Oleh : Jhon Rivel Purba.
Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe,
tanah Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa
jang satoe, bangsa Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia,
mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Teks Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 di atas merupakan pernyataan sikap bersama sebagai bentuk
komitmen pemuda-pemudi Indonesia yang berasal dari berbagai daerah dan
latar belakang yang berbeda, untuk membangun semangat persatuan demi
Indonesia Merdeka. Mereka sangat menyadari bahwa motor persatuanlah yang
bisa mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Menurut Moehammad Yamin, ada lima faktor yang bisa memperkuat semangat
persatuan, yaitu: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Seirama dengan itu, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Tak mungkin orang
dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal
kertas-kertas tentangnya. Kalau tidak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau
tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya". Dalam tulisan ini
penulis fokus menguraikan tentang penggunaan bahasa Indonesia di masa
kini dan kaitannya dengan nasionalisme pemuda.
Memudarnya Nasionalisme Pemuda
Akhir-akhir ini, salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia
adalah memudarnya semangat nasionalisme khususnya dalam diri generasi
muda. Rasa bangga terhadap sejarah dan budaya bangsa khususnya bahasa
Indonesia, yang merupakan salah satu prinsip nasionalisme, kini sudah
redup. Generasi muda tampaknya tidak lagi memaknai arti penting bahasa
Indonesia sebagai bahasa perjuangan, kemerdekaan, persatuan,
persaudaraan, dan pembangunan.
Banyak faktor yang menyebabkan memudarnya semangat nasionalisme generasi
muda dalam berbahasa Indonesia. Pertama, kurangnya penanaman
nilai-nilai penting penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan. Kedua, pengaruh media di tengah-tengah arus globalisasi.
Ketiga, minimnya keteladanan dari pemimpin, pejabat publik, dan tokoh
masyarakat.
Meskipun seorang pemuda sudah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia di
dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal dari sekolah dasar
hingga perguguran tinggi, tetapi seseorang itu belum tentu memiliki rasa
bangga berbahasa Indonesia. Berarti ada sesuatu yang kurang, yakni
proses pendidikan bahasa Indonesia itu tidak didasari oleh nilai-nilai
kebangsaan. Sehingga meskipun seseorang bisa fasih berbahasa Indonesia,
tetapi tidak menyadari arti pentingnya bahasa itu bagi dirinya maupun
bagi bangsanya.
Bagi generasi 1928 maupun 1945, bahasa Indonesia adalah bahasa
perjuangan dan persatuan untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme
Belanda. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi bukti bahwa pemuda
menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bagaimana dengan
generasi sekarang? Generasi muda sekarang pada umumnya tidak menjiwai
dan memaknai bahasa nasional tersebut sebagai bahasa perjuangan untuk
menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Justru ada kecenderungan generasi muda merasa rendah diri menggunakan
bahasa Indonesia dari pada bahasa asing. Orang yang berbahasa Inggris
dianggap lebih hebat dan pintar dari pada berbahasa Indonesia. Dalam
berkomunikasi, tidak sedikit generasi muda yang mencampur bahasa
nasional dengan bahasa Inggris. Barangkali mereka ingin kelihatan hebat.
Bahkan anehnya, dalam berbagai acara atau kegiatan, kata-kata bahasa
Inggris selalu menghiasi tema dan susunan acara tersebut. Padahal
acaranya berlangsung di Indonesia dan semua pesertanya juga orang
Indonesia. Ada pun alasan yang mereka lontarkan adalah supaya acara
tersebut kelihatan hebat dan orang-orang tertarik untuk mengikutinya.
Sungguh aneh.
Di ruang publik pun demikian. Tulisan-tulisan berbahasa asing menghiasi
ruang publik, misalnya di jalan raya, terminal, bandara, pasar, dan
sebagainya. Sialnya, banyak kata-kata yang mengungkapkan petunjuk,
keterangan, maupun rambu-rambu, hanya menuliskannya dalam bahasa
Inggris. Artinya bahasa Indonesia tidak lagi menjadi "tuan" di negerinya
sendiri.
Media (cetak maupun elektronik) juga ikut "ngingris" ria dalam setiap
pemberitaan dan siarannya. Tentu ini tidak terlepas dari kepentingan si
pemilik media untuk menarik perhatian pembaca, pendengar, dan penonton
untuk menjadi konsumen media tersebut. Fungsi media yang seharusnya
mendidik masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar,
ternyata dikubur kepentingan bisnis. Pada akhirnya, masyarakat ikut
terbawa arus.
Selain itu, minimnya keteladanan pemimpin, pejabat publik, dan tokoh
masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia, turut memperburuk
nasionalisme berbahasa di kalangan kaum muda. Kesalahan berbahasa
Indonesia yang dipertontonkan oleh pemimpin, pejabat publik, dan tokoh
masyarakat ini seringkali kita saksikan dalam berbagai pidato, seminar,
kampanye, sidang, khotbah, ceramah, dan diskusi publik.
Solusi
Semangat kebangsaan dalam berbahasa Indonesia harus dibangkitkan
kembali. Dengan harapan, supaya semua warga negara Indonesia hendaknya
menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bersama, bahasa
kebanggaan, bahasa persatuan, bahasa persaudaraan, bahasa perdamaian,
bahasa perjuangan, dan bahasa pembangunan. Memang, untuk mencapai
harapan ini bukanlah tugas yang mudah, melainkan tugas yang harus terus
dikerjakan selama Indonesia masih ada.
Oleh sebab itu, harus ada komitmen bersama untuk mencapai tujuan bersama
dengan langkah bersama. Pertama, penanaman nilai-nilai nasionalisme
berbahasa Indonesia diterapkan dengan berkesadaran sejarah. Di sini
perlu ditekankan arti penting bahasa Indonesia bagi tiap-tiap individu
maupun bagi bangsa. Ada pun tempat paling strategis dalam proses
penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa ini adalah dalam lembaga
pendidikan formal.
Kedua, dibutuhkan media yang konsisten dalam menyajikan menu bahasa
Indonesia yang sehat. Surat kabar, radio, televisi, dan media lainnya
kiranya melaksanakan fungsinya untuk mendidik masyarakat dan sebagai
alat untuk mengawal penggunaan bahasa Indonesia. Perlu ditekankan,
penggunaan bahasa asing bukanlah hal yang salah asal pada saat dan
tempat yang tepat.
Ketiga, semua elemen masyarakat mulai dari pemimpin, pejabat publik,
tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), akademisi, mahasiswa, hendaknya memiliki kesadaran yang sama
dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kesadaran yang sama akan melahirkan
gerakan penyadaran bersama dalam membumikan bahasa Indonesia. Gerakan
penyadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan bahasa, pelatihan,
bimbingan, penyuluhan, serta menggunakan sarana media komunikasi dan
informasi.
Keempat, perlu didorong dan dibuka ruang bagi masyarakat khususnya
pemuda untuk menghasilkan karya yang mendukung pengembangan bahasa
Indonesia. Karya itu hendaknya digali dari bumi nusantara dengan tetap
menjaga kearifan lokalnya. Dengan demikian rasa cinta terhadap bahasa
Indonesia akan tercipta melalui pengenalan sejarah bahasa Indonesia dan
melalui karya konkret pengembangan bahasa Indonesia. ***