Oleh: Cahriady Purba
Dimana matamu
Ketika ku sekarat
Aku pucat otot gemetar menahan lapar
Rintihan hati begitu menusuk iris jiwaku
Asaku hilang di telan gelap pekat
Kucoba bertahan tubuh terkulai
Mengapa semua mata buta
Sesungguhnya aku pantas untuk di lihat
Dimana telingamu
Ketika ku berteriak
Teriakkan suara kebenaran
Suarakan duka penindasan
Semua bisanya didengar
Bukan mendengar
Mengapa semua telinga tuli
Sesungguhnya aku pantas tuk didengar
Dimana tanganmu
Ketika ku jatuh
Bangkit berdiri kucoba
Bukannya ditolong aku
Aku dicampakkan lagi
Ke kubangan lumpur kesengsaraan
Hartaku dirampas usahaku digusur
Mengapa semua tangan keji
Sesungguhnya aku pantas untuk ditopang
Dimana hatimu
Ketika ku tersakiti
Ketika kawan sebangsaku busung lapar
Giji buruk, bayi penerus bangsa mati
Dulu semua itu dibuat janji-janji
Tuk hisap semua simpati
Mengapa semua hati buta lalu mati
Sesungguhnya aku pantas tuk perhatian hati
Tak perlu lagi dibayar dengan mati
Menjadi wadah pembentuk kesadaran kritis individu dan kolektif dalam menyikapi persoalan bangsa menuju transformasi bangsa.
Rabu, 27 Agustus 2008
Semangat Rakyat Merdeka
Oleh: Edward Silaban
Kemerdekaan ini merupakan hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Perjuangan dengan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan dalam diri rakyat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka menjadi modal utama untuk mengisi kemerdekaan ini. Dengan spirit yang berkobar-kobar rakyat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dari Sabang sampai Merauke. Ini membuktikan semangat juang yang tinggi telah hidup dalam hati sanubari rakyat. Oleh karena itu, begitu pentingnya arti kemerdekaan ini bagi rakyat Indonesia yang belum merasakan kebebasan.
Kemerdekaan ini merupakan hasil dari perjuangan rakyat Indonesia. Perjuangan dengan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Adanya rasa senasib dan sepenanggungan dalam diri rakyat untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka menjadi modal utama untuk mengisi kemerdekaan ini. Dengan spirit yang berkobar-kobar rakyat mengibarkan Sang Saka Merah Putih dari Sabang sampai Merauke. Ini membuktikan semangat juang yang tinggi telah hidup dalam hati sanubari rakyat. Oleh karena itu, begitu pentingnya arti kemerdekaan ini bagi rakyat Indonesia yang belum merasakan kebebasan.
Merdeka berarti bebas dari segala bentuk penjajahan dan berdiri di atas kaki sendiri lepas dari penjajahan luar. Kemerdekaan yang dimaksud jangan hanya sebatas lepas dari penjajahan tetapi lebih daripada itu. Perayaan HUT kemerdekaan Indonesia ke-63 ini hendaklah menjadi sebuah refleksi terhadap segala permasalahan yang ada. Kemerdekaan itu harus dimiliki oleh semua rakyat, bukan hanya satu lapisan tetapi semua lapisan merasakan makna kemerdekaan itu. Patut kita sadari kemerdekaan ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pertama, kemiskinan semakin tidak terbendung lagi. Dimana banyak rakyat yang menderita kelaparan dan belum mendapat akses kesehatan sehingga keberadaanya terabaikan. Kemerdekaan yang mereka rasakan masih sebatas kemerderkaan dalam angan-angan belum menyentuh hidup mereka.
Kedua, pendidikan yang tidak merata. Di beberapa daerah masih terdapat penduduk yang buta huruf. Angka buta huruf semakin bertambah karena mereka belum menikmati pendidikan. Hal ini terjadi karena kurangnya peranan pemrintah sebagai pengambil kebijakan dalam mewujudakan masyarakat adil dan makmur.
Ketiga, secara tidak langsung negara ini masih dijajah oleh bangsa asing. Terbukti adanya ketergantungan terhadap negara lain yang mengakibatkan rakyat semakin menderita. Apakah ini namanya bangsa yang merdeka (freedom)? Kemerdekaan itu adalah milik kita bersama rakyat Indonesia. Bukankah semasa penjajahan kita mengatakan “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas dijajah oleh bangsa lain”.
Masalah bangsa adalah masalah kita bersama yang harus dimerdekakan. Mari kita isi kemerdekaan ini dengan spirit dan kekuatan rakyat. Apabila rakyat sejahtera maka negara akan kuat. Sudah saatnya untuk memahami persoalan bangsa, termasuk penderitaan yang dialami rakyat. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kemerdekaan ini bukan sebatas konteks tetapi kemerdekaan yang membebaskan. Jangan pernah menghilangkan kemerdekaan dari ingatan rakyat. Mari wujudkan mimpi bahwa kemerdekaan ini adalah kemerdekaaan rakyat yang bebas dari segala bentuk penderitaan. Dengan semangat rakyat yang berkobar-kobar teriakkan kata merdeka!merdeka!merdeka!***
Pertama, kemiskinan semakin tidak terbendung lagi. Dimana banyak rakyat yang menderita kelaparan dan belum mendapat akses kesehatan sehingga keberadaanya terabaikan. Kemerdekaan yang mereka rasakan masih sebatas kemerderkaan dalam angan-angan belum menyentuh hidup mereka.
Kedua, pendidikan yang tidak merata. Di beberapa daerah masih terdapat penduduk yang buta huruf. Angka buta huruf semakin bertambah karena mereka belum menikmati pendidikan. Hal ini terjadi karena kurangnya peranan pemrintah sebagai pengambil kebijakan dalam mewujudakan masyarakat adil dan makmur.
Ketiga, secara tidak langsung negara ini masih dijajah oleh bangsa asing. Terbukti adanya ketergantungan terhadap negara lain yang mengakibatkan rakyat semakin menderita. Apakah ini namanya bangsa yang merdeka (freedom)? Kemerdekaan itu adalah milik kita bersama rakyat Indonesia. Bukankah semasa penjajahan kita mengatakan “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas dijajah oleh bangsa lain”.
Masalah bangsa adalah masalah kita bersama yang harus dimerdekakan. Mari kita isi kemerdekaan ini dengan spirit dan kekuatan rakyat. Apabila rakyat sejahtera maka negara akan kuat. Sudah saatnya untuk memahami persoalan bangsa, termasuk penderitaan yang dialami rakyat. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan jelas dinyatakan bahwa tujuan Indonesia merdeka adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kemerdekaan ini bukan sebatas konteks tetapi kemerdekaan yang membebaskan. Jangan pernah menghilangkan kemerdekaan dari ingatan rakyat. Mari wujudkan mimpi bahwa kemerdekaan ini adalah kemerdekaaan rakyat yang bebas dari segala bentuk penderitaan. Dengan semangat rakyat yang berkobar-kobar teriakkan kata merdeka!merdeka!merdeka!***
Penulis adalah mantan ketua KDAS
Pesan Merdeka
Oleh: Randy V. Persie
Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Dan sang saka merah putih
Masih setia berkibar
Di atas bumi manusia Indonesia
Merah berarti berani Bung
Berani pertahankan kebenaran
Berani menentang ketidakadilan
Berani hidup biasa demi kaum papa
Putih berarti suci Bung
Suci dalam berjuang
Suci sejak dalam pikiran
Suci dalam perbuatan
Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Ia bukan sekedar simbol
Sebab butuh perjuangan sungguh para pendahulu
Tapi mengapa kita tidak benar-benar merdeka
Sebab kita tidak memiliki keberanian
Sebab kita belum hidup dalam kesucian
Wahai bangsaku
Tiadakah kegelisahan mengusik
Tiadakah terbersit tanya dihati
Sampai kapan negeri ini benar-benar merdeka
Merdeka berfikir
Merdeka berpendapat
Merdeka berkaryaMerdeka dari kemiskinanIa bukan milik segelintir orang
Karena merdeka adalah hak kita semua
Wahai bangsaku
Kita semua hanya orang biasa
Dijadikan Tuhan luar biasa
Untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa
Bersama kita isi kemerdekaan
Dengan berani
Dengan suci
Persembahan agung bagi ibu pertiwi
Yang telah lama menanti
Kelak
Di bawah tiang bendera
Bersama kibaran merah putih
Kita teriakkan
Merdeka, merdeka, merdeka
Merdekalah Indonesiaku
Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Dan sang saka merah putih
Masih setia berkibar
Di atas bumi manusia Indonesia
Merah berarti berani Bung
Berani pertahankan kebenaran
Berani menentang ketidakadilan
Berani hidup biasa demi kaum papa
Putih berarti suci Bung
Suci dalam berjuang
Suci sejak dalam pikiran
Suci dalam perbuatan
Di bawah tiang bendera
63 tahun Indonesiaku merdeka
Ia bukan sekedar simbol
Sebab butuh perjuangan sungguh para pendahulu
Tapi mengapa kita tidak benar-benar merdeka
Sebab kita tidak memiliki keberanian
Sebab kita belum hidup dalam kesucian
Wahai bangsaku
Tiadakah kegelisahan mengusik
Tiadakah terbersit tanya dihati
Sampai kapan negeri ini benar-benar merdeka
Merdeka berfikir
Merdeka berpendapat
Merdeka berkaryaMerdeka dari kemiskinanIa bukan milik segelintir orang
Karena merdeka adalah hak kita semua
Wahai bangsaku
Kita semua hanya orang biasa
Dijadikan Tuhan luar biasa
Untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa
Bersama kita isi kemerdekaan
Dengan berani
Dengan suci
Persembahan agung bagi ibu pertiwi
Yang telah lama menanti
Kelak
Di bawah tiang bendera
Bersama kibaran merah putih
Kita teriakkan
Merdeka, merdeka, merdeka
Merdekalah Indonesiaku
BANGKIT INDONESIA
Oleh: Cahriady Purba*
Oleh: Cahriady Purba*
Enam puluh tiga tahun sudah
Indonesia merdeka bebas siksa
Semua bangsa bersorak ria
Dengan jerih payah asa bergelora
Ribuan nyawa telah bersimpah darah
Bukanlah hal yang mudah
Bukan dibayar murah
Tuk gapai Indonesia merdeka
Tapi entah mengapa
Jiwa ini masih dihantui gelisah aku gundah
Aku bersuka tapi hatiku terbalut duka
Kucoba telusuri masa
Aku mencari makna
Aku gelisah kemerdekaan itu dimana
Kita merdeka tapi bangsa terbungkus, takut belum sirna
Kita memang penuh fenomena
Kucoba renungkan nasib bangsa
Kuambil cermin untuk berkaca
Tapi aku malu melihat wajah bangsa
Bangsaku penuh parasit
Benalu KKN bertebaran dimana mana
Bangsaku masih penuh ruang kebodohan
Bangsaku penuh luka berbalut perban kemiskinan
Aku menangis melihat mereka yang tak kunjung luput tangisnya
Lambungku perih melihat bangsa rawan giji buruk kelaparan
Ulu hatiku sakit melihat mereka yang masih terbungkam tertindas
Aku gelisah melihat mereka yang serakah tak bersedekah
Yang hidupnya serba warna warni pernak-pernik mewah
Bangkitlah Indoneisa
Kinilah saatnya menghias harumkan wajah bangsa
Kita bangkitkan jiwa kita bangun bangsa
Kita gali habis bukit kebodohan kita tutup lubang kemiskinan
Bebaskan yang tertindas hentikan penggusuran
Tebas koruptor kikis nafsu korupsi bangsa
Jauhlah egoisme apatismemu generasi muda
Dengan nasionalisme patriotisme, bangkitlah Indonesia
Mahasiswa Departemen Akuntansi USU
Anggota KDAS
Bukan lembu, Bukan Banteng, Tapi Singa
Oleh: Cahriady Puarba
Bukan, bukan lembu
Bukan tuk ciptakan lembu-lembu
Yang setia jadi babu
Pendidikan bukan bentuk lahirkan itu
Sebab lembu hanya lembu
Susu diperah tenaga diperas tarikkan pedati
Sebab lembu adalah buruh-buruh
Tak terbiasa berpikir olah sawah
Hanya bisa ratapi alam kaya yang berlimpah ruah
Jadi tunggangan kapitalis untuk merambah
Kapitalis yang jadikan gunung jadi kawah
Tuk korek keruk habis tembaga timah
Bukan, bukan pula ciptakan banteng-banteng
Pendidikan bukan lahirkan banteng
Sebab banteng hanya terbiasa beradu
Provokasi massa keruhkan suasana
Banteng nasionalismenya hampa
Banteng kerap kali penghianat bangsa
Jadi perpanjangan tangan asing yang penuh tega
Yang penuh hasrat kacaukan kuasai negara tercinta
Banteng berkubang di kas negara
Kacaulah suasana bangsa
Bukan, bukan lembu
Bukan banteng
Tapi untuk ciptakan singa
Pendidikan adalah untuk bentuk lahirkan singa-singa muda
Tuk jadi pemimpin-pemimpin kuat tuk bangsa dan dunia
Ditakuti semua bangsa di seluruh penjuru dunia
Tangguh juga bijaksana
Mencari solusi dalam setiap suasana
Sungguhlah singa tak kan kelaparan
Karena mereka setia berbagi dalam kesatuan persatuan
Pendidikan
Bukan lembu bukan banteng
Bukan ciptakan itu
Tapi lahirkan singa
Gemakan raungan di seluruh penjuru dunia
Kan takut gentar semua bangsa
Bukan, bukan lembu
Bukan tuk ciptakan lembu-lembu
Yang setia jadi babu
Pendidikan bukan bentuk lahirkan itu
Sebab lembu hanya lembu
Susu diperah tenaga diperas tarikkan pedati
Sebab lembu adalah buruh-buruh
Tak terbiasa berpikir olah sawah
Hanya bisa ratapi alam kaya yang berlimpah ruah
Jadi tunggangan kapitalis untuk merambah
Kapitalis yang jadikan gunung jadi kawah
Tuk korek keruk habis tembaga timah
Bukan, bukan pula ciptakan banteng-banteng
Pendidikan bukan lahirkan banteng
Sebab banteng hanya terbiasa beradu
Provokasi massa keruhkan suasana
Banteng nasionalismenya hampa
Banteng kerap kali penghianat bangsa
Jadi perpanjangan tangan asing yang penuh tega
Yang penuh hasrat kacaukan kuasai negara tercinta
Banteng berkubang di kas negara
Kacaulah suasana bangsa
Bukan, bukan lembu
Bukan banteng
Tapi untuk ciptakan singa
Pendidikan adalah untuk bentuk lahirkan singa-singa muda
Tuk jadi pemimpin-pemimpin kuat tuk bangsa dan dunia
Ditakuti semua bangsa di seluruh penjuru dunia
Tangguh juga bijaksana
Mencari solusi dalam setiap suasana
Sungguhlah singa tak kan kelaparan
Karena mereka setia berbagi dalam kesatuan persatuan
Pendidikan
Bukan lembu bukan banteng
Bukan ciptakan itu
Tapi lahirkan singa
Gemakan raungan di seluruh penjuru dunia
Kan takut gentar semua bangsa
Mewariskan Semangat Juang 45
Oleh: Cahriady Purba
Kunci perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita merupakan warisan yang harus tetap kita pertahankan. Kunci itu hanya berbentuk suatu wadah yang bersatu padu antara kegigihan, keberanian, semangat rela berkorban, dan perasaan senasib sepenanggungan yang disulut dengan api nasionalisme yang membara.
Tanpa ada nasionalsime pejuang ’45 kita, tidak ada yang namanya bangsa (bangsa Indonesia). Yang ada hanyalah perjuangan yang terpecah belah oleh ego-ego lokal regional yang sangat rapuh untuk dipecah belah kaum penjajah. Apalagi pejuang dulu rawan politik “devide et impera” Belanda.
Mustahil kita dapat memasuki babak baru (babak menikmati dan mengisi kemerdekaan) ini tanpa adanya roh semangat juang dalam raga mereka. Kita patut mensyukuri semangat juang mereka. Tapi yang menjadi pemasalahan sekarang adalah : sudahkah kita mewarisi kunci kemerdekaan (semangat juang) itu ?
Faktanya kita hanya sebatas menceritakan (layaknya dongeng sebelum tidur), bukan menularkanya. Ini terlihat jelas dari menjamurnya aliran egoisme dan apatisme berkebangsaan generasi sekarang. Dalam seluruh sistem kita telah ternoda oleh aliran apatisme dan egoisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme. Boleh dikatakan ini adalah aliran sesat yang kedua. Dalam sistem kehidupan sosial aliran ini teleh menyebar seperi virus yang membuat kita tidak mau tahu dengan permasalahan yang ada. Pudarnya sistem gotong royong, rasa kekeluargaan, dan hilangnya keramahtamahan bangsa merupakan contohnya. Orang lain tidak bisa makan atau tertindas ,sementara kita berlimpah kita tidak perduli. Yang sangat kontras dalam sistem sosial sekarang adalah keinginan untuk berkuasa, lalu memeras dan menguras.
Demikian juga pendidikan kita telah larut dalam godaan dan rayuan kapitalisme. Pendidikan sebagai media yang diharapkan menularkan semangat juang ’45 hanya sekedar menceritakan, bukan mewariskan. Banyak lembaga pendidikan mulai tingkat SD, SLTP, SMU, apalagi Perguruan Tinggi tidak pernah lagi melakukan upacara bendera demikian juga instansi pemerintahan. Padahal, paling tidak melalui upacara bendera kita selalu diingatkan oleh semangat juang pahlawan kita agar semakin termotivasi berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan tetap menjunjung nasionalisme.
Ini adalah fenomena yang menyesatkan, memudarkan , bukan memajukan bangsa. Apakah kita mau bangsa kita ini kehilangan identitasnya ? Perlu kita ingat bahwa Sang Merah Putih adalah lambang keberanian, kegigihan semangat, serta kesucian perjuangan pahlawan kita. Harus kita hargai. Peringatan HUT ke-63 RI ini bukanlah kebetulan atau tradisi tahunan, melainkan kesempatan untuk mengingatkan serta menumbuhkan kembali semangat juang ’45. HUT RI ini juga adalah roh yang menegor para koruptor bangsa, penghianat bangsa, provokator, serta seluruh genaerasi yang hilang roh nasionalismenya. Mari kita mewarisi bersama kunci kemerdekaan (semangat juang ’45) ini, bukan dengan sebatas merayakan, merenungkan atau mendokumentasikan, melainkan harus menularkan. Kita satukan perjuangan kita. Kita tuntun roh nasionalisme masuk dalam diri bangsa. Sekali merdeka selamanya merdeka.***
Kunci perjuangan para pahlawan kemerdekaan kita merupakan warisan yang harus tetap kita pertahankan. Kunci itu hanya berbentuk suatu wadah yang bersatu padu antara kegigihan, keberanian, semangat rela berkorban, dan perasaan senasib sepenanggungan yang disulut dengan api nasionalisme yang membara.
Tanpa ada nasionalsime pejuang ’45 kita, tidak ada yang namanya bangsa (bangsa Indonesia). Yang ada hanyalah perjuangan yang terpecah belah oleh ego-ego lokal regional yang sangat rapuh untuk dipecah belah kaum penjajah. Apalagi pejuang dulu rawan politik “devide et impera” Belanda.
Mustahil kita dapat memasuki babak baru (babak menikmati dan mengisi kemerdekaan) ini tanpa adanya roh semangat juang dalam raga mereka. Kita patut mensyukuri semangat juang mereka. Tapi yang menjadi pemasalahan sekarang adalah : sudahkah kita mewarisi kunci kemerdekaan (semangat juang) itu ?
Faktanya kita hanya sebatas menceritakan (layaknya dongeng sebelum tidur), bukan menularkanya. Ini terlihat jelas dari menjamurnya aliran egoisme dan apatisme berkebangsaan generasi sekarang. Dalam seluruh sistem kita telah ternoda oleh aliran apatisme dan egoisme yang merupakan anak kandung dari kapitalisme. Boleh dikatakan ini adalah aliran sesat yang kedua. Dalam sistem kehidupan sosial aliran ini teleh menyebar seperi virus yang membuat kita tidak mau tahu dengan permasalahan yang ada. Pudarnya sistem gotong royong, rasa kekeluargaan, dan hilangnya keramahtamahan bangsa merupakan contohnya. Orang lain tidak bisa makan atau tertindas ,sementara kita berlimpah kita tidak perduli. Yang sangat kontras dalam sistem sosial sekarang adalah keinginan untuk berkuasa, lalu memeras dan menguras.
Demikian juga pendidikan kita telah larut dalam godaan dan rayuan kapitalisme. Pendidikan sebagai media yang diharapkan menularkan semangat juang ’45 hanya sekedar menceritakan, bukan mewariskan. Banyak lembaga pendidikan mulai tingkat SD, SLTP, SMU, apalagi Perguruan Tinggi tidak pernah lagi melakukan upacara bendera demikian juga instansi pemerintahan. Padahal, paling tidak melalui upacara bendera kita selalu diingatkan oleh semangat juang pahlawan kita agar semakin termotivasi berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan tetap menjunjung nasionalisme.
Ini adalah fenomena yang menyesatkan, memudarkan , bukan memajukan bangsa. Apakah kita mau bangsa kita ini kehilangan identitasnya ? Perlu kita ingat bahwa Sang Merah Putih adalah lambang keberanian, kegigihan semangat, serta kesucian perjuangan pahlawan kita. Harus kita hargai. Peringatan HUT ke-63 RI ini bukanlah kebetulan atau tradisi tahunan, melainkan kesempatan untuk mengingatkan serta menumbuhkan kembali semangat juang ’45. HUT RI ini juga adalah roh yang menegor para koruptor bangsa, penghianat bangsa, provokator, serta seluruh genaerasi yang hilang roh nasionalismenya. Mari kita mewarisi bersama kunci kemerdekaan (semangat juang ’45) ini, bukan dengan sebatas merayakan, merenungkan atau mendokumentasikan, melainkan harus menularkan. Kita satukan perjuangan kita. Kita tuntun roh nasionalisme masuk dalam diri bangsa. Sekali merdeka selamanya merdeka.***
Mempertanyakan Kesejahteraan Umum
Oleh: Jhon Rivel Purba
Tujuan utama penjajahan di muka bumi ini adalah untuk kepentingan ekonomi (gold). Itulah yang melatarbelakangi masuknya pihak asing ke Nusantara (Indonesia sekatang) . Penjajah melakukan segala cara untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, seperti melalui monopoli perdagangan, sistem tanam paksa, kerja paksa, sewa tanah, dan menggunakan kekuatan militer. Namun rakyat pribumi tidak tinggal diam tetapi melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga pada 17 Agustus 1945, Indonesia mencapai kemerdekaannya. Artinya, negeri ini bebas menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Sudah 63 tahun Indonesia sebagai negara yang berdaulat, namun kesejahteraan umum yang dicita-citakan tampaknya hanya mimpi. Kesenjangan sosial ekonomi semakin tinggi, puluhan juta rakyat berada di bawah garis kemiskinan, pengangguran, anak telantar, gelandangan, pengemis, dan permasalahan sosial lainnya merupakan tanda tanya besar sebagai negara merdeka. Padahal, negara kita kaya akan sumber kekayaan alam tetapi yang menikmatinya hanya sebagian kecil orang.
Sistem ekonomi Demokrasi Pancasila yang kita harapkan mewujudkan rakyat sejahtera ternyata lemah di lapangan, melainkan sistem ekonomi kapitalislah yang berkuasa menancapkan kukunya di negeri ini. Lemahnya sistem ekonomi kita tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan rakyat, politisi koruptor, mafia peradilan, dan pengaruh kapitalisme global.
Di negara ini begitu banyak kekayaan alam yang dikuasai oleh pihak asing seperti pertambangan, perkebunan, kelautan, pertanian dan dikhwatirkan akan lebih banyak lagi sumber-sumber ekonomi yang terkuras jika pemerintah lemah. Rakyat dijadikan kuli di negeri sendiri dengan upah yang murah. Padahal jika beranjak pada konstitusi, seharusnya sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat. Di sisi lain, pangsa pasar kita dibanjiri oleh produk-produk asing seperti elektronik, tekstil, dan bahan pangan. Sedangakan industri rakyat banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dan kurangnya perhatian pemerintah. Pertanyaan sederhana sebagai negara agraris, mengapa kita mengimpor beras? Kondisi ini jika dibiarkan, menyebabkan kita terjangkit penyakit “ketergantungan” sehingga Indonesia sulit bangkit.
Mungkinkah terwujud kesejahteraan umum?
Hal inilah yang menjadi refleksi kita bersama dalam memperingati momen HUT kemerdekaan RI yang ke-63. Sebab mewujudkan kesejahteraa umum adalah cita-cita dan tanggung jawab kita bersama. Kita pasti bisa bangkit dari keterpurukan. Merdeka. ***
Tujuan utama penjajahan di muka bumi ini adalah untuk kepentingan ekonomi (gold). Itulah yang melatarbelakangi masuknya pihak asing ke Nusantara (Indonesia sekatang) . Penjajah melakukan segala cara untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, seperti melalui monopoli perdagangan, sistem tanam paksa, kerja paksa, sewa tanah, dan menggunakan kekuatan militer. Namun rakyat pribumi tidak tinggal diam tetapi melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga pada 17 Agustus 1945, Indonesia mencapai kemerdekaannya. Artinya, negeri ini bebas menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Sudah 63 tahun Indonesia sebagai negara yang berdaulat, namun kesejahteraan umum yang dicita-citakan tampaknya hanya mimpi. Kesenjangan sosial ekonomi semakin tinggi, puluhan juta rakyat berada di bawah garis kemiskinan, pengangguran, anak telantar, gelandangan, pengemis, dan permasalahan sosial lainnya merupakan tanda tanya besar sebagai negara merdeka. Padahal, negara kita kaya akan sumber kekayaan alam tetapi yang menikmatinya hanya sebagian kecil orang.
Sistem ekonomi Demokrasi Pancasila yang kita harapkan mewujudkan rakyat sejahtera ternyata lemah di lapangan, melainkan sistem ekonomi kapitalislah yang berkuasa menancapkan kukunya di negeri ini. Lemahnya sistem ekonomi kita tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan rakyat, politisi koruptor, mafia peradilan, dan pengaruh kapitalisme global.
Di negara ini begitu banyak kekayaan alam yang dikuasai oleh pihak asing seperti pertambangan, perkebunan, kelautan, pertanian dan dikhwatirkan akan lebih banyak lagi sumber-sumber ekonomi yang terkuras jika pemerintah lemah. Rakyat dijadikan kuli di negeri sendiri dengan upah yang murah. Padahal jika beranjak pada konstitusi, seharusnya sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh negara untuk kemakmuran seluruh rakyat. Di sisi lain, pangsa pasar kita dibanjiri oleh produk-produk asing seperti elektronik, tekstil, dan bahan pangan. Sedangakan industri rakyat banyak yang gulung tikar karena kalah bersaing dan kurangnya perhatian pemerintah. Pertanyaan sederhana sebagai negara agraris, mengapa kita mengimpor beras? Kondisi ini jika dibiarkan, menyebabkan kita terjangkit penyakit “ketergantungan” sehingga Indonesia sulit bangkit.
Mungkinkah terwujud kesejahteraan umum?
Hal inilah yang menjadi refleksi kita bersama dalam memperingati momen HUT kemerdekaan RI yang ke-63. Sebab mewujudkan kesejahteraa umum adalah cita-cita dan tanggung jawab kita bersama. Kita pasti bisa bangkit dari keterpurukan. Merdeka. ***
Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Terlupakan
Oleh: Roganda Simanjuntak
Itulah memang kenyataannya bila kita menanyakan siapakah Tan Malaka kepada masyarakat kebanyakan. Nama Tan Malaka sangat jarang disebutkan dalam kurikulum pelajaran sejarah mulai dari dulu sampai sekarang, kalaupun disebut itupun hanya sekilas. Berbeda dengan tokoh-tokoh pelaku sejarah seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan yang lainnya. Sehingga nama Tan Malaka kurang populer ditengah masyarakat.
Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat 2 Juni 1897 dan dibunuh secara tragis oleh TNI pada 19 Februari 1948 yang jenazahnya dibuang ke Sungai Brantas di Kediri Jawa Timur. Namanya lebih dikenal sebagai tokoh gerakan kiri Indonesia (meski tenggelam oleh nama DN Aidit) ketimbang tokoh pergerakan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan perannya dalam mendirikan Partai Komunis Indonesia, yang di masa kepemimpinan Soeharto menjadi "barang haram". Suasana politik termasuk penguasa yang berkuasa dan perilaku yang diperlihatkannya dalam memegang kekuasaan, seringkali memberikan kesulitan yang luar biasa dalam menempatkan seorang tokoh secara wajar, proporsional, jujur dan objektif. Ini dapat dilihat dari logika kekuasaan yang dalam sejarahnya seringkali ditampakkan dengan jalan pengaburan sejarah, pemutarbalikkan fakta atau melebih-lebihkan fakta yang ada.
Meski gelar pahlawan kemerdekaan nasional yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 tidak pernah dihapus oleh pemerintah Orde Baru, namanya dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Perlakuan tidak adil pada Tan Malaka oleh pemerintah Orde Baru tidak berhenti begitu saja. Rupanya mereka berusaha menghapus nama Tan Malaka dalam sejarah Indonesia.
Perjuangan Yang Dilakukan
Berbicara tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaries. Pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan. Yang oleh the founding fathers menyebut Tan Malaka sebagai bapak republik Indonesia. Selama hidupnya ia hanya beberapa tahun saja merasakan kebebasan dan berjuang di tengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada di pengasingan atau dalam penjara. Tidak hanya berperan di dalam negeri untuk melawan segala bentuk penjajahan melainkan melanglang buana di beberapa negara dimana kekuatan penjajah bercokol. Dengan taktik metode penyamaran berhasil masuk ke berbagai negara karena beliau adalah incaran dari agen-agen intelijen negara imperialis. Terhitung sejak pertama kali ia terjun dalam aktifitas politik yang sebenarnya, yaitu sejak kepindahannya dari Sumatera ke Jawa pada Juni 1921 dan setelah itu ia bergabung dengan PKI serta jabatan ketua PKI sempat ditangannya. Kemudian pembuangannya yang begitu lama, menimpanya ketika tuduhan mengganggu keseimbangan yang berusaha dijaga oleh pemerintah Hindia-Belanda jatuh padanya itu terjadi pada Maret 1922. Karena itu praktis Tan Malaka hanya mempunyai waktu satu tahun lamanya untuk berjuang. Kalau dihitung-hitung selama hidupnya praktis hanya mempunyai waktu dua tahun lamanya untuk berjuang secara terbuka. Aktivitasnya selama di dalam maupun di dalam negeri, sebagai pejuang yang menebarkan benih-benih anti kolonialisme dan anti kapitalisme hanya diketahui secara samara-samar dan tak jarang yang tersebar adalah cerita fiktif, baik yang memujanya ataupun yang mencemooh.
Dengan berawal dari pembentukan kursus-kursus Tan Malaka mendirikan sekolah sekolah bagi anak-anak anggota Sarekat Islam untuk penciptaan kader-kader baru. Hingga nantinya sekolah-sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintah Hindia Belanda lewat aksi-aksi pemogokan , disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Dalam sistem berpikirnya, Tan Malaka banyak menempatkan nasionalisme sebagai hal yang terpenting, baginya nasionalisme adalah perwujudan dari merdekanya Indonesia yang didasarkan atas sosialisme dan bersatunya kekuatan-kekuatan revolusioner, terutama kekuatan Islam dan nasionalis serta komunis. Pada mulanya ia berharap banyak dari PKI sebagai partai pelopor, namun bukan sama sekali untuk memonopoli dunia pergerakan. Tan Malaka yakin bahwa PKI tidak akan mampu memonopoli dan berjuang sendiri melawan Belanda yang kuat dan otoriter, apalagi ia mengetahui bahwa PKI sebagai organisasi politik belum berakar di dalam masyarakat ketika itu. Ia menambahkan dalam negara yang berpenduduk mayoritas Islam, maka Sarekat Islam adalah satu kekuatan revolusioner dan keliru apabila PKI memusuhinya.
Walaupun ia menjadi ketua PKI dan wakil Comintern untuk Asia Tenggara pernah dijabatnya, bukanlah dia berarti komunis dalam pengertian umum yang biasa, setidaknya ia bukanlah orang yang dogmatis dan doktriner dalam menerjemahkan ajaran-ajaran Marxis. Sikap bebas yang dikembangkannya di Comintern dan pertikaiannya dengan PKI, menempatkannya bahwa sebenarnya dia juga seorang nasionalis.
Tan Malaka dalam melihat revolusi Indonesia tidak berhenti pada revolusi politik semata namun melihatnya sebagai revolusi yang global sifatnya, mulai dari revolusi menghapuskan feodalisme, revolusi kemerdekaan dan revolusi sosial. Revolusi sosial yang isinya harapan terhadap hadirnya masyarakat yang adil dan makmur.
Karya-karya Tan Malaka
Tan Malaka dikenal juga sebagai intelektual, disamping sebagai pejuang yang cerdik. Dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu mentalitas dan sistem pemikiran yang mistis-pasif menuju kepribadian nasional yang rasional-aktif, ia berjuang dengan pena, dengan menulis banyak artikel dan buku. Ia banyak menghasilkan berbagai tulisan yang lahir dari kondisi objektif yang terjadi pada saat itu dengan analisa yang sangat tajam. Beliau yang hidup dan berkarya pada zaman Hindia Belanda, zaman Jepang atau zaman sesudah Indonesia merdeka mengalami perkembangan dan perubahan di dalam menganalisa setiap zamannya.
Diantara sejumlah tulisannya merupakan hasil perenungan dari ideologi, analisa masyarakat, program, strategi dan taktik serta organisasi. Sejumlah tulisan tersebut adalah: Sovyet atau Parlemen, SI Semarang dan Ondewijs, Toendoek Kepada Kekoesaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran, Goetji Wasiat Kaoem Militer, Naar de Republiek Indonesia.(Menuju Republik Indonesia), Semangat Moeda, Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia, Massa Actie, Manifesto PARI, Materialisme-Dialektika-Logika, Asia Bergabung, Politik, Rentjana Ekonomi, Moeslihat, Thesis, Dari Penjara Ke Pendjara, Koehandel di Kaliurang, Surat Kepada Partai Rakyat, Proklamasi 17-81945, Isi dan Pelaksanaannya, Uraian Mendadak, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).
Salah satu bukunya yang sangat terkenal berjudul Madilog. Ditulis di Jakarta, selama 8 bulan mulai dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. karya terbesar dari Tan Malaka ini diniatkannya sebagai upaya untuk merombak sistem berpikir bangsa Indonesia, dari pola berpikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional. Tanpa perombakan cara berpikir, sulit rasanya bangsa Indonesia untuk maju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialistik. MADILOG sebagai konsep berpikir yang memadukan tiga unsurnya yaitu MAterialisme, DIalektika dan LOGika, merupakan kesatuan dan tidak boleh dipisah-pisah.
Madilog inilah konsep revolusi pemikiran yang ditawarkan Tan Malaka kepada bangsanya agar sejarah perbudakan tidak terulang kembali. Madilog adalah sebuah konsep pemikiran dari Barat dimana Tan Malaka mengakui kontribbusi Marx dan Engels dalam perumusan metode berpikirnya yang dinilai rasional, untuk melawan apa apa yang di dalam MADILOG disebutnya sebagai cara berpiir ke-Timuran yang kuno, idealistik dan penuh dengan mistik, yang menyebabkan bangsa Indonesia terjajah dengan demikian lamanya serta membuat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan. Di dalam MADILOG akan ditemukan karya yang disajikan dengan menggunakan banyak terminologi Marxis, namun perjuangan kelas atau antagonisme kelas tidaklah mendapat tekanan berulang-ulang dari Tan Malaka ketimbang kekuatan gagasan sebagai penggerak perubahan sosial.
MADILOG dinyatakan oleh Tan Malaka bukan sebagai pandangan dunia atau filsafat, namun cara berpikir. Meskipun demikian diakui olehnya bahwa hubungan keduanya rapat sekali. Dari cara orang berpikir didapatkan filsafat dan dari filsafatnya dapat diketahui dengan metode apa sampai ke filsafat itu. Dicontohkan olehnya apabila seorang murid yang cerdas bila ia mengetahui satu kunci atau satu undang-undang untuk menyelesaikan satu golongan persoalan, maka dia tidak harus menghapalkan berpuluh-puluh atau beratus-ratus jawaban.
Perjuangan Tan Malaka untuk menuju kemerdekaan 100% ternyata tidak dilajutkan oleh generasi berikutnya mulai dari awal proklamasi hingga saat sekarang. Kekuatan modal asing yang kembali berkuasa yang terus mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam negeri ini ibarat benalu yang terus menghisap pohon yang disinggapinya yang perlahan-lahan mulai layu. Republik Indonesia yang adil dan makmur serta kemerdekaan 100% sesuai dengan cita-cita Tan Malaka harus terus digemakan kepada generasi sekarang. Pastinya kekuatan dan penguasaan negara imperialis di Indonesia harus segera disingkarkan menuju cita-cita tersebut. Kekuatan politik rezim yang berkuasa saat ini harus juga menegaskan kembali perjuangan dari Tan Malaka, walaupun rezim yang berkuasa hari ini adalah antek-antek dari negara imperialis. Tetapi sejarah harus tetap terbuka dan setidaknya nama Tan Malaka harus diakui dan dipahamani oleh bangsa ini, memperkenalkan Tan Malaka kepada generasi sekarang sebagai sosok pejuang revolusioner yang menggelorakan kemerdekaan menuju Indonesia adil dan makmur.***
Itulah memang kenyataannya bila kita menanyakan siapakah Tan Malaka kepada masyarakat kebanyakan. Nama Tan Malaka sangat jarang disebutkan dalam kurikulum pelajaran sejarah mulai dari dulu sampai sekarang, kalaupun disebut itupun hanya sekilas. Berbeda dengan tokoh-tokoh pelaku sejarah seperti Soekarno, Hatta, Syahrir dan yang lainnya. Sehingga nama Tan Malaka kurang populer ditengah masyarakat.
Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat 2 Juni 1897 dan dibunuh secara tragis oleh TNI pada 19 Februari 1948 yang jenazahnya dibuang ke Sungai Brantas di Kediri Jawa Timur. Namanya lebih dikenal sebagai tokoh gerakan kiri Indonesia (meski tenggelam oleh nama DN Aidit) ketimbang tokoh pergerakan nasional Indonesia. Hal ini disebabkan perannya dalam mendirikan Partai Komunis Indonesia, yang di masa kepemimpinan Soeharto menjadi "barang haram". Suasana politik termasuk penguasa yang berkuasa dan perilaku yang diperlihatkannya dalam memegang kekuasaan, seringkali memberikan kesulitan yang luar biasa dalam menempatkan seorang tokoh secara wajar, proporsional, jujur dan objektif. Ini dapat dilihat dari logika kekuasaan yang dalam sejarahnya seringkali ditampakkan dengan jalan pengaburan sejarah, pemutarbalikkan fakta atau melebih-lebihkan fakta yang ada.
Meski gelar pahlawan kemerdekaan nasional yang diberikan oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 tidak pernah dihapus oleh pemerintah Orde Baru, namanya dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Perlakuan tidak adil pada Tan Malaka oleh pemerintah Orde Baru tidak berhenti begitu saja. Rupanya mereka berusaha menghapus nama Tan Malaka dalam sejarah Indonesia.
Perjuangan Yang Dilakukan
Berbicara tentang Tan Malaka, maka kita berbicara mengenai tokoh legendaries. Pejuang paling misterius sepanjang sejarah kemerdekaan. Yang oleh the founding fathers menyebut Tan Malaka sebagai bapak republik Indonesia. Selama hidupnya ia hanya beberapa tahun saja merasakan kebebasan dan berjuang di tengah-tengah rakyat, dan selebihnya ia berada di pengasingan atau dalam penjara. Tidak hanya berperan di dalam negeri untuk melawan segala bentuk penjajahan melainkan melanglang buana di beberapa negara dimana kekuatan penjajah bercokol. Dengan taktik metode penyamaran berhasil masuk ke berbagai negara karena beliau adalah incaran dari agen-agen intelijen negara imperialis. Terhitung sejak pertama kali ia terjun dalam aktifitas politik yang sebenarnya, yaitu sejak kepindahannya dari Sumatera ke Jawa pada Juni 1921 dan setelah itu ia bergabung dengan PKI serta jabatan ketua PKI sempat ditangannya. Kemudian pembuangannya yang begitu lama, menimpanya ketika tuduhan mengganggu keseimbangan yang berusaha dijaga oleh pemerintah Hindia-Belanda jatuh padanya itu terjadi pada Maret 1922. Karena itu praktis Tan Malaka hanya mempunyai waktu satu tahun lamanya untuk berjuang. Kalau dihitung-hitung selama hidupnya praktis hanya mempunyai waktu dua tahun lamanya untuk berjuang secara terbuka. Aktivitasnya selama di dalam maupun di dalam negeri, sebagai pejuang yang menebarkan benih-benih anti kolonialisme dan anti kapitalisme hanya diketahui secara samara-samar dan tak jarang yang tersebar adalah cerita fiktif, baik yang memujanya ataupun yang mencemooh.
Dengan berawal dari pembentukan kursus-kursus Tan Malaka mendirikan sekolah sekolah bagi anak-anak anggota Sarekat Islam untuk penciptaan kader-kader baru. Hingga nantinya sekolah-sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintah Hindia Belanda lewat aksi-aksi pemogokan , disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Dalam sistem berpikirnya, Tan Malaka banyak menempatkan nasionalisme sebagai hal yang terpenting, baginya nasionalisme adalah perwujudan dari merdekanya Indonesia yang didasarkan atas sosialisme dan bersatunya kekuatan-kekuatan revolusioner, terutama kekuatan Islam dan nasionalis serta komunis. Pada mulanya ia berharap banyak dari PKI sebagai partai pelopor, namun bukan sama sekali untuk memonopoli dunia pergerakan. Tan Malaka yakin bahwa PKI tidak akan mampu memonopoli dan berjuang sendiri melawan Belanda yang kuat dan otoriter, apalagi ia mengetahui bahwa PKI sebagai organisasi politik belum berakar di dalam masyarakat ketika itu. Ia menambahkan dalam negara yang berpenduduk mayoritas Islam, maka Sarekat Islam adalah satu kekuatan revolusioner dan keliru apabila PKI memusuhinya.
Walaupun ia menjadi ketua PKI dan wakil Comintern untuk Asia Tenggara pernah dijabatnya, bukanlah dia berarti komunis dalam pengertian umum yang biasa, setidaknya ia bukanlah orang yang dogmatis dan doktriner dalam menerjemahkan ajaran-ajaran Marxis. Sikap bebas yang dikembangkannya di Comintern dan pertikaiannya dengan PKI, menempatkannya bahwa sebenarnya dia juga seorang nasionalis.
Tan Malaka dalam melihat revolusi Indonesia tidak berhenti pada revolusi politik semata namun melihatnya sebagai revolusi yang global sifatnya, mulai dari revolusi menghapuskan feodalisme, revolusi kemerdekaan dan revolusi sosial. Revolusi sosial yang isinya harapan terhadap hadirnya masyarakat yang adil dan makmur.
Karya-karya Tan Malaka
Tan Malaka dikenal juga sebagai intelektual, disamping sebagai pejuang yang cerdik. Dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu mentalitas dan sistem pemikiran yang mistis-pasif menuju kepribadian nasional yang rasional-aktif, ia berjuang dengan pena, dengan menulis banyak artikel dan buku. Ia banyak menghasilkan berbagai tulisan yang lahir dari kondisi objektif yang terjadi pada saat itu dengan analisa yang sangat tajam. Beliau yang hidup dan berkarya pada zaman Hindia Belanda, zaman Jepang atau zaman sesudah Indonesia merdeka mengalami perkembangan dan perubahan di dalam menganalisa setiap zamannya.
Diantara sejumlah tulisannya merupakan hasil perenungan dari ideologi, analisa masyarakat, program, strategi dan taktik serta organisasi. Sejumlah tulisan tersebut adalah: Sovyet atau Parlemen, SI Semarang dan Ondewijs, Toendoek Kepada Kekoesaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran, Goetji Wasiat Kaoem Militer, Naar de Republiek Indonesia.(Menuju Republik Indonesia), Semangat Moeda, Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia, Massa Actie, Manifesto PARI, Materialisme-Dialektika-Logika, Asia Bergabung, Politik, Rentjana Ekonomi, Moeslihat, Thesis, Dari Penjara Ke Pendjara, Koehandel di Kaliurang, Surat Kepada Partai Rakyat, Proklamasi 17-81945, Isi dan Pelaksanaannya, Uraian Mendadak, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).
Salah satu bukunya yang sangat terkenal berjudul Madilog. Ditulis di Jakarta, selama 8 bulan mulai dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. karya terbesar dari Tan Malaka ini diniatkannya sebagai upaya untuk merombak sistem berpikir bangsa Indonesia, dari pola berpikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional. Tanpa perombakan cara berpikir, sulit rasanya bangsa Indonesia untuk maju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialistik. MADILOG sebagai konsep berpikir yang memadukan tiga unsurnya yaitu MAterialisme, DIalektika dan LOGika, merupakan kesatuan dan tidak boleh dipisah-pisah.
Madilog inilah konsep revolusi pemikiran yang ditawarkan Tan Malaka kepada bangsanya agar sejarah perbudakan tidak terulang kembali. Madilog adalah sebuah konsep pemikiran dari Barat dimana Tan Malaka mengakui kontribbusi Marx dan Engels dalam perumusan metode berpikirnya yang dinilai rasional, untuk melawan apa apa yang di dalam MADILOG disebutnya sebagai cara berpiir ke-Timuran yang kuno, idealistik dan penuh dengan mistik, yang menyebabkan bangsa Indonesia terjajah dengan demikian lamanya serta membuat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan. Di dalam MADILOG akan ditemukan karya yang disajikan dengan menggunakan banyak terminologi Marxis, namun perjuangan kelas atau antagonisme kelas tidaklah mendapat tekanan berulang-ulang dari Tan Malaka ketimbang kekuatan gagasan sebagai penggerak perubahan sosial.
MADILOG dinyatakan oleh Tan Malaka bukan sebagai pandangan dunia atau filsafat, namun cara berpikir. Meskipun demikian diakui olehnya bahwa hubungan keduanya rapat sekali. Dari cara orang berpikir didapatkan filsafat dan dari filsafatnya dapat diketahui dengan metode apa sampai ke filsafat itu. Dicontohkan olehnya apabila seorang murid yang cerdas bila ia mengetahui satu kunci atau satu undang-undang untuk menyelesaikan satu golongan persoalan, maka dia tidak harus menghapalkan berpuluh-puluh atau beratus-ratus jawaban.
Perjuangan Tan Malaka untuk menuju kemerdekaan 100% ternyata tidak dilajutkan oleh generasi berikutnya mulai dari awal proklamasi hingga saat sekarang. Kekuatan modal asing yang kembali berkuasa yang terus mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam negeri ini ibarat benalu yang terus menghisap pohon yang disinggapinya yang perlahan-lahan mulai layu. Republik Indonesia yang adil dan makmur serta kemerdekaan 100% sesuai dengan cita-cita Tan Malaka harus terus digemakan kepada generasi sekarang. Pastinya kekuatan dan penguasaan negara imperialis di Indonesia harus segera disingkarkan menuju cita-cita tersebut. Kekuatan politik rezim yang berkuasa saat ini harus juga menegaskan kembali perjuangan dari Tan Malaka, walaupun rezim yang berkuasa hari ini adalah antek-antek dari negara imperialis. Tetapi sejarah harus tetap terbuka dan setidaknya nama Tan Malaka harus diakui dan dipahamani oleh bangsa ini, memperkenalkan Tan Malaka kepada generasi sekarang sebagai sosok pejuang revolusioner yang menggelorakan kemerdekaan menuju Indonesia adil dan makmur.***
Pendidikan dan Kemerdekaan
Oleh: Jhon Rivel
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, merupakan hasil perjuangan selama ratusan tahun menghadapi penjajah asing (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang). Perjuangan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi dikuatkan oleh semangat nasionalisme. Kesadaran nasionalisme ini muncul dari kalangan pelajar/pemuda terdidik yang melihat kesengsaraan rakyatnya akibat eksploitasi penjajah. Sehingga perasaan senasib dan sepenanggungan mengakar di dalam tubuh pemuda yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 1928. Artinya, pendidikanlah yang menjadi ujung tombak menyadarkan rakyat untuk membebaskan negerinya dari segala bentuk penindasan sehingga tercapailah Indonesia Merdeka.
Sudah 63 tahun negeri ini mengarungi samudera kemerdekaan, dan selama itu juga telah banyak perubahan yang terjadi baik dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, di negara yang berdaulat ini. Namun banyak perubahan yang justru bertolak belakang dari cita-cita para pendiri bangsa. Patut dipertanyakan, mengapa di negeri yang sudah merdeka ini masih banyak rakyat miskin, pengangguran, anak yang tidak sekolah? Sementara kekayaan alam kita dikuasai oleh pihak asing, korupsi merajalela, hukum diputarbalikkan, pertarungan politik yang tidak sehat, dan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Apakah ini yang dinamakan merdeka? Tentu tidak, karena ini merupakan gambaran penjajahan sebelumnya. Tidak jauh berbeda kondisi sekarang dibandingkan dengan masa penjajahan Kolonial Belanda. Justru kondisi sekarang lebih buruk dari pada sebelumnya.
Dalam memaknai kemerdekaan ini, tidak cukup dengan perayaan upacara bendera, perlombaan-perlombaan, hiburan, dan kegiatan lain yang hanya menghamburkan uang dan waktu. Tetapi harus melihat kembali kondisi pendidikan kita sebagai ujung tombak perubahan. Karena inilah salah satu cita-cita kemerdekaan yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, permasalahan yang terjadi di Indonesia merupakan buah dari sistem pendidikan kita.
Permasalahan pendidikan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM kita dan semakain mahalnya biaya pendidikan. Hal ini juga disebabkan oleh anggaran pendidikan yang minim (tidak terealisasinya sebesar 20% dari APBN), ketidakadilan/kesenjangan pendidikan, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Bagaimana mungkin orang miskin bisa mengecap pendidikan yang mahal, sementara dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari sudah kewalahan. Artinya, generasi orang miskin sulit untuk bangkit dari kubang kemiskinan karena keterbatasan akses dan pada akhirnya mengikuti jejak orangtuanya yang miskin. Terkadang, mereka terpaksa mengakui bahwa Indonesia telah merdeka, padahal di dalam hatinya berkata lain.
Jika kita bercermin pada negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia ke-2, mereka terlebih dahulu membenahi sistem pendidikannya sebagai fondasi membangun bangsanya. Hasilnya tidak diragukan lagi, Jepang merupakan salah satu negara yang maju yang cukup diperhitungkan dunia internasional. Jadi, dalam merefleksikan hari kemerdekaan, sudah seharusnya melihat kembali pendidikan kita. Karena pendidikanlah yang menjadi ujung tombak mencapi Indonesia merdeka dan dalam mengisi kemerdekaan.***
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, merupakan hasil perjuangan selama ratusan tahun menghadapi penjajah asing (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang). Perjuangan ini tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi dikuatkan oleh semangat nasionalisme. Kesadaran nasionalisme ini muncul dari kalangan pelajar/pemuda terdidik yang melihat kesengsaraan rakyatnya akibat eksploitasi penjajah. Sehingga perasaan senasib dan sepenanggungan mengakar di dalam tubuh pemuda yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 1928. Artinya, pendidikanlah yang menjadi ujung tombak menyadarkan rakyat untuk membebaskan negerinya dari segala bentuk penindasan sehingga tercapailah Indonesia Merdeka.
Sudah 63 tahun negeri ini mengarungi samudera kemerdekaan, dan selama itu juga telah banyak perubahan yang terjadi baik dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, di negara yang berdaulat ini. Namun banyak perubahan yang justru bertolak belakang dari cita-cita para pendiri bangsa. Patut dipertanyakan, mengapa di negeri yang sudah merdeka ini masih banyak rakyat miskin, pengangguran, anak yang tidak sekolah? Sementara kekayaan alam kita dikuasai oleh pihak asing, korupsi merajalela, hukum diputarbalikkan, pertarungan politik yang tidak sehat, dan rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Apakah ini yang dinamakan merdeka? Tentu tidak, karena ini merupakan gambaran penjajahan sebelumnya. Tidak jauh berbeda kondisi sekarang dibandingkan dengan masa penjajahan Kolonial Belanda. Justru kondisi sekarang lebih buruk dari pada sebelumnya.
Dalam memaknai kemerdekaan ini, tidak cukup dengan perayaan upacara bendera, perlombaan-perlombaan, hiburan, dan kegiatan lain yang hanya menghamburkan uang dan waktu. Tetapi harus melihat kembali kondisi pendidikan kita sebagai ujung tombak perubahan. Karena inilah salah satu cita-cita kemerdekaan yang tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, permasalahan yang terjadi di Indonesia merupakan buah dari sistem pendidikan kita.
Permasalahan pendidikan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM kita dan semakain mahalnya biaya pendidikan. Hal ini juga disebabkan oleh anggaran pendidikan yang minim (tidak terealisasinya sebesar 20% dari APBN), ketidakadilan/kesenjangan pendidikan, privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Bagaimana mungkin orang miskin bisa mengecap pendidikan yang mahal, sementara dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari sudah kewalahan. Artinya, generasi orang miskin sulit untuk bangkit dari kubang kemiskinan karena keterbatasan akses dan pada akhirnya mengikuti jejak orangtuanya yang miskin. Terkadang, mereka terpaksa mengakui bahwa Indonesia telah merdeka, padahal di dalam hatinya berkata lain.
Jika kita bercermin pada negara Jepang yang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia ke-2, mereka terlebih dahulu membenahi sistem pendidikannya sebagai fondasi membangun bangsanya. Hasilnya tidak diragukan lagi, Jepang merupakan salah satu negara yang maju yang cukup diperhitungkan dunia internasional. Jadi, dalam merefleksikan hari kemerdekaan, sudah seharusnya melihat kembali pendidikan kita. Karena pendidikanlah yang menjadi ujung tombak mencapi Indonesia merdeka dan dalam mengisi kemerdekaan.***
Menyegarkan Kembali Makna Nasionalisme Kita
Oleh: Oscar Siagian
Membicarakan nasionalisme dalam konteks Indonesia kekinian, mengandung sarat makna. Nasionalisme tidak saja dipandang sebagi perakat, namun juga sudah mulai digugat. Tak heran, perguncingan mengenai pemaknaan ulang akan nasionalisme itu sendiri, semakin menggejala seiring dengan munculnya beragam fenomena yang mengisyaratkan bahwa nasionalisme kita mengalami reduksi. Bangsa kita tertawan beragam ulah yang tak produktif berbarengan dengan ketidakharmonisan dalam menggapai cita-cita sebagaimana diimpikan oleh para pendiri bangsa ini.
Nasionalisme
Menguarai makna nasionalisme akan lebih afdol manakala diawali dengan pengertian yang jelas terhadap Bangsa dan Negara. Sebab, nasionalisme berintikan pada kesetiaan kepada bangsa. Dalam pemahaman lebih jauh, bangsa dimaknai sebagai kesepahaman sejarah, rasa dan masa lalu, namun lebih jauh semangat itu diejawantahkan dalam ikatan sosio-politik dan teritorial bernama negara.
Menurut Dr Johannes Leimena, negara itu adalah persekutuan (gemeenschap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium). Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen).
Kita melihat bahwa negara dan bangsa adalah terjalin satu dengan yang lain. Sebenarnya negara sebagai “realitet” yang berdiri sendiri tidak ada, yang ada adalah bangsa. Negara adalah suatu organisasi dan suatu fungsi dari bangsa. Bangsa ada mengawali terbentuknya negara.
Bangsa adalah suatu persekutuan orang-orang yang memiliki satu daerah, satu bahasa, satu hasrat hidup bersama, satu sejarah, satu nasib dan satu tujuan. Pada tiap bangsa terdapat juga kesamaan cara berpikir atas dasar atau kesatuan, suatu cara beraksi atas dasar satu tujuan, suatu persamaan dalam perasaan hidup.
Ketika negara ini berdiri, sudah ada fondasi dari sebuah bangsa yang tumbuh dan berkembang. Beragam peristiwa sejarah dan titik kulminasi menjadi perekat dan keseriusan dalam membangun suatu negara baru, bernama Indonesia. Bangunan negara yang bernama Indonesia itu, didasarkan pada persamaan senasib sepenanggungan, satu rasa dan satu cita-cita sebagaimana terkandung dalam aliena IV Pembukaan UUD 1945.
UUD 1945, menjadi kontrak politik antara warga negara dengan negara. Turunan konstitusi (hukum dasar) itulah kemudian menghasilkan beragam aturan main dalam penataan ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Simbol-simbol negara, seperti lagu kebangsaan, bendera, dll, semakin menegaskan akan persamaan dan persatuan.
Indonesia yang sejahtera, berkehidupan yang cerdas, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia, adalah cita-cita kita. Itu adalah visi kebangsaan. Kita membangun, kita berjuang, mengabdi dan berproses adalah untuk mencapai tujuan yang sedemikian mulia itu.
Sejahtera berarti bahwa bangsa ini tidak memelihara kemiskinan. Sejahtera berarti, rakyat semakin dihormati. Sejahtera berarti, uang rakyat benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada korupsi. Sejahtera juga bermakna semua tatanan sosial, politik dan pemerintah bekerja dalam sistem kenegaraan.
Cerdas berarti bahwa warga negara tidak bodoh, tidak tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak buta huruf. Mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Cerdas berarti warga masyarakat tahu mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban. Cerdas berarti, tidak mau dijajah dalam bentuk apapun.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berarti bangsa ini hidup dalam tatanan dunia yang damai, dimana bangsa ini turut memberi kontribusi di dalamnya. Keterlibatan itu juga bisa dimaknai dalam kesigapan kita dalam mengawal keutuhan teritorial bangsa tercinta ini.
Nasionalisme Kekinian
Namun, kini, sudah 63 tahun negara ini berdiri dengan memproklamirkan tekad tersebut. Satu pertanyaan reflektif bagi kita dalam memandang bangsa ini, sudahkah negara kita bergerak maju seiring dengan pencapaian cita-cita tersebut ?
Harus kita akui, sebagai sebuah kekuatan politik, ekonomi, dan teritorial, perlahan namun bangsa ini mengalami pergulatan jati diri. Tentu banyak kegembiraan yang kita dapatkan. Pengakuan terbuka bangsa-bangsa lain atas prestasi anak bangsa, tidak boleh dipandang sebelah mata. Demikian juga prestasi olah raga yang sudah banyak kita capai di level dunia.
Namun, ada banyak perintang-perintang yang menghalangi perwujudan visi kebangsaan tersebut. Dari luar, kita merasakan hempasan arus globalisasi. Globalisasi dengan beragam turunannya, utamanya neolibralisme, dengan cepat menjarah potensi-potensi dan ciri-ciri kebangsaan kita.
Kemudian, badai perebutan batas-batas negara yang berujung pada lepasnya sebahagian pulau kita. Belum lagi kearifan lokal, seperti lagu-lagu dan tarian daerah, disambar bangsa lain.
Dari dalam negari kita menyaksikan betapa maraknya parodi pengkhianatan atas cita-cita kebangsaan kita. Dari Sabang sampai Merauke terbentang aliran korupsi. Hampir setiap instansi, juga menggambarkan hal serupa. Pejabat publik korupsi. Uang rakyat dijarah.
Belum lagi kenyataan empirik yang kita alami saat ini, dimana ratusan bahkan ribuan warga harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Di beberapa daerah, petani kesulitan mendapatkan pupuk. Aliran air untuk kepentingan lahan pertanian tak berjalan dengan lancar. Listrik padam secara teratur.
Sudahkah nasionalisme membumi diranah republik ?
Anggota KDAS, Alumni FKM USU
Membicarakan nasionalisme dalam konteks Indonesia kekinian, mengandung sarat makna. Nasionalisme tidak saja dipandang sebagi perakat, namun juga sudah mulai digugat. Tak heran, perguncingan mengenai pemaknaan ulang akan nasionalisme itu sendiri, semakin menggejala seiring dengan munculnya beragam fenomena yang mengisyaratkan bahwa nasionalisme kita mengalami reduksi. Bangsa kita tertawan beragam ulah yang tak produktif berbarengan dengan ketidakharmonisan dalam menggapai cita-cita sebagaimana diimpikan oleh para pendiri bangsa ini.
Nasionalisme
Menguarai makna nasionalisme akan lebih afdol manakala diawali dengan pengertian yang jelas terhadap Bangsa dan Negara. Sebab, nasionalisme berintikan pada kesetiaan kepada bangsa. Dalam pemahaman lebih jauh, bangsa dimaknai sebagai kesepahaman sejarah, rasa dan masa lalu, namun lebih jauh semangat itu diejawantahkan dalam ikatan sosio-politik dan teritorial bernama negara.
Menurut Dr Johannes Leimena, negara itu adalah persekutuan (gemeenschap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium). Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen).
Kita melihat bahwa negara dan bangsa adalah terjalin satu dengan yang lain. Sebenarnya negara sebagai “realitet” yang berdiri sendiri tidak ada, yang ada adalah bangsa. Negara adalah suatu organisasi dan suatu fungsi dari bangsa. Bangsa ada mengawali terbentuknya negara.
Bangsa adalah suatu persekutuan orang-orang yang memiliki satu daerah, satu bahasa, satu hasrat hidup bersama, satu sejarah, satu nasib dan satu tujuan. Pada tiap bangsa terdapat juga kesamaan cara berpikir atas dasar atau kesatuan, suatu cara beraksi atas dasar satu tujuan, suatu persamaan dalam perasaan hidup.
Ketika negara ini berdiri, sudah ada fondasi dari sebuah bangsa yang tumbuh dan berkembang. Beragam peristiwa sejarah dan titik kulminasi menjadi perekat dan keseriusan dalam membangun suatu negara baru, bernama Indonesia. Bangunan negara yang bernama Indonesia itu, didasarkan pada persamaan senasib sepenanggungan, satu rasa dan satu cita-cita sebagaimana terkandung dalam aliena IV Pembukaan UUD 1945.
UUD 1945, menjadi kontrak politik antara warga negara dengan negara. Turunan konstitusi (hukum dasar) itulah kemudian menghasilkan beragam aturan main dalam penataan ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Simbol-simbol negara, seperti lagu kebangsaan, bendera, dll, semakin menegaskan akan persamaan dan persatuan.
Indonesia yang sejahtera, berkehidupan yang cerdas, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia, adalah cita-cita kita. Itu adalah visi kebangsaan. Kita membangun, kita berjuang, mengabdi dan berproses adalah untuk mencapai tujuan yang sedemikian mulia itu.
Sejahtera berarti bahwa bangsa ini tidak memelihara kemiskinan. Sejahtera berarti, rakyat semakin dihormati. Sejahtera berarti, uang rakyat benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada korupsi. Sejahtera juga bermakna semua tatanan sosial, politik dan pemerintah bekerja dalam sistem kenegaraan.
Cerdas berarti bahwa warga negara tidak bodoh, tidak tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak buta huruf. Mampu bersaing dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Cerdas berarti warga masyarakat tahu mana yang menjadi hak dan mana yang menjadi kewajiban. Cerdas berarti, tidak mau dijajah dalam bentuk apapun.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berarti bangsa ini hidup dalam tatanan dunia yang damai, dimana bangsa ini turut memberi kontribusi di dalamnya. Keterlibatan itu juga bisa dimaknai dalam kesigapan kita dalam mengawal keutuhan teritorial bangsa tercinta ini.
Nasionalisme Kekinian
Namun, kini, sudah 63 tahun negara ini berdiri dengan memproklamirkan tekad tersebut. Satu pertanyaan reflektif bagi kita dalam memandang bangsa ini, sudahkah negara kita bergerak maju seiring dengan pencapaian cita-cita tersebut ?
Harus kita akui, sebagai sebuah kekuatan politik, ekonomi, dan teritorial, perlahan namun bangsa ini mengalami pergulatan jati diri. Tentu banyak kegembiraan yang kita dapatkan. Pengakuan terbuka bangsa-bangsa lain atas prestasi anak bangsa, tidak boleh dipandang sebelah mata. Demikian juga prestasi olah raga yang sudah banyak kita capai di level dunia.
Namun, ada banyak perintang-perintang yang menghalangi perwujudan visi kebangsaan tersebut. Dari luar, kita merasakan hempasan arus globalisasi. Globalisasi dengan beragam turunannya, utamanya neolibralisme, dengan cepat menjarah potensi-potensi dan ciri-ciri kebangsaan kita.
Kemudian, badai perebutan batas-batas negara yang berujung pada lepasnya sebahagian pulau kita. Belum lagi kearifan lokal, seperti lagu-lagu dan tarian daerah, disambar bangsa lain.
Dari dalam negari kita menyaksikan betapa maraknya parodi pengkhianatan atas cita-cita kebangsaan kita. Dari Sabang sampai Merauke terbentang aliran korupsi. Hampir setiap instansi, juga menggambarkan hal serupa. Pejabat publik korupsi. Uang rakyat dijarah.
Belum lagi kenyataan empirik yang kita alami saat ini, dimana ratusan bahkan ribuan warga harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Di beberapa daerah, petani kesulitan mendapatkan pupuk. Aliran air untuk kepentingan lahan pertanian tak berjalan dengan lancar. Listrik padam secara teratur.
Sudahkah nasionalisme membumi diranah republik ?
Anggota KDAS, Alumni FKM USU
Langganan:
Postingan (Atom)