Tampilkan postingan dengan label Global. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Global. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Juni 2012

Menyoal Peringkat Indonesia dari Publikasi Failed States Index 2012

Oleh : Marthin Fransisco Manihuruk. 
 
Organisasi Internasional yang berkedudukan di Amerika
Serikat, yaitu The Fund for Peace dalam situsnya, www.fundforpeace.org, telah mempublikasikan daftar dan urutan-urutan dari negara-negara yang dianggap mendekati status negara gagal. Indonesia, yang mana juga masuk dalam daftar tersebut berada di peringkat 63 dari 178 negara dengan nilai ttal indeks 80,6 yang masuk kategori dalam bahaya. Padahal tahun lalu, Indonesia berada di peringkat ke 64 dari 177 negara. Ini membuktikan, bahwa Indonesia semakin buruk keadaannya dan semakin mendekati statusnya sebagai negara gagal. Biasanya negara yang dikategorikan seperti ini adalah negara yang status nya masih dalam keadaan perang. Tetapi Indonesia bukan dalam keadaan perang. Lantas apa yang menjadi permasalahan?
Fund for Peace mengukurnya dalam 12 indikator, yaitu, demographic Pressures, Refugees and IDPs, Group Crievance, Human Flight, Uneven Development, Poverty and economic decline, Legitimacy of the state, Public service, Human Rights, Security Apparatus, Factionalized Elites, External Intervention. Dalam pengukuran tersebut, Indonesia sangat terpuruk dalam 3 bidang yaitu, demographic pressure, human rights, dan Group crievance yang masing-masing nilai indeks kegagalannya yaitu 7,4, 6,8, dan 7,1. Secara faktual dapat dilihat bahwa kebenaran dari hasil pengukuran Fund for peace adalah Benar.

Kebenaran itu dapat dilihat dari fakta-fakta yang ada. Yang pertama adalah mengenai Demographic pressure yang dinilai sangat rendah dapat dilihat yaitu bahwa semakin meningkatnya jumlah penduduk. Program-program yang dilaksanakn pemerintah tak maksimal, baik itu berupa usaha KB (keluarga berencana) yang merupakan program andalan pemerintah dalam mengurangi pertumbuhan penduduk, maupun program desain dan tata letak wilayah serta infrastruktur dan suprastruktur pembangunan. Pengelolaan dalam menangani hal ini masih kurang. Sebut saja kota Jakarta yang sudah di stigma kan sebagai ikon kota termacet dan terpadat seluruh Indonesia. Padahal Jakarta merupakan kota metropolitan yang masuk dalam jajaran peringkat 2 dunia dalam hal penduduk. Ini tentu membawa imej buruk bagi Jakarta sendiri, yang mana dianggap sebagai kota yang "buruk". Menajemen desain tata kota yang baik sampai sekarang tak bisa dibuat walapun pemimpin daerahnya sudah berkali-kali

Kemudian yang kedua adalah mengenai Human Rights (hak-hak Azasi Manusia). Pengakuan dan penegakan HAM Indonesia masih merupakan coretan Hitam. Contohnya adalah kasus penembakan misterius yang kerap terjadi di Papua yang saat ini tidak ada jelas satupun pelakunya ditangkap. Penembakan ini selalu saja dikaitkan dengan OPM (organisasi Papua Merdeka) walaupun tak ada bukti yang nampak. Dalam UUD 1945 Indonesia sudah mencantumkan HAM sebagai hak yang tertinggi dan diakui. Tak hanya itu, UDHR (universal Declaration of Human Rights) juga mengakuinya dan Indonesia sudah meratifikasinya.Akan tetapi itu hanya menjadi dokumen bagi negara. Hasil Keburukan Indonesia dalam penegakan HAM tampak pada sidang UPR, dimana Indonesia diwakili oleh Menlu nya sendiri. Menlu tak dapat memberikan keterangan tentang penegakan HAM di Indonesia. Di dalam sidang UPR (Universal Periodic Review) yang dilaksanakan di Genevaa, Swiss, jelas penegakan HAM Indonesia dipertanyakan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Direktur Eksekutif HAM Asia, Wong Kai Shing bahwa respons Indonesia terhadap penegakan HAM tak lebih dari sekedar penyangkalan-penyangkalan tak berarti.

Dan yang ketiga adalah mengenai Group Crievance (protes kelompok minoritas). Implikasi yang dapat kita lihat secara langsung yaitu mengenai Intoleransi beragama di Indonesia. Penutupan gereja GKI Yasmin Bogor adalah salah satu diantara banyaknya kasus-kasus Intoleransi beragama. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa pendirian Gereja GKI Yasmin adalah sudah sah ke legalannya. Tentu saja hal ini menjadi sorotan masyarakat Dunia. Semua hal yang diurusi Indonesia sangat tampak hanya sebagai dagelan-dagelan tak berarti.

Faktor Ketidakseimbangan

Seyogianya menurut penulis, yang menjadi permasalahan disini adalah Indonesia terhadap 12 Indikator tersebut. Pada dasarnya, 12 indikator tersebut haruslah seimbang. Namun yang sering terjadi adalah adanya salah satu faktor yang dianggap "utama" dan dititikberatkan.

Salah satu dari 12 indikator yang sering diutamakan Indonesia yang kontras kita lihat adalah External Intervention. Seringnya Indonesia melakukan External Intervention ke negara lain, khususnya bagi negara yang sedang konflik ataupun perang, membuat dunia pun tahu bahwa Indonesia adalah negara yang paling sering memberikan kontribusi bagi perdamaian dunia. Hal itu tampak dari bantuan Indonesia yang memberikan relawan untuk membantu korban perang. Contoh yang nyata adalah pada perang Israel dan Palestina. Indonesia begitu keras memprotes kekejaman yang dilakukan Israel kepada Palestina karena dengan alasan Kemanusiaan dan Agama. Dan akhirnya Indonesia pun banyak di berikan penghargaan dalam hal menjaga perdamaian dunia. Memang sebagai masyarakat Internasional, Indonesia juga harus turut membantu para korban perang, dan menjaga ketertiban dunia sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 45 alinea 4. Namun, disisi lain ada ketimpangan. Banyak dari para korban TKI yang mati dibunuh di Arab Saudi, Malaysia dan di negara yang lain, Indonesia tidak pernah memperotes dengan keras. Padahal TKI yang mati dibunuh sangat berkaitan dengan harga diri bangsa.

Inilah yang disebut dengan ketimpangan antara satu indikator dengan indikator yang lainnya. Ada faktor yang diutamakan, sedangkan faktor yang lain diremehkan. Saya kira sangat wajar Indonesia dikategorikan sebagai negara yang mendekati gagal walaupun tidak sedang dalam keadaan perang.

Harus Seimbang

Dari fakta-fakta yang ada diatas, jelas bahwa negara Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang hampir gagal (in danger). Walaupun Menkopolhukam Djoko Suyanto mengatakan bahwa Indonesia bukan negara gagal, seyogianya hal itu adalah keliru. Walaupun negara tidak dalam keadaan perang, tetapi faktor utama ada pada 12 indikator yang dibuat fund for peace.

Mau tidak mau, dalam mengatasi hal ini Indonesia sebenarnya sudah diberikan solusi. 12 Indikator yang dijadikan indeks kegagalan negara merupakan jawaban dari semua akar permasalahan. Dalam mengatasi Indonesia sebagai negara gagal, sangat dibutuhkan adanya keseimbangan antara 12 indikator tersebut. Indonesia tidak boleh mengutamakan satu Indikator dalam membuat keberhasilan suatu negara.***

Tulisan ini terbit di Harian Analisa, 29 Juni 2012

Minggu, 18 Desember 2011

Mengapa Kapitalisme Ditentang

Oleh: Andri E. Tarigan

Perekonomian dunia mencapai titik balik, krisis global melanda dan merisaukan warga dunia. Seperti yang pernah terjadi dalam tragedi "Selasa Hitam" pada Oktober tahun 1929, wall street kembali mengalami kejatuhan. Banyak orang yang dirugikan dalam hal ini, bahkan termasuk pemilik modal. Orang-orang pun gelisah dan memilih turun ke jalan, melakukan aksi occupy (menduduki).
Tak hanya wall street, orang-orang di belahan bumi lain pun turut melakukan aksi occupy. Bursa efek di London diramaikan para demonstran, tak ketinggalan di Bursa Efek Jakarta pun begitu. Mereka menyerukan suara-suara penentangan terhadap kapitalisme. Kapitalisme dinilai gagal. Entah karena latah, atau karena kesamaan pemikiran, disebut-sebut istilah "1 persen yang kaya, 99 persen yang melarat" dalam aksi-aksi occupy yang ada. Kapitalisme ditentang karena ditenggarai sebagai penyubur kemelaratan.

Sekilas melirik kondisi global masa lampau, keberadaan kapitalisme sebenarnya sudah cukup lama ditentang. Paham komunisme yang dulu berjaya dalam perpolitikan dunia merupakan garis utama penentang kapitalisme. Sebab-sebabnya, kesadaran bahwa sistem kapitalisme hanya akan menguntungkan para pemodal, yang notabene berjumlah sedikit. Sementara para pekerja, yang jumlahnya banyak, imbalannya dibuat serendah mungkin demi meminimalkan biaya produksi.

Tetapi, keidealan komunisme dianggap terlalu utopis sehingga perlahan terkikis zaman dan akhirnya kehilangan masa jaya. Belum lagi kekalahan perang negara-negara komunis, bubarnya Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin, menjadi penanda berakhirnya era komunisme. Giliran kapitalismelah yang meraja disaat Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya secara aktif mengukuhkan cengkram kapitalisme atas dunia.

Kapitalisme terus berkembang dan menjadi paham yang dipraktekkan hampir di semua negara. PBB yang menampung banyak negara, turut menjadi penyubur kapitalisme dalam berbagai instansinya, seperti World Bank, WTO, dan IMF. Yang dijanjikan oleh kapitalisme adalah pembangunan yang pesat, dan itu diidamkan setiap negara.

Kegagalan

Cap yang kini dilekatkan kepada kapitalisme dalam perenungan warga global adalah kegagalan. Dianggap benar yang diserukan oleh para komunis bahwa kapitalisme adalah penyejahteraan segelintir orang. Mata publik seketika terbuka bahwasanya realita menunjukkan kemiskinan semakin melanda dunia. Pembangunan pesat yang dijanjikan dan perputaran perekonomian yang cepat ternyata tak menjadi jawaban atas kesejahteraan bersama.

Yang ada, dunia terlihat memburuk. Dalam dunia pendidikan, institusi-institusi yang berjamur diarahkan untuk membentuk pekerja-pekerja teknis, demi kepentingan perkembangan industri. Orang-orang dibentuk semekanis mungkin agar mudah diatur. Pendidikan budaya, humaniora, dikesampingkan. Dinamisme manusia beserta nilai-nilai kulturalnya hanya dijadikan entitas pelengkap. Orang-orang mendasari hidupnya pada tren pasar, bukan pada hakikatnya sebagai manusia. Pendidikan tidak lagi mendapat peran memanusiakan manusia (hakikat pendidikan menurut filsuf Brasil, Paulo Freire).

Dalam dunia perekonomian, hukum rimba berlaku. Yang kuat modalnya yang berkuasa. Produk-produk internasional memadati pasar dan tergeserlah pedagang-pedagang kecil, terancamlah produk-produk tradisional. Modal yang banyak membuat peluang para pemodal menjadi sangat besar untuk mengembangbiakkan keuangannya. Istilahnya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Negara-negara berkembang seperti Indonesia terpaksa melilitkan diri pada utang demi pelaksanaan pembangunan, demi mimpi menjadi negara maju. Belum lagi kalau ternyata investasi-investasi pemodal besar gagal, imbasnya selalu ditimpakan pada pemodal kecil dan pekerja yang menggantungkan nasib pada mereka.

Dalam perpolitikan, uang menjadi indikator kemampuan seseorang untuk memenangkan kebijakan. Sulit menghargai ide-ide politik seseorang untuk mengembangkan negara ketika orang tersebut tampak tidak bermodal. Mereka yang ingin berpartisipasi dalam perpolitikan, tanpa modal yang besar, pada akhirnya termarjinalkan. Dalam hal ini orang bermodal kecil, yang jumlahnya mayoritas, terpasung hak politiknya.

Yang paling menakutkan adalah kerusakan alam. Kapitalisme, yang memberdayakan segala hal demi keuntungan, menjadi pendorong utama eksploitasi alam. Efek dari eksploitasi alam yang paling terlihat adalah global warming, yang kini menjadi ancaman keberlangsungan hidup. Masyarakat global sudah cukup khawatir akan hal ini. Tetapi proses industri ala kapitalisme, yang paling bertanggung jawab atas kerusakan ini tetap berlangsung, bukannya berkurang malah makin bertambah.

Individu bentukan kapitalisme adalah individu yang rakus. Mereka yang berada di kelas atas, berusaha keras untuk semakin tinggi, tanpa memperdulikan kemelaratan yang mungkin ditimbulkannya di masyarakat kelas bawah. Sedangkan mereka yang dibawah, semakin sulit bergerak memikirkan sesamanya karena untuk memenuhi kebutuhan perutnya sendiripun sudah harus berusaha keras. Ditambah lagi, masyarakat kelas atas pamer kemewahan, masyarakat bawah pun dipenuhi ilusi untuk menjadi kelas atas. Semakin rakus dan egoislah mereka untuk bisa lepas dari kemelaratan.

Atas kegagalan-kegagalannya, kapitalisme ditentang. Bukan tanpa alasan, bukan sekedar kepentingan politik pihak tertentu, bukan mengingkari kemajuan pembangunan yang tercapai, bukan pula mengingkari stabilitas dan keamanan yang telah terjaga. Realita dari kepercayaan warga global terhadap kapitalisme adalah lingkaran kemelaratan yang terus-menerus membesar. Jika melarat, segala aspek akan terlantar. Dampak buruknya struktural, maka layak kapitalisme ditentang.***

Tulisan terbit di Harian Analisa, Rabu 23 November 2011