Tampilkan postingan dengan label Buruh Tani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buruh Tani. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Maret 2012

Hentikan KRIMINALISASI dan INTIMIDASI terhadap Petani serta KEMBALIKAN TANAH RAKYAT di SUMUT

Oleh:
HMI kom's FISIP USU, SMI, FMN, dan KDAS yang tergabung dalam aliansi Front Mahasiswa Sumatera Utara (FROM-SU)
28 Februari 2012

Kedaulatan merupakan hak semua rakyat Indonesia..!!
Mungkin saja, kekuasaan dapat merubah arah sejarah sesuai dengan kepentingan penguasanya, tetapi tidak dapat merubah esensi sejarah itu sendiri. Arah sejarah dapat dibelokkan, dirubah secara sistematis (baca: licik) dengan cara membungkam kebenaran, dengan cara mengabaikan fakta-fakta.

Agaknya, inilah yang terjadi di Kecamatan Pulau Raja, Asahan. Kekuasaan tengah memproses dan menempatkan hukum dan serangkaian aturan yang lebih memihak kepentingan penguasa (pemodal), dibandingkan dengan kebenaran sejati. Kasus pembunuhan terhadap Poridin Sipakkar (preman) yang tidak pernah dilakukan petani, malah diproses secara cepat dan memenjarakan 3 orang petani yang tidak bersalah.

Kasus ini terjadi pada hari Jumat (20/1), yang sampai siang hari kondisi Poridin masih sehat. Sebelum dibunuh, justru Poridin yang melakukan penganiayaan terhadap salah seorang petani pada pagi hari bersama kedua temannya. Karena dianggap keberadaan Poridin yang telah mengganggu dan menganiaya petani, korban pun dijemput oleh Polsek ke tempat kejadian agar menghindari sesuatu yang tidak diinginkan berdasarkan informasi dari petani yang berada di tempat. Pada saat mau dibawa ke Polsek Pulo Raja dengan disaksikan beratus warga (petani), korban dalam keadaan sehat, namun beberapa waktu kemudian warga mendapatkan informasi kalau Poridin telah meninggal.

Malang, petani malah dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Tidak sampai disitu saja, beberapa orang yang mengaku warga sekitar dan mahasiswa melakukan demonstrasi (aksi bayaran) turut memfitnah petani yang tidak bersalah. Kasus ini berawal dari permasalahan tanah petani yang dirampas oleh oknum-oknum (pengusaha) yang diindikasikan bekerjasama dengan pemerintah daerah serta pihak aparat hukum sekitar.

Permasalahan tanah (agraria) tidak hanya terjadi di daerah tersebut, namun masih banyak lagi daerah-daerah yang telah dieksploitasi oleh pihak penguasa (pemodal) yang telah "membeli" hukum di negara ini dan Sumut secara khusus guna melancarkan perbuatan busuknya.

Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Aliansi Front Mahasiswa Sumatera Utara (FROM-SU) melakukan aksi solidaritas menuntut:

1. Mengecam tindak intimidasi, kriminalisasi dan bebaskan 3 petani anggota SPI (Serikat Petani Indonesia) di Kec, Pulau Raja, Asahan.
2. Tangkap dan adili mafia perkebunan di Pulau Raja.
3. Kembalikan tanah rakyat di Pulau Raja.
4. Hentikan premanisme terhadap petani.
5. Hentikan perampasan tanah petani oleh PTPN II dipersil IV Deli Serdang
6. Stop galian C yang beroperasi di lahan garapan Kelompok Tani 7179 di Marendal

Kamis, 09 Februari 2012

Berkobarnya (Rakyat) Bima

Oleh : Andri E. Tarigan

    Gaung Bima kembali menggema. Setelah Desember lalu kabar dari Bima, NTT, tentang aksi rakyat yang berujung penembakan oleh aparat telah menggemparkan Nusantara, kini rakyat Bima beraksi kembali. Tidak tanggung-tanggung, dalam aksi kali ini rakyat membakar kantor bupati dan kantor KPUD. Mengapa rakyat bisa sedemikian marah?
    Rakyat telah memilih anarkisme, sesuatu yang ilegal, membahayakan keselamatan. Tentu ada tekanan-tekanan yang membuat rakyat sedemikian nekad melakukan hal tersebut. Penyebab mula-mula adalah konflik tanah, konflik yang memang akhir-akhir ini banyak memicu amarah rakyat di berbagai daerah di Indonesia.
    Demi penyelesaian konflik tanah di wilayah Bima ini, rakyat sudah turun melakukan demonstrasi semenjak April 2011 lalu, dilakukan secara baik-baik. Aksi berlanjut terus sampai akhirnya di Desember 2011, rakyat Bima harus menelan pahit karena terjadi insiden penembakan oleh aparat yang menewaskan pendemo. Yang dituntut oleh para pendemo adalah agar pemerintah segera mencabut izin penambangan PT Sumber Mineral Nusantara di tanah Bima yang disinyalir merusak lingkungan dan mengganggu mata pencaharian rakyat setempat.
    Demonstrasi yang berkepanjangan ini sudah diketahui oleh pemerintah pusat, bahkan Komnas HAM juga sudah menyurati pemerintah daerah agar tuntutan rakyat dikabulkan. Tapi entah kenapa Pemda setempat lambat menanggapinya. Baik desakan rakyat maupun saran pemerintah pusat tidak kunjung dikabulkan, sehingga, rakyat pun memilih langkah alternatifnya.
    Sebuah langkah alternatif yang ekstrim. 26 Januari 2011, rakyat Bima berkumpul dan berunjuk rasa demi penuntasan kasus kerusuhan di Pelabuhan Sape pada Desember lalu dan pencabutan izin tambang PT SMN. Berharap bisa berdialog dengan bupati setempat, rakyat ternyata tidak “diladeni”, bupati tidak ada di kantor. Sontak, amarah meluap. Tujuh ribuan massa pendemo mengepung kantor bupati dan melakukan pembakaran terhadap gedung. Polisi yang hanya berjumlah puluhan tidak sanggup mengamankan.
Berpihak Pada Rakyat
    Yang dibutuhkan oleh rakyat di daerah manapun, adalah adanya pemerintah yang tegas, yang berpihak pada rakyat. Demikian pula rakyat Bima. Tentu rakyat yang mayoritas bergantung pada hasil alam baik sebagai petani maupun pencari ikan laut yang selayaknya lebih diutamakan. Dan miris, pemerintah daerah Bima seperti lebih memihak pada para elit terutama para pemodal, atau lebih tepatnya pemilik PT SMN. Izin yang dikeluarkan atas aksi eksplorasi pertambangan PT SMN tak kunjung dicabut sekalipun rakyat sudah berlelah-lelah menyampaikan keluhan mereka.
    Jika kini rakyat sampai melakukan aksi anarkistis, maka kesalahan mereka hanya bisa dinilai masih sebatas melanggar hukum. Amarah mereka manusiawi, mengapa pemerintah terlalu lambat? Turunnya ribuan massa, jumlah yang tidak sedikit, jelas merupakan indikator nyata bahwa beroperasinya pertambangan tersebut merupakan sebuah masalah yang besar dan serius.
    Lebih lanjut, keseriusan masalah pertambangan ini sudah direspon DPRD kabupaten Bima. Rapat paripurna DPRD membahas masalah tersebut dan memutuskan untuk meminta bupati mencabut izin pertambangan. Tetapi, Bupati Bima yakni Ferry Zulkarnain, tak kunjung memberi respon langsung (tempo.co, 26 Januari 2012).
Bupati tak di kantor, kantor bupati dibakar. Sebuah konsekuensi yang sebenarnya turut mencoreng nama pemerintah Indonesia secara keseluruhan. Bukan kisah baru lagi di negeri kita bahwa acapkali demonstrasi rakyat dilakukan di kantor-kantor pemerintahan tetapi pemerintahnya sendiri tidak di kantor, tidak menanggapi aspirasi para pendemo. Rakyat Bima memperbaharui kisah tersebut. Kali ini, ada amarah yang meluap. Ada kantor yang terbakar!
Sejalan
Pemerintah Indonesia secara keseluruhan kini harus lebih matang dalam hal manajemen konflik. Rakyat Indonesia sudah semakin emosional. Pemerintah layak untuk lebih sering mengambil jalan tengah, mengedepankan stabilitas, menerapkan kebijakan dengan lebih bijak.
Jika Presiden SBY mau turun tangan untuk perdamaian di dunia internasional, maka para “bawahan” Presiden tentu harus turut bijak pula mengedepankan perdamaian. Pemerintah juga perlu lebih giat menambah nilai diri, bertransformasi. Bagaimana memunculkan kecintaan rakyat kepada negara dan perangkat-perangkatnya. Memang sulit, karena banyak rakyat terlanjur apatis akibat tindak korupsi yang marak terjadi di tubuh pemerintahan. Tapi rakyat gerah butuh penyegaran. Dan jawaban atas itu adalah transformasi, kalau bukan revolusi.
Penulis yakin, pemerintah Indonesia bukan pemerintah yang malas, bukan pemerintah yang hanya bisa bertindak selaku “pemadam kebakaran”, yang membiarkan saja rakyat terbakar dalam amarah sehingga terjadi kerusuhan-kerusuhan lalu memadamkannya dengan kebijakan-kebijakan yang represif, terjadi kekerasan. Indonesia adalah negeri yang berbudaya, harusnya pemerintah bisa “mencuri” hati rakyat dengan mengusung nilai-nilai budaya itu, pemerintah bisa sejalan dengan rakyat.
    Perihal Bima, api ada karena ada pergesekan. Kobaran amarah yang menggerakkan rakyat Bima menunjukkan bahwa pemerintah setempat belum mampu untuk sejalan dengan rakyat. Sementara, peran pemerintah adalah pengayom. Saat rakyat bergerak sampai melanggar batas, perlu dipertanyakan, sudah sejauh mana peran aktif pemerintah sebagai pengayom.***