Oleh: Andri
E. Tarigan
Siapa yang tak kenal Soe Hok Gie.
Aktivis mahasiswa tahun 1960-an yang terkenal vokal dan teguh menjunjung
idealismenya. Pemikiran-pemikirannya tertampung ringkas dalam sebuah buku
berjudul Catatan Seorang Demonstran. Sebuah buku yang sebenarnya merupakan
diary milik Gie. Diary membantu Gie mengabadikan dirinya.
Salah satu
pelajaran penting yang bisa kita ambil dari hal tersebut adalah pentingnya
sebuah diary. Seandainya Gie tidak menulis diary, bisa-bisa, namanya tak harum
dalam sejarah. Kebesarannya bisa terbungkam, dan ketokohannya bisa sengaja
dihilangkan dari catatan sejarah mengingat banyak pihak yang kontra terhadapnya.
Diary atau catatan harian, tempat dia mengabadikan kisah sehari-harinya, menjadi
hal penting yang di kemudian hari menjadi alat pengingat bagi segenap penduduk
negeri bahwa Indonesia pernah memiliki seorang intelektual yang begitu jujur
dalam berpikir dan bertindak, Gie.
Mengutip
Manfaat
Belajar dari
Gie, maka menulis diary bisa kita kategorikan sebagai hal yang bijak. Bijak
karena memang banyak manfaat positif yang bisa kita ambil dari penulisan diary.
Menuliskan apa yang sambil lalu kita pikirkan, menuliskan kisah perih maupun
indah, menuliskan sejauh apa perjalanan hidup kita, dan penulisan itu tentu
bernilai positif.
Pertama,
dengan menulis diary, kita sudah mulai belajar menuliskan apa yang kita
pikirkan. Walaupun hanya pemikiran sambil lalu, atau pemikiran-pemikiran yang
hanya bernilai humor, kita telah menuliskannya. Semakin sering kita menuliskannya,
kita semakin terbiasa, dan kekakuan kita dalam menuangkan pikiran ke dalam
bentuk tulisan akan semakin sirna. Disini, kemampuan menulis dilatih secara
perlahan. Seorang intelektual membutuhkan ini. Lihat betapa banyak intelektual
yang punya banyak pemikiran namun akhirnya disepelekan karena hanya bisa
menjadi singa debat, tak bisa menulis.
Kedua, kita
mengabadikan diri. Keseharian kita yang bisa terlupa kapan saja, menjadi
sesuatu yang penting dan terekam dalam diary. Nilai-nilai yang sesungguhnya
telah kita ciptakan di masa lalu namun telah terlupakan, bisa kita adopsi
kembali, karena ada rekam jejaknya. Diary menunjukkan siapa diri kita yang
sebenarnya. Penting agar kita tak lupa diri. Penting agar kita mengetahui
seberapa banyak hal yang telah kita perbuat, seberapa banyak hal baik yang
seharusnya tetap kita pertahankan. Dengan mengetahui siapa diri kita di
hari-hari yang lalu (sangat efektif kalau dalam bentuk tulisan), kita akan
semakin mudah membangun karakter diri kita.
Ketiga,
romantisme. Dalam diary kisah-kisah terekam. Hal-hal yang mungkin hanya
dimengerti oleh kita sendiri, tertuang didalamnya. Sensasi-sensasi yang dulu
mencuat, dinamika perasaan, bisa kita rasakan kembali kelak, saat kita membaca
ulang diary. Diary menjadi media penyadaran bagi kita bahwa hidup kita itu
sebenarnya menyiratkan banyak makna, banyak romantika, sesepele apapun tampaknya.
Kita jadi belajar menghargai hidup.
Serangan
Modernisasi
Pentingnya
menulis diary sudah disadari oleh orang-orang sejak beratus-ratus tahun yang
lalu, sudah dipraktekkan, sudah banyak yang mengutip manfaatnya. Akan tetapi,
zaman tetap bergerak sehingga yang baru selalu muncul dan yang lama tergerus.
Kebiasaan menulis diary termasuk hal yang kini mulai tergerus.
Hadirnya
jejaring sosial internet menjadi salah satu faktor utama yang mengikis kebiasaan
menulis diary. Jejaring sosial memandulkan kemampuan untuk menuliskan siapa
sebenarnya diri kita secara eksistensial (seperti yang berlangsung saat menulis
diary), dan kita dibawa untuk masuk ke dunia yang lebih praktis. Jejaring
sosial menawarkan sejuta harapan. Seakan-akan, derajat diri kita naik, karena
kita sudah berinteraksi dalam skala global. Padahal, kita hanya bersolek di
dunia maya, hanya ilusi.
Aktualisasi
diri tepat apabila yang kita coba aktualkan adalah karakter diri kita yang
sebenarnya. Dan itu hanya bisa di dapat jika kita mempelajari jejak empiris
kita, pengalaman-pengalaman kita. Diary menjadi jawaban atas hal tersebut.
Sebuah kemalangan sebenarnya, disaat kebanyakan kaum muda (terutama pelajar)
yang memilih jejaring sosial sebagai sarana utama aktualisasi diri.
Saya pernah
menonton sebuah film yang pada salah satu adegannya membahas hal ini secara
ringkas. Kira-kira bunyinya seperti ini, "Untuk apalagi menulis diary?
Itukan kerjaan orang yang tidak bisa bersosial, sekarang sudah ada twitter,
disana pemikiran kita bisa di-share kapan saja." Pernyataan tersebut
lebih saya terima sebagai sebuah kritik. Karena, banyak hal yang sesungguhnya
tak bisa tergantikan dari kebiasaan menulis diary, tapi mengapa kita lebih
memilih twitter? Mampukah twitter mengabadikan kisah kita untuk kita kulik
lagi di hari tua nanti? Twitter perlu, tapi fungsinya jauh beda dengan diary.
Twitter bukan pengganti diary.
Sudahkah
anda menulis diary? Jika belum, tulislah. Tidak ada kata terlambat untuk ini.
Diary adalah media reflektif yang efektif untuk kita memaknai diri, memahami
eksistensi. Kalaupun kini dunia maya dengan jejaring sosialnya gencar menarik
kita dengan sejumlah fitur-fitur terbarunya, jadikan itu sebagai media
pembantu, yakni sebagai sarana komunikasi (sebagaimana fungsi awalnya).
Menulis
diary merupakan salah satu bentuk kesadaran sejarah, pelajaran-pelajaran yang
tersirat hari ini dituliskan agar dapat menjadi referensi pertimbangan empiris
yang logis bagi pembangunan diri di hari esok. Karena, sejarahlah yang
membentuk karakter. ***
*Penulis
aktif di KDAS.
Dimuat pada harian Analisa pada hari Sabtu, 29 November 2014