Rabu, 16 Oktober 2013

Review Buku “Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam” oleh Rafael Edy Bosko



Bagaimana sebenarnya keberadaan masyarakat adat di muka bumi ini? Jika secara ontologis mereka diakui sebagai manusia yang sama dengan masyarakat manusia lainnya, bukankah berarti mereka memiliki hak yang sama? Atau secara fundamentalis, pertanyaannya adalah, apakah mereka memiliki hak asasi sebagai manusia? Tulisan ini ingin mengetengahkan problem masyarakat adat dalam diskursus hak asasi manusia atau hak mereka sebagai masyarakat adat. Apalagi saat ini yang sangat menonjol adalah perampasan hak generasi ketiga, yakni pembangunan dan lingkungan oleh penguasa dan pengusaha terhadap mereka.
            Tanah dan sumber daya alam sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat adat untuk mempertahankan eksistensinya. Sejarah telah menjadi saksi “takdir buruk” berkenaan dengan hak mereka terhadap tanah, sumber daya alam, dan perjuangan mereka untuk tetap  bertahan hidup. Namun dalam masa penjajahan, tanah dan wilayah mereka dirampas oleh para kolonial. Tidak hanya itu, mereka juga disingkirkan ke wilayah “tapal batas”, yaitu tanah yang pada waktu itu dianggap sebagai tanah terlantar dengan nilai ekonomi yang sangat kecil. Perampasan dan marginalisasi masyarakat adat pun terjadi bersama dengan hilangnya pertahanan atau eksistensi mereka.
            Proses perampasan dan marginalisasi tersebut berlangsung hingga pada abad ini dengan kondisi yang semakin parah, yakni tidak terlindungi oleh keadilan dan penyelesaian hukum.[1] Dalam banyak kasus, hal ini disebabkan oleh upaya mengejar pembangunan eknomi bersama dengan kebutuhan ekonomi global. Pembangunan ekonomi nasional dan tuntutan ekonomi global telah memacu meningkatnya kebutuhan sumber daya alam yang sangat tinggi. Hal ini berujung pada “pencarian global” terhadap sumber daya alam bahkan sampai ke daerah perawan di seluruh dunia, termasuk ke wilayah-wilayah di mana masyarakat adat hidup.
Kalau dahulu dianggap sebagai daerah tanpa nilai karena terpencil dan tidak menguntungkan, maka dewasa ini tanah perawan milik masyarakat adat ini akhirnya diidentifikasi sebagai wilayah yang kaya sumber daya hutan, bahan-bahan mineral, dan sumber daya air. Proses perampasan, penindasan, dan pengabaian yang berkelanjutan telah membawa masyarakat adat di seluruh dunia kepada perjuangan yang sama untuk memperoleh pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka, temasuk hak atas tanah  dan sumber daya alamnya.

Hak-hak Masyarakat Adat dalam Hukum Internasional: Sebuah Tinjauan Sejarah
            Gagasan tentang hak-hak masyarakat adat dapat dilacak dari awal masa periode kolonial, ketika para misionaris dan cendekiawan yang menaruh perhatian terhadap nasib masyarakat adat mencoba untuk memastikan bahwa masyarakat adat di daerah kolonial terlindungi dari tindakan-tindakan dari para pendatang dan orang-orang yang ingin memperoleh akses  ke tanah dan sumber daya alam mereka dan menjadikan mereka tenaga kerja. Fransisco de Vitoria merupakan pioner aliran ini yang disebut Aliran Hukum Internasional Spanyol (Spanish School of International Law) pada abad XV mengkritik cara kolonial merebut tanah dan hak-hak orang Indian yang dijadikan tenaga kerja. Aliran ini menegaskan bahwa Indian memiliki kewenangan dan hak-hak asli yang otonom atas tanah, dimana orang Eropa harus menghormatinya.[2]
            Tidak hanya sampai di situ saja,  kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat pun sudah tercantum dan masuk dalam pembahasan hukum internasional pada akhir Perang Dunia I. Hal ini tampak dari konvenan Liga Bangsa-Bangsa pasal 22 tentang “bangsa yang belum mampu untuk berdiri sendiri di tengah kondisi dunia modern yang berat” dan melihat dalam “ketentraman dan perkembangan” mereka sebuah “peradaban luhur”. Demikian juga dengan pasal 23 yang mengharuskan para anggota dari Liga Bangsa-Bangsa untuk melakukan tugas positif untuk berusaha memastikan perlakuan yang adil terhadap masyarakat adat dari wilayah yang berada di bawah kontrol mereka.
            Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai wujud baru dari Liga Bangsa-Bangsa tidak memberikan perhatian pada permasalahan dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini bisa terlihat pada pasal 73 Piagam PBB yang hanya merujuk pada “wilayah dimana penduduknya belum memperoleh secara penuh sistem pemerintahan sendiri. Tentu saja ini merupakan suatu konsep yang tidak ada relevansinya dengan isu masyarakat adat. Ada pun demikian halnya, PBB sejak awal pembentukan telah menempuh beberapa kebijakan yang berhubungan dengan nasib dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat tersebut dengan membentuk lembaga-lembaga penelitian.
            Selain lembaga penelitian, ILO dan badan khusus PBB lainnya juga memberi perhatian terkait permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat sejak 1920-an. Hingga pada saat ini juga hukum internasional mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat termuat dalam Konvensi 169 ILO yang mulai berlaku pada 5 September 1991 dan pada bulan Mei 1998 telah diratifikasi oleh 13 negara. Konvensi ini menyediakan rezim hukum pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat secara cukup memadai. Meskipun demikian, mekanisme penerapannya lemah karena tidak ada prosedur pengaduan khusus yang tersedia bagi masyarakat adat untuk membawa kasus mereka ke depan ILO.

Masalah-Masalah Berkenaan dengan Hak-Hak Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Alamnya
1.      Kegagalan atau Keengganan Negara-Negara untuk Mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat terhadap Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam
Dalam banyak praktik, negara menyatakan bahwa tanah dan sumber daya alam milik masyarakat adat adalah tanah publik atau milik raja. Seperti didirikannya cagar alam atau taman nasional di Nikaragua tanpa mempertimbangka populasi adat di kawasan itu. Di Indonesia sendiri, terdapat ambivalensi atau dualism hukum yang mempengaruhi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah mereka.

Di Indonesia sendiri, UUPA tahun 1960 mengakui eksistensi masyarakat hukum adat yang terlihat jelas dalam Pasal 3 - dengan berbagai batasan seperti kepentingan publik atau nasional – hak-hak dari masyarakat hukum adat atas tanah mereka yang disebut hak ulayar (hak menguasai atas tanah dan wilayah mereka). Namun demikian pada saat yang sama, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yang kemudian disusul dengan peraturan pelaksanaan, yaitu PP No. 21 Tahun1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Peraturan ini antara lain menentukan bahwa “hak-hak masyarakat hukum adat dan anggotanya untuk mengambil hasil hutan, pelaksanaannya perlu  ditertibkan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan” (pasal 6 ayat 1) dan bahwa “di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka  pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan” (pasal 6 ayat 3).

2.      Hukum dan Kebijakan Diskriminatif yang Berdampak Pada Masyarakat Adat dalam Hubungan dengan Tanah dan Sumber Daya Alam Mereka
Di masa modern, praktik penghapusan kepemilikan tanah secara sewenang-wenang ini hanya diterapkan pada masyarakat adat. Misalnya kasus Tee-Hit-Ton Indian versus Amerika Serikat. Dalam kasus ini Mahkamah Agung menegaskan bahwa pengambilalihan tanah oleh pemerintah federal terhadap tanah yang dikuasai dengan hak Indian asli (atau hak pribumi) tidak menimbulkan hak atas kompensasi apa pun. Hal ini berlaku meskipun Konstitusi Amerika Serikat dalam Amandemen Kelimanya dengan jelas mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil hak milik tanpa melalui proses hukum yang adil dan fair (due process) dan kompensasi yang adil.

3.      Kegagalan atau Keengganan untuk Memberi Batas
Demarkasi tanah, diikuti oleh proses administratif seperti registrasi dan sertifikasi, adalah proses formal untuk mengidentifikasi lokasi actual dan batas-batas tanah dan wilayah masyarakat adat dan secara fisik member tanda pada batas-batas tersebut di lapangan. Di Indonesia hak ulayat bukan merupakan hak yang harus diberi batas, didaftar, dan diberi sertifikat. Keengganan pemerintah Indonesia untuk melakukan demarkasi mungkin sebagian diakibatkan oleh kenyataan bahwa sangat banyak kelompok masyarakat adat yang mengklaim hak kepemilikan atas tanah atau wilayah yang sama. Sehingga hal ini menyebabkan seringnya muncul konflik antara masyarakat adat dan non masyarakat adat, atau antar masyarakat adat sendiri.

4.      Kegagalan atau Keengganan Negara-Negara untuk Melaksanakan atau Menerapkan Hukum yang Melindungi Tanah Masyarakat Adat
Perundang-undangan yang dinilai protektif tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan implementasi yang benar, misalkan saja seperti di Brazil. Meskipun wilayah Yanomami telah didemarkasi, pemerintah Brazil tidak menyediakan sumber daya yang memadai untuk mencegah invasi ribuan penambang emas. Dan di satu sisi, masyarakat adat tidak mampu untuk melindungi dirinya dan wilayahnya karena tidak tersedia bantuan hukum yang efektif yang dapat ditempuh. Seperti kasus lain di Indonesia, bahkan ketika masyarakat adat telah berhasil mengambil upaya hukum melalui pengadilan dan memenangkan kasus mereka, keputusan pengadilan menjadi tidak berarti karena munculnya surat ketua Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi.

Pembangunan Sumber Daya Alam di Tanah Masyarakat Adat: Kasus-Kasus Penting
Wilayah masyarakat adat telah menjadi sasaran utama proyek pembangunan yang dibuat pemerintah dan pengusaha, seperti proyek pengembangan listrik tenaga air (bendungan) dan pemukiman kembali, pertambangan, serta industri bioteknologi dan farmasi. Di Amerika Serikat, daerah reservasi (bagi orang Indian) terbukti menyimpan sejumlah besar cadangan mineral, kayu, margasatwa, dan sumber air[3]. Di perkirakan 65% cadangan uranium Amerika Utara terdapat di dalam daerah reservasi Indian Amerika. Wilayah reservasi ini merupakan tempat bagi 80% penambangan uranium yang dilakukan di Amerika Serikat dan pemrosesan uranium seluruhnya  dilakukan di daerah reservasi ini.[4]
Hal ini secara sengaja dan terpaksa mendepak masyarakat adat dari sumber daya alamnya. Sehingga mereka dapat juga disebut sebagai “korban pembangunan”, karena sebagian besar hasil dari proyek pembangunan tersebut ditujukan kepada pemerintah dan pengusaha. Selain itu, kerugian yang ditanggung oleh masyarakat adat yang berada di areal pertambangan dan pemrosesan uranium yaitu mereka mengalami gangguan kesehatan disebabkan radiasi. Tidak heran jika hal ini terjadi karena memang mereka, terlebih sebagai pekerjanya tidak diberi pakaian pelindung atau bahkan informasi penting mengenai resiko terkapar uranium.
            Di Ekuador, aktivitas perusahaan-perusahaan minyak, seperti Petroecuador-anak perusahaan Texaco, sebuah perusahaan transnasional Amerika telah membawa dampak yang parah terhadap kehidupan dan lingkungan masyarakat adat yang tinggal di sana. Kurangnya kepercayaan terhadap hukum domestic mendorong masyarakat adat setempat melakukan class action melawan Texaco di Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk menuntut ganti rugi atas rusaknya wilayah mereka. Akan tetapi, tuntutan mereka ditolak dengan alasan forum non-conveniens dan rasa hormat internasional (international comity). Alih-alih pun menempuh upaya damai.
            Sedangkan masyarakat adat di Papua Nugini melalukan aksi yang cukup frontal dengan mengangkat senjata dalam melawan perusahaan pertambangan batubara dan pemerintah. Tindakan perlawanan mereka menyebabkan ditutupnya pertambangan dan adanya gerakan separatis sampai saat ini. Serupa dengan hal itu, masyarakat adat di Nigeria melakukan protes  serta melakukan perlawanan terhadap Shell dan pemerintah pusat akibat kerusakan lingkungan dan bagi hasil yang tidak adil dari industri minyak yang beroperasi di tanah  mereka. Perlawanan mereka dibalas dengan penindasan yang brutal oleh rezim militer tahun1995.
            Di Indonesia sendiri, akibat adanya ambivalensi dan dualisme seperti yang dijelaskan di atas telah menyebabkan berpindah dan terpinggirkannya masyarakat adat yang tinggal di hutan tropis Kalimantan, karena tanah mereka telah diambil untuk industri kayu. Padahal banyak masyarakat adat yang tinggal atau menggantungkan hidupnya di areal tersebut mengalami nasib yang sama seperti di Guyana, Suriname, dan Malaysia.
            Proyek pembangkit listrik tenaga air (bendungan)  juga mengakibatkan gangguan paling parah yang harus dialami oleh masyarakat adat. Kebutaan mereka akan politik, mengakibatkan pengambilalihan tanah dengan mudahnya oleh pemerintah melalui proses hukum yang tidak adil. Di banyak negara, terutama negara berkembang, dukungan finansial terbesar untuk  pembangunan bendungan diperoleh dari Bank Dunia. Bank Dunia telah mengadopsi Operational Directive 4.20, yaitu suatu panduan kebijakan yang khusus dibuat dalam rangka melindungi masyarakat adat, hanya mengalokasikan sebagian kecil dari anggaran proyek (yang dibiayai oleh bank) untuk biaya rehabilitasi.[5] Penggenangan tanah mereka dapat menghancurkan sejarah dan budaya mereka. Proyek-proyek tersebut tidak  hanya mengancam kehidupan mereka, tetapi juga identitas mereka sebagai masyarakat adat. Tidak heran jika protes dan perlawanan terhadap pembangunan bendungan selalu menjadi bagian dari perjuangan masyarakat adat.
            Misalkan saja Bendungan Sardar Sarovar di  sepanjang lembah sungai Narmada di India. Masyarakat khususnya masyarakat adat yang dipaksa atau diancam untuk ikut dalam program pemukiman kembali yang kepemilikannya secara adat tidak terdokumentasi sehingga tidak memenuhi persyaratan pembuktian dalam sistem hukum negara, dan oleh karenanya dianggap tidak berhak atas ganti kerugian tanah ganti tanah terlibat atau bergabung dalam aksi protes damai dan mogok makan.
            Pemindahan secara paksa tersebut ditambah dengan dampak negative terhadap lingkungan proyek menuai kritikan dari dalam maupun luar negeri. Kritikan tersebut membuat Bank Dunia yang menyediakan sejumlah dana yang besar untuk proyek tersebut membentuk sebuah badan peninjau yang independen dengan nama Inspection Panel untuk mengkaji aspek sosial dan lingkungan tersebut.  Namun demikian,w walau bukti dari membangun bendungan selama 50 tahun telah menunjukkan bahwa bendungan mega-hidroelektrik tersebut sangat tidak sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, karena pinjaman dan dana masih dialirkan dari Bank Dunia.



[1] H. Reynolds, dikutip dari John Connel dan Richard Howitt, “Mining, Dispossesion and Development”, 1991, hal. 5.
[2] S. James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, 1996, hlm. 10.
[3] Coggins, George Cameron dan James Donley, “Natural Resources Development on Native American Indian Reservation in the US”, dalam Gary D, Meyers, The Way Forward: Collaboration and Cooperation ‘In Country’, National  Native Title Tribunal, hlm. 92-93.
[4] Sachs, Aaron, Eco-Justice: Linking Human Rights and The Environment, worldwatch Institute, 1995, hlm. 28.
[5] Independent Commission on International Humanitarian Issues (ICIHI). Indigenous Peoples: A Global Quest, 1987, Zed Book, London, hlm. 55.

Rabu, 19 Juni 2013

Aktualisasi Diri Konsep Terbaik 'Ketidakpatuhan' Sosial


Oleh : Putera Arif Panjaitan


Istilah ‘aktualisasi diri’ tentu sudah kerap kita dengar dan pakai dalam wacana pembicaraan. Terutama pembicaraan yang berkenaan dengan topik pengenalan dan pengembangan diri pada mahasiswa-mahasiswa yang berorientasi pada pembobotan intelektualitas di kampus maupun organisasi. Secara sepintas istilah ini akan mudah dipahami karena kita mengerti arti dari ‘aktual’ yang berarti betul-betul terjadi; sedang menjadi pembicaraan orang banyak; serta masih baru (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dengan pemahaman itu kita simpulkan bahwa aktualisasi diri berarti semacam pembobotan, apakah dengan pengetahuan intelektualitas maupun karakter serta jati diri.

Namun akan terkesan berbeda dengan defenisi dalam konsep psikologi sosial (Berdasarkan Buku karya George Boeree), di mana aktualisasi diri termasuk dalam kategori ‘ketidakpatuhan’. Nah, tentu mengundang banyak pertanyaan bagi kita yang memang sadar atau tidak sadar begitu ‘dilandasi’ spirit aktualisasi diri sesuai pemahaman masing-masing. Tidak apa, bila kepatuhan dianggap sebagai hal yang wajar atau normal, sehingga ketidakpatuhan (cenderung dimaknai ketidakmampuan menyesuaikan diri) dianggap sebagai perilaku abnormal atau menyimpang, maka penyebabnya antara lain gangguan kejiwaan, kriminalitas, maupun aktualisasi diri.

Tentu kita tidak bermaksud menyamakan konsep aktualisasi diri sebagai gangguan kejiwaan maupun kriminalitas bukan? Umumnya, sebagian orang yang memilih tampil beda adalah penderita gangguan kejiwaan atau penjahat. Namun, banyak juga dari mereka yang sebenarnya sama sekali bukan pelanggar norma atau aturan, karena mereka ternyata hidup dengan norma dan aturan ‘buatan’ sendiri atau kelompoknya. Jadi, mereka sebenarnya adalah orang-orang yang ‘patuh’ terhadap norma dan aturan, dan inilah yang harus kita bedakan.

Sangat tidak tepat untuk menilai seluruh kepatuhan sebagai hal yang bermakna positif atau hal yang patut diajarkan secara bulat-bulat kepada generasi. Masyarakat Indonesia umumnya dinilai sebagai orang-orang yang patuh. Dapat kita maklumi sebagai karakter dari bentukan zaman feudal dan Kolonial. Sebagaimana Mochtar Lubis dalam “Ciri-ciri Pokok Manusia Indonesia”, kaitannya dengan ‘kepatuhan’ menjelaskan bahwa orang-orangnya umumnya hipokritis atau munafik (suka berpura-pura, lain di muka lain di belakang). Ini akibat dari tekanan yang keras dari sistem pemerintahan feodal. Orang dipaksa untuk bersikap ‘asal bapak senang’, agar selalu mendapat limpahan berkah dari penguasa dan terlepas dari hukuman.

Selanjutnya, masih ada sekelompok kecil orang yang benar-benar bebas sepenuhnya dari tekanan untuk mematuhi atau menyesuaikan diri dengan norma dan peraturan yang ada serta memanfaatkan kemerdekaan mereka itu demi kebajikan. Sebutan yang kini popular bagi mereka adalah ‘aktualisasi diri’.
Abe Maslow (seorang psikolog Amerika, lihat di google) meyakini bahwa bila Anda tidak lagi dikejar oleh kebutuhan dasar (makanan, pakaian, tempat tinggal), kebutuhan akan rasa aman, atau rasa rendah diri, Anda kini benar-benar bebas untuk melakukan apa saja yang ingin Anda lakukan; Anda bebas merealisasi ‘jati diri yang Anda kehendaki’. Anda kini menjadi seorang ‘pengaktualisasi diri’.

Meminjam defenisi yang diuraikan oleh George Boeree, dijelaskan bahwa para pengaktualisasi diri umumnya berjuang demi: (1) hak untuk menentukan nasib sendiri dan kebebasan serta (2) menolak
tekanan sosial yang justru tidak dapat dilepaskan oleh sebagian besar dari kita. Mereka tidak peduli terhadap pemegang otoritas dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat pada saat itu (contohnya, dalam ‘mindset’ pemikiran masyarakat semasa feodal perbudakan dianggap sebagai sesuatu yang wajar). Sebagai gantinya, mereka bertumpu pada nilai-nilai kebajikan, moralitas, akal budi, dan pengalaman mereka sendiri. Mereka menjunjung tinggi (3) nilai-nilai demokratis, yang artinya terbuka dan bersedia menerima keragaman budaya dan sifat-sifat manusia. Tetapi tidak hanya sekedar toleran, melainkan juga terjun langsung ke dalam keanekaragaman itu dan lebih sanggup (4) menerima diri mereka sebagaimana adanya.

Indikasi lebih mendalam terhadap sikap ketidakadilan mereka untuk menyesuaikan diri dengan apa yang berlaku saat itu, tampak pada (5) spontanitas mereka untuk selalu mencari jalan dalam memecahkan masalah-masalah yang ada berdasarkan akal budi mereka, dan (6) tidak menyukai keruwetan atau birokrasi yang berbelit-belit (mencintai kesederhanaan). Mereka memiliki kemampuan (7) menghargai sesuatu yang diremehkan orang lain serta (8) kreatifitas yang memungkinkan mereka untuk berada di atas orang lain.
Seluruh kepribadian tersebut tidak menjadikan mereka sebagai orang yang bersikap ‘semau gue’ (sebagai pelanggar norma yang bersikap negatif). Wataknya terkendali untuk tidak melakukan perbuatan destruktif dan anarkis. Mereka cenderung bersikap wajar pada kehidupan sehari-harinya, tetapi memiliki kemampuan untuk menerima diri dan orang lain yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat pada zamannya.

Tetapi, keberanian untuk mendobrak norma-norma yang mereka anggap negatif bukan hanya ciri pribadi-pribadi semacam itu, karena mereka juga menikmati hubungan yang hangat dan akrab dengan sekumpulan teman serta memiliki kepedulian sosial. Nah, ini dapat terbentuk berkat proses yang terasah dalam kolektifitas kelompok.

Para pengaktualisasi diri tentu memiliki pandangan yang lebih luas sehingga dapat menerima keunikan yang menjadi tradisi pada orang lain. Sikap multikulturalisme dan pluralisme akan lebih teruji dengan ‘passing over’ (melintasi batas agama maupun budaya) orang lain, dengan maksud menambah wawasan pengalaman. Sehingga ia dapat menerima keunikan orang lain sekaligus memperdalam kecintaannya pada budaya sendiri. Selain itu, merumuskan nilai-nilai yang dianut secara korektif adalah ciri khas bagi pengaktualisasi diri. Nilai itu dapat merupakan nilai lama dengan interpretasi yang kontekstual, sesuai dengan tuntutan zamannya.

Ciri khas kegerakan orang maupun kelompok yang mengaktualisasikan diri akan tampak tidak patuh terhadap norma dan aturan yang terdapat pada masyarakat luas apabila ternyata dinilai bertentangan dengan prinsip norma yang mereka anut. Contohnya korupsi menjadi ‘budaya’ dalam setiap lapisan masyarakat, prostitusi menjadi ajang hiburan masyarakat umum, perusakan lingkungan, dsb.

Jadi, meskipun pribadi-pribadi ini juga sama-sama memiliki semacam ‘ketidakbersediaan untuk menyesuaikan diri dengan norma dan aturan’, namun itu semua dilakukan demi hal-hal positif serta dilandasi cinta kasih. VOR VERITAS..!!


Jl. Perjuangan 155, pada suasana senja yang gerah dengan suhu Kota Medan 340/230 C, sembari memaknai fenomena ‘senam’ revolusi kemarin yang meletus dari laten rakyat akibat picu issu kenaikan BBM. Semoga rakyat semakin bersatu lawan segala bentuk penindasan.

Rabu, 10 April 2013

Pemuda Kristen Harus Berperan Aktif dalam Transformasi Bangsa


Oleh : Putera Arif Panjaitan


Wajah semakin muram, hati semakin perih seakan tertusuk, menghayati problematika hidup bangsa membuat penggalan nafas kita pun semakin sesak. Benarlah kita harus rela menderita demi memperjuangkan kebenaran bukan justru menyerah menahan perih.
Pepatah anekdot berkata: “berbahagialah orang yang tidak membaca buku, berbahagialah orang yang tidak membaca berita pada surat kabar dan berbahagialah orang yang tidak menonton berita di televisi, sebab mereka tidak akan menyadari dan memikirkan kemelut yang lebih pahit dari hidupnya”.
Sebagai bagian minoritas dari kemajemukan bangsa ini, penganut Kristen lebih banyak disibukkan dengan persoalan ancaman eksistensi yang dihadapi dari tekanan mayoritas. Kejadiannya masih berlangsung hingga dewasa ini, seperti pelarangan mendirikan rumah ibadah, gangguan melaksanakan ibadah, perlakuan pincang dalam aspek pembangunan, hingga teror dan berbagai perlakuan diskriminatif lainnya. Mengapa demikian? Kontribusi apa sebenarnya yang sudah dilakukan oleh umat Kristen sendiri?
            Memahami persoalan bangsa yang telah akut dewasa ini kita harus mengulas lebih luas ke belakang. Dimulai dari sejarah kemerdekaan bangsa ini. Apa yang harus kita maknai dari kemerdekaan? Siapakah yang merdeka? Sejak kapan kemerdekaan itu? Bagaimana pelaksanaan kemerdekaan di negara dan bangsa kita? Setelah kita renungkan, mengapa kita sungguh-sungguh masih belum merdeka?
            Jawaban terletak pada sistematika dan mekanisme berdirinya negara hingga kini, berada dalam intervensi asing dan kepentingan elit politik bangsa kita. Bukanlah suratan takdir yang menjadi nasib naas yang sumbernya dari mitos belaka. Untuk ini, setiap pemuda harus semakin banyak membaca realita kehidupan. Maka kita akan memahami, ke manakah arahnya perjalanan negara ini? Tentu lari menjauhi cita-cita kelahirannya dalam konstitusi. Artinya apa? Seharusnya kemerdekaan sejati tentulah berbuahkan kebebasan, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan akan tetapi hal itu semakin jauh dari manusia-manusia penghuni Indonesia.
            Pasalnya mekanisme pemerintahan sudah melakukan pengabdian yang melenceng yaitu kepada kaum pemilik modal terutama pihak asing yang skala modalnya sangat besar, bukan lagi kepada rakyat yang adalah katanya pemilik kedaulatan. Keadaan ini sesungguhnya merupakan jebakan maut yang akan menjerumuskan bangsa kita pada penjajahan tiada henti sampai kesudahannya. Bagaimana tidak, begitulah dimulai sejak Orde Baru yang mana kebijakan perekonomian katanya berusaha untuk memakmurkan negara. Kenyataan bahwa pembangunan jaman Orde Baru itu adalah bersumber dari utang luar negeri yaitu terhadap bank dunia, IMF, dll. Kebijakan system ekonomi liberal itu diteruskan sampai sekarang. Jadi tidak heran kalau akutnya persoalan menjerat setiap sendi kehidupan rakyat, khususnya rakyat jelata yang merupakan penduduk Indonesia kebanyakan.
Tentu jelas bahwa kebijakan kapitalisme sangat merusak bangsa kita. Sebab bukanlah bangsa kita yang menjadi sumber modal melainkan tempat menanam modal. Penanaman modal ditujukan untuk meraup keuntungan. Dari mana? Sumber daya alam Indonesia yang melimpah di perut bumi, tumbuhan di atasnya, kekayaan dalam genangan perairan laut, serta sumber daya manusianya sangat cocok untuk dijadikan pekerja alias budak. Budak ditujukan untuk mengerjakan eksploitasi kekayaan itu. Lantas hasilnya ke mana? Sebagian besarnya hasil produksi diangkut ke luar negeri,  keuntungan produksi (deviden) kembali ke pengusaha/penanam modal, pajak operasi usahanya masuk ke pemerintah. Sesuai undang-undang seharusnya masuk ke kas negara tetapi kenyataan, inilah yang diincar-incar oleh penyelenggara pemerintahan kita sehingga begitu semangatnya mereka mengundang investasi masuk ke dalam negeri, dengan dalih membuka lowongan pekerjaan. Memang ada sesuainya, sebab manusia-manusia Indonesia bekerja membudak dalam perusahaan modal asing demi mencari makan.  
Bagaimana dengan penyadaran mental manusia Indonesia? Kita pernah berharap akan pendidikan yang mencerdaskan, sesuai amanat UUD 45. Lagi-lagi kita mengaku justru menyesalinya dengan kekecewaan yang mendalam. Harus kita membongkar bagaimana pendidikan hadir di Indonesia serta ditujukan untuk apa dan siapa pendidikan itu. Secerdas-cerdasnya bangsa dibuat sampai berpendidikan tinggi ternyata kebanyakan ditujukan memenuhi stakeholder yang alamatnya adalah di perusahaan modal asing. Kalau pun ada ke pemerintahan maupun lembaga-lembaga lainnya, amati saja dewasa ini mekanismenya berorientasi pada komersial maupun pasar, dalam hal ini menuju kapital tadi. Perhatikanlah, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari mekanisme pemerintahan negara Indonesia ini? Padahal sejak awal negara Indonesia mengakui dirinya demokrasi.
Perlahan sejak reformasi, muncullah kesadaran-kesadaran di tengah generasi sekarang. Meski sedikit tetapi sudah berdampak untuk mengembalikan hakikat kemanusiaan bangsa Indonesia yang telah dikungkung oleh pembodohan turun-temurun. Perlawanan demi mewujudkan kemerdekaan yang sejati dari penjajahan bangsa asing dan bangsa sendiri banyak dilakukan oleh pemuda, yaitu gerakan-gerakan mahasiwa. Kita dapat menilai bagaimana pergerakan itu berlangsung dan apa hasilnya. Menurut hemat penulis, sebaiknya generasi sekarang belajar dari gerakan mereka, apa keunggulan dan rintangan mereka, strategi apa yang penting dikembangkan ke depannya memenuhi kebutuhan transformasi bangsa, yang sejatinya tiada henti. Malah penulis sangat prihatin dengan sikap apatisnya generasi sekarang, mengisyarakakan tertidurnya kembali kesadaran pemikiran. Harus diakui ada banyak penyebabnya, antara lain warisan laten NKK/BKK, strategi akademis kampus yang semakin sibuk, daya tarik gaya hidup hedonis dan banyak hal lainnya yang saat ini malah menjadi bagian dari trend dan minat bakat pemuda. Alhasil, setan kapitalis begitu terbahak-bahak dalam kebahagiaanya menyaksikan pemerkosaan bangsa Indonesia berlangsung tanpa ada usaha perlawanan, langgeng.
Spirit Pembebasan
Kita dapat menilai kontribusi pergerakan yang berlebelkan “Anak Tuhan” – Kristen – sangat minim dalam perjuangan bangsa ini. Analisis sementara penulis menilai hal ini akibat bentuk dan pola distribusi pengajaran yang kurang kontekstual. Konteks keimanan tidak sesuai dengan situasi zamannya padahal Injil Kristus kita yakini menembus batas zaman, yaitu kekal sampai selama-lamanya. Akan tetapi kekuatan ini seakan dibatasi sehingga terkesan tidak punya daya, misi orang percaya lebih diarahkan pada mandat surgawi. Mandat ini diberi ketegasan pemisahan dengan mandat duniawi. Jadi semakin jelaslah apa yang dikerjakan justru jauh dari realita kehidupan. Keadaan inilah yang dikritisi oleh Marx yang tidak percaya Tuhan itu, menyebut agama sebagai candu. Harus menjadi dasar kritik bagi kita untuk memberi kesaksian bahwa kuasa Tuhan adalah di atas segalanya.
Mari berpikir jernih ke depan. Saya memandang Injil Kristus sangatlah relevan untuk menjawab persoalan bangsa kita saat ini. Masalahnya, sangat minim pembebasan yang dilakukan oleh gereja di tengah penindasan yang sistemik. Saya berpendapat karena orang-orangnya tidak dilandasi oleh spirit pembebasan. Barangkali kita terjebak dengan pola beragama ekstrinsik (memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukannya untuk kehidupan) ditandai dengan kesibukan tradisi-tradisi ibadah/ritual belaka tanpa praktek konkrit sebagai komitment dari imannya. Kalaupun ternyata sebagian kita mengikuti pola beragama intrinsik (lebih substansial, lebih ke dalam, menjadi faktor pemadu & menghujam dalam arah kehidupan yang manusiawi), tetapi tidak punya penglihatan yang kritis terhadap situasi zaman, maka minimlah kontribusi untuk transformasi bangsa dan negara Indonesia ini. Untuk itu penting setiap orang percaya mengaktualisasi serta membototi diri dengan pemikiran dan kesadaran yang kritis. Kini sudah saatnya kita mengarahkan pola pemikiran terhadap persoalan hidup yang sistemik dan struktural.
Mengimani akan besarnya kuasa Tuhan, maka kita haruslah berprinsip pada misi yang holistik. Tuhan berkuasa atas surga dan dunia, di surga adalah tahta-Nya dengan segala kesempurnaan dan di bumi adalah proses bagi setiap orang supaya kelak menuju kerajaan tersebut. Kitalah yang menjadi saksi membumikan kerajaan surga itu, sehingga banyak orang menjadi percaya, diberkati dan diselamatkan. Sembari melakukan tugas penginjilan, setiap orang percaya harus mengikuti teladan yang dikerjakan Tuhan Yesus ketika di dunia. Maka tidak mengabaikan tugas-tugas menolong sesama dari penindasan sistemik, turut dalam membangun kehidupan yang lebih baik serta menjaga keutuhan ciptaan Tuhan yang lainnya seperti flora, fauna dan lingkungan ekosistem. Yang intinya adalah menjadi bagian dari pencegah pembusukan dunia ini.
Panggilan generasi Kristen saat ini adalah sebagai “anak zaman”, memenuhi tuntutan penyelesaian persoalan zaman dengan menjadi garam dan terang dunia. Itulah kontekstualisasi dari tindakan iman percaya.  Patut belajar dari belahan dunia lain yang juga adalah orang-orang Kristen, yang mengalami gejolak heroik tantangan keimanan dalam hidup. Misalnya belahan benua Amerika Latin, khususnya negara Brazil, lahirlah sebuah gagasan Teologi Pembebasan oleh Gustavo Guitterez. Intinya orang Kristen harus melakukan praksis dalam iman, yaitu Kontemplasi (beribadah dan berdoa) dalam rangka mengenal menyelami lebih dalam tentang Tuhan dan aksi sebagai komitmen tindakan konkrit dari iman. Perspektif Kristen yang mendasari semangat transformasi bangsa secara Alkitabiah dapat dilakukan dengan membangun kesejahteraan kota/negara (Yeremia 29:7).
Kata kesejahteraan erat kaitannya dengan kata Shalom. Sementara Shalom dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu pertama individual fisik yang sehat (Mazmur 38), terbebas dari kejahatan, selamat, aman (Yosua 10:21), menang dari peperangan (Hakim-Hakim 8:9), ekonomi atau pendapatan yang baik (Mazmur 37:11), keluarga yang baik (Mazmur 128:1-6), moral yang terjaga (Mazmur 34:14) dan tidak melanggar Titah Tuhan (Bilangan 24:12-14). Kedua komunitas dan negara, tidak ada perang (Hakim-Hakim 11:13, Keluaran 3:8), kesejahteraan ekonomi (Mazmur 147:14; 128:5-6), keamanan politik (Mazmur 122:6-7; II Raja-Raja 20:19), negara yang damai (Imamat 26:1-6). Ketiga relasi yang baik kepada Tuhan dan sesama, kebenaran akan memancarkan kedamaian (Mazmur 85:10), tidak ada damai tanpa keadilan (Yeremia 6:13-14), dampak dari keadilan, kebenaran dan kebajikan akan semakin terasa di seluruh bangsa (Yesaya 32:16-18), menjalankan hukum yang terutama dan yang pertama (Matius 22:35-40; Lukas 10:25-37) serta menjadi saksi (Kisah Para Rasul 1:8).
Hal-hal itulah yang harus dipenuhi dalam kehidupan manusia di bumi. Jika kita memikirkan untuk mewujudkannya pada masa kini, maka sungguh harus dilakukan lewat perjuangan yang cukup keras. Melihat tantangan zaman sekarang ini, apakah kita masih akan memakai metode lama dalam mewujudkannya? Sungguh, sikap fanatisme yang berlebihan hanya mencerminkan sempitnya wawasan berpikir yang justru menjebak kita dalam penolakan dan menyebabkan timbulnya perpecahan kerukunan. Untuk itu penting bagi kita melakukan segala hal dalam hikmat yang bijaksana, dengan mengefektifkan rasionalitas berpikir, sebagai perwujudan mengasihi Tuhan dengan akal budi.
Nah, generasi sekarang harus mulai menyadari, untuk melakukan transformasi bangsa ini bukanlah pekerjaan biasa yang akan mengalir sendirinya seiring bergulirnya waktu. Harus kita akui, proses  penindasan dan pembusukan dunia saat ini merupakan program pemerkosaan yang terencana dan terorkestrasi oleh pihak-pihak serakah. Tingkat belajar mereka untuk mencapai sukses programnya lebih tinggi daripada usaha kita untuk bebas dari lingkaran setan penindasan. Keadaan ini nyata, konkrit dan bukanlah mimpi. Kalau masih bermimpi bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa ada tindakan perbaikan, bangunlah segera!
Sebagai generasi muda kita  punya banyak pilihan dalam menentukan strategi. Namun bentuk strategi masa kini harus jauh lebih canggih daripada strategi-strategi yang pernah ada. Oleh karenanya generasi sekarang wajib merumuskan terlebih dahulu bentuk penindasan yang berlangsung sehingga dapat kelihatan dan dapat pula ditentukan metode untuk memperjuangkan kebenaran dalam solusi perbaikan. Ada yang berjuang dengan berproses secara pribadi, ada yang bergabung dengan kelompok atau komunitas dan ada yang membangun jaringan serta aliansi. Semua upaya itu ditandai dengan proses belajar guna pembobotan dan aktualisasi diri. Lewat cara ini proses penyadaran ditransfer satu dengan yang lainnya. Masing-masing individu mengenali diri sindiri (berkenaan dengan siapa diri sesungguhnya serta tingkat potensi dan kelemahan pribadi), memahami situasi kehidupan sosial di lingkup daerah – nasional – global serta memiliki solusi perbaikan atas persoalan dan kemelut yang menimpa bangsa. Tujuannya untuk mencapai mimpi bersama, mewujudkan perbaikan bangsa ke arah perkembangan yang lebih baik sesuai dengan visi masing-masing (tansformasi).
Oleh karena itu, sungguh berdosanya apabila kita masih menyia-nyiakan waktu yang Tuhan beri karena tidak diisi seoptimal mungkin menjadi rekan sekerja Tuhan di tengah dunia yang dikasihi-Nya ini. Sebab kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi. Semoga peran pemuda Kristen dalam transformasi bangsa semakin progresif dan menjadi diperhitungkan ke depannya. Setidaknya orang percaya merupakan elemen yang diakui keberadaanya dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi bangsa Indonesia. Belum terlambat… Kejar terus..!!!
***



Ditulis pada suasana pagi yg gelap akibat PLN memadamkan penerangan listrik di Jl. Perjuangan No. 155 Medan, 22 Maret 2013

Rabu, 20 Maret 2013

Resume Diskusi “Pencemaran Danau Toba oleh Aquafarm”



Resume Diskusi “Pencemaran Danau Toba oleh Aquafarm”
Pemateri          :           Ir. Pohan Panjaitan, MS, PhD
Tanggal           :           25 Februari 2013

Betapa tidak Indonesia khususnya Sumatera Utara bersyukur memiliki aset kekayaan alam seperti Danau Toba yang tak ternilai harganya. Selain sebagai tempat wisata dan sumber mata pencaharian warga sekitar, Danau Toba menjadi sumber air bagi masyarakat sekitar. Namun, apa jadinya apabila aset yang berharga itu sudah tidak lagi dilindungi dan sudah tercemar akibat ulah dari sejumlah pihak atau perusahaan yang tidak bertanggung jawab, yang salah satunya adalah PT. Aquafarm.
            PT. Aquafarm yang adalah milik Swiss menyumbang modal berupa Keramba Jaring Apung yang turut mencemarkan Danau Toba. Ternak ikan yang dipelihara juga berasal dari luar dan belum diketahui apakah ternak tersebut bebas dari penyakit atau menggunakan obat-obatan juga. Pencemaran juga bisa melalui urine dan feses serta pakan ternak. Di dalam urine terdapat 70% protein yang mengandung nitrogen dan 1 ton pakan ternak mengandung 33,6 kg nitrogen setiap hari. Dan berdasarkan pada penelitian tahun 2008 oleh pemateri terdapat 200 ton setiap hari pakan ternak. Tidak terbayangkan berapa banyak nitrogen dan fosfor yang mencemari Danau Toba setiap harinya. Tingginya nitrogen dan fosfor akan menyebabkan terjadinya blooming fitoplankton. Namun syukurnya fitoplankton di Danau Toba tidak dapat berkembang karena tidak sesuai.
            Pada kasus ini, sangat diharapkan PT. Aquafarm tetap menjaga keseimbangan ekosistem Danau Toba disamping potensi danau sebagai tempat pariwisata bahkan sumber air warga sekitar dan Swiss yang notabene merupakan negara maju apalagi residence time PT. Aquafarm adalah 77 tahun. Dan celakanya, PT. Aquafarm menyamakan danau dengan waduk.  Padahal danau dengan waduk tidak dapat disamakan karena benda-benda pencemar akan mengendap di bagian dasar. Lebih lanjut, saat ini juga belum diketahui pola aliran airnya sehingga sampai sejauh ini yang bisa terlihat jika satu kawasan telah rusak, maka kawasan yang lain akan rusak juga.
Sangat diperlukan sebenarnya penyaringan kapasitas di setiap sektor penyebab tercemarnya Danau Toba. Seharusnya dilakukan pembangunan yang terintegrasi antara egosektoral dan kaidah-kaidah lingkungan apalagi di abad 21, agenda kita adalah “Hidup Lestari Lingkungan” seperti kajian studi lingkungan, zonasi, dan peraturan-peraturan sebagai tindak lanjut. Namun, sepertinya pemerintah tidak serius dalam menangani masalah ini, bahkan Analisis Dampak Lingkungannya pun baru dibuat ketika pihak pemerhati lingkungan mendesaknya. Kalau konsep negara maju, PT. Aquafarm harus membayar jasa lingkungan, kerusakan lingkungan, dan CSR. Dan sampai sekarang ini, mereka hanya membayar CSR saja.

RESUME HASIL DISKUSI “BEDAH FILM “THE ACT OF KILLING/JAGAL””



RESUME HASIL DISKUSI “BEDAH FILM “THE ACT OF KILLING/JAGAL””

Pemateri :        BAKUMSU (Tongam Panggabean)
Tanggal  :        22 Februari 2013

            The Act of Killing merupakan suatu film dokumenter oleh organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Pemuda Pancasiladan pertama kali diputar di Taronto. Dalam pembuatan film dokumenter ini, yang mendominasi peran adalah pemimpin tertinggi Pemuda Pancasila di Medan, Anwar Congo.  Film dokumenter ini menampilkan bagaimana organisasi Pemuda Pancasila melakukan pembantaian besar-besaran terhadap kaum yang dianggap komunis atau tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
            Anwar Congo sendiri selaku aktor terpenting dalam pembantaian kaum komunis mengakui telah membunuh hingga ribuan manusia dengan alasan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Pemerintah menganggap mereka sebagai alat yang penting untuk menjaga keutuhan negara. Dalam film dokumenter ini juga Anwar Congo dan anggotanya (tentunya Pemuda Pancasila) memperagakan cara-cara yang dilakukan mereka untuk membantai kaum komunis dan sebagaian besar cara-cara tersebut meniru sejenis film pembunuhan dari Barat. Sangat kejam dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
            Film dokumenter ini juga dibuat untuk memberikan kebenaran sejarah yang bertolak belakang dengan upaya pemerintah (Orde Baru) yang sering mengeluarkan film-film yang memojokkan Partai Komunis Indinesia seperti G30SPKI dan mewajibkan semua umur untuk menontonnya dengan tujuan agar seluruh lapisan masyarakat memandang negatif terhadap Partai Komunis Indonesia. Namun sebagai kaum intelektual, kita berhak memiliki interpretasi masing-masing dan kita juga harus bersikap kritis menanggapi film ini. Jangan terjebak antara siapa yang benar (PKI atau PP). Tetapi yang perlu disoroti dalam film dokumenter ini adalah peran negara yang tidak melindungi HAM warga negaranya.
            Negara (TNI) memakai kelompok masyarakat  (Pemuda Pancasila) untuk melakukan pelanggaran HAM. Sehingga laporan yang dilontarkan Komnas HAM kepada negara sejak tahun 1965 tidak membuahkan hasil karena pemerintah sendiri dicurigai sebagai dalangnya. Hingga saat ini, pemerintah tetap mengeksistensikan dirinya sebagai wakil dan pelindung rakyat. Namun kenyataannya, pemerintah hanya pelindung bagi dirinya sendiri dengan memelihara “preman” untuk mempertahankan kekuasaannya. Bahkan pemerintah juga bekerja sama dengan pengusaha dengan memanfaatkan “preman” tersebut untuk kepentingan dan ketamakan mereka seperti merebut tanah warga.

Minggu, 28 Oktober 2012

Bahasa Indonesia dan Nasionalisme Pemuda

Oleh : Jhon Rivel Purba.
 
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di atas merupakan pernyataan sikap bersama sebagai bentuk komitmen pemuda-pemudi Indonesia yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang yang berbeda, untuk membangun semangat persatuan demi Indonesia Merdeka. Mereka sangat menyadari bahwa motor persatuanlah yang bisa mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.

Menurut Moehammad Yamin, ada lima faktor yang bisa memperkuat semangat persatuan, yaitu: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Seirama dengan itu, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau tidak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya". Dalam tulisan ini penulis fokus menguraikan tentang penggunaan bahasa Indonesia di masa kini dan kaitannya dengan nasionalisme pemuda.

Memudarnya Nasionalisme Pemuda

Akhir-akhir ini, salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah memudarnya semangat nasionalisme khususnya dalam diri generasi muda. Rasa bangga terhadap sejarah dan budaya bangsa khususnya bahasa Indonesia, yang merupakan salah satu prinsip nasionalisme, kini sudah redup. Generasi muda tampaknya tidak lagi memaknai arti penting bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan, kemerdekaan, persatuan, persaudaraan, dan pembangunan.

Banyak faktor yang menyebabkan memudarnya semangat nasionalisme generasi muda dalam berbahasa Indonesia. Pertama, kurangnya penanaman nilai-nilai penting penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kedua, pengaruh media di tengah-tengah arus globalisasi. Ketiga, minimnya keteladanan dari pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat.

Meskipun seorang pemuda sudah mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia di dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal dari sekolah dasar hingga perguguran tinggi, tetapi seseorang itu belum tentu memiliki rasa bangga berbahasa Indonesia. Berarti ada sesuatu yang kurang, yakni proses pendidikan bahasa Indonesia itu tidak didasari oleh nilai-nilai kebangsaan. Sehingga meskipun seseorang bisa fasih berbahasa Indonesia, tetapi tidak menyadari arti pentingnya bahasa itu bagi dirinya maupun bagi bangsanya.

Bagi generasi 1928 maupun 1945, bahasa Indonesia adalah bahasa perjuangan dan persatuan untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi bukti bahwa pemuda menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bagaimana dengan generasi sekarang? Generasi muda sekarang pada umumnya tidak menjiwai dan memaknai bahasa nasional tersebut sebagai bahasa perjuangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Justru ada kecenderungan generasi muda merasa rendah diri menggunakan bahasa Indonesia dari pada bahasa asing. Orang yang berbahasa Inggris dianggap lebih hebat dan pintar dari pada berbahasa Indonesia. Dalam berkomunikasi, tidak sedikit generasi muda yang mencampur bahasa nasional dengan bahasa Inggris. Barangkali mereka ingin kelihatan hebat.

Bahkan anehnya, dalam berbagai acara atau kegiatan, kata-kata bahasa Inggris selalu menghiasi tema dan susunan acara tersebut. Padahal acaranya berlangsung di Indonesia dan semua pesertanya juga orang Indonesia. Ada pun alasan yang mereka lontarkan adalah supaya acara tersebut kelihatan hebat dan orang-orang tertarik untuk mengikutinya. Sungguh aneh.

Di ruang publik pun demikian. Tulisan-tulisan berbahasa asing menghiasi ruang publik, misalnya di jalan raya, terminal, bandara, pasar, dan sebagainya. Sialnya, banyak kata-kata yang mengungkapkan petunjuk, keterangan, maupun rambu-rambu, hanya menuliskannya dalam bahasa Inggris. Artinya bahasa Indonesia tidak lagi menjadi "tuan" di negerinya sendiri.

Media (cetak maupun elektronik) juga ikut "ngingris" ria dalam setiap pemberitaan dan siarannya. Tentu ini tidak terlepas dari kepentingan si pemilik media untuk menarik perhatian pembaca, pendengar, dan penonton untuk menjadi konsumen media tersebut. Fungsi media yang seharusnya mendidik masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, ternyata dikubur kepentingan bisnis. Pada akhirnya, masyarakat ikut terbawa arus.

Selain itu, minimnya keteladanan pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia, turut memperburuk nasionalisme berbahasa di kalangan kaum muda. Kesalahan berbahasa Indonesia yang dipertontonkan oleh pemimpin, pejabat publik, dan tokoh masyarakat ini seringkali kita saksikan dalam berbagai pidato, seminar, kampanye, sidang, khotbah, ceramah, dan diskusi publik.

Solusi

Semangat kebangsaan dalam berbahasa Indonesia harus dibangkitkan kembali. Dengan harapan, supaya semua warga negara Indonesia hendaknya menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bersama, bahasa kebanggaan, bahasa persatuan, bahasa persaudaraan, bahasa perdamaian, bahasa perjuangan, dan bahasa pembangunan. Memang, untuk mencapai harapan ini bukanlah tugas yang mudah, melainkan tugas yang harus terus dikerjakan selama Indonesia masih ada.

Oleh sebab itu, harus ada komitmen bersama untuk mencapai tujuan bersama dengan langkah bersama. Pertama, penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa Indonesia diterapkan dengan berkesadaran sejarah. Di sini perlu ditekankan arti penting bahasa Indonesia bagi tiap-tiap individu maupun bagi bangsa. Ada pun tempat paling strategis dalam proses penanaman nilai-nilai nasionalisme berbahasa ini adalah dalam lembaga pendidikan formal.

Kedua, dibutuhkan media yang konsisten dalam menyajikan menu bahasa Indonesia yang sehat. Surat kabar, radio, televisi, dan media lainnya kiranya melaksanakan fungsinya untuk mendidik masyarakat dan sebagai alat untuk mengawal penggunaan bahasa Indonesia. Perlu ditekankan, penggunaan bahasa asing bukanlah hal yang salah asal pada saat dan tempat yang tepat.

Ketiga, semua elemen masyarakat mulai dari pemimpin, pejabat publik, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, mahasiswa, hendaknya memiliki kesadaran yang sama dalam pengembangan bahasa Indonesia. Kesadaran yang sama akan melahirkan gerakan penyadaran bersama dalam membumikan bahasa Indonesia. Gerakan penyadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan bahasa, pelatihan, bimbingan, penyuluhan, serta menggunakan sarana media komunikasi dan informasi.

Keempat, perlu didorong dan dibuka ruang bagi masyarakat khususnya pemuda untuk menghasilkan karya yang mendukung pengembangan bahasa Indonesia. Karya itu hendaknya digali dari bumi nusantara dengan tetap menjaga kearifan lokalnya. Dengan demikian rasa cinta terhadap bahasa Indonesia akan tercipta melalui pengenalan sejarah bahasa Indonesia dan melalui karya konkret pengembangan bahasa Indonesia. ***

Sumpah Pemuda di Langit Konflik

Oleh: Andri E. Tarigan

Setiap 28 Oktober, warga negara Indonesia dapat menyaksikan dikumandangkannya sebuah ikrar yang sangat mulia. Ikrar yang menjadi pondasi awal perjuangan kolektif para pendahulu kita untuk memperjuangkan terbentuknya negara merdeka. Jadilah Republik Indonesia, sebuah mahakarya yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Persatuan adalah gagasan yang dikumandangkan sebagai syarat utama pencapaian kemerdekaan, yang disampaikan dalam Sumpah Pemuda. Selain persatuan, ada juga gagasan yang tak kalah penting yakni rasa memiliki. Rasa memiliki tanah air, memiliki bangsa, memiliki bahasa. Hal-hal yang sengaja diabaikan oleh pemerintah status quo pada masa itu, yaitu pemerintahan Hindia Belanda.

Semenjak Sumpah Pemuda diikrarkan, ambisi untuk merebut kepemilikan aset produksi dan kekuasaan administratif bertumbuh subur. Gerakan demi gerakan berkembang. Pemuda, para mahasiswa intelektual, petani dan buruh, dan berbagai elemen lainnya mulai terjun ke ranah politik. Upaya merebut hak bermunculan ke permukaan.

Indonesia adalah milik Indonesia, bukan milik Belanda, atau imperialis lainnya. Seperti itu spiritnya, mengingat bangsa Indonesia kala itu jauh dari sejahtera. Bukan karena tak produktif, rakyat bekerja keras seharian. Hanya saja ada sistem penghisapan yang dikondisikan pemerintah kolonial. Sehingga untuk melawan itu, rasa persatuan dan rasa memiliki dikumandangkan.

Langit Konflik
Memandang Indonesia saat ini, Sumpah Pemuda seakan sudah tergadaikan. Kalimat-kalimatnya seperti hanya formalitas penghias di setiap upacara kenegaraan. Di luar upacara, para siswa tawuran. Premanisme ala organisasi masyarakat (ormas) merebak. Konflik tanah terjadi di berbagai wilayah. Masyarakat adat terancam. Saham BUMN tergadaikan ke tangan pemodal asing. Pejabat korup. Dimana persatuannya?

Masih panas terasa peristiwa pembakaran kantor bupati oleh rakyat, yang terjadi di Bima. Rakyat menunjukkan amarah yang tentu tak mungkin muncul begitu saja. Ada tekanan sosial-ekonomi, yang membuat rakyat sebegitu militannya. Sehingga rakyat melakukan tekanan balik, bottom-up pressure.

Di Jakarta, anak SMA dengan bangganya melakukan baku hantam. Menyampaikan hasrat menjadi hebat dengan aksi kekerasan. Tawuran ditradisikan. Diekspos pula setiap harinya di televisi. Bukan tak mungkin, baku hantam ini menjadi "inspirasi" bagi siswa SMA lainnya untuk melakukan hal serupa di daerah.

Masyarakat adat, terancam eksistensinya, tanah leluhur yang tergolong dalam hak ulayat kerap dieksploitasi oleh para pemilik modal dengan perusahaannya. Bentuk eksploitasi bisa berupa pengkerukan tanah demi pertambangan, atau berupa konversi tanaman rakyat menjadi perkebunan swasta. Eksploitasi ini menegaskan banyak hal, seperti dirampasnya perolehan kesejahteraan, dan dicederainya eksistensi adat masyarakat. Tak pelak, berujung konflik dan pembantaian.

Bagaimana hendak bertanah-air satu, sedangkan tempat tinggal dan tempat mencari makan dirampas? Untuk hidup saja susah. Belum lagi di perkotaan, Kaum Miskin Kota (KMK) kian menjadi korban penggusuran, rumah warga dirubuhkan dan digunakan untuk pembangunan real estate, proyek para pemilik modal. Pedagang kaki lima yang mendera kemiskinan, juga turut merasakan penggusuran.

Rakyat miskin jumlahnya mayoritas di negeri ini. Tak heran kalau rakyat miskin banyak menuntut, karena memang kekayaan alam di negara ini tak mampu dinikmati bersama secara merata. Ada saja sekelompok kecil orang yang memperoleh keuntungan masif. Dan tak heran kalau rakyat memilih jalan kisruh, karena hukum tak kunjung memunculkan jawaban atas kemiskinan. Entah karena hukumnya kurang sempurna, atau karena instansinya yang korup.

Muara dari kesenjangan sosial dan tradisi kekerasan/premanisme adalah konflik tak berujung. Belum lagi, pemilik modal yang bermain di kesenjangan sosial tersebut ternyata sebagian besar adalah orang asing. Semakin besarlah letupan konflik, entah dimana nasionalisme. Indonesia bak langit konflik, penuh perpecahan yang memuncak.

Dari tanah Batak sampai Papua masyarakat adat menjerit, melawan demi terlindungnya tanah ulayat. Di sisi lain, pemodal asing mengeksploitasi tanah Indonesia melalui berbagai perusahaan besar, dan tak jarang memantik pertikaian. Dimana wujud perjuangan kolektif melawan imperialisme asing demi kesejahteraan bersama dan lestarinya bangsa, yang seharusnya ada berkat Sumpah Pemuda?

Di upacara-upacara, Sumpah Pemuda dikumandangkan dengan indahnya. Barisan pejabat atau para siswa, tegas mengucapkan kata per kata warisan pemuda-pejuang dari awal abad keduapuluh itu. Bukan tak mengerti maknanya, bukan tak paham bahwa Sumpah Pemuda mengisyaratkan persatuan dan kepemilikan bersama. Sumpah tersebut berkumandang di langit konflik Indonesia. Takutnya, dampak Sumpah Pemuda hanya pemuasan pikiran semata. ***

Jumat, 29 Juni 2012

Menyoal Peringkat Indonesia dari Publikasi Failed States Index 2012

Oleh : Marthin Fransisco Manihuruk. 
 
Organisasi Internasional yang berkedudukan di Amerika
Serikat, yaitu The Fund for Peace dalam situsnya, www.fundforpeace.org, telah mempublikasikan daftar dan urutan-urutan dari negara-negara yang dianggap mendekati status negara gagal. Indonesia, yang mana juga masuk dalam daftar tersebut berada di peringkat 63 dari 178 negara dengan nilai ttal indeks 80,6 yang masuk kategori dalam bahaya. Padahal tahun lalu, Indonesia berada di peringkat ke 64 dari 177 negara. Ini membuktikan, bahwa Indonesia semakin buruk keadaannya dan semakin mendekati statusnya sebagai negara gagal. Biasanya negara yang dikategorikan seperti ini adalah negara yang status nya masih dalam keadaan perang. Tetapi Indonesia bukan dalam keadaan perang. Lantas apa yang menjadi permasalahan?
Fund for Peace mengukurnya dalam 12 indikator, yaitu, demographic Pressures, Refugees and IDPs, Group Crievance, Human Flight, Uneven Development, Poverty and economic decline, Legitimacy of the state, Public service, Human Rights, Security Apparatus, Factionalized Elites, External Intervention. Dalam pengukuran tersebut, Indonesia sangat terpuruk dalam 3 bidang yaitu, demographic pressure, human rights, dan Group crievance yang masing-masing nilai indeks kegagalannya yaitu 7,4, 6,8, dan 7,1. Secara faktual dapat dilihat bahwa kebenaran dari hasil pengukuran Fund for peace adalah Benar.

Kebenaran itu dapat dilihat dari fakta-fakta yang ada. Yang pertama adalah mengenai Demographic pressure yang dinilai sangat rendah dapat dilihat yaitu bahwa semakin meningkatnya jumlah penduduk. Program-program yang dilaksanakn pemerintah tak maksimal, baik itu berupa usaha KB (keluarga berencana) yang merupakan program andalan pemerintah dalam mengurangi pertumbuhan penduduk, maupun program desain dan tata letak wilayah serta infrastruktur dan suprastruktur pembangunan. Pengelolaan dalam menangani hal ini masih kurang. Sebut saja kota Jakarta yang sudah di stigma kan sebagai ikon kota termacet dan terpadat seluruh Indonesia. Padahal Jakarta merupakan kota metropolitan yang masuk dalam jajaran peringkat 2 dunia dalam hal penduduk. Ini tentu membawa imej buruk bagi Jakarta sendiri, yang mana dianggap sebagai kota yang "buruk". Menajemen desain tata kota yang baik sampai sekarang tak bisa dibuat walapun pemimpin daerahnya sudah berkali-kali

Kemudian yang kedua adalah mengenai Human Rights (hak-hak Azasi Manusia). Pengakuan dan penegakan HAM Indonesia masih merupakan coretan Hitam. Contohnya adalah kasus penembakan misterius yang kerap terjadi di Papua yang saat ini tidak ada jelas satupun pelakunya ditangkap. Penembakan ini selalu saja dikaitkan dengan OPM (organisasi Papua Merdeka) walaupun tak ada bukti yang nampak. Dalam UUD 1945 Indonesia sudah mencantumkan HAM sebagai hak yang tertinggi dan diakui. Tak hanya itu, UDHR (universal Declaration of Human Rights) juga mengakuinya dan Indonesia sudah meratifikasinya.Akan tetapi itu hanya menjadi dokumen bagi negara. Hasil Keburukan Indonesia dalam penegakan HAM tampak pada sidang UPR, dimana Indonesia diwakili oleh Menlu nya sendiri. Menlu tak dapat memberikan keterangan tentang penegakan HAM di Indonesia. Di dalam sidang UPR (Universal Periodic Review) yang dilaksanakan di Genevaa, Swiss, jelas penegakan HAM Indonesia dipertanyakan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Direktur Eksekutif HAM Asia, Wong Kai Shing bahwa respons Indonesia terhadap penegakan HAM tak lebih dari sekedar penyangkalan-penyangkalan tak berarti.

Dan yang ketiga adalah mengenai Group Crievance (protes kelompok minoritas). Implikasi yang dapat kita lihat secara langsung yaitu mengenai Intoleransi beragama di Indonesia. Penutupan gereja GKI Yasmin Bogor adalah salah satu diantara banyaknya kasus-kasus Intoleransi beragama. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan bahwa pendirian Gereja GKI Yasmin adalah sudah sah ke legalannya. Tentu saja hal ini menjadi sorotan masyarakat Dunia. Semua hal yang diurusi Indonesia sangat tampak hanya sebagai dagelan-dagelan tak berarti.

Faktor Ketidakseimbangan

Seyogianya menurut penulis, yang menjadi permasalahan disini adalah Indonesia terhadap 12 Indikator tersebut. Pada dasarnya, 12 indikator tersebut haruslah seimbang. Namun yang sering terjadi adalah adanya salah satu faktor yang dianggap "utama" dan dititikberatkan.

Salah satu dari 12 indikator yang sering diutamakan Indonesia yang kontras kita lihat adalah External Intervention. Seringnya Indonesia melakukan External Intervention ke negara lain, khususnya bagi negara yang sedang konflik ataupun perang, membuat dunia pun tahu bahwa Indonesia adalah negara yang paling sering memberikan kontribusi bagi perdamaian dunia. Hal itu tampak dari bantuan Indonesia yang memberikan relawan untuk membantu korban perang. Contoh yang nyata adalah pada perang Israel dan Palestina. Indonesia begitu keras memprotes kekejaman yang dilakukan Israel kepada Palestina karena dengan alasan Kemanusiaan dan Agama. Dan akhirnya Indonesia pun banyak di berikan penghargaan dalam hal menjaga perdamaian dunia. Memang sebagai masyarakat Internasional, Indonesia juga harus turut membantu para korban perang, dan menjaga ketertiban dunia sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 45 alinea 4. Namun, disisi lain ada ketimpangan. Banyak dari para korban TKI yang mati dibunuh di Arab Saudi, Malaysia dan di negara yang lain, Indonesia tidak pernah memperotes dengan keras. Padahal TKI yang mati dibunuh sangat berkaitan dengan harga diri bangsa.

Inilah yang disebut dengan ketimpangan antara satu indikator dengan indikator yang lainnya. Ada faktor yang diutamakan, sedangkan faktor yang lain diremehkan. Saya kira sangat wajar Indonesia dikategorikan sebagai negara yang mendekati gagal walaupun tidak sedang dalam keadaan perang.

Harus Seimbang

Dari fakta-fakta yang ada diatas, jelas bahwa negara Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang hampir gagal (in danger). Walaupun Menkopolhukam Djoko Suyanto mengatakan bahwa Indonesia bukan negara gagal, seyogianya hal itu adalah keliru. Walaupun negara tidak dalam keadaan perang, tetapi faktor utama ada pada 12 indikator yang dibuat fund for peace.

Mau tidak mau, dalam mengatasi hal ini Indonesia sebenarnya sudah diberikan solusi. 12 Indikator yang dijadikan indeks kegagalan negara merupakan jawaban dari semua akar permasalahan. Dalam mengatasi Indonesia sebagai negara gagal, sangat dibutuhkan adanya keseimbangan antara 12 indikator tersebut. Indonesia tidak boleh mengutamakan satu Indikator dalam membuat keberhasilan suatu negara.***

Tulisan ini terbit di Harian Analisa, 29 Juni 2012