Tampilkan postingan dengan label Lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lingkungan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Maret 2013

Resume Diskusi “Pencemaran Danau Toba oleh Aquafarm”



Resume Diskusi “Pencemaran Danau Toba oleh Aquafarm”
Pemateri          :           Ir. Pohan Panjaitan, MS, PhD
Tanggal           :           25 Februari 2013

Betapa tidak Indonesia khususnya Sumatera Utara bersyukur memiliki aset kekayaan alam seperti Danau Toba yang tak ternilai harganya. Selain sebagai tempat wisata dan sumber mata pencaharian warga sekitar, Danau Toba menjadi sumber air bagi masyarakat sekitar. Namun, apa jadinya apabila aset yang berharga itu sudah tidak lagi dilindungi dan sudah tercemar akibat ulah dari sejumlah pihak atau perusahaan yang tidak bertanggung jawab, yang salah satunya adalah PT. Aquafarm.
            PT. Aquafarm yang adalah milik Swiss menyumbang modal berupa Keramba Jaring Apung yang turut mencemarkan Danau Toba. Ternak ikan yang dipelihara juga berasal dari luar dan belum diketahui apakah ternak tersebut bebas dari penyakit atau menggunakan obat-obatan juga. Pencemaran juga bisa melalui urine dan feses serta pakan ternak. Di dalam urine terdapat 70% protein yang mengandung nitrogen dan 1 ton pakan ternak mengandung 33,6 kg nitrogen setiap hari. Dan berdasarkan pada penelitian tahun 2008 oleh pemateri terdapat 200 ton setiap hari pakan ternak. Tidak terbayangkan berapa banyak nitrogen dan fosfor yang mencemari Danau Toba setiap harinya. Tingginya nitrogen dan fosfor akan menyebabkan terjadinya blooming fitoplankton. Namun syukurnya fitoplankton di Danau Toba tidak dapat berkembang karena tidak sesuai.
            Pada kasus ini, sangat diharapkan PT. Aquafarm tetap menjaga keseimbangan ekosistem Danau Toba disamping potensi danau sebagai tempat pariwisata bahkan sumber air warga sekitar dan Swiss yang notabene merupakan negara maju apalagi residence time PT. Aquafarm adalah 77 tahun. Dan celakanya, PT. Aquafarm menyamakan danau dengan waduk.  Padahal danau dengan waduk tidak dapat disamakan karena benda-benda pencemar akan mengendap di bagian dasar. Lebih lanjut, saat ini juga belum diketahui pola aliran airnya sehingga sampai sejauh ini yang bisa terlihat jika satu kawasan telah rusak, maka kawasan yang lain akan rusak juga.
Sangat diperlukan sebenarnya penyaringan kapasitas di setiap sektor penyebab tercemarnya Danau Toba. Seharusnya dilakukan pembangunan yang terintegrasi antara egosektoral dan kaidah-kaidah lingkungan apalagi di abad 21, agenda kita adalah “Hidup Lestari Lingkungan” seperti kajian studi lingkungan, zonasi, dan peraturan-peraturan sebagai tindak lanjut. Namun, sepertinya pemerintah tidak serius dalam menangani masalah ini, bahkan Analisis Dampak Lingkungannya pun baru dibuat ketika pihak pemerhati lingkungan mendesaknya. Kalau konsep negara maju, PT. Aquafarm harus membayar jasa lingkungan, kerusakan lingkungan, dan CSR. Dan sampai sekarang ini, mereka hanya membayar CSR saja.

Selasa, 13 Maret 2012

WWF Legitimasi Aqua Farm Cemari Danau Toba

Oleh : Karmel Simatupang. Sudah banyak kalangan protes tentang keberadaan PT Aquafarm
Nusantara di Danau Toba, LSM maupun komunitas masyarakat pencinta Danau Toba berulang kali pula melakukan pengamatan langsung, mengkritisi di media, bahwa selain merusak keindahan pemandangan Danau Toba, KJA Aquafarm juga telah mencemari Danau Toba, tetapi Aquafarm tetap membandel dan sepertinya kebal hukum. Terakhir, Aquafarm berhasil memperalat lembaga Internasional WWF, melegitimasi pencemaran air Danau Toba.
Legitimasi itu, dilontarkan WWF ketika mengunjungi lokasi proyek budidaya ikan nila, milik PT Aquafarm Nusantara (PTAN) di Danau Toba (DT), (Siantar Simalungun, 20/1). Mereka disambut hangat Manajemen PT Aquafarm. WWF pun menyimpulkan, aktifitas budidaya ikan nila PTAN telah memenuhi standar ISRTA (International Standards for Responsible Tilapia Aquaculture) dan Sertifikat Global GAP. Kini Aquafarm telah mengantongi sertifikatnya ISTRA dan Gobal GAP sebagai senjata ampuh.

Melalui sertifikat ini menjamin PTAN mengklaim aktivitasnya memenuhi semua kriteria untuk teknis budidaya ikan yang menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Dari sini kita belajar bahwa korporasi menggunakan segala cara, melanggengkan produksinya.

Selama ini kita mendukung keberadaan WWF (World Wildlife Foundation) karena peduli lingkungan, alam yang bersahabat tetapi sekarang kok ikut-ikutan menyetujui pencemaran DT?, bukankah sudah jelas kita tahu pakan ikan keramba jaring apung (KJA) sebagian besar mengendap ke danau dan mencemari danau setiap hari.

Sudah jelas pula di lokasi ditemukan kandungan fosfor, karbon dan nitrogen yang sangat merusak kualitas air. Kandungan fosfor melalui proses kimiawi dalam bentuk senyawa fosfat dapat dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan peningkatan kekeruhan air.

Peningkatan pertumbuhan eceng gondok yang membludak di DT adalah bukti booming-nya pencemaran ke danau ini. Eceng gondok hanya tumbuh di air kotor. Ekosistem menjadi tak seimbang, kualitas air menurun, konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah bahkan sampai batas nol, makanya mahluk hidup di air DT dan spesies lainnya bermatian.

Hilangnya beberapa spesies seperti ikan (Ihan Batak) di DT menguatkan sintesa bahwa ekosistem air DT sudah dalam tahap pencemaran kelas tinggi. Padahal di tahun 80-an ikan Ihan Batak itu cukup gampang di jumpai. Selain itu, terganggunya rantai ekosistem air akan membawa resiko kepada kesehatan manusia dan hewan. Menghilangkan nilai konservasi, estetika, rekreasional dan parawisata sehingga membutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tak sedikit.

Tidak Benar

Kembali ke soal WWF. Selama ini kita tahu WWF Indonesia, yang berpusat di Swedia ini, cinta lingkungan bahkan bervisi memperbaiki kerusakan lingkungan dan melestarikan keanekaragaman hayati. Tapi kini menjadi berwajah ganda. Lembaga internasional mencampuri urusan Danau Toba, itu artinya gurita kapitalisme internasional semakin menancapkan kukunya di bawah rejim SBY-Budiono. Pengambil kebijakan tak berdaya dan tak berdaulat.

Di lain hal, pada Harian Medan Bisnis, (26/1), WWF meminta semua pihak agar turut serta menjaga kelestarian Danau Toba. WWF berharap agar aktivitas ekonomi di Danau terindah dan terbesar di Asia Tenggara ini berjalan selaras. Disinilah logika berpikir mentok, dan WWF seperti bermuka dua. Disatu sisi mendukung kelestarian lingkungan, tetapi disisi lain justru melanggengkan pengrusakan lingkungan.

Bersama itu pula dilansir dari alamat www.medansatu. com, (13/2), Koalisi IX LSM Sumut mengatakan harus menyikapi keberadaan PT. Aquafarm di DT dengan rasional. Hampir sama dengan WWF, Koalisi IX LSM Sumut mengklaim tidak ada pencemaran berarti di DT. Dengan kata lain mereka membantah tentang adanya pencemaran yang dilakukan perusahaan di DT.

Dalam investigasi Koalisi IX LSM Sumut ini juga menyatakan lokasi KJA jauh dari keramaian sehingga tidak mengganggu keindahan DT. Padahal, kita melihat secara gamblang lokasi KJA bertebaran di lokasi wisata inti, seperti di Tiga Ras, Simalungun, Haranggaol, Parapat, Tobasa, Silalahi, Tongging dan tempat lainnya. Maka kita dapat menyimpulkan hasil investigasi Koalisi IX LSM ini tidak valid, dan bertentangan dengan kenyataan. Mungkin publik akan balik bertanya, lalu, siapa yang rasional?.

Diperkirakan setiap hari ada 200 ton ton pakan ikan masuk ke air DT, atau sekitar 73.000 ton pertahun. Bagaimana kalau sudah 10 tahun keatas. Tak terbayang bagaimana massifnya pencemaran yang ditimbulkannya. Saat ini KJA susah dihitung luasnya karena tersebar di sepanjang Kawasan Danau Toba.

Kembalikan Air Danau Bersih

Untuk kesekian kalinya ekosistem Danau Toba diganggu secara paksa, terutama oleh korporasi dan turunannya. Hutan sebagai penyangga DT, telah terlanjur di babat habis dan masih berlangsung hingga kini. Cerita tentang keindahan dan sejuknya panorama DT, mungkin akan tinggal kenangan bagi anak cucu kita nantinya, jika kondisi saat ini terus berlangsung.

Kita tahu ada banyak sekali tekanan yang kini dihadapi DT. Isu terbaru kembali membuat mata kita terbelalak, seputar polemik penumbangan Hutan Tele Samosir seluas 2.250 hektar, yang katanya untuk dijadikan tanaman bunga oleh PT. EJS asal Korea. Padahal hutan ini hanya sisa penjaga debit dan kualitas air DT.

Memang banyak pihak yang menyatakan peduli dengan danau ini, termasuk bantuan dana besar. Ada banyak seminar, forum ataupun komunitas pencinta DT, bahkan ada agenda tahunan membuat pesta DT yang didanai APBN. Namun nasib Danau ini tetap merana. Volume air terus menurun. Pun pence maran terus menjadi-jadi. Yang selalu muncul adalah kekerasan terhadap luar dalam DT.

Tak bisa dimungkiri, air DT sebenarnya menghidupi masyarakat Sumatera Utara dan merupakan bagian ekosistemnya Dunia. Walau secara administrasi ada 7 Kabupaten yang bersinggungan dengan Kawasan Danau Toba, namun sebenarnya hampir semua kabupaten penerima manfaat dari keberadaan DT. Energi listrik yang dikonsumsi Sumut jelas bergantung pada kelestarian air DT. Itu berarti DT memberikan sumbangsih yang cukup besar menopang hidup manusia.

Akhirnya, sesat pikir dan hilangnya nalar harus disudahi. DT harus dilindungi dari tangan-tangan jahil korporasi jahat. Dipulihkan dan dilestarikan. Danau Toba tak hanya butuh perawat, tapi juga kebijakan untuk merawat. Dan pemimpin bangsa ini kiranya tak lagi mengingkari fungsi dan eksistensi keberadaan DT. Semoga.***

Tulisan ini terbit di Harian Analisa, 13 maret 2012

Rabu, 28 Desember 2011

Bersama Menyelamatkan Danau Toba

Oleh: John Rivel Purba

Akhir-akhir ini gelombang seruan untuk menyelamatkan Danau Toba semakin besar dan kuat. Seruan ini memiliki dua makna. Pertama, adanya kegelisahan dan keresahan masyarakat dengan melihat kondisi Danau Toba yang semakin kritis. Kedua, muncul harapan dan semangat baru untuk menyelamatkan Danau Toba demi kehidupan yang lebih baik di masa depan
Jika kita melihat kondisi Danau Toba belakangan ini, terjadi kerusakan yang sangat parah. Kerusakan disebabkan oleh kesadaran lingkungan masyarakat yang rendah, pembangunan yang eksploitatif tanpa memperhatian aspek lingkungan, ketidakberdayaan dan ketidakseriusan pemerintah, dan longgarnya peraturan tentang lingkungan dan tata ruang. Dengan demikian, secara umum kerusakan itu disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.

Dalam praktiknya, kerusakan itu bisa melalui pembuangan limbah ke danau, perambahan hutan di sekitar danau, dan usaha keramba apung yang tidak terkendali. Akibatnya adalah terjadi pencemaran air, penurunan permukaan air, hilangnya beberapa hewan air, tumbuhnya tanaman enceng gondok yang merusak keindahan alam Danau Toba, timbulnya berbagai penyakit, dan kerusakan ini tentunya menghambat pariwisata.

Kerusakan Danau Toba juga bisa mengakibatkan kehancuran budaya masyarakat sekitar terutama dalam cara berpikir dan cara hidup. Tidak tertutup kemungkinan, kerusakan Danau Toba juga akan melahirkan konflik sosial budaya pada masyarakat setempat. Perasaan diperlakukan tidak adil secara sosial, ekonomi, dan budaya, tentunya bisa menjadi pemicu konflik.

Tanpa ada upaya yang serius untuk menyelamatkan Danau Toba, maka dipastikan persoalan yang akan dihadapi semakin besar ke depan. Oleh sebab itu, sudah menjadi keharusan untuk mengambil langkah strategis guna menyelamatkan Danau Toba. Tetapi yang perlu dipikrikan adalah bagaimana supaya upaya itu bisa menguntungkan secara ekologi dan ekonomi, supaya sejalan dengan cita-cita kemerdekaan, yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur.
Upaya Penyelamatan

Memang upaya penyelamatan Danau Toba bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Meskipun demikian, tiada kata terlambat demi perubahan yang baik. Kendala yang paling besar dalam penyelamatan danau terbesar di Indonesia ini adalah mengubah pola pikir dan gaya hidup serta membentuk kesadaran lingkungan, baik dari masyarakat maupun pemerintah itu sendiri. 

Oleh karena itu, yang pertama dan terutama harus dilakukan adalah membentuk kesadaran lingkungan. Tujuannya adalah bagaimana supaya semua pihak merasa bahwa danau ini adalah milik bersama. Juga menyadari bahwa persoalan kerusakan Danau Toba adalah persoalan bersama. Sehingga ada komitmen bersama untuk meyelamatkannya secara bersama demi kepentingan bersama. Jadi, Danau Toba bukan hanya milik dan tanggungjawab masyarakat setempat, tetapi semua masyarakat (baik global maupun nasional) bertanggungjawab terhadap kelestarian danau ini.

Proses membentuk kesadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, serta menggunakan sarana media komunikasi dan informasi seperti koran, majalah, televisi, jejaring sosial, dan media lainnya. Proses ini juga perlu melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, mahasiswa, pers, dan LSM. Sekali lagi tujuannya adalah untuk menebarkan benih-benih kesadaran lingkungan.

Selain itu, cara paling strategis untuk menanamkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat khususnya generasi muda adalah melalui pendidikan formal. Bisa melalui mata pelajaran muatan lokal yang diberikan kepada siswa sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Misalnya mata pelajaran pendidikan sadar budaya dan lingkungan. Muatan lokal atau mata pelajaran tersebut bisa dirancang sedemikian rupa agar peserta didik memiliki semangat kebersamaan dalam menyelamatkan lingkungan khususnya Danau Toba dengan berpijak pada kearifan lokal.

Kedua, dibutuhkan keseriusan pemerintah (pusat dan daerah) dengan mengedepankan kepentingan masyarakat luas, bukan kepentingan pemilik modal. Pemerintah hendaknya bisa merangkul masyarakat dan menjadikan mayarakat sebagai subyek dalam upaya penyelamatan dan pelestarian Danau Toba. Merangkul masyarakat dilakukan secara dialogis dan melalui pendekatan budaya.

Rencana pengembangan Danau Toba sebagai industri wisata andalan Sumatera Utara (Sumut) mulai 2012 patut didukung. Hanya saja, jangan sampai rencana-rencana seperti ini berhenti di tengah jalan dengan berbagai alasan, misalnya soal anggaran. Atau jangan sampai proses pengembangan ini justru menyingkirkan masyarakat dengan mengatasnamakan pembangunan, yang  hanya menguntungkan segelintir elite dan pemilik modal.

Ketiga, perlu ada aturan yang jelas dan tegas dalam penyelamatan Danau Toba. Aturan-aturan itu bisa dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang menjadi rambu-rambu kelancaran pelestarian danau tersebut. Misalnya memberikan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang mencemari danau, pelaku perambahan hutan di daerah tangkapan air, mengatur lokalisasi usaha keramba apung, dan mengatur tata ruang.

Obyek Wisata Andalan
Selanjutnya, penyelamatan dan pelestarian Danau Toba ini akan sendirinya memuluskan industri pariwisata di Sumut. Tinggal bagaimana strategi mempromosikannya kepada masyarakat dunia, serta membangun budaya dan ekonomi kreatif yang menarik minat wisatawan. Dalam tahap ini juga, masyarakat harus tetap dilibatkan sebagai pelaku. Sehingga pengembangan Danau Toba sebagai obyek wisata andalan Sumut benar-benar mendatangkan keadilan dan kesejahteraan.
Semoga melalui momen Pesta Danau Toba (PDT) pada 27-30 Desember 2011, menjadi momen hadirnya titik terang penyelamatan dan pengembangan Danau Toba demi kesejahteraan masyarakat.***

Penulis adalah mantan ketua KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial), mahasiswa Pascasarjana UGM

Senin, 19 Desember 2011

Berpantang Mengotori Danau Toba

Oleh: Karmel Simatupang

Danau Toba adalah anugerah bagi Sumut, Indonesia bahkan dunia. Air danau yang dulu menjadi sumber air minum yang layak harus dikembalikan. Pemerintahan Pusat, Pemprovsu dan ke-7 Kabupaten wilayah KDT sudah tidak saatnya untuk lempar batu sembunyi tangan dan melestarikan sikap apriorinya.
Ketika semasa kecil, orang-orangtua selalu bilang, "Jangan meludah ke Danau Toba, jangan buang sampah ke Danau Toba, apalagi buang hajat, nanti penghuninya marah, karena danau ini ada yang menjaga."

Pesan sosial dari pantangan mitos di atas dengan jelas dan terang mengatakan masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba sangat menghargai kebersihan dan kesucian Danau Toba. Namun, secara perlahan, mitos tersebut meluntur bahkan boleh dibilang hampir punah akibat modernisme dan pengaruh budaya masa kini.

Ketika itu, penulis masih kelas 3 Sekolah Dasar (SD 137371) di Kecamatan Sipoholon, bersama keluarga sedang berwisata ke Danau Toba (DT), menaiki kapal berukuran sedang di lepas pantai DT, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.

Mitos di atas menjadi sangat bernilai positip di tengah massifnya tekanan yang bertubi-tubi ke danau ini. Hasilnya, saat ini air DT tak layak lagi dikonsumsi bahkan untuk sekadar direnangi. Sebuah ironi di negeri yang penuh ironi.

Sejak hadirnya korporasi-korporasi di Kawasan Danau Toba (KDT), kesucian sekaligus keindahan-kebersihan ekosistem danau ini mulai memudar. Air Danau Toba pun menyurut.

Menurut keterangan Dimpos Manalu, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) beberapa waktu lalu menyebutkan dalam 5-10 tahun terakhir, level air DT menurun sampai 3 meter.

Diingatan kita belum lekang, beberapa tahun yang lalu, jutaan ikan mati mendadak di DT akibat keracunan. Industri dan pertambangan di sekitar KDT, perhotelan dan perkapalan juga ditengarai tak becus mengelola limbahnya.

Perumahan penduduk di seputar pinggiran KDT bertata letak membelakangi danau, bisa dipastikan limbah rumah tangga akan terbuang ke DT.

Selain itu hadirnya, keramba jaring apung asing (KJA) dalam skala besar makin memperparah kualitas air DT, karena sebagian besar pakan ikan mengendap ke dasar danau dan  mencemari danau setiap harinya. Di lokasi ditemukan kandungan posfor dan nitrogen yang berasal dari pakan ikan.

Saat ini  menurut tinjauan langsung penulis di lapangan, KJA sudah menyebar ke seluruh KDT, mulai dari Tiga Ras di Simalungun, Parapat, Balige, Porsea, Muara, Tomok, Pangururan, Silalahi, Tongging dan wilayah-wilayah kecil lainnya. Air DT sudah menjadi seperti miliknya pengusaha KJA.

Ada peternakan babi skala besar di Simalungun, disinyalir membuang limbahnya ke sungai-sungai yang bermuara ke DT. Juga pestisida yang dipakai para petani di KDT, jelas sebagian terbawa arus air ke DT.

Danau Toba Kian Tercemar
Salah satu kasus yang menjadi bukti nyata menyangkut kualitas air Danau Toba kian merusak adalah peningkatan pertumbuhan eceng gondok di Danau Toba. Eceng gondok adalah salah satu tumbuhan yang hidup di air berawa-rawa dan kotor. Saat ini hampir di seluruh pinggiran dan sebagian di lepas pantai terdapat eceng gondok. Artiannya, Danau Toba seluruhnya memang sudah tercemar.

Permukaan Danau Toba yang sudah tertutup eceng gondok tampak sudah menyebar kemana-mana. Misalnya di sekitar Balige, Laguboti, Sigumpar dan Porsea di kabupaten Toba, juga Pangururan di kabupaten Samosir, serta Tongging dan Silalahi di kabupaten Dairi.

Situs sejarah budaya, Tano Ponggol, atau terusan Tano Ponggol yang memisahkan Pulau Samosir dengan daratan Sumatera di Pangururan tidak bisa lagi dilalui kapal berukuran sedang, karena seluruh pinggirannya ditumbuhi eceng gondok.

Menurut hasil pengukuran yang dilakukan tahun 2008 oleh Badan Lingkungan Hidup Propinsi Sumatera Utara pernah menunjukkan pH (kadar keasaman) air sudah berada di level 8,2 (dalam sklala 6-9).

Tak ayal, Danau Toba yang maha dahsyat ini memang menjadi sebuah tragedi. Danau yang memiliki potensi sumber daya super dahsyat itu, tak punya tandingan dari segi keindahan dan panorama di dunia manapun, belum lagi DT merupakan danau vulkano-tektonik terluas di dunia. Namun perhatian terhadapnya tak sebanding. Sebaliknya eksploitasi besar-besaran terus mengintainya. Jadilah merana.

Bangsa ini untuk kesekian kalinya kurang menghargai keajaiban alamnya sendiri. Danau Toba ibarat seorang gadis yang berdandan memesona siapa saja, namun orang-orang di sekitarnya nakal, tamak dan rakus, hingga membuntuti aroma kecantikannya.

Aksi  
Tak bisa dibantah, setiap orang pasti sangat membutuhkan air, karena tanpa air mahluk apapun tidak akan pernah hidup. Air adalah simbol kehidupan, jika air sudah tercemari hidup segala mahluk hidup pun akan tercemari. 

Danau Toba adalah anugerah bagi Sumut, Indonesia bahkan dunia. Air danau yang dulu menjadi sumber air minum yang layak harus dikembalikan. Pemerintahan Pusat, Pemprovsu dan ke-7 Kabupaten wilayah KDT sudah tidak saatnya untuk lempar batu sembunyi tangan dan melestarikan sikap apriorinya.

Sebaliknya harus berjibaku, bergandengan tangan bersama semua stakeholder KDT dan warga dunia, memulihkan ekosistem Danau Toba. Ide-ide yang berkembang saat ini di masyarakat, seperti perlunya badan khusus yang menangani KDT, layak di dukung, sekaligus diawasi supaya tidak menyimpang dari tujuan yang sesungguhnya.

Mitos diatas bukan lagi sekedar mitos. Tapi bukti riil, Danau Toba pastilah akan marah, menjadi ancaman bagi umat manusia jika terlalu lama untuk di hargai dan dipulihkan.

Penanaman pohon yang baru-baru ini digagasi Kodam I/BB dengan "Toba Go Green" nya layak dikawal dan didukung, karena itu juga berarti ikut melestarikan kualitas air DT.

Akhirnya, mitos di atas mari kita positipkan, Danau Toba untuk kesejahteraan rakyat Sumatera Utara, Indonesia dan warga dunia. Semoga.***

Penulis adalah aktivis Earth Society for Danau Toba dan KDAS, Medan.
Terbit di Harian Medan Bisnis, Senin 19 desember 2011