Senin, 22 Juni 2009

MORAL DAN PEMIMPIN

Oleh: Jakob Siringo-ringo

Permasalahan yang dihadapi bangsa ini sekarang adalah persoalan terkait krisis moral. Hal ini tampak dari realita yang terlihat jelas oleh kita. Sebut saja, seperti, perilaku koruptor, isu pelanggaran HAM, dan sebagainya. Dengan kata lain, musuh utama bangsa saat ini adalah krisis moral yang mewabah—terutama menerpa para cendekia kita, penguasa, dan lain-lain.

Krisis moral yang justru menjadi permasalahan bangsa sepertinya akan terus berulang. Dan, tampaknya belum ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan persona yang terlibat langsung dengan isu pelanggaran HAM kini dipercaya menjadi calon wakil pemimpin (elite).

Dilema Dalam Pendidikan

Sekolah-sekolah kini seperti kehilangan tanggung jawab. Terutama tanggung jawab dalam membangun dan memperbaiki moralitas generasi penerus bangsa, yang nota bene bibit-bibit yang disemaikan—pengganti elite berikutnya, pemilik tanggung jawab bangsa, ke depan.

Generasi penerus bangsa, dalam hal ini anak didik sebagai dikelabui. Lihat saja buktinya pada generasi terdidik menengah pertama hingga menengah atas. Mereka diwajibkan memenuhi nilai yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Katanya untuk meningkatkan pendidikan.

Dalam persoalan ini dapat diketahui pada beberapa waktu lalu. Mereka (para generasi terdidik) mulai dari menengah pertama hingga menengah atas mengikuti ujian akhir (nasional), Ujian Nasional (UN). Ujian yang menjadi standar wajib kelulusan. Ujian yang memaksakan mutu (?) tanpa memperhatikan kualitas sesungguhnya.

Mutu pendidikan memang harus ditingkatkan. Berbagai cara harus pula diupayakan. Memang, indikator bagi peningkatan mutu pendidikan tersebut sangatlah banyak. Oleh Depdiknas sebagai indikator mutu, standar nilai kelulusan peserta ujian telah ditetapkan setinggi-tinggi.

Dari hasil pengamatan, sekolah di daerah-daerah yang terpencil akan kewalahan dalam mencapai angka tersebut. Namun, jangankan di daerah-daerah, di kota besar sekalipun menjerit akan keputusan nilai itu. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang melakukan ujian ulang.

Untuk itu, marilah kita bedah satu demi satu persoalan di atas terkait Ujian Nasional. Pertama, yang dilihat yaitu pada prakteknya. UN yang menjadi motor persoalan sudah dimulai sejak tahun 2003. Diketahui ketika itu pun sudah banyak kalangan yang menilai bahwa Ujian Nasional merupakan kebijakan yang sifatnya akan merugikan dan bukan menjadi jawaban atas permasalahan pendidikan. Jadi, jelas ketika pertama kali pun diajukan sudah diklaim bahwa UN adalah salah satu produk pemerintah yang kurang menggembirakan.

Buktinya kita lihat sampai sekarang. UN bukan saja membuang kesempatan para siswa untuk melanjutkan mimpi-mimpi mulianya, melainkan juga membunuh karakternya. Problematika yang kini dihadapi siswa tersebut seakan menginformasikan akan tutupnya pintu bagi pendidikan. Sarat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, itulah hedonisme oportunis sang pennguasa.

Kedua, membicarakan mutu. Hal ini disetujui oleh ketua DPP Partai Golkar, Burhanuddin Napitupulu, yang terkait dengan semangat sistem pendidikan nasional (sisdiknas), Sindo 8/6 2009. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alasan untuk memaksakan nilai (setinggi-tinggi) adalah karena mutu. Adakah mutu yang diperlihatkan dalam UN?

Ketiga, kecurangan-kecurangan yang terjadi selama UN. Apa penyebab terjadinya kecurangan dalam UN? Sudah dikaji dalam berbagai media, misalnya, bahwa semua itu terjadi karena UN sendiri merupakan produk pemerintah yang kurang menggembirakan. Lagi, dapat kita lihat betapa dosa-kecurangan itu menjadikan moral para siswa tidak baik.

Persoalan lain yang menambah produk pembodohan tersebut adalah disahkannya undang-undang baru pendidikan, UU BHP. Lagi-lagi sifatnya merugikan bahkan cenderung pelarangan kuliah bagi rakyat miskin. Undang-undang yang diturunkan dari UU sisdiknas no.20 tahun 2003 ini menegaskan bahwa setiap kampus (khususnya negeri) diswastanisasikan.

UU BHP di sini melegalkan kampus menjadi menuju perusahaan. Kalau sudah menjadi berbentuk perusahaan, dengan sendirinya pendidikan bukan lagi sebuah proses pembelajaran, melainkan penghajaran. Sesuai dengan keinginan perusahaan, kampus-kampus akan mencetak orang-orang yang hanya memenuhi kewajiban, dan otomatis kemerdekaannya akan ditentukan oleh kampus sendiri.

Dan, betul sedikit banyak maksud tujuan dari BHP itu sendiri sudah mulai diterapkan pada persyaratan masuk atau pada penerimaan calon mahasiswa baru. Kampus yang sudah berstatus BHP pun segera berlomba-lomba membuka jalur masuk mandiri. Seperti kita ketahui bahwa penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri tidak dapat dijangkau masyarakat miskin.

Selain itu, dampak lain yang merugikan bagi masyarakat miskin adalah semakin mengecilnya kesempatan untuk mendapatkan satu tempat berpijak dalam kuliah. Dalam hal ini, yang lebih layak menuntut ilmu adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Yang miskin tetap miskin, yang tak bermoral semakin tak bermoral.

Perbedaan antara penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri dengan ujian masuk perguruan tinggi biasanya dapat diperhatikan melalui harga yang ditawarkan. Contoh formulir pendaftaran untuk jalur masuk mandiri berkisar antara Rp 175.000-Rp 800.000 untuk setiap jalur seleksi. Sementara untuk ujian masuk biasanya, fomulir pendaftaran adalah Rp 200.000 (untuk IPA dan IPS) dan Rp 225.000 (untuk IPC).

UU BHP telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat di satu sisi. Sementara itu, di sisi yang lain amat bertentangan dengan konstitusi; juga mengingkari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Lalu jelaslah maksud dari BHP itu sendiri adalah mengutamakan materi, di samping membangun kualitas.

Sekali lagi, disahkannya UU BHP ini semakin menambah deretan panjang problema pendidikan kita. Tetapi, dengan semakin panjang dan lebarnya problema pendidikan kita, tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan kita. Di sinilah dilema yang kita hadapi. Dengan kata lain, dilema dalam pendidikan menandakan kualitas pendidikan itu sendiri (pendidikan: dekadensi).

Mendatangkan Nilai Kepemimpinan
Kita membutuhkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, hanya dengan pendidikan yang berkualitaslah kita dapat menumbuhkembangkan moral para anak didik sekaligus menngangkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Semai-semai yang sudah dibekali akal sehat, logika, moral baik, hingga SDM yang berkualitas, bertitik tolak mendatangkan nilai kepemimpinan. Seseorang yang memilliki nilai-nilai kepemimpinan, padanya nasib bangsa dipertaruhkan.

Bangsa yang layak maju tentu punya pemimpin yang berkuallitas. Dan, pemimpin yang bercita-cita untuk bangsanya selain punya visi-misi yang akurat, dalam kebijakannya juga tepat, merakyat.

Dari semua itu, pemerintah yang bercorak penguasa dan rakyat yang bercorak terkuasa sama-sama menjadi wadah dari nilai-nilai kepemimpinan. Dalam pada itu kepemimpinan yang dimaksud tetap yang berada dalam berkeadilan, merata, dan menyejahterakan rakyat. Terutama kurang mampu.

Satu kebijakan yang punya akuntabilitas mendatangkan pemimpin adalah pembangunan pendidikan. Lewat pendidikan, masyarakat terajar untuk berpikir maju, kritis. Dan, sifat pendidikan yang dimaksud tidak lain dari berkualitas. Sifat demikian diketahui pula menjadi ciri khas suatu bangsa yang maju.

Menurut hemat saya, mendatangkan mutu sesungguhnya dalam pendidikan berarti mendatangkan pula nilai pendidikan bermoral. Untuk itu, pendidikan bukan lagi cerita seperti zaman penjajahan susah diraih, atau malah menjadi beban. Karena hal ini tercantum dalam UUD 1945. Jadi, dengan pendidikan berkualitas, maka moral bangsa secara umum, pemuda secara khusus terbentuk menggembirakan. Sehingga melahirkan pemimpin bermoral, punya potensi sesungguhnya, dan berkeadilan, merakyat. Lagi terpercaya.***

Jumat, 27 Februari 2009

Membangun Ekonomi Rakyat dan Rakyat Membangun Ekonomi

Oleh: Chariady

Negara Indonesia yang kaya raya ini tentu tidak adil kalau hanya dieksploitasi segelintir pelaku ekonomi saja, misalkan korporat asing dan segelintir korporat dalam negeri (yang dianakemaskan). Akumulasi kekayaan hasil eksploitas sumber daya alam harus merata dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 230-an juta jiwa. Rakyat juga harus dilibatkan dalam mengelolanya. Kekayaan bumi pertiwi harusnya sudah bisa memberikan rakyat pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan gratis, tunjangan pengangguran, jaminan bagi anak terlantar serta merdeka dari kelaparan. Tapi miris, hasil keuntungan eksploitasi hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang punya kuasa dan akses yang mudah terhadap bumi kaya kita. Tak ayal, kata kemiskinan, kelaparan, dan beras selalu menjadi komoditas politk elit yang hendak dan telah berkuasa.
Ketidakadilan dalam ekonomi ini jelas tampak dalam potret hidup sehari-hari yang penuh cacat ketimpangan. Kita bisa melihat betapa angkuhnya mobil mewah yang berbandrol milyaran rupiah melintas di jalanan raya seolah tidak peduli dengan pemandangan suram kemiskinan di negeri ini. Sementara kalangan “sandal jepit” selalu menjadi objek tersingkirkan dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berbasis angka pertumbuhan. Ya benar memang angka bertumbuh sekian persen setiap tahunnya. Tapi, adakah pertumbuhan ini menetes kebawah sebagaimana dengan trickle down effect yang diyakini pemerintah ampuh ? Efektifkah ini terhadap pengurangan pengangguran, kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat ? Temporer sih ia. Kebijkan ekonomi ini rapuh terhadap gejolak krisis global. Tolak ukurnya tidak efektif jika didasarkan pertumbuhan dan akumulasi produk kapitalis saja.
Sejenak kita cuci mata. Kita lihat pemerintah baru-baru ini telah menurunkan (lebih tepatnya menyesuaikan) harga minyak sebanyak tiga kali untuk premium dan solar. Lalu adakah ini nyatanya untuk dan demi rakyat ? Sementara ongkos transportasi umum yang biasanya akrab dengan kehidupan kaum jelata tidak kunjung turun tarifnya. Harga-harga sembako justru naik. Ada apa ini ? Atau ini ada apanya. Semakin memperparah hajat hidup rakyat saja. Tidak salah kalau banyak rakyat yang mengatakan penurunan harga minyak hanya dinikmati kelas atas. Rakyat bawah ya tetap menderita. Belum lagi bayang-bayang PHK menanti sebagai imbas dari krisis global ini. Wah suram bukan.

Ekonomi Rakyat Kekuatan Kita
Ketika dunia didera krisis seperti ini, kembali yang menjadi dewa-dewi penyelamat ekonomi adalah usaha-usaha rakyat kelas bawah dan menengah yang akrab disebut UMKM. Ini cukup memberi kontribusi besar dalam penyediaan lapangan kerja. Sekitar 70 persen pekerja bekerja di sektor informal (UMKM). Immunitabilitas usaha ini tentu lebih kuat. Relatif aman terhadap fluktuasi kurs, lebih fleksibel, rasio utang terhadap modalnya rendah karena bagian besar modal adalah milik sendiri. Jadi di tengah krisis ini mereka tetap bisa berjalan tanpa terjebak jeratan utang. Sementara banyak industri besar seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), otomotif, dan perkebunan besar sudah gulung tikar karena sulitnya mendapat kredit segar, bahan baku impor yang mahal serta lesunya pasar eksport karena tiap negara prioritas ekspor kita (Uni Eropa, AS, dan Jepang) terus melakakukan proteksi untuk melindungi industri domestiknya.
Akhir-akhir ini pemerintah sudah mulai melirik sektor-sektor ini. Adanya Kredit Usaha Rakyat, Kredit UMKM, serta pemberdayaan program PNPM mengindikasikan mulai berpihkanya pemerintah terhadap usaha rakyat kita. Tapi ini juga perlu pembinaan dan monitoring yang bijak oleh pemerintah.

Usaha Rakyat Harus Dilindungi
Tidak dapat dipungkiri kontribusi sektor ril UMKM sangat besar terhadap stabilitas ekonomi kita dewasa ini. Betapa tidak, berkaca pada krisis moneter 1998 lalu, banyak korporasi bisnis besar yang bertumbangan. Perbankan terkena imbasnya karena NPL yang membludak, sehingga denyut nyadi perekonomian tersumbat akibat tidak ada dana segar yang bisa diakses. Capital flight besar-besaran pun terjadi. Apa jadinya ? Yang tetap dapat berdiri menopang ekonomi adalah usaha rakyat UMKM yang tidak terbelit oleh utang luar negeri. Bisa kita bayangkan bagaimana ketika utang yang tadinya Rp 2.500 per Dollarnya tiba-tiba harus dibayar dengan kurs yang naik 400 % (sekitar 15.000-an). Hancur minah pastinya.
Di tengah penduduk yang berkisar 230-an juta ini, pilihan tepat untuk memberdayakan rakyat dalam pembangunan ekonomi. Labor intensive efektif untuk diandalkan dalam jangka panjang. Permasalahan sebenarnya bukan masalah tidak efisiennya atau perkara lemahnya daya saing produk sektor ekonomi UMKM. Tapi yang menjadi permasalahannya adalah pemerintah lebih memfasilitasi sektor ekonomi besar yang capital intensive. Industri besar diberikan beragam fasilitas seperti pemberian ijin usaha (HGU) yang mudah, stimulus fiskal dan moneter, stimulus pengurangan bea masuk bahan baku, serta akses pasar diprioritaskan. Ekonomi rakyat seperti dianaktirikan. Selain itu sering yang menjadi permasalahan adalah adanya ketidakadilan pemanfaatan hasil SDA yang terjadi antara kepentingan masyarakat dan kepentingan capital. Kelompok nelayan dilarang memakai pukat harimau (trawl) dan bobot kapalnya dibatasi, tetapi pemilik modal diijinkan mengeksploitasi laut dengan bebasnya. Tambak-tambak besar dibangaun sehingga ruang gerak nelayan kecil di pantai sempit. Masih banyak ketimpangan lain yang tidak tersebutkan disini.
Pemerintah harus berpikir jangka panjang. Keadilan ekonomi harus tetap kita dukung. Kita semua tentu tidak inginkan kekayaan kita justru jadi kutukan. Sumber daya yang melimpah harus memberikan kesejahteraan bagi rakyat bukan bagi pemilik modal. Pemberdayaan UMKM tentu efektif untuk melibatkan elemen rakyat berpartisipasi dalam ekonomi. Sumber daya yang beragam merupakan bahan bakar potensial menggalakkan UMKM. Bidang pertanian, perkebunan rakyat, perikanan dan peternakan, tambang galian rakyat, serta industri kreatifitas seperti kerajin adalah potensi yang bisa dikelola dengan melibatkna rakyat. Tinggal bagaimana pemerintah memolesnya. Akses modal ekspansi dan jaminan pasar merupakan dua permasalahan krusial UMKM yang harus dijembatani pemerintah. Jika semua ini terlaksana, lambat laun, secara perlahan-lahan rakyatlah yang akan membangun ekonomi nantinya. Ekonomi yang dibangun rakyat tentu lebih kuat dibanding ekonomi yang dibangun kapitalis yang mengandalkan utang. Ekonomi rakyat harus dilindungi. Semoga.


Penulis adalah anggota KDAS, Ekonomi Akuntansi USU ‘05

Rabu, 27 Agustus 2008

Tangisan Kaum Tertindas

Oleh: Cahriady Purba

Dimana matamu
Ketika ku sekarat
Aku pucat otot gemetar menahan lapar
Rintihan hati begitu menusuk iris jiwaku
Asaku hilang di telan gelap pekat
Kucoba bertahan tubuh terkulai
Mengapa semua mata buta
Sesungguhnya aku pantas untuk di lihat

Dimana telingamu
Ketika ku berteriak
Teriakkan suara kebenaran
Suarakan duka penindasan
Semua bisanya didengar
Bukan mendengar
Mengapa semua telinga tuli
Sesungguhnya aku pantas tuk didengar

Dimana tanganmu
Ketika ku jatuh
Bangkit berdiri kucoba
Bukannya ditolong aku
Aku dicampakkan lagi
Ke kubangan lumpur kesengsaraan
Hartaku dirampas usahaku digusur
Mengapa semua tangan keji
Sesungguhnya aku pantas untuk ditopang

Dimana hatimu
Ketika ku tersakiti
Ketika kawan sebangsaku busung lapar
Giji buruk, bayi penerus bangsa mati
Dulu semua itu dibuat janji-janji
Tuk hisap semua simpati
Mengapa semua hati buta lalu mati
Sesungguhnya aku pantas tuk perhatian hati
Tak perlu lagi dibayar dengan mati

Semangat Rakyat Merdeka

Oleh: Edward Silaban

Kemerdekaan ini merupakan hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Perjuangan dengan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan dalam diri rakyat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka menjadi modal utama untuk mengisi kemerdekaan ini. Dengan spirit yang berkobar-kobar rakyat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dari Sabang sampai Merauke. Ini membuktikan semangat juang yang tinggi telah hidup dalam hati sanubari rakyat. Oleh karena itu, begitu pentingnya arti kemerdekaan ini bagi rakyat Indonesia yang belum merasakan kebebasan.
Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penjajahan dan berdiri di atas kaki sendiri lepas dari penjajahan luar. Kemerdekaan yang dimaksud jangan hanya sebatas lepas dari penjajahan tetapi lebih daripada itu. Perayaan HUT kemerdekaan Indonesia ke-63 ini hendaklah menjadi sebuah refleksi terhadap segala permasalahan yang ada. Kemerdekaan itu harus dimiliki oleh semua rakyat, bukan hanya satu lapisan tetapi semua lapisan merasakan makna kemerdekaan itu. Patut kita sadari kemerdekaan ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Pertama, kemiskinan semakin tidak terbendung lagi. Dimana banyak rakyat yang menderita kelaparan dan belum mendapat akses kesehatan sehingga keberadaanya terabaikan. Kemerdekaan yang mereka rasakan masih sebatas kemerderkaan dalam angan-angan belum menyentuh hidup mereka.

Kedua, pendidikan yang tidak merata. Di beberapa daerah masih terdapat penduduk yang buta huruf. Angka buta huruf semakin bertambah karena mereka belum menikmati pendidikan. Hal ini terjadi karena kurangnya peranan pemrintah sebagai pengambil kebijakan dalam mewujudakan masyarakat adil dan makmur.

Ketiga, secara tidak langsung negara ini masih dijajah oleh bangsa asing. Terbukti adanya ketergantungan terhadap negara lain yang mengakibatkan rakyat semakin menderita. Apakah ini namanya bangsa yang merdeka (freedom)? Kemerdekaan itu adalah milik kita bersama rakyat Indonesia. Bukankah semasa penjajahan kita mengatakan “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas dijajah oleh bangsa lain”.

Masalah bangsa adalah masalah kita bersama yang harus dimerdekakan. Mari kita isi kemerdekaan ini dengan spirit dan kekuatan rakyat. Apabila rakyat sejahtera maka negara akan kuat. Sudah saatnya untuk memahami persoalan bangsa, termasuk penderitaan yang dialami rakyat. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kemerdekaan ini bukan sebatas konteks tetapi kemerdekaan yang membebaskan. Jangan pernah menghilangkan kemerdekaan dari ingatan rakyat. Mari wujudkan mimpi bahwa kemerdekaan ini adalah kemerdekaaan rakyat yang bebas dari segala bentuk penderitaan. Dengan semangat rakyat yang berkobar-kobar teriakkan kata merdeka!merdeka!merdeka!***


Penulis adalah mantan ketua KDAS

Pesan Merdeka

Oleh: Randy V. Persie

Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Dan sang saka merah putih
Masih setia berkibar
Di atas bumi manusia Indonesia
Merah berarti berani Bung
Berani pertahankan kebenaran
Berani menentang ketidakadilan
Berani hidup biasa demi kaum papa
Putih berarti suci Bung
Suci dalam berjuang
Suci sejak dalam pikiran
Suci dalam perbuatan

Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Ia bukan sekedar simbol
Sebab butuh perjuangan sungguh para pendahulu
Tapi mengapa kita tidak benar-benar merdeka
Sebab kita tidak memiliki keberanian
Sebab kita belum hidup dalam kesucian

Wahai bangsaku
Tiadakah kegelisahan mengusik
Tiadakah terbersit tanya dihati
Sampai kapan negeri ini benar-benar merdeka
Merdeka berfikir
Merdeka berpendapat
Merdeka berkaryaMerdeka dari kemiskinanIa bukan milik segelintir orang
Karena merdeka adalah hak kita semua

Wahai bangsaku
Kita semua hanya orang biasa
Dijadikan Tuhan luar biasa
Untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa
Bersama kita isi kemerdekaan
Dengan berani
Dengan suci
Persembahan agung bagi ibu pertiwi
Yang telah lama menanti

Kelak
Di bawah tiang bendera
Bersama kibaran merah putih
Kita teriakkan
Merdeka, merdeka, merdeka
Merdekalah Indonesiaku
BANGKIT INDONESIA
Oleh: Cahriady Purba*


Enam puluh tiga tahun sudah
Indonesia merdeka bebas siksa
Semua bangsa bersorak ria
Dengan jerih payah asa bergelora
Ribuan nyawa telah bersimpah darah
Bukanlah hal yang mudah
Bukan dibayar murah
Tuk gapai Indonesia merdeka


Tapi entah mengapa
Jiwa ini masih dihantui gelisah aku gundah
Aku bersuka tapi hatiku terbalut duka
Kucoba telusuri masa
Aku mencari makna
Aku gelisah kemerdekaan itu dimana
Kita merdeka tapi bangsa terbungkus, takut belum sirna
Kita memang penuh fenomena

Kucoba renungkan nasib bangsa
Kuambil cermin untuk berkaca
Tapi aku malu melihat wajah bangsa
Bangsaku penuh parasit
Benalu KKN bertebaran dimana mana
Bangsaku masih penuh ruang kebodohan
Bangsaku penuh luka berbalut perban kemiskinan

Aku menangis melihat mereka yang tak kunjung luput tangisnya
Lambungku perih melihat bangsa rawan giji buruk kelaparan
Ulu hatiku sakit melihat mereka yang masih terbungkam tertindas
Aku gelisah melihat mereka yang serakah tak bersedekah
Yang hidupnya serba warna warni pernak-pernik mewah

Bangkitlah Indoneisa
Kinilah saatnya menghias harumkan wajah bangsa
Kita bangkitkan jiwa kita bangun bangsa
Kita gali habis bukit kebodohan kita tutup lubang kemiskinan
Bebaskan yang tertindas hentikan penggusuran
Tebas koruptor kikis nafsu korupsi bangsa
Jauhlah egoisme apatismemu generasi muda
Dengan nasionalisme patriotisme, bangkitlah Indonesia

Mahasiswa Departemen Akuntansi USU
Anggota KDAS

Bukan lembu, Bukan Banteng, Tapi Singa

Oleh: Cahriady Puarba

Bukan, bukan lembu
Bukan tuk ciptakan lembu-lembu
Yang setia jadi babu
Pendidikan bukan bentuk lahirkan itu
Sebab lembu hanya lembu
Susu diperah tenaga diperas tarikkan pedati
Sebab lembu adalah buruh-buruh
Tak terbiasa berpikir olah sawah
Hanya bisa ratapi alam kaya yang berlimpah ruah
Jadi tunggangan kapitalis untuk merambah
Kapitalis yang jadikan gunung jadi kawah
Tuk korek keruk habis tembaga timah

Bukan, bukan pula ciptakan banteng-banteng
Pendidikan bukan lahirkan banteng
Sebab banteng hanya terbiasa beradu
Provokasi massa keruhkan suasana
Banteng nasionalismenya hampa
Banteng kerap kali penghianat bangsa
Jadi perpanjangan tangan asing yang penuh tega
Yang penuh hasrat kacaukan kuasai negara tercinta
Banteng berkubang di kas negara
Kacaulah suasana bangsa

Bukan, bukan lembu
Bukan banteng
Tapi untuk ciptakan singa
Pendidikan adalah untuk bentuk lahirkan singa-singa muda
Tuk jadi pemimpin-pemimpin kuat tuk bangsa dan dunia
Ditakuti semua bangsa di seluruh penjuru dunia
Tangguh juga bijaksana
Mencari solusi dalam setiap suasana
Sungguhlah singa tak kan kelaparan
Karena mereka setia berbagi dalam kesatuan persatuan

Pendidikan
Bukan lembu bukan banteng
Bukan ciptakan itu
Tapi lahirkan singa
Gemakan raungan di seluruh penjuru dunia
Kan takut gentar semua bangsa

Mewariskan Semangat Juang 45

Oleh: Cahriady Purba

Kunci perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita merupakan warisan yang harus tetap kita pertahankan. Kunci itu hanya berbentuk suatu wadah yang bersatu padu antara kegigihan, keberanian, semangat rela berkorban, dan perasaan senasib sepenanggungan yang disulut dengan api nasionalisme yang membara.
Tanpa ada nasionalsime pejuang ’45 kita, tidak ada yang namanya bangsa (bangsa Indonesia). Yang ada hanyalah perjuangan yang terpecah belah oleh ego-ego lokal regional yang sangat rapuh untuk dipecah belah kaum penjajah. Apalagi pejuang dulu rawan politik “devide et impera” Belanda.

Mustahil kita dapat memasuki babak baru (babak menikmati dan mengisi kemerdekaan) ini tanpa adanya roh semangat juang dalam raga mereka. Kita patut mensyukuri semangat juang mereka. Tapi yang menjadi pemasalahan sekarang adalah : sudahkah kita mewarisi kunci kemerdekaan (semangat juang) itu ?
Faktanya kita hanya sebatas menceritakan (layaknya dongeng sebelum tidur), bukan menularkanya. Ini terlihat jelas dari menjamurnya aliran egoisme dan apatisme berkebangsaan generasi sekarang. Dalam seluruh sistem kita telah ternoda oleh aliran apatisme dan egoisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme. Boleh dikatakan ini adalah aliran sesat yang kedua. Dalam sistem kehidupan sosial aliran ini teleh menyebar seperi virus yang membuat kita tidak mau tahu dengan permasalahan yang ada. Pudarnya sistem gotong royong, rasa kekeluargaan, dan hilangnya keramahtamahan bangsa merupakan contohnya. Orang lain tidak bisa makan atau tertindas ,sementara kita berlimpah kita tidak perduli. Yang sangat kontras dalam sistem sosial sekarang adalah keinginan untuk berkuasa, lalu memeras dan menguras.

Demikian juga pendidikan kita telah larut dalam godaan dan rayuan kapitalisme. Pendidikan sebagai media yang diharapkan menularkan semangat juang ’45 hanya sekedar menceritakan, bukan mewariskan. Banyak lembaga pendidikan mulai tingkat SD, SLTP, SMU, apalagi Perguruan Tinggi tidak pernah lagi melakukan upacara bendera demikian juga instansi pemerintahan. Padahal, paling tidak melalui upacara bendera kita selalu diingatkan oleh semangat juang pahlawan kita agar semakin termotivasi berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan tetap menjunjung nasionalisme.

Ini adalah fenomena yang menyesatkan, memudarkan , bukan memajukan bangsa. Apakah kita mau bangsa kita ini kehilangan identitasnya ? Perlu kita ingat bahwa Sang Merah Putih adalah lambang keberanian, kegigihan semangat, serta kesucian perjuangan pahlawan kita. Harus kita hargai. Peringatan HUT ke-63 RI ini bukanlah kebetulan atau tradisi tahunan, melainkan kesempatan untuk mengingatkan serta menumbuhkan kembali semangat juang ’45. HUT RI ini juga adalah roh yang menegor para koruptor bangsa, penghianat bangsa, provokator, serta seluruh genaerasi yang hilang roh nasionalismenya. Mari kita mewarisi bersama kunci kemerdekaan (semangat juang ’45) ini, bukan dengan sebatas merayakan, merenungkan atau mendokumentasikan, melainkan harus menularkan. Kita satukan perjuangan kita. Kita tuntun roh nasionalisme masuk dalam diri bangsa. Sekali merdeka selamanya merdeka.***

Mempertanyakan Kesejahteraan Umum

Oleh: Jhon Rivel Purba

Tujuan utama penjajahan di muka bumi ini adalah untuk kepentingan ekonomi (gold). Itulah yang melatarbelakangi masuknya pihak asing ke Nusantara (Indonesia sekatang) . Penjajah melakukan segala cara untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, seperti melalui monopoli perdagangan, sistem tanam paksa, kerja paksa, sewa tanah, dan menggunakan kekuatan militer. Namun rakyat pribumi tidak tinggal diam tetapi melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga pada 17 Agustus 1945, Indonesia mencapai kemerdekaannya. Artinya, negeri ini bebas menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Sudah 63 tahun Indonesia sebagai negara yang berdaulat, namun kesejahteraan umum yang dicita-citakan tampaknya hanya mimpi. Kesenjangan sosial ekonomi semakin tinggi, puluhan juta rakyat berada di bawah garis kemiskinan, pengangguran, anak telantar, gelandangan, pengemis, dan permasalahan sosial lainnya merupakan tanda tanya besar sebagai negara merdeka. Padahal, negara kita kaya akan sumber kekayaan alam tetapi yang menikmatinya hanya sebagian kecil orang.

Sistem ekonomi Demokrasi Pancasila yang kita harapkan mewujudkan rakyat sejahtera ternyata lemah di lapangan, melainkan sistem ekonomi kapitalislah yang berkuasa menancapkan kukunya di negeri ini. Lemahnya sistem ekonomi kita tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan rakyat, politisi koruptor, mafia peradilan, dan pengaruh kapitalisme global.

Di negara ini begitu banyak kekayaan alam yang dikuasai oleh pihak asing seperti pertambangan, perkebunan, kelautan, pertanian dan dikhwatirkan akan lebih banyak lagi sumber-sumber ekonomi yang terkuras jika pemerintah lemah. Rakyat dijadikan kuli di negeri sendiri dengan upah yang murah. Padahal jika beranjak pada konstitusi, seharusnya sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat. Di sisi lain, pangsa pasar kita dibanjiri oleh produk-produk asing seperti elektronik, tekstil, dan bahan pangan. Sedangakan industri rakyat banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dan kurangnya perhatian pemerintah. Pertanyaan sederhana sebagai negara agraris, mengapa kita mengimpor beras? Kondisi ini jika dibiarkan, menyebabkan kita terjangkit penyakit “ketergantungan” sehingga Indonesia sulit bangkit.

Mungkinkah terwujud kesejahteraan umum?
Hal inilah yang menjadi refleksi kita bersama dalam memperingati momen HUT kemerdekaan RI yang ke-63. Sebab mewujudkan kesejahteraa umum adalah cita-cita dan tanggung jawab kita bersama. Kita pasti bisa bangkit dari keterpurukan. Merdeka. ***

Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Terlupakan

Oleh: Roganda Simanjuntak

Itulah memang kenyataannya bila kita menanyakan siapakah Tan Malaka kepada masyarakat kebanyakan. Nama Tan Malaka sangat jarang disebutkan dalam kurikulum pelajaran sejarah mulai dari dulu sampai sekarang, kalaupun disebut itupun hanya sekilas. Berbeda dengan tokoh-tokoh pelaku sejarah seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan yang lainnya. Sehingga nama Tan Malaka kurang populer ditengah masyarakat.

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat 2 Juni 1897 dan dibunuh secara tragis oleh TNI pada 19 Februari 1948 yang jenazahnya dibuang ke Sungai Brantas di Kediri Jawa Timur. Namanya lebih dikenal sebagai tokoh gerakan kiri Indonesia (meski tenggelam oleh nama DN Aidit) ketimbang tokoh pergerakan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan perannya dalam mendirikan Partai Komunis Indonesia, yang di masa kepemimpinan Soeharto menjadi "barang haram". Suasana politik termasuk penguasa yang berkuasa dan perilaku yang diperlihatkannya dalam memegang kekuasaan, seringkali memberikan kesulitan yang luar biasa dalam menempatkan seorang tokoh secara wajar, proporsional, jujur dan objektif. Ini dapat dilihat dari logika kekuasaan yang dalam sejarahnya seringkali ditampakkan dengan jalan pengaburan sejarah, pemutarbalikkan fakta atau melebih-lebihkan fakta yang ada.

Meski gelar pahlawan kemerdekaan nasional yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 tidak pernah dihapus oleh pemerintah Orde Baru, namanya dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Perlakuan tidak adil pada Tan Malaka oleh pemerintah Orde Baru tidak berhenti begitu saja. Rupanya mereka berusaha menghapus nama Tan Malaka dalam sejarah Indonesia.

Perjuangan Yang Dilakukan

Berbicara tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaries. Pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan. Yang oleh the founding fathers menyebut Tan Malaka sebagai bapak republik Indonesia. Selama hidupnya ia hanya beberapa tahun saja merasakan kebebasan dan berjuang di tengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada di pengasingan atau dalam penjara. Tidak hanya berperan di dalam negeri untuk melawan segala bentuk penjajahan melainkan melanglang buana di beberapa negara dimana kekuatan penjajah bercokol. Dengan taktik metode penyamaran berhasil masuk ke berbagai negara karena beliau adalah incaran dari agen-agen intelijen negara imperialis. Terhitung sejak pertama kali ia terjun dalam aktifitas politik yang sebenarnya, yaitu sejak kepindahannya dari Sumatera ke Jawa pada Juni 1921 dan setelah itu ia bergabung dengan PKI serta jabatan ketua PKI sempat ditangannya. Kemudian pembuangannya yang begitu lama, menimpanya ketika tuduhan mengganggu keseimbangan yang berusaha dijaga oleh pemerintah Hindia-Belanda jatuh padanya itu terjadi pada Maret 1922. Karena itu praktis Tan Malaka hanya mempunyai waktu satu tahun lamanya untuk berjuang. Kalau dihitung-hitung selama hidupnya praktis hanya mempunyai waktu dua tahun lamanya untuk berjuang secara terbuka. Aktivitasnya selama di dalam maupun di dalam negeri, sebagai pejuang yang menebarkan benih-benih anti kolonialisme dan anti kapitalisme hanya diketahui secara samara-samar dan tak jarang yang tersebar adalah cerita fiktif, baik yang memujanya ataupun yang mencemooh.

Dengan berawal dari pembentukan kursus-kursus Tan Malaka mendirikan sekolah sekolah bagi anak-anak anggota Sarekat Islam untuk penciptaan kader-kader baru. Hingga nantinya sekolah-sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintah Hindia Belanda lewat aksi-aksi pemogokan , disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Dalam sistem berpikirnya, Tan Malaka banyak menempatkan nasionalisme sebagai hal yang terpenting, baginya nasionalisme adalah perwujudan dari merdekanya Indonesia yang didasarkan atas sosialisme dan bersatunya kekuatan-kekuatan revolusioner, terutama kekuatan Islam dan nasionalis serta komunis. Pada mulanya ia berharap banyak dari PKI sebagai partai pelopor, namun bukan sama sekali untuk memonopoli dunia pergerakan. Tan Malaka yakin bahwa PKI tidak akan mampu memonopoli dan berjuang sendiri melawan Belanda yang kuat dan otoriter, apalagi ia mengetahui bahwa PKI sebagai organisasi politik belum berakar di dalam masyarakat ketika itu. Ia menambahkan dalam negara yang berpenduduk mayoritas Islam, maka Sarekat Islam adalah satu kekuatan revolusioner dan keliru apabila PKI memusuhinya.

Walaupun ia menjadi ketua PKI dan wakil Comintern untuk Asia Tenggara pernah dijabatnya, bukanlah dia berarti komunis dalam pengertian umum yang biasa, setidaknya ia bukanlah orang yang dogmatis dan doktriner dalam menerjemahkan ajaran-ajaran Marxis. Sikap bebas yang dikembangkannya di Comintern dan pertikaiannya dengan PKI, menempatkannya bahwa sebenarnya dia juga seorang nasionalis.

Tan Malaka dalam melihat revolusi Indonesia tidak berhenti pada revolusi politik semata namun melihatnya sebagai revolusi yang global sifatnya, mulai dari revolusi menghapuskan feodalisme, revolusi kemerdekaan dan revolusi sosial. Revolusi sosial yang isinya harapan terhadap hadirnya masyarakat yang adil dan makmur.

Karya-karya Tan Malaka

Tan Malaka dikenal juga sebagai intelektual, disamping sebagai pejuang yang cerdik. Dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu mentalitas dan sistem pemikiran yang mistis-pasif menuju kepribadian nasional yang rasional-aktif, ia berjuang dengan pena, dengan menulis banyak artikel dan buku. Ia banyak menghasilkan berbagai tulisan yang lahir dari kondisi objektif yang terjadi pada saat itu dengan analisa yang sangat tajam. Beliau yang hidup dan berkarya pada zaman Hindia Belanda, zaman Jepang atau zaman sesudah Indonesia merdeka mengalami perkembangan dan perubahan di dalam menganalisa setiap zamannya.

Diantara sejumlah tulisannya merupakan hasil perenungan dari ideologi, analisa masyarakat, program, strategi dan taktik serta organisasi. Sejumlah tulisan tersebut adalah: Sovyet atau Parlemen, SI Semarang dan Ondewijs, Toendoek Kepada Kekoesaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran, Goetji Wasiat Kaoem Militer, Naar de Republiek Indonesia.(Menuju Republik Indonesia), Semangat Moeda, Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia, Massa Actie, Manifesto PARI, Materialisme-Dialektika-Logika, Asia Bergabung, Politik, Rentjana Ekonomi, Moeslihat, Thesis, Dari Penjara Ke Pendjara, Koehandel di Kaliurang, Surat Kepada Partai Rakyat, Proklamasi 17-81945, Isi dan Pelaksanaannya, Uraian Mendadak, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).

Salah satu bukunya yang sangat terkenal berjudul Madilog. Ditulis di Jakarta, selama 8 bulan mulai dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. karya terbesar dari Tan Malaka ini diniatkannya sebagai upaya untuk merombak sistem berpikir bangsa Indonesia, dari pola berpikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional. Tanpa perombakan cara berpikir, sulit rasanya bangsa Indonesia untuk maju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialistik. MADILOG sebagai konsep berpikir yang memadukan tiga unsurnya yaitu MAterialisme, DIalektika dan LOGika, merupakan kesatuan dan tidak boleh dipisah-pisah.

Madilog inilah konsep revolusi pemikiran yang ditawarkan Tan Malaka kepada bangsanya agar sejarah perbudakan tidak terulang kembali. Madilog adalah sebuah konsep pemikiran dari Barat dimana Tan Malaka mengakui kontribbusi Marx dan Engels dalam perumusan metode berpikirnya yang dinilai rasional, untuk melawan apa apa yang di dalam MADILOG disebutnya sebagai cara berpiir ke-Timuran yang kuno, idealistik dan penuh dengan mistik, yang menyebabkan bangsa Indonesia terjajah dengan demikian lamanya serta membuat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan. Di dalam MADILOG akan ditemukan karya yang disajikan dengan menggunakan banyak terminologi Marxis, namun perjuangan kelas atau antagonisme kelas tidaklah mendapat tekanan berulang-ulang dari Tan Malaka ketimbang kekuatan gagasan sebagai penggerak perubahan sosial.

MADILOG dinyatakan oleh Tan Malaka bukan sebagai pandangan dunia atau filsafat, namun cara berpikir. Meskipun demikian diakui olehnya bahwa hubungan keduanya rapat sekali. Dari cara orang berpikir didapatkan filsafat dan dari filsafatnya dapat diketahui dengan metode apa sampai ke filsafat itu. Dicontohkan olehnya apabila seorang murid yang cerdas bila ia mengetahui satu kunci atau satu undang-undang untuk menyelesaikan satu golongan persoalan, maka dia tidak harus menghapalkan berpuluh-puluh atau beratus-ratus jawaban.

Perjuangan Tan Malaka untuk menuju kemerdekaan 100% ternyata tidak dilajutkan oleh generasi berikutnya mulai dari awal proklamasi hingga saat sekarang. Kekuatan modal asing yang kembali berkuasa yang terus mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam negeri ini ibarat benalu yang terus menghisap pohon yang disinggapinya yang perlahan-lahan mulai layu. Republik Indonesia yang adil dan makmur serta kemerdekaan 100% sesuai dengan cita-cita Tan Malaka harus terus digemakan kepada generasi sekarang. Pastinya kekuatan dan penguasaan negara imperialis di Indonesia harus segera disingkarkan menuju cita-cita tersebut. Kekuatan politik rezim yang berkuasa saat ini harus juga menegaskan kembali perjuangan dari Tan Malaka, walaupun rezim yang berkuasa hari ini adalah antek-antek dari negara imperialis. Tetapi sejarah harus tetap terbuka dan setidaknya nama Tan Malaka harus diakui dan dipahamani oleh bangsa ini, memperkenalkan Tan Malaka kepada generasi sekarang sebagai sosok pejuang revolusioner yang menggelorakan kemerdekaan menuju Indonesia adil dan makmur.***