Senin, 22 Juni 2009

MORAL DAN PEMIMPIN

Oleh: Jakob Siringo-ringo

Permasalahan yang dihadapi bangsa ini sekarang adalah persoalan terkait krisis moral. Hal ini tampak dari realita yang terlihat jelas oleh kita. Sebut saja, seperti, perilaku koruptor, isu pelanggaran HAM, dan sebagainya. Dengan kata lain, musuh utama bangsa saat ini adalah krisis moral yang mewabah—terutama menerpa para cendekia kita, penguasa, dan lain-lain.

Krisis moral yang justru menjadi permasalahan bangsa sepertinya akan terus berulang. Dan, tampaknya belum ada usaha untuk memperbaikinya. Bahkan persona yang terlibat langsung dengan isu pelanggaran HAM kini dipercaya menjadi calon wakil pemimpin (elite).

Dilema Dalam Pendidikan

Sekolah-sekolah kini seperti kehilangan tanggung jawab. Terutama tanggung jawab dalam membangun dan memperbaiki moralitas generasi penerus bangsa, yang nota bene bibit-bibit yang disemaikan—pengganti elite berikutnya, pemilik tanggung jawab bangsa, ke depan.

Generasi penerus bangsa, dalam hal ini anak didik sebagai dikelabui. Lihat saja buktinya pada generasi terdidik menengah pertama hingga menengah atas. Mereka diwajibkan memenuhi nilai yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Katanya untuk meningkatkan pendidikan.

Dalam persoalan ini dapat diketahui pada beberapa waktu lalu. Mereka (para generasi terdidik) mulai dari menengah pertama hingga menengah atas mengikuti ujian akhir (nasional), Ujian Nasional (UN). Ujian yang menjadi standar wajib kelulusan. Ujian yang memaksakan mutu (?) tanpa memperhatikan kualitas sesungguhnya.

Mutu pendidikan memang harus ditingkatkan. Berbagai cara harus pula diupayakan. Memang, indikator bagi peningkatan mutu pendidikan tersebut sangatlah banyak. Oleh Depdiknas sebagai indikator mutu, standar nilai kelulusan peserta ujian telah ditetapkan setinggi-tinggi.

Dari hasil pengamatan, sekolah di daerah-daerah yang terpencil akan kewalahan dalam mencapai angka tersebut. Namun, jangankan di daerah-daerah, di kota besar sekalipun menjerit akan keputusan nilai itu. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang melakukan ujian ulang.

Untuk itu, marilah kita bedah satu demi satu persoalan di atas terkait Ujian Nasional. Pertama, yang dilihat yaitu pada prakteknya. UN yang menjadi motor persoalan sudah dimulai sejak tahun 2003. Diketahui ketika itu pun sudah banyak kalangan yang menilai bahwa Ujian Nasional merupakan kebijakan yang sifatnya akan merugikan dan bukan menjadi jawaban atas permasalahan pendidikan. Jadi, jelas ketika pertama kali pun diajukan sudah diklaim bahwa UN adalah salah satu produk pemerintah yang kurang menggembirakan.

Buktinya kita lihat sampai sekarang. UN bukan saja membuang kesempatan para siswa untuk melanjutkan mimpi-mimpi mulianya, melainkan juga membunuh karakternya. Problematika yang kini dihadapi siswa tersebut seakan menginformasikan akan tutupnya pintu bagi pendidikan. Sarat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, itulah hedonisme oportunis sang pennguasa.

Kedua, membicarakan mutu. Hal ini disetujui oleh ketua DPP Partai Golkar, Burhanuddin Napitupulu, yang terkait dengan semangat sistem pendidikan nasional (sisdiknas), Sindo 8/6 2009. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alasan untuk memaksakan nilai (setinggi-tinggi) adalah karena mutu. Adakah mutu yang diperlihatkan dalam UN?

Ketiga, kecurangan-kecurangan yang terjadi selama UN. Apa penyebab terjadinya kecurangan dalam UN? Sudah dikaji dalam berbagai media, misalnya, bahwa semua itu terjadi karena UN sendiri merupakan produk pemerintah yang kurang menggembirakan. Lagi, dapat kita lihat betapa dosa-kecurangan itu menjadikan moral para siswa tidak baik.

Persoalan lain yang menambah produk pembodohan tersebut adalah disahkannya undang-undang baru pendidikan, UU BHP. Lagi-lagi sifatnya merugikan bahkan cenderung pelarangan kuliah bagi rakyat miskin. Undang-undang yang diturunkan dari UU sisdiknas no.20 tahun 2003 ini menegaskan bahwa setiap kampus (khususnya negeri) diswastanisasikan.

UU BHP di sini melegalkan kampus menjadi menuju perusahaan. Kalau sudah menjadi berbentuk perusahaan, dengan sendirinya pendidikan bukan lagi sebuah proses pembelajaran, melainkan penghajaran. Sesuai dengan keinginan perusahaan, kampus-kampus akan mencetak orang-orang yang hanya memenuhi kewajiban, dan otomatis kemerdekaannya akan ditentukan oleh kampus sendiri.

Dan, betul sedikit banyak maksud tujuan dari BHP itu sendiri sudah mulai diterapkan pada persyaratan masuk atau pada penerimaan calon mahasiswa baru. Kampus yang sudah berstatus BHP pun segera berlomba-lomba membuka jalur masuk mandiri. Seperti kita ketahui bahwa penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri tidak dapat dijangkau masyarakat miskin.

Selain itu, dampak lain yang merugikan bagi masyarakat miskin adalah semakin mengecilnya kesempatan untuk mendapatkan satu tempat berpijak dalam kuliah. Dalam hal ini, yang lebih layak menuntut ilmu adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Yang miskin tetap miskin, yang tak bermoral semakin tak bermoral.

Perbedaan antara penerimaan calon mahasiswa lewat jalur masuk mandiri dengan ujian masuk perguruan tinggi biasanya dapat diperhatikan melalui harga yang ditawarkan. Contoh formulir pendaftaran untuk jalur masuk mandiri berkisar antara Rp 175.000-Rp 800.000 untuk setiap jalur seleksi. Sementara untuk ujian masuk biasanya, fomulir pendaftaran adalah Rp 200.000 (untuk IPA dan IPS) dan Rp 225.000 (untuk IPC).

UU BHP telah menambah daftar panjang penderitaan rakyat di satu sisi. Sementara itu, di sisi yang lain amat bertentangan dengan konstitusi; juga mengingkari hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Lalu jelaslah maksud dari BHP itu sendiri adalah mengutamakan materi, di samping membangun kualitas.

Sekali lagi, disahkannya UU BHP ini semakin menambah deretan panjang problema pendidikan kita. Tetapi, dengan semakin panjang dan lebarnya problema pendidikan kita, tidak serta merta meningkatkan mutu pendidikan kita. Di sinilah dilema yang kita hadapi. Dengan kata lain, dilema dalam pendidikan menandakan kualitas pendidikan itu sendiri (pendidikan: dekadensi).

Mendatangkan Nilai Kepemimpinan
Kita membutuhkan pendidikan yang berkualitas. Sebab, hanya dengan pendidikan yang berkualitaslah kita dapat menumbuhkembangkan moral para anak didik sekaligus menngangkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Semai-semai yang sudah dibekali akal sehat, logika, moral baik, hingga SDM yang berkualitas, bertitik tolak mendatangkan nilai kepemimpinan. Seseorang yang memilliki nilai-nilai kepemimpinan, padanya nasib bangsa dipertaruhkan.

Bangsa yang layak maju tentu punya pemimpin yang berkuallitas. Dan, pemimpin yang bercita-cita untuk bangsanya selain punya visi-misi yang akurat, dalam kebijakannya juga tepat, merakyat.

Dari semua itu, pemerintah yang bercorak penguasa dan rakyat yang bercorak terkuasa sama-sama menjadi wadah dari nilai-nilai kepemimpinan. Dalam pada itu kepemimpinan yang dimaksud tetap yang berada dalam berkeadilan, merata, dan menyejahterakan rakyat. Terutama kurang mampu.

Satu kebijakan yang punya akuntabilitas mendatangkan pemimpin adalah pembangunan pendidikan. Lewat pendidikan, masyarakat terajar untuk berpikir maju, kritis. Dan, sifat pendidikan yang dimaksud tidak lain dari berkualitas. Sifat demikian diketahui pula menjadi ciri khas suatu bangsa yang maju.

Menurut hemat saya, mendatangkan mutu sesungguhnya dalam pendidikan berarti mendatangkan pula nilai pendidikan bermoral. Untuk itu, pendidikan bukan lagi cerita seperti zaman penjajahan susah diraih, atau malah menjadi beban. Karena hal ini tercantum dalam UUD 1945. Jadi, dengan pendidikan berkualitas, maka moral bangsa secara umum, pemuda secara khusus terbentuk menggembirakan. Sehingga melahirkan pemimpin bermoral, punya potensi sesungguhnya, dan berkeadilan, merakyat. Lagi terpercaya.***