpengaruh dalam sejarah perkembangan negeri ini. Hampir di setiap sendi sejarah perjalanan bangsa ini terdapat peran aktif para pemuda. Mereka berjuang dengan semangat dan pemikiran yang ditujukan untuk menegakkan kemanusiaan. Gerakan-gerakan yang digagas oleh para pemuda, menjadi kontrol sosial yang ampuh untuk menumbangkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan nilai luhur bangsa.

Gerakan pemuda yang bersejarah masih berlanjut dan masih bersuara sampai sekarang. Selama masa pemerintahan presiden SBY, hampir setiap bulan terlihat aksi-aksi pemuda yang menuntut keadilan dalam pemerintahan SBY. Demonstrasi besar terjadi pada masa 100 hari pemerintahan SBY. Aksi tersebut dilakukan karena SBY dianggap tidak mampu merealisasikan janji-janji yang diucapkannya saat kampanye. Aksi ini berlalu begitu saja, tanpa ada respon aktif dari masyarakat.

Demonstrasi masalah pangan juga banyak diberitakan di media. Salah satu dari demo tersebut adalah penentangan terhadap kebijakan mengimpor beras dari Thailand. Banyak pemuda, pekerja, dan para intelektual yang menentang kebijakan ini karena akan semakin menjauhkan pertanian di negeri kita dari kemandirian. Tuntutan para pemuda ini tidak direspon positif oleh pemerintah hingga baru-baru ini Thailand melakukan perlindungan bagi produknya dimana ekspor beras bagi Indonesia berkurang.

Di sepanjang 2010, ditemukan banyak kasus korupsi yang menggegerkan negeri kita. Mulai dari kasus aliran dana BLBI, bank Century, dan yang paling menggegerkan dan bikin geregetan: Gayus! Kesuburan lahan korupsi ini merupakan fokus yang tidak luput dari protes kaum muda. Tuntutan demi tuntutan juga dilayangkan dengan harapan kasus-kasus tersebut segera tuntas. Hanya saja, kasus-kasus tersebut tak kunjung tuntas, dan malah bertambah runyam dengan ditemukannya rekening buncit di tubuh Polri.

Di dunia pendidikan, aksi-aksi pemuda lebih ditujukan pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan masalah sistemik dalam skala nasional. Sebut saja UU BHP yang akhirnya batal direalisasikan. Kebijakan pendidikan nasional yang dianggap paling berpengaruh buruk tapi tak kunjung diubah adalah pelaksanaan UN.

Untuk hal kerusakan alam, pemuda banyak bersuara untuk kasus Lapindo. Kasus ini belum tuntas sampai saat ini dan daerah yang terancam oleh luapan lumpurnya juga semakin meluas. Kerusakan ini merupakan ancaman besar tapi belum diberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan yang harus bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang terus bermunculan dari kasus ini.

Kasus-kasus TKI yang terus berlanjut dan perselisihan antar umat beragama juga termasuk agenda yang tak terselesaikan oleh pemerintah dan sangat disesalkan oleh para pemuda. Aksi-aksi demonstrasi, selebaran, dan tulisan-tulisan di media marak dilakukan agar pemerintah tidak gagal dalam menegakkan HAM bagi penduduk Indonesia. Pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap kaum pembela agama yang radikal dan anarkis yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip Pancasila dan UUD 1945.

Kredibilitas?

Berbagai kasus yang tak terselesaikan seperti aliran dana BLBI, Century, Gayus, Lapindo, TKI, konflik agama, kesejahteraan, pendidikan, dan yang terbaru adalah membumbung tingginya harga cabe, merupakan hal yang kian menciderai kredibilitas SBY. Hampir semua tindakan SBY yang tampak di media dianggap sebagai pencitraan belaka. Banyak pula masyarakat yang pada akhirnya apatis karena tumpukan kasus tak terselesaikan dan maraknya kepentingan elite yang mengacaukan negeri ini.

Kredibilitas yang cidera ini semakin tampak dengan aksi tokoh-tokoh lintas agama yang menyuarakan berbagai kebohongan SBY. Mereka berpendapat bahwa pemerintah melakukan kebohongan karena terjadi ketimpangan antara pernyataan dan kenyataan. Data yang ditunjukkan pemerintah seolah permasalahan tidak ada, atau kecil. Padahal, permasalahan bangsa saat ini sangat akut dan menyangkut hak-hak yang asasi seperti agama dan kesejahteraan.

Aksi tokoh lintas agama itulah yang kembali memantik api pergerakan pemuda beberapa saat terakhir. Di berbagai tempat, para pemuda melakukan aksi-aksi demi menyuarakan agar SBY tidak lagi bohong bahkan meminta SBY turun dari jabatannya. Ada pula sekelompok pemuda yang melakukan aksi dengan membuat poster SBY berhidung panjang seperti Pinokio, dimana dalam orasinya mereka tidak lagi mengakui SBY sebagai presiden dan mengakhiri aksi dengan mengoyak poster SBY mirip Pinokio tersebut. Pada 24 januari lalu, berbagai organisasi mahasiswa melakukan demonstrasi dengan tuntutan yang sama dan berakhir dengan bentrokan antara mahasiswa dan polisi.

Rantai kasus yang tak terselesaikan merupakan agenda penting bagi SBY untuk memulihkan kredibilitasnya. Gaya kepemimpinan SBY selama ini, yang mengedepankan pencitraan dan mengesampingkan suara pemuda butuh koreksi khusus agar stabilitas nasional yang selama ini dibanggakan pemerintah tidak terganggu. Pemuda merupakan penyambung lidah rakyat yang berkekuatan, bisa dibayangkan apa jadinya bila pemuda tak lagi menghargai (kredibilitas) pemimpinnya.***


Penulis adalah ketua KDAS periode 2010/2011

Jumat, 10 Desember 2010

Aksi Menempel di Mading Kampus USU

Sejalan dengan peringatan Hari Anti Korupsi dan Hari HAM Sedunia, KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial) melakukan aksi menempel selebaran di mading-mading kampus USU. Aksi tersebut dilakukan sebagai wujud kegelisahan mahasiswa terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM dan tindak korupsi yang semakin merajalela. Selebaran tersebut berisi kalimat-kalimat dan karikatur yang sifatnya mengajak, mengkritik, atau menyindir.
Adapun sepuluh pernyataan yang tertulis dalam selebaran tersebut adalah:
1.      AKU MALU SEBAGAI ANAK KORUPTOR
2.      WANTED: KORUPTOR (Jika ditemukan harap dimutilasi)
3.      Kandangkan koruptor !!!
4.      Koruptor? Gonikan aja... Bah! Dah digonikanpun masih bisa lari?
5.      Koruptor sehat, rakyat melarat.
6.      CUKUP SUMIATI
7.      Dimana kawanku? (Usut tuntas kasus hilangnya aktivis ’98)
8.      DICARI:HAM
9.      HAM: Tidak untuk diperjualbelikan.
10.  Keberadaan HAM dianaktirikan.

Rabu, 27 Agustus 2008

Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Terlupakan

Oleh: Roganda Simanjuntak

Itulah memang kenyataannya bila kita menanyakan siapakah Tan Malaka kepada masyarakat kebanyakan. Nama Tan Malaka sangat jarang disebutkan dalam kurikulum pelajaran sejarah mulai dari dulu sampai sekarang, kalaupun disebut itupun hanya sekilas. Berbeda dengan tokoh-tokoh pelaku sejarah seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan yang lainnya. Sehingga nama Tan Malaka kurang populer ditengah masyarakat.

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat 2 Juni 1897 dan dibunuh secara tragis oleh TNI pada 19 Februari 1948 yang jenazahnya dibuang ke Sungai Brantas di Kediri Jawa Timur. Namanya lebih dikenal sebagai tokoh gerakan kiri Indonesia (meski tenggelam oleh nama DN Aidit) ketimbang tokoh pergerakan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan perannya dalam mendirikan Partai Komunis Indonesia, yang di masa kepemimpinan Soeharto menjadi "barang haram". Suasana politik termasuk penguasa yang berkuasa dan perilaku yang diperlihatkannya dalam memegang kekuasaan, seringkali memberikan kesulitan yang luar biasa dalam menempatkan seorang tokoh secara wajar, proporsional, jujur dan objektif. Ini dapat dilihat dari logika kekuasaan yang dalam sejarahnya seringkali ditampakkan dengan jalan pengaburan sejarah, pemutarbalikkan fakta atau melebih-lebihkan fakta yang ada.

Meski gelar pahlawan kemerdekaan nasional yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 tidak pernah dihapus oleh pemerintah Orde Baru, namanya dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Perlakuan tidak adil pada Tan Malaka oleh pemerintah Orde Baru tidak berhenti begitu saja. Rupanya mereka berusaha menghapus nama Tan Malaka dalam sejarah Indonesia.

Perjuangan Yang Dilakukan

Berbicara tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaries. Pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan. Yang oleh the founding fathers menyebut Tan Malaka sebagai bapak republik Indonesia. Selama hidupnya ia hanya beberapa tahun saja merasakan kebebasan dan berjuang di tengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada di pengasingan atau dalam penjara. Tidak hanya berperan di dalam negeri untuk melawan segala bentuk penjajahan melainkan melanglang buana di beberapa negara dimana kekuatan penjajah bercokol. Dengan taktik metode penyamaran berhasil masuk ke berbagai negara karena beliau adalah incaran dari agen-agen intelijen negara imperialis. Terhitung sejak pertama kali ia terjun dalam aktifitas politik yang sebenarnya, yaitu sejak kepindahannya dari Sumatera ke Jawa pada Juni 1921 dan setelah itu ia bergabung dengan PKI serta jabatan ketua PKI sempat ditangannya. Kemudian pembuangannya yang begitu lama, menimpanya ketika tuduhan mengganggu keseimbangan yang berusaha dijaga oleh pemerintah Hindia-Belanda jatuh padanya itu terjadi pada Maret 1922. Karena itu praktis Tan Malaka hanya mempunyai waktu satu tahun lamanya untuk berjuang. Kalau dihitung-hitung selama hidupnya praktis hanya mempunyai waktu dua tahun lamanya untuk berjuang secara terbuka. Aktivitasnya selama di dalam maupun di dalam negeri, sebagai pejuang yang menebarkan benih-benih anti kolonialisme dan anti kapitalisme hanya diketahui secara samara-samar dan tak jarang yang tersebar adalah cerita fiktif, baik yang memujanya ataupun yang mencemooh.

Dengan berawal dari pembentukan kursus-kursus Tan Malaka mendirikan sekolah sekolah bagi anak-anak anggota Sarekat Islam untuk penciptaan kader-kader baru. Hingga nantinya sekolah-sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintah Hindia Belanda lewat aksi-aksi pemogokan , disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Dalam sistem berpikirnya, Tan Malaka banyak menempatkan nasionalisme sebagai hal yang terpenting, baginya nasionalisme adalah perwujudan dari merdekanya Indonesia yang didasarkan atas sosialisme dan bersatunya kekuatan-kekuatan revolusioner, terutama kekuatan Islam dan nasionalis serta komunis. Pada mulanya ia berharap banyak dari PKI sebagai partai pelopor, namun bukan sama sekali untuk memonopoli dunia pergerakan. Tan Malaka yakin bahwa PKI tidak akan mampu memonopoli dan berjuang sendiri melawan Belanda yang kuat dan otoriter, apalagi ia mengetahui bahwa PKI sebagai organisasi politik belum berakar di dalam masyarakat ketika itu. Ia menambahkan dalam negara yang berpenduduk mayoritas Islam, maka Sarekat Islam adalah satu kekuatan revolusioner dan keliru apabila PKI memusuhinya.

Walaupun ia menjadi ketua PKI dan wakil Comintern untuk Asia Tenggara pernah dijabatnya, bukanlah dia berarti komunis dalam pengertian umum yang biasa, setidaknya ia bukanlah orang yang dogmatis dan doktriner dalam menerjemahkan ajaran-ajaran Marxis. Sikap bebas yang dikembangkannya di Comintern dan pertikaiannya dengan PKI, menempatkannya bahwa sebenarnya dia juga seorang nasionalis.

Tan Malaka dalam melihat revolusi Indonesia tidak berhenti pada revolusi politik semata namun melihatnya sebagai revolusi yang global sifatnya, mulai dari revolusi menghapuskan feodalisme, revolusi kemerdekaan dan revolusi sosial. Revolusi sosial yang isinya harapan terhadap hadirnya masyarakat yang adil dan makmur.

Karya-karya Tan Malaka

Tan Malaka dikenal juga sebagai intelektual, disamping sebagai pejuang yang cerdik. Dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu mentalitas dan sistem pemikiran yang mistis-pasif menuju kepribadian nasional yang rasional-aktif, ia berjuang dengan pena, dengan menulis banyak artikel dan buku. Ia banyak menghasilkan berbagai tulisan yang lahir dari kondisi objektif yang terjadi pada saat itu dengan analisa yang sangat tajam. Beliau yang hidup dan berkarya pada zaman Hindia Belanda, zaman Jepang atau zaman sesudah Indonesia merdeka mengalami perkembangan dan perubahan di dalam menganalisa setiap zamannya.

Diantara sejumlah tulisannya merupakan hasil perenungan dari ideologi, analisa masyarakat, program, strategi dan taktik serta organisasi. Sejumlah tulisan tersebut adalah: Sovyet atau Parlemen, SI Semarang dan Ondewijs, Toendoek Kepada Kekoesaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran, Goetji Wasiat Kaoem Militer, Naar de Republiek Indonesia.(Menuju Republik Indonesia), Semangat Moeda, Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia, Massa Actie, Manifesto PARI, Materialisme-Dialektika-Logika, Asia Bergabung, Politik, Rentjana Ekonomi, Moeslihat, Thesis, Dari Penjara Ke Pendjara, Koehandel di Kaliurang, Surat Kepada Partai Rakyat, Proklamasi 17-81945, Isi dan Pelaksanaannya, Uraian Mendadak, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).

Salah satu bukunya yang sangat terkenal berjudul Madilog. Ditulis di Jakarta, selama 8 bulan mulai dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. karya terbesar dari Tan Malaka ini diniatkannya sebagai upaya untuk merombak sistem berpikir bangsa Indonesia, dari pola berpikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional. Tanpa perombakan cara berpikir, sulit rasanya bangsa Indonesia untuk maju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialistik. MADILOG sebagai konsep berpikir yang memadukan tiga unsurnya yaitu MAterialisme, DIalektika dan LOGika, merupakan kesatuan dan tidak boleh dipisah-pisah.

Madilog inilah konsep revolusi pemikiran yang ditawarkan Tan Malaka kepada bangsanya agar sejarah perbudakan tidak terulang kembali. Madilog adalah sebuah konsep pemikiran dari Barat dimana Tan Malaka mengakui kontribbusi Marx dan Engels dalam perumusan metode berpikirnya yang dinilai rasional, untuk melawan apa apa yang di dalam MADILOG disebutnya sebagai cara berpiir ke-Timuran yang kuno, idealistik dan penuh dengan mistik, yang menyebabkan bangsa Indonesia terjajah dengan demikian lamanya serta membuat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan. Di dalam MADILOG akan ditemukan karya yang disajikan dengan menggunakan banyak terminologi Marxis, namun perjuangan kelas atau antagonisme kelas tidaklah mendapat tekanan berulang-ulang dari Tan Malaka ketimbang kekuatan gagasan sebagai penggerak perubahan sosial.

MADILOG dinyatakan oleh Tan Malaka bukan sebagai pandangan dunia atau filsafat, namun cara berpikir. Meskipun demikian diakui olehnya bahwa hubungan keduanya rapat sekali. Dari cara orang berpikir didapatkan filsafat dan dari filsafatnya dapat diketahui dengan metode apa sampai ke filsafat itu. Dicontohkan olehnya apabila seorang murid yang cerdas bila ia mengetahui satu kunci atau satu undang-undang untuk menyelesaikan satu golongan persoalan, maka dia tidak harus menghapalkan berpuluh-puluh atau beratus-ratus jawaban.

Perjuangan Tan Malaka untuk menuju kemerdekaan 100% ternyata tidak dilajutkan oleh generasi berikutnya mulai dari awal proklamasi hingga saat sekarang. Kekuatan modal asing yang kembali berkuasa yang terus mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam negeri ini ibarat benalu yang terus menghisap pohon yang disinggapinya yang perlahan-lahan mulai layu. Republik Indonesia yang adil dan makmur serta kemerdekaan 100% sesuai dengan cita-cita Tan Malaka harus terus digemakan kepada generasi sekarang. Pastinya kekuatan dan penguasaan negara imperialis di Indonesia harus segera disingkarkan menuju cita-cita tersebut. Kekuatan politik rezim yang berkuasa saat ini harus juga menegaskan kembali perjuangan dari Tan Malaka, walaupun rezim yang berkuasa hari ini adalah antek-antek dari negara imperialis. Tetapi sejarah harus tetap terbuka dan setidaknya nama Tan Malaka harus diakui dan dipahamani oleh bangsa ini, memperkenalkan Tan Malaka kepada generasi sekarang sebagai sosok pejuang revolusioner yang menggelorakan kemerdekaan menuju Indonesia adil dan makmur.***