Tampilkan postingan dengan label Nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasional. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Maret 2013

RESUME HASIL DISKUSI “BEDAH FILM “THE ACT OF KILLING/JAGAL””



RESUME HASIL DISKUSI “BEDAH FILM “THE ACT OF KILLING/JAGAL””

Pemateri :        BAKUMSU (Tongam Panggabean)
Tanggal  :        22 Februari 2013

            The Act of Killing merupakan suatu film dokumenter oleh organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Pemuda Pancasiladan pertama kali diputar di Taronto. Dalam pembuatan film dokumenter ini, yang mendominasi peran adalah pemimpin tertinggi Pemuda Pancasila di Medan, Anwar Congo.  Film dokumenter ini menampilkan bagaimana organisasi Pemuda Pancasila melakukan pembantaian besar-besaran terhadap kaum yang dianggap komunis atau tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
            Anwar Congo sendiri selaku aktor terpenting dalam pembantaian kaum komunis mengakui telah membunuh hingga ribuan manusia dengan alasan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Pemerintah menganggap mereka sebagai alat yang penting untuk menjaga keutuhan negara. Dalam film dokumenter ini juga Anwar Congo dan anggotanya (tentunya Pemuda Pancasila) memperagakan cara-cara yang dilakukan mereka untuk membantai kaum komunis dan sebagaian besar cara-cara tersebut meniru sejenis film pembunuhan dari Barat. Sangat kejam dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
            Film dokumenter ini juga dibuat untuk memberikan kebenaran sejarah yang bertolak belakang dengan upaya pemerintah (Orde Baru) yang sering mengeluarkan film-film yang memojokkan Partai Komunis Indinesia seperti G30SPKI dan mewajibkan semua umur untuk menontonnya dengan tujuan agar seluruh lapisan masyarakat memandang negatif terhadap Partai Komunis Indonesia. Namun sebagai kaum intelektual, kita berhak memiliki interpretasi masing-masing dan kita juga harus bersikap kritis menanggapi film ini. Jangan terjebak antara siapa yang benar (PKI atau PP). Tetapi yang perlu disoroti dalam film dokumenter ini adalah peran negara yang tidak melindungi HAM warga negaranya.
            Negara (TNI) memakai kelompok masyarakat  (Pemuda Pancasila) untuk melakukan pelanggaran HAM. Sehingga laporan yang dilontarkan Komnas HAM kepada negara sejak tahun 1965 tidak membuahkan hasil karena pemerintah sendiri dicurigai sebagai dalangnya. Hingga saat ini, pemerintah tetap mengeksistensikan dirinya sebagai wakil dan pelindung rakyat. Namun kenyataannya, pemerintah hanya pelindung bagi dirinya sendiri dengan memelihara “preman” untuk mempertahankan kekuasaannya. Bahkan pemerintah juga bekerja sama dengan pengusaha dengan memanfaatkan “preman” tersebut untuk kepentingan dan ketamakan mereka seperti merebut tanah warga.

Minggu, 28 Oktober 2012

Bahasa Indonesia dan Nasionalisme Pemuda

Oleh : Jhon Rivel Purba.
 
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di atas merupakan pernyataan sikap bersama sebagai bentuk komitmen pemuda-pemudi Indonesia yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang yang berbeda, untuk membangun semangat persatuan demi Indonesia Merdeka. Mereka sangat menyadari bahwa motor persatuanlah yang bisa mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.

Menurut Moehammad Yamin, ada lima faktor yang bisa memperkuat semangat persatuan, yaitu: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Seirama dengan itu, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau tidak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya". Dalam tulisan ini penulis fokus menguraikan tentang penggunaan bahasa Indonesia di masa kini dan kaitannya dengan nasionalisme pemuda.

Memudarnya Nasionalisme Pemuda

Akhir-akhir ini, salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah memudarnya semangat nasionalisme khususnya dalam diri generasi muda. Rasa bangga terhadap sejarah dan budaya bangsa khususnya bahasa Indonesia, yang merupakan salah satu prinsip nasionalisme, kini sudah redup. Generasi muda tampaknya tidak lagi memaknai arti penting bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan, kemerdekaan, persatuan, persaudaraan, dan pembangunan.

Banyak faktor yang menyebabkan memudarnya semangat nasionalisme generasi muda dalam berbahasa Indonesia. Pertama, kurangnya penanaman nilai-nilai penting penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kedua, pengaruh media di tengah-tengah arus globalisasi. Ketiga, minimnya keteladanan dari pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat.

Meskipun seorang pemuda sudah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia di dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal dari sekolah dasar hingga perguguran tinggi, tetapi seseorang itu belum tentu memiliki rasa bangga berbahasa Indonesia. Berarti ada sesuatu yang kurang, yakni proses pendidikan bahasa Indonesia itu tidak didasari oleh nilai-nilai kebangsaan. Sehingga meskipun seseorang bisa fasih berbahasa Indonesia, tetapi tidak menyadari arti pentingnya bahasa itu bagi dirinya maupun bagi bangsanya.

Bagi generasi 1928 maupun 1945, bahasa Indonesia adalah bahasa perjuangan dan persatuan untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi bukti bahwa pemuda menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bagaimana dengan generasi sekarang? Generasi muda sekarang pada umumnya tidak menjiwai dan memaknai bahasa nasional tersebut sebagai bahasa perjuangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Justru ada kecenderungan generasi muda merasa rendah diri menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa asing. Orang yang berbahasa Inggris dianggap lebih hebat dan pintar dari pada berbahasa Indonesia. Dalam berkomunikasi, tidak sedikit generasi muda yang mencampur bahasa nasional dengan bahasa Inggris. Barangkali mereka ingin kelihatan hebat.

Bahkan anehnya, dalam berbagai acara atau kegiatan, kata-kata bahasa Inggris selalu menghiasi tema dan susunan acara tersebut. Padahal acaranya berlangsung di Indonesia dan semua pesertanya juga orang Indonesia. Ada pun alasan yang mereka lontarkan adalah supaya acara tersebut kelihatan hebat dan orang-orang tertarik untuk mengikutinya. Sungguh aneh.

Di ruang publik pun demikian. Tulisan-tulisan berbahasa asing menghiasi ruang publik, misalnya di jalan raya, terminal, bandara, pasar, dan sebagainya. Sialnya, banyak kata-kata yang mengungkapkan petunjuk, keterangan, maupun rambu-rambu, hanya menuliskannya dalam bahasa Inggris. Artinya bahasa Indonesia tidak lagi menjadi "tuan" di negerinya sendiri.

Media (cetak maupun elektronik) juga ikut "ngingris" ria dalam setiap pemberitaan dan siarannya. Tentu ini tidak terlepas dari kepentingan si pemilik media untuk menarik perhatian pembaca, pendengar, dan penonton untuk menjadi konsumen media tersebut. Fungsi media yang seharusnya mendidik masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, ternyata dikubur kepentingan bisnis. Pada akhirnya, masyarakat ikut terbawa arus.

Selain itu, minimnya keteladanan pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia, turut memperburuk nasionalisme berbahasa di kalangan kaum muda. Kesalahan berbahasa Indonesia yang dipertontonkan oleh pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat ini seringkali kita saksikan dalam berbagai pidato, seminar, kampanye, sidang, khotbah, ceramah, dan diskusi publik.

Solusi

Semangat kebangsaan dalam berbahasa Indonesia harus dibangkitkan kembali. Dengan harapan, supaya semua warga negara Indonesia hendaknya menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bersama, bahasa kebanggaan, bahasa persatuan, bahasa persaudaraan, bahasa perdamaian, bahasa perjuangan, dan bahasa pembangunan. Memang, untuk mencapai harapan ini bukanlah tugas yang mudah, melainkan tugas yang harus terus dikerjakan selama Indonesia masih ada.

Oleh sebab itu, harus ada komitmen bersama untuk mencapai tujuan bersama dengan langkah bersama. Pertama, penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa Indonesia diterapkan dengan berkesadaran sejarah. Di sini perlu ditekankan arti penting bahasa Indonesia bagi tiap-tiap individu maupun bagi bangsa. Ada pun tempat paling strategis dalam proses penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa ini adalah dalam lembaga pendidikan formal.

Kedua, dibutuhkan media yang konsisten dalam menyajikan menu bahasa Indonesia yang sehat. Surat kabar, radio, televisi, dan media lainnya kiranya melaksanakan fungsinya untuk mendidik masyarakat dan sebagai alat untuk mengawal penggunaan bahasa Indonesia. Perlu ditekankan, penggunaan bahasa asing bukanlah hal yang salah asal pada saat dan tempat yang tepat.

Ketiga, semua elemen masyarakat mulai dari pemimpin, pejabat publik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, mahasiswa, hendaknya memiliki kesadaran yang sama dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kesadaran yang sama akan melahirkan gerakan penyadaran bersama dalam membumikan bahasa Indonesia. Gerakan penyadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan bahasa, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, serta menggunakan sarana media komunikasi dan informasi.

Keempat, perlu didorong dan dibuka ruang bagi masyarakat khususnya pemuda untuk menghasilkan karya yang mendukung pengembangan bahasa Indonesia. Karya itu hendaknya digali dari bumi nusantara dengan tetap menjaga kearifan lokalnya. Dengan demikian rasa cinta terhadap bahasa Indonesia akan tercipta melalui pengenalan sejarah bahasa Indonesia dan melalui karya konkret pengembangan bahasa Indonesia. ***

Sumpah Pemuda di Langit Konflik

Oleh: Andri E. Tarigan

Setiap 28 Oktober, warga negara Indonesia dapat menyaksikan dikumandangkannya sebuah ikrar yang sangat mulia. Ikrar yang menjadi pondasi awal perjuangan kolektif para pendahulu kita untuk memperjuangkan terbentuknya negara merdeka. Jadilah Republik Indonesia, sebuah mahakarya yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Persatuan adalah gagasan yang dikumandangkan sebagai syarat utama pencapaian kemerdekaan, yang disampaikan dalam Sumpah Pemuda. Selain persatuan, ada juga gagasan yang tak kalah penting yakni rasa memiliki. Rasa memiliki tanah air, memiliki bangsa, memiliki bahasa. Hal-hal yang sengaja diabaikan oleh pemerintah status quo pada masa itu, yaitu pemerintahan Hindia Belanda.

Semenjak Sumpah Pemuda diikrarkan, ambisi untuk merebut kepemilikan aset produksi dan kekuasaan administratif bertumbuh subur. Gerakan demi gerakan berkembang. Pemuda, para mahasiswa intelektual, petani dan buruh, dan berbagai elemen lainnya mulai terjun ke ranah politik. Upaya merebut hak bermunculan ke permukaan.

Indonesia adalah milik Indonesia, bukan milik Belanda, atau imperialis lainnya. Seperti itu spiritnya, mengingat bangsa Indonesia kala itu jauh dari sejahtera. Bukan karena tak produktif, rakyat bekerja keras seharian. Hanya saja ada sistem penghisapan yang dikondisikan pemerintah kolonial. Sehingga untuk melawan itu, rasa persatuan dan rasa memiliki dikumandangkan.

Langit Konflik
Memandang Indonesia saat ini, Sumpah Pemuda seakan sudah tergadaikan. Kalimat-kalimatnya seperti hanya formalitas penghias di setiap upacara kenegaraan. Di luar upacara, para siswa tawuran. Premanisme ala organisasi masyarakat (ormas) merebak. Konflik tanah terjadi di berbagai wilayah. Masyarakat adat terancam. Saham BUMN tergadaikan ke tangan pemodal asing. Pejabat korup. Dimana persatuannya?

Masih panas terasa peristiwa pembakaran kantor bupati oleh rakyat, yang terjadi di Bima. Rakyat menunjukkan amarah yang tentu tak mungkin muncul begitu saja. Ada tekanan sosial-ekonomi, yang membuat rakyat sebegitu militannya. Sehingga rakyat melakukan tekanan balik, bottom-up pressure.

Di Jakarta, anak SMA dengan bangganya melakukan baku hantam. Menyampaikan hasrat menjadi hebat dengan aksi kekerasan. Tawuran ditradisikan. Diekspos pula setiap harinya di televisi. Bukan tak mungkin, baku hantam ini menjadi "inspirasi" bagi siswa SMA lainnya untuk melakukan hal serupa di daerah.

Masyarakat adat, terancam eksistensinya, tanah leluhur yang tergolong dalam hak ulayat kerap dieksploitasi oleh para pemilik modal dengan perusahaannya. Bentuk eksploitasi bisa berupa pengkerukan tanah demi pertambangan, atau berupa konversi tanaman rakyat menjadi perkebunan swasta. Eksploitasi ini menegaskan banyak hal, seperti dirampasnya perolehan kesejahteraan, dan dicederainya eksistensi adat masyarakat. Tak pelak, berujung konflik dan pembantaian.

Bagaimana hendak bertanah-air satu, sedangkan tempat tinggal dan tempat mencari makan dirampas? Untuk hidup saja susah. Belum lagi di perkotaan, Kaum Miskin Kota (KMK) kian menjadi korban penggusuran, rumah warga dirubuhkan dan digunakan untuk pembangunan real estate, proyek para pemilik modal. Pedagang kaki lima yang mendera kemiskinan, juga turut merasakan penggusuran.

Rakyat miskin jumlahnya mayoritas di negeri ini. Tak heran kalau rakyat miskin banyak menuntut, karena memang kekayaan alam di negara ini tak mampu dinikmati bersama secara merata. Ada saja sekelompok kecil orang yang memperoleh keuntungan masif. Dan tak heran kalau rakyat memilih jalan kisruh, karena hukum tak kunjung memunculkan jawaban atas kemiskinan. Entah karena hukumnya kurang sempurna, atau karena instansinya yang korup.

Muara dari kesenjangan sosial dan tradisi kekerasan/premanisme adalah konflik tak berujung. Belum lagi, pemilik modal yang bermain di kesenjangan sosial tersebut ternyata sebagian besar adalah orang asing. Semakin besarlah letupan konflik, entah dimana nasionalisme. Indonesia bak langit konflik, penuh perpecahan yang memuncak.

Dari tanah Batak sampai Papua masyarakat adat menjerit, melawan demi terlindungnya tanah ulayat. Di sisi lain, pemodal asing mengeksploitasi tanah Indonesia melalui berbagai perusahaan besar, dan tak jarang memantik pertikaian. Dimana wujud perjuangan kolektif melawan imperialisme asing demi kesejahteraan bersama dan lestarinya bangsa, yang seharusnya ada berkat Sumpah Pemuda?

Di upacara-upacara, Sumpah Pemuda dikumandangkan dengan indahnya. Barisan pejabat atau para siswa, tegas mengucapkan kata per kata warisan pemuda-pejuang dari awal abad keduapuluh itu. Bukan tak mengerti maknanya, bukan tak paham bahwa Sumpah Pemuda mengisyaratkan persatuan dan kepemilikan bersama. Sumpah tersebut berkumandang di langit konflik Indonesia. Takutnya, dampak Sumpah Pemuda hanya pemuasan pikiran semata. ***

Sabtu, 07 Januari 2012

Mencoba Menjadi Indonesia, Mulai 2012

Oleh: Jakob Siringo-ringo


Tulisan ini terinspirasi dari sebuah judul buku sejarah Negara Sumatera Timur dengan peristiwa penting masa itu (Maret 1946) adalah revolusi sosial. Kala itu sejarahnya bergelimang dengan keadaan yang diperhadapkan pada penjajahan dan penjarahan. Di satu sisi kalangan penguasa lokal (Melayu) lebih simpatik pada otonomi dan bahkan melanjutkan status quo, bukan Republik. Hal ini terjadi karena pendekatan yang jauh sekali dari lunak oleh kaum radikal, sehingga mengkhawatirkan kekuasaan yang ada dan mapan. Sementara di sisi lain, tindakan penjajahan, baik penguasa lokal maupun asing (kolonial) dinilai oleh masyarakat berseberangan dengan cita-cita kemerdekaan. Sejarahnya adalah konflik pertanahan.

Masa Sekarang
Perjuangan berat kini sesungguhnya dihadapi oleh bangsa ini. Penjajahan asing terutama lokal (kebalikan zaman kolonial), sangat mengerikan. Tingkat kepedulian sosial yang begitu minus di antara sesama melengkapi kian menderitanya rakyat lemah bangsa ini dari kehidupan bernegara. Kemunafikan menjalankan roda pemerintahan makin berkobar. Di mana-mana bersalahan dan tidak luput dari kasus korupsi. Keadilan diinjak-injak dengan senangnya. Senandung kemenangan digemakan ke seluruh negeri guna membutakan kesadaran politik rakyat. Segala yang ada dimanipulasi semulus-mulusnya.

Suramnya perilaku politik menjadi titik mematikan bagi perjalanan bangsa ini di atas rel idealisme sesunggguhnya sebagai sebuah negara demokratis. Perjuangan rakyat dari bawah selalu dipadamkan dengan cara paksa. Bukannya dicari jalan keluar secara konkret, malah menyalahkan rakyat sebagai kelompok termarginalkan dan divonis bersalah.

Sepanjang tahun 2011 contoh terdekat dan paling segar diingatan menyajikan sejuta persoalan rakyat yang tidak pernah diselesaikan tuntas dengan memenangkan si rakyat (lemah) dari tuntutannya. Selama itu pula perjuangan rakyat selalu diredam bahkan secara represif dihadapi dengan muatan yang sarat politis-ekonomi. Artinya, kepentingan modal lebih dibela dibandingkan rakyat yang memperjuangkan hak-haknya di tanahnya sendiri.

Perjuangan rakyat Riau melawan tindakan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dengan berunjuk rasa melalui aksi jahit mulut merupakan contoh kepentingan yang tidak bijaksana disikapi oleh pemerintah. Negara hanya bisa berdiam diri. Kasus ini berkembang mengenai penyerobotan tanah-tanah rakyat oleh perusahaan industri kertas itu. Sama seperti di Tapanuli yang melakukan penyerobotan hutan adat oleh PT.Toba Pulp Lestari (TPL) dengan berdasarkan SK Menhut yang sudah dikantongi pihak perusahaan selalu merugikan rakyat. Pemerintah setali tiga uang, bertindak sebagai “kaki” penginjak. Rakyat menolak Hutan Tanaman Industri (HTI).

Masih di Sumatera, kasus pertempuran di Mesuji Lampung lagi-lagi menyangkut tanah rakyat. Korban meninggal dunia adalah puncak dari begitu beringasnya “kaki” penginjak itu. Penajajahan kolonial gambaran sejarah itu terulang di tempat dan dengan cara yang berbeda. Kekejaman ini menusuk sanubari rakyat yang ingin mencari nafkah sesuap nasi, namun harus menjadi korban hadirnya kapitalis lokal yang dimanjakan dan tidak dikontrol sebagaimana tujuan negara yang adil dan makmur. Setidaknya berdasarkan hak asasi manusia, tindakan brutal penguasa dan pengusaha terhadap kasus di Mesuji ini sangat terkutuk. Dan, harus dilawan. Memakan korban nyawa paling pantang terhadap rakyat yang sudah merdeka dari penjajahan. Itu sebabnya pilihan rakyat berjuang membela haknya sekalipun presiden yang jadi musuhnya.

Lalu tragedi Bima semakin memperjelas betapa berurat berakarnya penjajahan di negeri ini. Tidak hanya yang terselubung seperti anggapan selama ini (ekonomi), tetapi masih begitu kental juga penjajahan fisik. Tepat pada 24 Desember 2011 tragedi Bima lagi-lagi menelan korban tembakan peluru aparat tanpa ampun. Seakan membuktikan kalau negara ini adalah negara centeng. Sebelumnya juga sudah terjadi peristiwa yang sama di tanah Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka dan sebetulnya hak bangsa (bukan negara) Indonesia, dari penjajahan asing. Bima bergejolak karena kedatangan tambang emas melalui perusahaan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang jelas-jelas ditolak rakyat secara sadar. Di Papua juga tambang emas oleh Freeport dari AS.

Tragedi Bima jelas menyulut perlawanan rakyat atas tindakan represif itu. Serupa dengan kasus di tempat lain, hanya ekspos di Bima lebih terangkat akibat serangan pihak aparat yang membabi buta hilang kendali itu. Inilah kondisi negara yang bergejolak di sana-sini guna memperoleh kemerdekaannya sendiri-sendiri seakan belum ada pemerintah yang memberi perlindungan. Kenyataan pahitnya adalah secara de jure negeri ini berpemerintahan layaknya sebuah negara, tetapi secara de facto absurd. Kenyataan bahwa rakyat memiliki negara yang absurd atau bayang-bayang terlihat jelas dari serangkaian peristiwa yang berkaitan dengan kasus pertanahan ini.

Bagaimana dengan kasus korupsi dan sebagainya? Setali tiga uang alias sama saja, rakyat tetap tertindas dan dijajah sekian lamanya melalui prosedur pergantian peran di pemerintahan. Sebab semua jenis pemerintahan yang ada selalu mengusung ide-ide brilian, tapi sangat berdasar berlawanan terhadap kebutuhan sehari-hari rakyat. Ide brilian kapitalis berorientasi keuntungan mutlak, semata-mata membangun keuntungan dan mencari kesenangan memperkaya diri dan kelompok, kemudian menyalahgunakan kekuasaan untuk korupsi dan semacamnya.

Mencoba menjadi Indonesia, betapa bijaknya jika telah lebih dulu adil dalam pikiran apalagi perbuatan. Rakyat di negeri ini tengah gerah dengan kondisi dan tingkah laku berjubel anehnya dan sengajanya penjajahan dilanggengkan. Tidak Indonesia merupakan sebuah pilihan yang ditetapkan oleh penguasa negeri dan kini dipraktikkan langsung terhadap rakyat. Masyarakat tidak layak mendapat tempat di negeri berjibun kompleksitas masalah yang selalu menekan rakyat sebagai korban akhir. Kenangan menjadi Indonesia seolah dititipkan melalui penindasan yang berlangsung hampir di seantero pulau atau wilayah territorial negara. Dan tak satu pun persoalan yang menyangkut kepentingan umum tuntas diselesaikan dengan tegas oleh pemerintah. Segala alat negara untuk membantu jalannya roda pemerintahan guna menyejahterakan rakyat kini berubah menjadi musuh bagi rakyat di setiap kenyataan hendak diharapkan rakyat. Penyelesaian pada peristiwa penembakan, pengrusakan, peenggusuran, perampasan tanah, dan sebagainya tidak diciptakan sebagaimana tujuan awal negeri ini terbentuk. Justru kini dikembalikan pada situasi di mana kemarahan rakyat dipancing untuk sesuatu revolusi yang memakan korban lebih banyak dan tidak begitu diinginkan bersama.
Nah, bagaimana mencoba menjadi Indonesia, jika pilihannya terus dihadapkan pada penjajahan dan penghisapan pada rakyat padahal Republik sah sebagai negara demokrasi dan telah hidup pada era modern. Kendati demikian, satu-satunya formula yang jitu dan kerap terjadi dalam perubahan suatu bangsa adalah revolusi.

Pada 2012, rakyat mengharapkan terjadi perubahan: mencintai Indonesia. Rakyat mencoba kembali menjadi Indonesia dengan cara bagaimanapun. Sebuah keniscayaan pun dinantikan. Maka kelakuan bawaan sejak kolonial harus segera direvolusi sebab negara ini bukan cegara centeng, bukan milik pemodal, bukan pula negara tempat pengeksploitasian. Sebab itu kesadaran dalam bernegara dan berbangsa sejatinya sudah tumbuh segera sebelum api revolusi yang menyadarkannya. Formatnya kini sudah mencoba menjadi Indonesia. Oleh karena itu, dari bawah akan terjadi pemaksaan atas segala sesuatu yang tidak dapat menjadikan negara ini lebih adil dan makmur sebagaimana termaktub pada pembukaan UUD 1945. Pemaksaan sebagaimana revolusi adalah didikan bagi penguasa yang tidak menyadari segala perbuatannya telah menindas apalagi objeknya adalah masyarakatnya sendiri. Maka, ketegasan dari negara diperlukan, sebab bukan para pemodaal saja yang berhak hidup atau sejahtera di negeri ini. Paling utama adalah rakyat tanpa kecuali.***

Menyoal Kepedulian Negara (?)

Oleh : Johenro PT Silalahi, A.Md.

Memajukan kesejahteraan umum adalah salah satu cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yang harus segera diwujudan secara konkret, efektif dan efisien. Bertitik tolak dari hal itu, maka Negara harus melahirkan kreatifitas dan inovasi dalam membangun imajinasi optimisme kultural. Selain itu, Negara juga harus mampu mengembangkan potensi yang terkubur selama ini untuk diberdayakan dalam membangun Negara yang lebih sejahtera.
Realita yang terjadi pada saat ini justru mengisyaratkan ekspektasi Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan itu semakin jauh. Tak dapat dipungkiri lagi, negara dituntut oleh banyak kalangan untuk segera merevitalisasi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro kepada rakyat kecil

Welfare State

Marciano Vidal mengungkapkan, karakteristik Negara kesejahteraan ditandai oleh empat hal (Kompas, 7 November 2011). Pertama, komitmen Negara dalam menciptakan peluang lapangan kerja untuk mengakomodasi melimpahnya angkatan kerja aktif-produktif. Kedua, adanya jaminan sosial yang berlaku bagi semua warga Negara yang meliputi seluruh aspek kehidupan teruama kesehatan dan bila terjadi kecelakaan. Ketiga, terselenggaranya pendidikan murah-bermutu bagi rakyat, termasuk jaminan beasiswa bagi mereka yang berprestasi, tetapi berasal dari kalangan ekonomi lemah. Keempat, kebijakan sosial sebagai upaya redistribusi kekayaan.

Dan poin yang terakhir ini, seperti yang disebutkan oleh Aloys Budi Purnomo, sangat syarat dengan lahirnya sebuah solidaritas baru dari yang kuat kepada yang lemah bahkan bukan sekadar untuk menyembuhkan disparitas sosial belaka.

Dalam pasal 28A UUD 1945 amandemen kedua, memaktubkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dan Negara serta para penyelenggara Negara harus dapat bertanggung jawab dalam menyelenggarakan semua pelayanan publik sehingga masyarakat dapat mencapai titik kesejahteraan tanpa pengecualian.

Komitmen Negara dalam menciptakan amanat Pancasila, khususnya kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dinilai belumlah maksimal. Belum adanya penghargaan Negara terhadap keeksistensian warga negaranya. Bahkan, seperti yang telah diberitakan sebelumnya, gaji profesor lebih rendah dari guru SD (Kompas, 25 Oktober 2011). Akibatnya, sejumlah ilmuwan dan para peneliti Indonesia justru bekerja diluar negeri karena tidak mendapat perlakuan yang layak di negeri sendiri.

BPJS dan Eksistensi Negara

Jumat, 28 Oktober 2011, demonstran yang mayoritas dari kaum buruh menuntut RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disahkan. Kurun waktu tujuh tahun perjuangan menuntut adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat bukan tidak beralasan. Bergerak dari amanat para founding father Negara Indonesia, yang termaktub dalam UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Walaupun pada akhirnya UU BPJS diundangkan, rakyat masih harus bersabar menanti implementasinya sampai beberapa tahun ke depan.

Kehadiran Undang-Undang BPJS ini, akan menegaskan keeksistensian Negara dalam memberi jaminan sosial dan pengakuan serta penghargaan Negara terhadap warganya. Artinya, eksistensi Negara akan benar-benar teruji oleh adanya UU BPJS ini. Apalagi UU BPJS yang merupakan peleburan empat BUMN, yaitu Asabari, Askes, Jamsostek, dan Taspen, yang merupakan motor penyelenggaraan jaminan sosial selama ini.

Kendati demikian, ibarat badan yang dilepaskan tetapi kaki yang masih terikat. Pemerintah yang diwakilkan delapan kementerian merasa keberatan dengan melontarkan berbagai alasan. Hal ini dikarenakan keempat BUMN yang menyelenggarakan jaminan sosial yang selama ini merupakan lembaga yang bersifat profit, namun setelah adanya UU BPJS yang ditanggungjawabi oleh Negara harus mengalami transformasi menjadi nirlaba.

Dengan skeptisisme yang telah ditunjukkan pemerintah tersebut, masyarakat dan kaum intelektual yang memberikan hati kepada rakyat, khususnya rakyat rentan, harus dapat mengawal implementasi jaminan sosial ini.

UU BPJS merupakan terobosan baru untuk melindungi segenap bangsa Indonesia yang dapat mengangkat harkat hidup serta menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Proses implementasi awal yang sesungguhnya akan kita rasakan tiga tahun mendatang, 2014. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah skeptisisme yang dimiliki akan menjadi tantangan besar? Walaupun demikian, hal itu harus menjadi kekuatan sebagai evaluasi demi perbaikan implementasi UU BPJS yang sesungguhnya.

Negara harus benar-benar serius, karena hal ini menyangkut kepedulian akan warganya. Jika tidak, kredibilitas Negara akan menjadi pertanyaan besar. Parahnya, akan menumbuhkan krisis kepercayaan warga Negara terhadap Negara. Tetapi harapannya, dengan pengawalan seluruh elemen masyarakat, amanat yang telah tertuang dalam konstitusi Negara harus dapat wujudkan secara konkret. Semoga! ***


Tulisan terbit di Harian Analisa, 29 November 2011

Rabu, 27 Agustus 2008

Semangat Rakyat Merdeka

Oleh: Edward Silaban

Kemerdekaan ini merupakan hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Perjuangan dengan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan dalam diri rakyat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka menjadi modal utama untuk mengisi kemerdekaan ini. Dengan spirit yang berkobar-kobar rakyat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dari Sabang sampai Merauke. Ini membuktikan semangat juang yang tinggi telah hidup dalam hati sanubari rakyat. Oleh karena itu, begitu pentingnya arti kemerdekaan ini bagi rakyat Indonesia yang belum merasakan kebebasan.
Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penjajahan dan berdiri di atas kaki sendiri lepas dari penjajahan luar. Kemerdekaan yang dimaksud jangan hanya sebatas lepas dari penjajahan tetapi lebih daripada itu. Perayaan HUT kemerdekaan Indonesia ke-63 ini hendaklah menjadi sebuah refleksi terhadap segala permasalahan yang ada. Kemerdekaan itu harus dimiliki oleh semua rakyat, bukan hanya satu lapisan tetapi semua lapisan merasakan makna kemerdekaan itu. Patut kita sadari kemerdekaan ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pertama, kemiskinan semakin tidak terbendung lagi. Dimana banyak rakyat yang menderita kelaparan dan belum mendapat akses kesehatan sehingga keberadaanya terabaikan. Kemerdekaan yang mereka rasakan masih sebatas kemerderkaan dalam angan-angan belum menyentuh hidup mereka.

Kedua, pendidikan yang tidak merata. Di beberapa daerah masih terdapat penduduk yang buta huruf. Angka buta huruf semakin bertambah karena mereka belum menikmati pendidikan. Hal ini terjadi karena kurangnya peranan pemrintah sebagai pengambil kebijakan dalam mewujudakan masyarakat adil dan makmur.

Ketiga, secara tidak langsung negara ini masih dijajah oleh bangsa asing. Terbukti adanya ketergantungan terhadap negara lain yang mengakibatkan rakyat semakin menderita. Apakah ini namanya bangsa yang merdeka (freedom)? Kemerdekaan itu adalah milik kita bersama rakyat Indonesia. Bukankah semasa penjajahan kita mengatakan “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas dijajah oleh bangsa lain”.

Masalah bangsa adalah masalah kita bersama yang harus dimerdekakan. Mari kita isi kemerdekaan ini dengan spirit dan kekuatan rakyat. Apabila rakyat sejahtera maka negara akan kuat. Sudah saatnya untuk memahami persoalan bangsa, termasuk penderitaan yang dialami rakyat. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kemerdekaan ini bukan sebatas konteks tetapi kemerdekaan yang membebaskan. Jangan pernah menghilangkan kemerdekaan dari ingatan rakyat. Mari wujudkan mimpi bahwa kemerdekaan ini adalah kemerdekaaan rakyat yang bebas dari segala bentuk penderitaan. Dengan semangat rakyat yang berkobar-kobar teriakkan kata merdeka!merdeka!merdeka!***


Penulis adalah mantan ketua KDAS

Mewariskan Semangat Juang 45

Oleh: Cahriady Purba

Kunci perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita merupakan warisan yang harus tetap kita pertahankan. Kunci itu hanya berbentuk suatu wadah yang bersatu padu antara kegigihan, keberanian, semangat rela berkorban, dan perasaan senasib sepenanggungan yang disulut dengan api nasionalisme yang membara.
Tanpa ada nasionalsime pejuang ’45 kita, tidak ada yang namanya bangsa (bangsa Indonesia). Yang ada hanyalah perjuangan yang terpecah belah oleh ego-ego lokal regional yang sangat rapuh untuk dipecah belah kaum penjajah. Apalagi pejuang dulu rawan politik “devide et impera” Belanda.

Mustahil kita dapat memasuki babak baru (babak menikmati dan mengisi kemerdekaan) ini tanpa adanya roh semangat juang dalam raga mereka. Kita patut mensyukuri semangat juang mereka. Tapi yang menjadi pemasalahan sekarang adalah : sudahkah kita mewarisi kunci kemerdekaan (semangat juang) itu ?
Faktanya kita hanya sebatas menceritakan (layaknya dongeng sebelum tidur), bukan menularkanya. Ini terlihat jelas dari menjamurnya aliran egoisme dan apatisme berkebangsaan generasi sekarang. Dalam seluruh sistem kita telah ternoda oleh aliran apatisme dan egoisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme. Boleh dikatakan ini adalah aliran sesat yang kedua. Dalam sistem kehidupan sosial aliran ini teleh menyebar seperi virus yang membuat kita tidak mau tahu dengan permasalahan yang ada. Pudarnya sistem gotong royong, rasa kekeluargaan, dan hilangnya keramahtamahan bangsa merupakan contohnya. Orang lain tidak bisa makan atau tertindas ,sementara kita berlimpah kita tidak perduli. Yang sangat kontras dalam sistem sosial sekarang adalah keinginan untuk berkuasa, lalu memeras dan menguras.

Demikian juga pendidikan kita telah larut dalam godaan dan rayuan kapitalisme. Pendidikan sebagai media yang diharapkan menularkan semangat juang ’45 hanya sekedar menceritakan, bukan mewariskan. Banyak lembaga pendidikan mulai tingkat SD, SLTP, SMU, apalagi Perguruan Tinggi tidak pernah lagi melakukan upacara bendera demikian juga instansi pemerintahan. Padahal, paling tidak melalui upacara bendera kita selalu diingatkan oleh semangat juang pahlawan kita agar semakin termotivasi berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan tetap menjunjung nasionalisme.

Ini adalah fenomena yang menyesatkan, memudarkan , bukan memajukan bangsa. Apakah kita mau bangsa kita ini kehilangan identitasnya ? Perlu kita ingat bahwa Sang Merah Putih adalah lambang keberanian, kegigihan semangat, serta kesucian perjuangan pahlawan kita. Harus kita hargai. Peringatan HUT ke-63 RI ini bukanlah kebetulan atau tradisi tahunan, melainkan kesempatan untuk mengingatkan serta menumbuhkan kembali semangat juang ’45. HUT RI ini juga adalah roh yang menegor para koruptor bangsa, penghianat bangsa, provokator, serta seluruh genaerasi yang hilang roh nasionalismenya. Mari kita mewarisi bersama kunci kemerdekaan (semangat juang ’45) ini, bukan dengan sebatas merayakan, merenungkan atau mendokumentasikan, melainkan harus menularkan. Kita satukan perjuangan kita. Kita tuntun roh nasionalisme masuk dalam diri bangsa. Sekali merdeka selamanya merdeka.***

Mempertanyakan Kesejahteraan Umum

Oleh: Jhon Rivel Purba

Tujuan utama penjajahan di muka bumi ini adalah untuk kepentingan ekonomi (gold). Itulah yang melatarbelakangi masuknya pihak asing ke Nusantara (Indonesia sekatang) . Penjajah melakukan segala cara untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, seperti melalui monopoli perdagangan, sistem tanam paksa, kerja paksa, sewa tanah, dan menggunakan kekuatan militer. Namun rakyat pribumi tidak tinggal diam tetapi melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga pada 17 Agustus 1945, Indonesia mencapai kemerdekaannya. Artinya, negeri ini bebas menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Sudah 63 tahun Indonesia sebagai negara yang berdaulat, namun kesejahteraan umum yang dicita-citakan tampaknya hanya mimpi. Kesenjangan sosial ekonomi semakin tinggi, puluhan juta rakyat berada di bawah garis kemiskinan, pengangguran, anak telantar, gelandangan, pengemis, dan permasalahan sosial lainnya merupakan tanda tanya besar sebagai negara merdeka. Padahal, negara kita kaya akan sumber kekayaan alam tetapi yang menikmatinya hanya sebagian kecil orang.

Sistem ekonomi Demokrasi Pancasila yang kita harapkan mewujudkan rakyat sejahtera ternyata lemah di lapangan, melainkan sistem ekonomi kapitalislah yang berkuasa menancapkan kukunya di negeri ini. Lemahnya sistem ekonomi kita tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan rakyat, politisi koruptor, mafia peradilan, dan pengaruh kapitalisme global.

Di negara ini begitu banyak kekayaan alam yang dikuasai oleh pihak asing seperti pertambangan, perkebunan, kelautan, pertanian dan dikhwatirkan akan lebih banyak lagi sumber-sumber ekonomi yang terkuras jika pemerintah lemah. Rakyat dijadikan kuli di negeri sendiri dengan upah yang murah. Padahal jika beranjak pada konstitusi, seharusnya sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat. Di sisi lain, pangsa pasar kita dibanjiri oleh produk-produk asing seperti elektronik, tekstil, dan bahan pangan. Sedangakan industri rakyat banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dan kurangnya perhatian pemerintah. Pertanyaan sederhana sebagai negara agraris, mengapa kita mengimpor beras? Kondisi ini jika dibiarkan, menyebabkan kita terjangkit penyakit “ketergantungan” sehingga Indonesia sulit bangkit.

Mungkinkah terwujud kesejahteraan umum?
Hal inilah yang menjadi refleksi kita bersama dalam memperingati momen HUT kemerdekaan RI yang ke-63. Sebab mewujudkan kesejahteraa umum adalah cita-cita dan tanggung jawab kita bersama. Kita pasti bisa bangkit dari keterpurukan. Merdeka. ***

Menyegarkan Kembali Makna Nasionalisme Kita

Oleh: Oscar Siagian

Membicarakan nasionalisme dalam konteks Indonesia kekinian, mengandung sarat makna. Nasionalisme tidak saja dipandang sebagi perakat, namun juga sudah mulai digugat. Tak heran, perguncingan mengenai pemaknaan ulang akan nasionalisme itu sendiri, semakin menggejala seiring dengan munculnya beragam fenomena yang mengisyaratkan bahwa nasionalisme kita mengalami reduksi. Bangsa kita tertawan beragam ulah yang tak produktif berbarengan dengan ketidakharmonisan dalam menggapai cita-cita sebagaimana diimpikan oleh para pendiri bangsa ini.

Nasionalisme

Menguarai makna nasionalisme akan lebih afdol manakala diawali dengan pengertian yang jelas terhadap Bangsa dan Negara. Sebab, nasionalisme berintikan pada kesetiaan kepada bangsa. Dalam pemahaman lebih jauh, bangsa dimaknai sebagai kesepahaman sejarah, rasa dan masa lalu, namun lebih jauh semangat itu diejawantahkan dalam ikatan sosio-politik dan teritorial bernama negara.

Menurut Dr Johannes Leimena, negara itu adalah persekutuan (gemeenschap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium). Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen).

Kita melihat bahwa negara dan bangsa adalah terjalin satu dengan yang lain. Sebenarnya negara sebagai “realitet” yang berdiri sendiri tidak ada, yang ada adalah bangsa. Negara adalah suatu organisasi dan suatu fungsi dari bangsa. Bangsa ada mengawali terbentuknya negara.

Bangsa adalah suatu persekutuan orang-orang yang memiliki satu daerah, satu bahasa, satu hasrat hidup bersama, satu sejarah, satu nasib dan satu tujuan. Pada tiap bangsa terdapat juga kesamaan cara berpikir atas dasar atau kesatuan, suatu cara beraksi atas dasar satu tujuan, suatu persamaan dalam perasaan hidup.

Ketika negara ini berdiri, sudah ada fondasi dari sebuah bangsa yang tumbuh dan berkembang. Beragam peristiwa sejarah dan titik kulminasi menjadi perekat dan keseriusan dalam membangun suatu negara baru, bernama Indonesia. Bangunan negara yang bernama Indonesia itu, didasarkan pada persamaan senasib sepenanggungan, satu rasa dan satu cita-cita sebagaimana terkandung dalam aliena IV Pembukaan UUD 1945.

UUD 1945, menjadi kontrak politik antara warga negara dengan negara. Turunan konstitusi (hukum dasar) itulah kemudian menghasilkan beragam aturan main dalam penataan ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Simbol-simbol negara, seperti lagu kebangsaan, bendera, dll, semakin menegaskan akan persamaan dan persatuan.

Indonesia yang sejahtera, berkehidupan yang cerdas, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia, adalah cita-cita kita. Itu adalah visi kebangsaan. Kita membangun, kita berjuang, mengabdi dan berproses adalah untuk mencapai tujuan yang sedemikian mulia itu.

Sejahtera berarti bahwa bangsa ini tidak memelihara kemiskinan. Sejahtera berarti, rakyat semakin dihormati. Sejahtera berarti, uang rakyat benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada korupsi. Sejahtera juga bermakna semua tatanan sosial, politik dan pemerintah bekerja dalam sistem kenegaraan.

Cerdas berarti bahwa warga negara tidak bodoh, tidak tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak buta huruf. Mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Cerdas berarti warga masyarakat tahu mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban. Cerdas berarti, tidak mau dijajah dalam bentuk apapun.

Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berarti bangsa ini hidup dalam tatanan dunia yang damai, dimana bangsa ini turut memberi kontribusi di dalamnya. Keterlibatan itu juga bisa dimaknai dalam kesigapan kita dalam mengawal keutuhan teritorial bangsa tercinta ini.

Nasionalisme Kekinian

Namun, kini, sudah 63 tahun negara ini berdiri dengan memproklamirkan tekad tersebut. Satu pertanyaan reflektif bagi kita dalam memandang bangsa ini, sudahkah negara kita bergerak maju seiring dengan pencapaian cita-cita tersebut ?

Harus kita akui, sebagai sebuah kekuatan politik, ekonomi, dan teritorial, perlahan namun bangsa ini mengalami pergulatan jati diri. Tentu banyak kegembiraan yang kita dapatkan. Pengakuan terbuka bangsa-bangsa lain atas prestasi anak bangsa, tidak boleh dipandang sebelah mata. Demikian juga prestasi olah raga yang sudah banyak kita capai di level dunia.

Namun, ada banyak perintang-perintang yang menghalangi perwujudan visi kebangsaan tersebut. Dari luar, kita merasakan hempasan arus globalisasi. Globalisasi dengan beragam turunannya, utamanya neolibralisme, dengan cepat menjarah potensi-potensi dan ciri-ciri kebangsaan kita.

Kemudian, badai perebutan batas-batas negara yang berujung pada lepasnya sebahagian pulau kita. Belum lagi kearifan lokal, seperti lagu-lagu dan tarian daerah, disambar bangsa lain.

Dari dalam negari kita menyaksikan betapa maraknya parodi pengkhianatan atas cita-cita kebangsaan kita. Dari Sabang sampai Merauke terbentang aliran korupsi. Hampir setiap instansi, juga menggambarkan hal serupa. Pejabat publik korupsi. Uang rakyat dijarah.

Belum lagi kenyataan empirik yang kita alami saat ini, dimana ratusan bahkan ribuan warga harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Di beberapa daerah, petani kesulitan mendapatkan pupuk. Aliran air untuk kepentingan lahan pertanian tak berjalan dengan lancar. Listrik padam secara teratur.

Sudahkah nasionalisme membumi diranah republik ?


Anggota KDAS, Alumni FKM USU