Oleh: Jakob Siringo-ringo
Permasalahan yang dihadapi bangsa ini sekarang adalah persoalan terkait krisis moral. Hal ini tampak dari realita yang terlihat jelas oleh kita. Sebut saja, seperti, perilaku koruptor, isu pelanggaran HAM, dan sebagainya. Dengan kata lain, musuh utama bangsa saat ini adalah krisis moral yang mewabah—terutama menerpa para cendekia kita, penguasa, dan lain-lain.
Krisis moral yang justru menjadi permasalahan bangsa sepertinya akan terus berulang. Dan, tampaknya belum ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan persona yang terlibat langsung dengan isu pelanggaran HAM kini dipercaya menjadi calon wakil pemimpin (elite).
Dilema Dalam Pendidikan
Sekolah-sekolah kini seperti kehilangan tanggung jawab. Terutama tanggung jawab dalam membangun dan memperbaiki moralitas generasi penerus bangsa, yang nota bene bibit-bibit yang disemaikan—pengganti elite berikutnya, pemilik tanggung jawab bangsa, ke depan.
Generasi penerus bangsa, dalam hal ini anak didik sebagai dikelabui. Lihat saja buktinya pada generasi terdidik menengah pertama hingga menengah atas. Mereka diwajibkan memenuhi nilai yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Katanya untuk meningkatkan pendidikan.
Dalam persoalan ini dapat diketahui pada beberapa waktu lalu. Mereka (para generasi terdidik) mulai dari menengah pertama hingga menengah atas mengikuti ujian akhir (nasional), Ujian Nasional (UN). Ujian yang menjadi standar wajib kelulusan. Ujian yang memaksakan mutu (?) tanpa memperhatikan kualitas sesungguhnya.
Mutu pendidikan memang harus ditingkatkan. Berbagai cara harus pula diupayakan. Memang, indikator bagi peningkatan mutu pendidikan tersebut sangatlah banyak. Oleh Depdiknas sebagai indikator mutu, standar nilai kelulusan peserta ujian telah ditetapkan setinggi-tinggi.
Dari hasil pengamatan, sekolah di daerah-daerah yang terpencil akan kewalahan dalam mencapai angka tersebut. Namun, jangankan di daerah-daerah, di kota besar sekalipun menjerit akan keputusan nilai itu. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang melakukan ujian ulang.
Untuk itu, marilah kita bedah satu demi satu persoalan di atas terkait Ujian Nasional. Pertama, yang dilihat yaitu pada prakteknya. UN yang menjadi motor persoalan sudah dimulai sejak tahun 2003. Diketahui ketika itu pun sudah banyak kalangan yang menilai bahwa Ujian Nasional merupakan kebijakan yang sifatnya akan merugikan dan bukan menjadi jawaban atas permasalahan pendidikan. Jadi, jelas ketika pertama kali pun diajukan sudah diklaim bahwa UN adalah salah satu produk pemerintah yang kurang menggembirakan.
Buktinya kita lihat sampai sekarang. UN bukan saja membuang kesempatan para siswa untuk melanjutkan mimpi-mimpi mulianya, melainkan juga membunuh karakternya. Problematika yang kini dihadapi siswa tersebut seakan menginformasikan akan tutupnya pintu bagi pendidikan. Sarat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, itulah hedonisme oportunis sang pennguasa.
Kedua, membicarakan mutu. Hal ini disetujui oleh ketua DPP Partai Golkar, Burhanuddin Napitupulu, yang terkait dengan semangat sistem pendidikan nasional (sisdiknas), Sindo 8/6 2009. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alasan untuk memaksakan nilai (setinggi-tinggi) adalah karena mutu. Adakah mutu yang diperlihatkan dalam UN?
Ketiga, kecurangan-kecurangan yang terjadi selama UN. Apa penyebab terjadinya kecurangan dalam UN? Sudah dikaji dalam berbagai media, misalnya, bahwa semua itu terjadi karena UN sendiri merupakan produk pemerintah yang kurang menggembirakan. Lagi, dapat kita lihat betapa dosa-kecurangan itu menjadikan moral para siswa tidak baik.
Persoalan lain yang menambah produk pembodohan tersebut adalah disahkannya undang-undang baru pendidikan, UU BHP. Lagi-lagi sifatnya merugikan bahkan cenderung pelarangan kuliah bagi rakyat miskin. Undang-undang yang diturunkan dari UU sisdiknas no.20 tahun 2003 ini menegaskan bahwa setiap kampus (khususnya negeri) diswastanisasikan.
UU BHP di sini melegalkan kampus menjadi menuju perusahaan. Kalau sudah menjadi berbentuk perusahaan, dengan sendirinya pendidikan bukan lagi sebuah proses pembelajaran, melainkan penghajaran. Sesuai dengan keinginan perusahaan, kampus-kampus akan mencetak orang-orang yang hanya memenuhi kewajiban, dan otomatis kemerdekaannya akan ditentukan oleh kampus sendiri.
Dan, betul sedikit banyak maksud tujuan dari BHP itu sendiri sudah mulai diterapkan pada persyaratan masuk atau pada penerimaan calon mahasiswa baru. Kampus yang sudah berstatus BHP pun segera berlomba-lomba membuka jalur masuk mandiri. Seperti kita ketahui bahwa penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri tidak dapat dijangkau masyarakat miskin.
Selain itu, dampak lain yang merugikan bagi masyarakat miskin adalah semakin mengecilnya kesempatan untuk mendapatkan satu tempat berpijak dalam kuliah. Dalam hal ini, yang lebih layak menuntut ilmu adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Yang miskin tetap miskin, yang tak bermoral semakin tak bermoral.
Perbedaan antara penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri dengan ujian masuk perguruan tinggi biasanya dapat diperhatikan melalui harga yang ditawarkan. Contoh formulir pendaftaran untuk jalur masuk mandiri berkisar antara Rp 175.000-Rp 800.000 untuk setiap jalur seleksi. Sementara untuk ujian masuk biasanya, fomulir pendaftaran adalah Rp 200.000 (untuk IPA dan IPS) dan Rp 225.000 (untuk IPC).
UU BHP telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat di satu sisi. Sementara itu, di sisi yang lain amat bertentangan dengan konstitusi; juga mengingkari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Lalu jelaslah maksud dari BHP itu sendiri adalah mengutamakan materi, di samping membangun kualitas.
Sekali lagi, disahkannya UU BHP ini semakin menambah deretan panjang problema pendidikan kita. Tetapi, dengan semakin panjang dan lebarnya problema pendidikan kita, tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan kita. Di sinilah dilema yang kita hadapi. Dengan kata lain, dilema dalam pendidikan menandakan kualitas pendidikan itu sendiri (pendidikan: dekadensi).
Mendatangkan Nilai Kepemimpinan
Kita membutuhkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, hanya dengan pendidikan yang berkualitaslah kita dapat menumbuhkembangkan moral para anak didik sekaligus menngangkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Semai-semai yang sudah dibekali akal sehat, logika, moral baik, hingga SDM yang berkualitas, bertitik tolak mendatangkan nilai kepemimpinan. Seseorang yang memilliki nilai-nilai kepemimpinan, padanya nasib bangsa dipertaruhkan.
Bangsa yang layak maju tentu punya pemimpin yang berkuallitas. Dan, pemimpin yang bercita-cita untuk bangsanya selain punya visi-misi yang akurat, dalam kebijakannya juga tepat, merakyat.
Dari semua itu, pemerintah yang bercorak penguasa dan rakyat yang bercorak terkuasa sama-sama menjadi wadah dari nilai-nilai kepemimpinan. Dalam pada itu kepemimpinan yang dimaksud tetap yang berada dalam berkeadilan, merata, dan menyejahterakan rakyat. Terutama kurang mampu.
Satu kebijakan yang punya akuntabilitas mendatangkan pemimpin adalah pembangunan pendidikan. Lewat pendidikan, masyarakat terajar untuk berpikir maju, kritis. Dan, sifat pendidikan yang dimaksud tidak lain dari berkualitas. Sifat demikian diketahui pula menjadi ciri khas suatu bangsa yang maju.
Menurut hemat saya, mendatangkan mutu sesungguhnya dalam pendidikan berarti mendatangkan pula nilai pendidikan bermoral. Untuk itu, pendidikan bukan lagi cerita seperti zaman penjajahan susah diraih, atau malah menjadi beban. Karena hal ini tercantum dalam UUD 1945. Jadi, dengan pendidikan berkualitas, maka moral bangsa secara umum, pemuda secara khusus terbentuk menggembirakan. Sehingga melahirkan pemimpin bermoral, punya potensi sesungguhnya, dan berkeadilan, merakyat. Lagi terpercaya.***
Menjadi wadah pembentuk kesadaran kritis individu dan kolektif dalam menyikapi persoalan bangsa menuju transformasi bangsa.
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Senin, 22 Juni 2009
Rabu, 27 Agustus 2008
Pendidikan dan Kemerdekaan
Oleh: Jhon Rivel
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, merupakan hasil perjuangan selama ratusan tahun menghadapi penjajah asing (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang). Perjuangan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi dikuatkan oleh semangat nasionalisme. Kesadaran nasionalisme ini muncul dari kalangan pelajar/pemuda terdidik yang melihat kesengsaraan rakyatnya akibat eksploitasi penjajah. Sehingga perasaan senasib dan sepenanggungan mengakar di dalam tubuh pemuda yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 1928. Artinya, pendidikanlah yang menjadi ujung tombak menyadarkan rakyat untuk membebaskan negerinya dari segala bentuk penindasan sehingga tercapailah Indonesia Merdeka.
Sudah 63 tahun negeri ini mengarungi samudera kemerdekaan, dan selama itu juga telah banyak perubahan yang terjadi baik dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, di negara yang berdaulat ini. Namun banyak perubahan yang justru bertolak belakang dari cita-cita para pendiri bangsa. Patut dipertanyakan, mengapa di negeri yang sudah merdeka ini masih banyak rakyat miskin, pengangguran, anak yang tidak sekolah? Sementara kekayaan alam kita dikuasai oleh pihak asing, korupsi merajalela, hukum diputarbalikkan, pertarungan politik yang tidak sehat, dan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Apakah ini yang dinamakan merdeka? Tentu tidak, karena ini merupakan gambaran penjajahan sebelumnya. Tidak jauh berbeda kondisi sekarang dibandingkan dengan masa penjajahan Kolonial Belanda. Justru kondisi sekarang lebih buruk dari pada sebelumnya.
Dalam memaknai kemerdekaan ini, tidak cukup dengan perayaan upacara bendera, perlombaan-perlombaan, hiburan, dan kegiatan lain yang hanya menghamburkan uang dan waktu. Tetapi harus melihat kembali kondisi pendidikan kita sebagai ujung tombak perubahan. Karena inilah salah satu cita-cita kemerdekaan yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, permasalahan yang terjadi di Indonesia merupakan buah dari sistem pendidikan kita.
Permasalahan pendidikan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM kita dan semakain mahalnya biaya pendidikan. Hal ini juga disebabkan oleh anggaran pendidikan yang minim (tidak terealisasinya sebesar 20% dari APBN), ketidakadilan/kesenjangan pendidikan, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Bagaimana mungkin orang miskin bisa mengecap pendidikan yang mahal, sementara dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari sudah kewalahan. Artinya, generasi orang miskin sulit untuk bangkit dari kubang kemiskinan karena keterbatasan akses dan pada akhirnya mengikuti jejak orangtuanya yang miskin. Terkadang, mereka terpaksa mengakui bahwa Indonesia telah merdeka, padahal di dalam hatinya berkata lain.
Jika kita bercermin pada negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia ke-2, mereka terlebih dahulu membenahi sistem pendidikannya sebagai fondasi membangun bangsanya. Hasilnya tidak diragukan lagi, Jepang merupakan salah satu negara yang maju yang cukup diperhitungkan dunia internasional. Jadi, dalam merefleksikan hari kemerdekaan, sudah seharusnya melihat kembali pendidikan kita. Karena pendidikanlah yang menjadi ujung tombak mencapi Indonesia merdeka dan dalam mengisi kemerdekaan.***
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, merupakan hasil perjuangan selama ratusan tahun menghadapi penjajah asing (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang). Perjuangan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi dikuatkan oleh semangat nasionalisme. Kesadaran nasionalisme ini muncul dari kalangan pelajar/pemuda terdidik yang melihat kesengsaraan rakyatnya akibat eksploitasi penjajah. Sehingga perasaan senasib dan sepenanggungan mengakar di dalam tubuh pemuda yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 1928. Artinya, pendidikanlah yang menjadi ujung tombak menyadarkan rakyat untuk membebaskan negerinya dari segala bentuk penindasan sehingga tercapailah Indonesia Merdeka.
Sudah 63 tahun negeri ini mengarungi samudera kemerdekaan, dan selama itu juga telah banyak perubahan yang terjadi baik dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, di negara yang berdaulat ini. Namun banyak perubahan yang justru bertolak belakang dari cita-cita para pendiri bangsa. Patut dipertanyakan, mengapa di negeri yang sudah merdeka ini masih banyak rakyat miskin, pengangguran, anak yang tidak sekolah? Sementara kekayaan alam kita dikuasai oleh pihak asing, korupsi merajalela, hukum diputarbalikkan, pertarungan politik yang tidak sehat, dan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Apakah ini yang dinamakan merdeka? Tentu tidak, karena ini merupakan gambaran penjajahan sebelumnya. Tidak jauh berbeda kondisi sekarang dibandingkan dengan masa penjajahan Kolonial Belanda. Justru kondisi sekarang lebih buruk dari pada sebelumnya.
Dalam memaknai kemerdekaan ini, tidak cukup dengan perayaan upacara bendera, perlombaan-perlombaan, hiburan, dan kegiatan lain yang hanya menghamburkan uang dan waktu. Tetapi harus melihat kembali kondisi pendidikan kita sebagai ujung tombak perubahan. Karena inilah salah satu cita-cita kemerdekaan yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, permasalahan yang terjadi di Indonesia merupakan buah dari sistem pendidikan kita.
Permasalahan pendidikan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM kita dan semakain mahalnya biaya pendidikan. Hal ini juga disebabkan oleh anggaran pendidikan yang minim (tidak terealisasinya sebesar 20% dari APBN), ketidakadilan/kesenjangan pendidikan, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Bagaimana mungkin orang miskin bisa mengecap pendidikan yang mahal, sementara dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari sudah kewalahan. Artinya, generasi orang miskin sulit untuk bangkit dari kubang kemiskinan karena keterbatasan akses dan pada akhirnya mengikuti jejak orangtuanya yang miskin. Terkadang, mereka terpaksa mengakui bahwa Indonesia telah merdeka, padahal di dalam hatinya berkata lain.
Jika kita bercermin pada negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia ke-2, mereka terlebih dahulu membenahi sistem pendidikannya sebagai fondasi membangun bangsanya. Hasilnya tidak diragukan lagi, Jepang merupakan salah satu negara yang maju yang cukup diperhitungkan dunia internasional. Jadi, dalam merefleksikan hari kemerdekaan, sudah seharusnya melihat kembali pendidikan kita. Karena pendidikanlah yang menjadi ujung tombak mencapi Indonesia merdeka dan dalam mengisi kemerdekaan.***
Langganan:
Postingan (Atom)